Makalah Medula Spinalis
Makalah Medula Spinalis
Kritik dan Saran senantiasa dinantikan agar makalah ini menjadi lebih
baik dimasa mendatang amin.
Kelompok ..
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila Trauma itu mengenai
daerah L1-L2 dan/atau di bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi
motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.
Cedera medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis
vertebralis dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang.
Cedera medula spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang mempengaruhi
150.000 sampai 500.000 orang hampir di setiap negara, dengan perkiraan 10.000
cedera baru yang terjadi setiap tahunnya. Kejadian ini lebih dominan pada pria
usia muda sekitar 75% dari seluruh cedera. Setengah dari kasus ini akibat dari
kecelakaan kendaraan bermotor, selain itu banyak akibat jatuh, olahraga dan
kejadian industri dan luka tembak.
Vertebra yang paling sering mengalami cedera adalah medula spinalis
pada daerah servikal ke-5, 6, dan 7, torakal ke-12 dan lumbal pertama. Vertebra
ini adalah paling rentan karena ada rentang mobilitas yang lebih besar dalam
kolumna vertebral pada area ini. Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria
di bandingkan pada wanita karena olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor.
Tetapi belakangan ini wanita lebih banyak dibandingkan pria karena faktor
osteoporosis yang di asosiasikan dengan perubahan hormonal (menopause).
Klien yang mengalami trauma medulla spinalis khususnya bone loss pada L2-L3
membutuhkan perhatian lebih diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan hidup
dan dalam pemenuhan kebutuhan untuk mobilisasi. Selain itu klien juga beresiko
mengalami komplikasi trauma spinal seperti syok spinal, trombosis vena
profunda, gagal napas, pneumonia dan hiperfleksia autonomic. Maka dari itu
sebagai perawat merasa perlu untuk dapat membantu dalam memberikan asuhan
keperawatan pada klien dengan trauma medulla spinalis dengan cara promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif sehingga masalahnya dapat teratasi dan klien
dapat terhindar dari masalah yang paling buruk.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
Tujuan Umum
Membantu mahasiswa memahami tentang konsep dasar
manajemen keperawatan berkaitan dengan adanya gangguan pada tubuh
manusia yang diakibatkan oleh cedera medula spinalis serta mengetahui
bagaimana konsep penyakit atau cedera medula spinalis dan bagaimana
Asuhan Keperawatannya..
Tujuan Khusus
a. Mengetahui Pengertian Cedera Medula Spinalis.
b. Mengetahui Anatomi Fisiologi Struktur Medula Spinalis
c. Mengetahui Penyebab atau Etiologi adanya Cedera Medula Spinalis.
d. Mengetahui Patofisiologi dan Manifestasi Klinis Cedera Medula
Spinalis.
e. Memahami mekanisme terjadinya Cedera Medula Spinalis.
f. Memahami Komplikasi yang akan terjadi pada kasus Cedera
Medula Spinalis..
g. Mengetahui Pemeriksaan Diagnostik yang dapat dilakukan pada
kasus Cedera Medula Spinalis.
h. Memahami Penatalaksanaan dan Pengobatan yang dapat dilakukan
pada kasus Cedera Medula Spinalis.
i. Mengetahui Pelaksanaan Asuhan Keperawatan yang dilakukan pada
kasus Cedera Medula Spinalis.
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah diharapkan mahasiswa
dapat mengetahui dan memahami mekanisme dasar terjadinya kasus Cedera
Medula Spinalis yang diakibatkan karena adanya gangguan pada sistem susunan
saraf terutama pada struktur medula spinalis yang dapat terjadi akibat berbagai
sebab, sehingga dengan begitu mahasiswa dapat dengan mudah untuk melakukan
asuhan dan tindakan serta penanganan keperawatan yang tepat terkait cedera
medula spinalis tersebut.
PEMBAHASAN
Kemudian diantara beberapa saraf, ada yang menjadi satu ikatan atau
gabungan (pleksus) membentuk jaringan urat saraf. Pleksus terbagi menjadi 3
macam, yaitu:
4. Traktus spinal. Substansi putih korda yang terdiri dari akson termielinisasi
dibagi menjadi funikulus anterior, posterior, lateral. Dalam funikulus
terdapat fasikulus atau traktus. Traktus diberi nama sesuai dengan lokasi,
asal dan tujuannya.
a. Traktus sensorik atau asenden membawa informasi dari tubuh ke otak.
Bagian penting traktus asenden meliputi:
Saraf Spinal. 31 pasang saraf spinal berawal dari korda melalui radiks
dorsal (posterior) dan ventral (anterior). Pada bagian distal radiks dorsal
ganglion, dua radiks bergabung membentuk satu saraf spinal. Semua saraf
Setiap saraf spinal keluar dari sumsum tulang belakang dengan dua buah
akar, yaitu akar depan (anterior) dan akar belakang (posterior). Setiap akar
anterior dibentuk oleh beberapa benang akar yang meninggalkan sumsum tulang
belakang pada satu alur membujur dan teratur dalam satu baris. Tempat alaur
tersebut sesuai dengan tempat tanduk depan terletak paling dekat di bawah
permukaan sumsum tulang belakang. Benang-benang akar dari satu segmen
berhimpun untuk membentuk satu akar depan. Akar posterior pun terdiri atas
benang-benang akar serupa, yang mencapai sumsum tulang belakang pada satu
alur di permukaan belakang sumsum tulang belakang. Setiap akar belakang
mempunyai sebuah kumpulan sel saraf yang dinamakan simpulsaraf spinal. Akar
anterior dan posterior bertaut satu sama lain membentuk saraf spinal yang
meninggalkan terusan tulang belakang melalui sebuah lubang antar ruas tulang
belakang dan kemudian segera bercabang menjadi sebuah cabang belakang,
cabang depan, dan cabang penghubung.
Cabang-cabang belakang saraf spinal mempersarafi otot-otot punggung
sejati dan sebagian kecil kulit punggung. Cabang-cabang depan mempersarafi
semua otot kerangka batang badan dan anggota-anggota gerak serta kulit tubuh
kecuali kulit punggung. Cabang-cabang depan untuk persarafan lengan
membentuk suatu anyaman (plexus), yaitu anyaman lengan (plexus brachialis).
Dari anyaman inilah dilepaskan beberapa cabang pendek ke arah bahu dan ketiak,
dan beberapa cabang panjang untuk lengan dan tangan. Demikian pula dibentuk
oleh cabang-cabang depan untuk anggota-anggota gerak bawah dan untuk
3. Meningen Spinal
Meningen adalah selaput otak yang merupakan bagian dari susunan
saraf yang bersiaft non neural. Meningen terdiri dari jarningan ikat berupa
membran yang menyelubungi seluruh permukaan otak, batang otak dan medula
spinalis. Meningen terdiri dari 3 lapisan, yaitu Piamater, arakhnoid dan
duramater.
Duramater yang merupakan lapisan yang kuat, Membran fibrosa,
Bersatu dengan filum terminale. Piamater berupa lapisan tipis, kaya pembuluh
darah, nyambung dengan medula spinalis. Rongga antara periosteum dengan
duramater disebut dengan epidural yang merupakan area yang mengandung
banyak pembuluh darah dan lemak. Rongga antara duramater dengan arachnoid
disebut dengan subdural. Sub dural tidak mengandung CSF. Rongga antara
Arachnoid dan Piamater disebut dengan Subarachnoid. Pada rongga ini terdapat
Cerebro Spinal Fluid, Pembuluh Darah dan akar-akar syaraf
Piameter merupakan selaput tipis yang melekat pada permukaan otak
yang mengikuti setiap lekukan-lekukan pada sulkus-sulkus dan fisura-fisura, juga
melekat pada permukaan batang otak dan medula spinalis, terus ke kaudal sampai
ke ujung medula spinalis setinggi korpus vertebra. Arakhnoid mempunyai
banyak trabekula halus yang berhubungan dengan piameter, tetapi tidak
mengikuti setiap lekukan otak.
4. Cairan SerebroSpinal
Cairan serebrospinal yang berada di ruang subarakhnoid merupakan
salah satu proteksi untuk melindungi jaringan otak dan medula spinalis terhadap
trauma atau gangguan dari luar.
Pada orang dewasa volume intrakranial kurang lebih 1700 ml, volume
otak sekitar 1400 ml, volume cairan serebrospinal 52-162 ml (rata-rata 104 ml)
dan darah sekitar 150 ml. 80% dari jaringan otak terdiri dari cairan, baik ekstra
sel maupun intra sel.
Rata-rata cairan serebrospinal dibentuk sebanyak 0,35 ml/menit atau
500 ml/hari, sedangkan total volume cairan serebrospinal berkisar 75-150 ml
6. Refleks Spinal
7. Konsep Refleks
Refleks merupakan kejadian involunter dan tidak dapat dikendalikan
oleh kemauan. Tindakan refleks merupakan gerakan motorik involunter atau
respons sekretorik yang diperlihatkan jaringan terhadap stimulus sensorik, seperti
refleks menarik diri, bersin, batuk, dan mengedip (Sue Hinchlift).
Secara fisiologis dengan ringkas dapat dijelaskan bahwa suatu respons
refleks terjadi bila suatu otot rangka dengan persarafan untuk diregangkan, otot
ini akan kontraksi. Respons seperti ini disebut refleks regang. Rangsangan yang
membangkitkan refleks regang adalah regangan pada otot, dan responsnya adalah
kontraksi otot yang diregangkan itu. Reseptor refleks ini adalah kumparan otot
(muscle spindle). Impuls yang tercetus oleh kumparan otot dihantarkan ke SSP
melalui serat saraf sensorik penghantar cepat. Impuls kemudian diteruskan ke
neuron-neuron motorik yang mempersarafi otot yang teregang itu.
Neurotransmitter di sinaps pusat adalah glutamat.
Refleks-refleks regang merupakan refleks monosinaptik yang paling
banyak digunakan dalam pemeriksaan neurologis, seperti pada ketukan di tendon
patella yang akan membangkitkan refleks patella, yaitu refleks regang otot
quadriseps femoris, akibat ketukan pada tendon akan meregangkan otot.
Kontraksi serupa akan timbul bila otot quadriseps diregang secara manual
(Ganong, 1999).
Tahanan otot terhadap regangan kerap disebut tonus. Bila neuron
motorik ke suatu otot dipotong, otot itu memberikan tahanan yang lemah dan
disebut flaksid. Otot yang hipertonik (spastik) adalah otot yang mempunyai
tahanan yang tinggi terhadap regangan karena adanya refleks regang yang
hiperaktif. Diantara keadaan flaksid dan spastis terdapat area yang sering kali di
salah artikan sebagai area tonus normal. Otot umumnya hipotonik bila pelepasan
impuls eferennya rendah dan hipertonik bila tinggi.
Temuan lain yang khas untuk keadaan peningkatan impuls eferen
adalah klonus. Tanda neurologis ini merupakan peristiwa kontraksi otot yang
8. Saraf spinal
Saraf spinal pada manusia dewasa memiliki panjang sekitar 45 cm dan
lebar 14 mm. Pada bagian permukaan dorsal dari saraf spinal, terdapat alur yang
dangkal secara longitudinal di bagian medial posterior berupa sulkus dan bagian
yang dalam dari anterior berupa fisura.
Medula spinalis terdiri atas 31 segmen jaringan saraf dan masing-
masing memiliki sepasang saraf spinal yang keluar dari kanalis vertebralis
melalui foramen intervertebra (lubang pada tulang vertebra). Saraf-saraf spinal
diberi nama sesuai dengan foramen intervertebra tempat keluarnya saraf-saraf
tersebut, kecuali saraf servikal pertama yang keluar di antara tulang oksipital
dan vertebra servikal pertama
Tiga puluh satu pasang saraf spinal keluar dari medula apinalis dan
kemudian dari kolumna vertabalis melalui celah sempit antara ruas-ruas tulang
vertebra. Celah tersebut dinamakan foramina intervertebrelia. Seluruh saraf
spinal merupakan saraf campuran karena mengandung serat-serat eferen yang
membawa impuls baik sensorik maupun motorik. Mendekati medula spinalis,
serat-serat eferen memisahkan diri dari serat–serat eferen. Serat eferen masuk ke
medula spinalis membentuk akar belakang (radix dorsalis), sedangkan serat
eferen keluar dari medula spinalis membentuk akar depan (radix ventralis).
Setiap segmen medula spinalis memiliki sepasang saraf spinal, kanan dan kiri.
Secara fungsi, sumsum tulang belakang bekerja secara sadar dan tak sadar
(saraf otonom). Sumsum tulang belakang yang bekerja secara sadar di atur oleh
otak sedangkan sistem saraf tidak sadar (saraf otonom) mengontrol aktivitas yang
tidak diatur oleh kerja otak seperti denyut jantung, sistem pencernaan, sekresi
keringat, gerak peristaltic usus, dan lain-lain.
2.3 Penyebab atau Etiologi dan Faktor Resiko trauma Medula Spinalis
C. Patofisiologi
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma dapat menyebabkan
kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak
selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung
1. Fleksi
Trauma terjadi akibat fleksi dan disertai dengan sedikit kompresi pada
vertebra. Vertebra mengalami tekanan berbentuk remuk yang dapat
menyebabkan kerusakan atau tanpa kerusakan ligamen posterior. Apabila
terdapat kerusakan ligamen posterior, maka fraktur bersifat tidak stabil dan dapat
terjadi subluksasi
2. Fleksi dan rotasi
Trauma jenis ini merupakan suatu trauma fleksi yang bersama-sama
dengan rotasi. Terdapat strain dari ligamen dan kapsul, juga ditemukan fraktur
faset. Pada keadaan ini terjadi pergerakan kedepan/dislokasi vertebra di atasnya.
Semua fraktur dislokasi bersifat tidak stabil.
3. Kompresi Vertikal (aksial)
Suatu trauma vertikal yang secara langsung mengenai vertebra yang akan
menyebabkan kompresi aksial. Nukleus pulposus akan memecahkan permukaan
serta badan vertebra secara vertikal. Material diskus akan masuk dalam badan
vertebra dan menyebabkan vertebra menjadi rekah (pecah). Pada trauma ini
elemen posterior masih intak sehingga fraktur yang terjadi bersifat stabil
4. Hiperekstensi atau retrofleksi
Biasanya terjadi hiperekstensi sehingga terjadi kombinasi distraksi dan
ekstensi. Keadaan ini sering ditemukan pada vertebra servikal dan jarang pada
vertebra torako-lumbalis. Ligamen anterior dan diskus dapat mengalami
Efek pada jaringan saraf paling penting pada medula spinalis, ada
4 mekanisme yang mendasari:
1. Kompresi oleh tulang, ligamen, benda asing, dan hematoma. Keru
sakan paling berat disebabkan oleh kompresi tulang, kompresi dari
fragmen korpus vertebra yang tergeser ke belakang, dan cedera
hiperekstensi.
2. Tarikan/regangan jaringan: regangan yang berlebihan yang
menyebabkan gangguan jaringan biasanya setelah hiperfleksi.
Toleransi regangan pada mendula spinalis menurun sesuai dengan
usia yang bertambah.
3. Edema medula spinalis timbul segera dan menimbulkan gangguan
sirkulasi kapiler lebih lanjut serta aliran balik vena, yang menyertai
cedera primer.
4. Gangguan sirkulasi merupakan hasil kompresi oleh tulang atau str
uktur lain pada sistem arteri spinalis posterior atau anterior.
Menurut menurut ENA (2000 : 426), tanda dan gejala adalah sebagai
berikut:
1) Pernapasan dangkal
2) Penggunaan otot-otot pernapasan
3) Pergerakan dinding dada
4) Hipotensi (biasanya sistole kurang dari 90 mmHg)
5) Bradikardi
6) Kulit teraba hangat dan kering
7) Poikilotermi (Ketidakmampuan mengatur suhu tubuh, yang mana
suhu tubuh bergantung pada suhu lingkungan)
E. Prognosis
Pasien dengan cedera medula spinalis komplet hanya mempunyai harapan
untuk sembuh kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi selama 72 jam,
maka peluang untuk sembuh menjadi tidak ada. Jika sebagian fungsi sensorik
masih ada, maka pasien mempunyai kesempatan untuk dapat berjalan kembali
sebesar 50%. Secara umum, 90% penderita cedera medula spinalis dapat sembuh
dan mandiri
1. Sumsum tulang belakang memiliki kekuatan regenerasi.yang sangat
terbatas
2. Pasien dengan complete cord injury memiliki kesempatan recovery yang
sangat rendah, terutama jika paralysis berlangsung selama lebih dari
72 jam.
3. Prognosis jauh lebih baik untuk incomplete cord syndromes
4. Prognosis untuk cervical spine fractures and dislocations sangat bervariasi,
tergantung pada tingkat kecacatan neurologis
5. Prognosis untuk defisit neurologis tergantung pada besarnya
kerusakansaraf tulang belakang pada saat onset.
6. Selain disfungsi neurologis, prognosis juga ditentukan oleh pencegahandan
keefektifan pengobatan infeksi - misalnya, pneumonia, dan infeksisaluran
kemih.
7. Secara umum, sebagian besar individu mendapatkan kembali
beberapafungsi motorik, terutama dalam enam bulan pertama, meskipun
mungkinada perbaikan lebih lanjut yang perlu diamati diamati di tahun
akan dating.(Tidy, 2014)
Pemeriksaan Diagnostik
Rontgen foto
Pemeriksaan positif AP, lateral dan obliq dilakukan untuk menilai:
1. Diameter anteroposterior kanal spinal
2. Kontur, bentuk, dan kesejajaran vertebra
3. Pergerakan fragmen tulang dalam kanal spinal
4. Keadaan simetris dari pedikel dan prosesus spinosus
5. Ketinggian ruangan diskus intervertebralis
G. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Kedaruratan
Pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena
penatalaksanaan yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan
fungsi neurologik. Korban kecelakaan kendaraan bermotor atau kecelakaan
berkendara, Trauma olahraga kontak, jatuh, atau trauma langsung pada kepala
dan leher dan leher harus dipertimbangkan mengalami Trauma medula spinalis
sampai bukti Trauma ini disingkirkan.
1) Ditempat kecelakaan, korban harus dimobilisasi pada papan spinal
(punggung), dengan kepala dan leher dalam posisi netral, untuk
mencegah Trauma komplit.
2) Salah satu anggota tim harus menggontrol kepala pasien untuk
mencegah fleksi, rotasi atau ekstensi kepala.
3) Tangan ditempatkan pada kedua sisi dekat telinga untuk
mempertahankan traksi dan kesejajaran sementara papan spinalatau
alat imobilisasi servikal dipasang.
4) Paling sedikit empat orangharus mengangkat korban dengan hati-
hati keatas papan untuk memindahkan memindahkan kerumah sakit.
Adanya gerakan memuntir dapat merusak medula spinais ireversibel
yang menyebabkan fragmen tulang vertebra terputus, patah, atau
memotong medula komplit.
Penatalaksanaan medis
1. Terjadi dilakukan untuk mempertahankan fungsi neurologis yang
masih ada, memaksimalkan pemulihan neurologis, tindakan atau
cedera lain yang menyertai, mencegah, serta metu rnengobati
komplikasi dan kerusakan neurallebih lanjut. Reabduksi atau
sublukasi (dislokasi sebagian pada sendi di salah satu tulang-ed).
Untuk mendekopresi koral spiral dan tindakan imobilisasi tulang
belakang untuk melindungi koral spiral.
2. Operasi lebih awal sebagai indikasi dekompresi neural, fiksasi
internal,atau debridement luka terbuka.
3. Fiksasi internal elektif dilakukan pada klien dengan ketidak stabilan
tulang belakang, cedera ligamen tanpa fraktur, deformitas tulang
belakang, progresif, cedara yang tak dapat di reabduksi, dan fraktur
non-union.
4. Terapi steroid, nomidipin, atau dopamin untuk perbaikan aliran
darah koral spiral. Dosis tertinggi metil prednisolin/bolus adalah 30
mg/kg BB diikuti 5,4 mg/kgBB/jamberikutnya. Bila diberikan dalam
8 jam sejak cedera akan memperbaiki pemulihan neurologis.
Pencegahan.
Faktor – faktor resiko dominan untuk Trauma medula spinalis meliputi usia
dan jenis kelamin. Frekuensi dengan mana faktor- faktor resiko ini dikaitkan
dengan Trauma medula spinalisbertindak untuk menekankan pentingnya
pencegahan primer. Untuk mencegah kerusakan dan bencana ini , langkah-
langkah berikut perlu dilakukan :
1) Menurunkan kecepatan berkendara.
2) Menggunakan sabuk keselamatan dan pelindung bahu.
Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
Kaji keadaan umum (KU), tanda-tanda vital, adanya defisit neurologis,
dan status kesadaran pada fase awak kejadian trauma, terutama pada klien yang
diindikasikan cedera spinal tidak stabil. Setiap didapatkan adanya perubahan
pada KU, TTV, defisit neurologis, dan tingkat kesadaran secara bermakna harus
secepatnya dilakukan kolaborasi dengan dokter.
Gejala awal syok, klien mengalami paralisis, kehilangan refleks tendon
dan abdominal, refleks babinsky positif dan terjadinya retensi urine dan retensi
alvi, dapat pula diikuti syok. Apabila adanya kompresi korda penilaian fungsi
respirasi dimana kapasitas vital menurun. Dalam keadaan ini diperlukan intubasi
dan ventilasi mekanik. Kelumpuhan saraf perifer memerlukan evaluasi sampai
diputuskan untuk dilakukan operasi.
Klien dengan cedera spinal stabil, keadaan umum, TTV, defisit
neurologis, dan status kesadaran biasanya tidak mengalami perubahan.
Pada pengkajian fokus lihat adanya deformitas pada leher. Kaji adanya
memar (pada fase awal cedera) baik leher, muka, dan bagian belakang telinga.
Tanda memar pada wajah, mata atau dagu merupakan salah satu tanda adanya
cedera hiperekstensi pada leher. Memar pada muka atau abrasi dangkal pada dahi
menunjukkan adanya kekuatan yang menyebabkan hiperekstensi. Leher mungkin
berposisi miring atau klien dapat menyangga kepala dengan tangannya. Bila klien
terlentang, dada dan perut dapat diperiksa untuk mencari ada tidaknya cedera
yang menyertai. Kemudian tungkai dengan cepat diperiksa untuk mencari ada
tidaknya tanda-tanda defisit neurologis.
Untuk memeriksa punggung, klien diputar pada satu sisi dengan sangat
berhati-hati dengan menggunakan teknik log rolling (menggulingkan kayu).
Pada pemeriksaan primer pakaian klien tidak dilepas dan hanya diperiksa
dengan cara palpasi punggung. Pada pemeriksaan sekunder di rumah sakit,
pakaian perlu dibuka untuk menilai adanya kelainan pada punggung. Adanya
memar menunjukkan kemungkinan adanya tingkat cedera. Prosesus spinosus
A. Identitas
Trauma medula spinalis dapat terjadi pada semua usia dan jenis kelamin
meliputi nama, usia (kebanyakan terjadi pada. usia muda), jenis kelamin
(kebanyakan laki-laki karena sering mengebut saat mengendarai motor tanpa
pengaman helm), pendidikan, alamat,pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam
masuk rumah sakit (MRS), nomor register, dan diagnosis medis.
B. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan
kesehatan adalah nyeri, kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas, inkontinensia urine
F. Riwayat psiko-sosio
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai
respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran
klien dalam keluarga. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul
seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan citra tubuh). Adanya perubahan berupa paralisis anggota gerak bawah
I. Pengkajian Primer
1) Airway.
Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan
besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi
pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda
asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang
wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi
vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh
melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher.
Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil
merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung.
Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara
membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk
menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan
pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan
napas.
2) Breathing.
Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat.
Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai.
Jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi
yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi
endotrakheal.1,3,5,6,7,8.
Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan
fokus pemeriksaan B3 (Brain) dan B6 (Bone) yang terarah dan dihubungkan
dengan keluhan klien.
1. Pernapasan.
Perubahan sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf
parasimpatis (klien mengalami kelumpuhan otot-otot pernapasan) dan perubahan
4. Perkemihan
Kaji keadaan urine yang meliputi warna, jumlah, dan karakteristik urine,
termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi
cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal.
5. Pencernaan.
Pada keadaan syok spinal dan neuropraksia, sering dida-patkan adanya
ileus paralitik. Data klinis menunjukkan hilangnya bising usus serta kembung
dan defekasi tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari syok spinal yang
akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Pemenuhan nutrisi
berkurang karena adanya mual dan kurangnya asupan nutrisi.
6. Muskuloskletal.
Paralisis motor dan paralisis alat-alat dalam bergantung pada ketinggian
terjadinya trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi segmental
dari saraf yang terkena
Pemeriksaan Motorik
Paralisis motorik dan paralisis alat-alat dalam tergantung dari ketinggian
terjadinya trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi segmental
dari saraf yang terkena.
Pemeriksaan lokalis
Look. Adanya perubahan warna kulit, abrasi dan memar pada punggung.
Pada klien yang telah lama dirawat dirumah sering didapatkan adanya dekubitus
pada bokong. Adanya hambatan untuk beraktivitas karena kelemahan,
kehilangan sensorik, mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan
istirahat.
Feel. Prosesus spinosus dipalpasi untuk mengkaji adanya suatu celah yang
dapat diraba akibat sobeknya ligamentum posterior menandakan cedera yang
tidak stabil. Sering didapatkan adanya nyeri tekan pada area lesi
Move. Gerakan tulang punggung atau spinal tidak boleh dikaji. Disfungsi
motorik paling umum adalah kelemahan dan kelumpuhan pada seluruh
ekstremitas bawah. Kekuatan otot, pada penilaian dengan menggunakan derajat
kekuatan otot didapatkan.
Disfungsi C4
Respons nyeri
Nyeri akut
4 DS: Pasien mengatakan urine keluar menetes Kecelakaan kerja Gangguan
DO: Nyeri tekan pada abdomen dan keinginan pemenuhan
Cedera medula spinalis
kencing saat palpasi eliminasi urine
Kelumpuhan saraf
perkemihan
Hilangnya kontrol
pengiriman dari refleks
baroreseptor
Kelumpuhan gerak
ekstremitas bawah
Paraplegia
C. Intervensi
NOC NIC
1 Resiko pola nafas tidak afektif b/d Respiratory status : Airway Management
penurunan energi dalam bernafas. Ventilation Buka jalan nafas,
Respiratory status : Airway guanakan teknik chin
Definisi : Pertukaran udara inspirasi patency lift atau jaw thrust bila
dan/atau ekspirasi tidak adekuat Vital sign Status perlu
Kriteria Hasil : Posisikan pasien untuk
Batasan karakteristik : - Mendemonstrasikan batuk memaksimalkan
- Penurunan tekanan efektif dan suara nafas yang ventilasi
inspirasi/ekspirasi bersih, tidak ada sianosis
dan dyspneu (mampu
Analgesic
Administration
- Tentukan lokasi,
karakteristik,
kualitas, dan
derajat nyeri
sebelum pemberian
obat
- Cek instruksi
dokter tentang jenis
obat, dosis, dan
frekuensi
- Cek riwayat alergi
- Pilih analgesik
yang diperlukan
atau kombinasi
dari analgesik
ketika pemberian
lebih dari satu
- Tentukan pilihan
analgesik tergantung
tipe dan beratnya
nyeri
- Tentukan analgesik
pilihan,
rute pemberian, dan
dosis optimal
- Pilih rute pemberian
secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri
secara teratur
- Monitor vital sign
sebelum dan
sesudah pemberian
analgesik pertama
kali
- Berikan analgesik
tepat waktu
terutama saat nyeri
hebat
- Evaluasi efektivitas
analgesik, tanda dan
PENUTUP
Kesimpulan
Brunner and Suddarth, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8,
volume 2. Jakarta : EGC.
Guyton, Arthur. 1990. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi 3,
Jakarta : EGC
Laurralee Sherwood. .2001. Fisiologi Manusia. Edisi 2, Jakarta : EGC
Sylvia and Lorraine. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit. Edisi
6, volume 2. Jakarta : EGC.
W.F.Ganong. 2005. Buku ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: EGCs
Hudak and Gallo, (1994), Critical Care Nursing, A Holistic Approach, JB
Lippincott company, Philadelpia.
Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM, (2000), Rencana Asuhan
Keperawatan, pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian
perawatan pasien, EGC, Jakarta.
Reksoprodjo Soelarto, (1995), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Binarupa
Aksara, Jakarta.
Suddarth Doris Smith, (1991), The lippincott Manual of Nursing Practice, fifth
edition, JB Lippincott Company, Philadelphia.