Anda di halaman 1dari 8

ABSTRAK

DEKONSTRUKSI SASTRA TRADISIONAL SEBAGAI UPAYA PENANAMAN NILAI


KEBUDAYAAN DI ERA GLOBAL

Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan, 35 provinsi yang ada di Indonesia
memiliki keanekaragaman dan kekhasan tersendiri. Keragaman tersebut berupa rumah adat, lagu
daerah, tari, bahasa, dan bahkan sastra. Sebagai generasi muda, sangat penting untuk kita
mengetahui dan memahami akan kekayaan budaya tersebut. Seiring perkembangan zaman
dengan masuknya arus globalisasi ke Indonesia, dapat melunturkan bahkan menghilangkan ciri
khas kedaerahan. Sastra memiliki peran penting dalam menanamkan nilai-nilai kebudayaan.
Budaya merupakan bagian vital suatu bangsa, jika budayanya hilang maka akan rusak pula moral
bangsa tersebut. Nilai-nilai kebudayaan yang mulai pudar tersebut dapat ditanam kembali
melalui dekonstruksi sastra tradisional. Karena sastra dapat menjadi sumber spirit bagi
munculnya gerakan perubahan masyarakat, bahkan kebangkitan suatu bangsa ke arah yang lebih
baik, dan terbebas dari segala bentuk penjajahan.

Kata Kunci: Dekonstruksi, Sastra Tradisional, Budaya, Era Global


PENDAHULUAN

Arus gobalisasi membawa kearah yang lebih maju bagi kehidupan manusia. Disisi lain
arus globalisasi telah membawa dampak negatif terhadap kebudayaaan Indonesia. Mudahnya
akses untuk menjangkau segala hal berdampak pada generasi muda yang saat ini lebih menerima
kebudayaan serapan dari berbagai belahan dunia, sehingga budaya lokal yang ada termasuk
didalamnya sastra perlahan mulai ditinggalkan. Dampak globalisasi ini diantaranya yaitu
menurunnya rasa cinta tanah air, merubah gaya hidup, mengurangi kepedulian terhadap sesama
dan lain sebagainya. Maka perlu adanya pemahaman budaya secara mendalam di era globalisasi
ini, yang diharapkan tetap mampu menanamkan nilai-nilai kebudayaan disetiap elemen
kehidupan.

Budaya berarti pikiran, akal budi:hasil, adat istiadat, sesuatu mengenai kebudayaan yang
sudah berkembang (beradab, maju), sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah
(KBBI Offline). Penurunan rasa cinta tanah air, perubahan gaya hidup, kurangnya kepedulian
terhadap sesama merupakan contoh dari persoalan bangsa yang terjadi saat ini. Hal ini sebagai
akibat karena persoalan kebudayaannya. Karena kebudayaan sebagai sebuah sistem nilai,
memerlukan wadah kebangsaan yang utuh dan bersatu, lengkap dengan tanah air dan negaranya
untuk dikembangkan bagi pemberdayaan masyarakat (Ahmadun, 2008). Menurut Marthin
Luther King, Intelligence plus character, that is the true aim of education. Keberhasilan suatu
bangsa dalam memperoleh tujuannya tidak hanya ditentukan sumber daya alam yang melimpah,
tetapi sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya (Abdul Majid dan Dian
Andayani, 2013:2).

Dalam menanamkan nilai kebudayaan, haruslah dimulai dengan hal yang menarik dan
menyesuaikan karakteristik serta keadaan yang terjadi. Sehingga sebagai bagian dari
penyesuaian terhadap era globalisasi yang ada, penanaman nilai kebudayaan dapat dilakukan
melalui dekonstruksi sastra tradisional. Karena sastra tradisional sendiri mendominasi karya
sastra yang ada di Indonesia, setiap daerah diwilayah Indonesia memiliki sastra tradisional,
dengan tetap menanamkan nilai kebudayaan yang dibutuhkan masyarakat sastra dapat dikemas
dengan sedemikian rupa. Peran sastra sering berevolusi sesuai kebutuhan masyarakat. Apa yang
sedang dibutuhkan masyarakat sastra memberikannya. Karena sastra sebagai media pencerahan
dan pencerdasan masyarakat (Ahmadun, 2008). Karakteristik sastra tradisional menurut Mithcell
(2003:228) pada umumnya menampilkan tokoh yang bersifat sederhana dan stereotip (flat and
stereotypical characters) yang mempersentasikan kualitas sifat kemanusiaan tertentu. Selain itu
cerita traditional hadir untuk memberikan pengajaran sebab masyarakat pada zaman dahulu
menjadikan sarana lisan yang bergerak dari mulut kemulut merupakan sarana terpenting untuk
menyampaikan sesuatu kepada orang lain.
PEMBAHASAN

A. Nilai Kebudayaan di Era Global

Budaya daerah merupakan hal yang harus diperhatikan, terutama memasuki era
globalisasi saat ini. Budaya tepatnya adalah sebuah kata benda kolektif yang digunakan
untuk mendefinisikan ranah dan lingkungan umat manusia yang menandai ontologinya
secara jelas dan terpisah dari lingkungan yang bersifat semata-mata fisik alamiah (Jenks,
2013:4). Budaya berkembang di dalam masyarakat sebagai wujud perilaku yang membentuk
suatu kebiasaan. Kedudukan nilai dalam setiap kebudayaan sangatlah penting, maka pemahaman
tentang sistem nilai budaya dan orientasi nilai budaya sangat penting dalam konteks pemahaman
perilaku suatu masyarakat dan sistem pendidikan yang digunakan untuk menyampaikan sistim
perilaku dan produk budaya yang dijiwai oleh sistim nilai masyarakat yang bersangkutan. Edi
Sedyawati (1994:8) menyatakan bahwa budaya daerah sebagai warisan budaya bangsa itulah
yang membuat suatu budaya bangsa mempunyai akar. Haviland (1988:223) juga menyatakan
bahwa budaya tradisi (daerah) dapat menentukan norma untuk perilaku yang teratur, serta
kesenian verbal pada umumnya meneruskan kebiasaan dan nilai-nilai budaya daerah (bangsa).

Setiap bentuk budaya daerah dapat menambah eratnya ikatan solidaritas masyarakat yang
bersangkutan. Bascom (Danandjaja, 1997:19) menyatakan, ada empat peranan budaya daerah
yakni: (a) sebagai sistem proyeksi (projective system) adalah pencerminan angan-angan suatu
kolektif, (b) sebagai pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (c) sebagai
alat pendidikan anak (pedagogical device), dan (d) sebagai alat kontrol agar norma-norma
masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.

Di era globalisasi, sangatlah rentan terhadap lunturnya nilai-nilai kebudayaan, maka


perlua adanya gagasan dan inovasi untuk dapat mempertahankan nilai-nilai tersebut, sebagai
bentuk upaya kepedulian kita terhadap budaya bangsa. Maka pemanfaatan keberadaan karya
sastra sebagai dokumentasi kebudayaan merupakan hal yang sangat efektif, dengan menawarkan
inovasi dan gagasan baru yaitu dengan dekonstruksi pada sastra tradisonal.

B. Dekonstruksi Sastra Tradisional

Secara umum kesastraan menurut Stewig (1980:160-1), dapat dibedakan dalam dua
kategori, yaitu (i) sastra rekaan (composed literature) dan (ii) sastra tradisional (traditional
literature). Sastra Tradisional(traditional literature) merupakan suatu bentuk ekspresi
masyarakat pada masa lalu yang umumnya disampaikan secara lisan (Mitchell, 2003:228).
Penyampaian sastra tradisional secara lisan tersebut terjadi secara turun temurun, sehingga tidak
bisa dipungkiri akan ditemukannya perubahan pada sastra tradisional dikarenakan para pencerita
dapat menambah atau mengurangi, adanya penambahan secara disengaja maupun tidak
menimbulkan cerita yang bervariasi walau berangkat dari kisah yang sama. Adapun karakteristik
sastra tradsional antara lain adalah:

1. Pada umumnya tidak diketahui pengarangnya karena kemunculannyapun tidak disengaja


dan berlangsung dari waktu kewaktu, dan tidak sekaligus seperti halnya penulisan sastra
dewasa ini
2. Pada umumnya berupa cerita traditional
3. Sastra traditional merupakan milik masyarakat.
4. Merupakan sebuah warisan sastra anak yang berharga dan menjadi dasar pemahaman
seluruh kesastraan.
5. Bersifat traditional karena hanya diwariskan secara lisan, dan bersifat personal karena
tiap pencerita memiliki kebebasan untuk memilih berbagai bentuk kebahasaan sesuai
dengan seleranya.
6. Karena hanya diwariskan secara lisan, sastra tradirional dapat berubah-ubah dalam arti
para pencerita yang dapat kemudian menambah atau mengurangi( dapat karena lupa atau
disengaja) sebagian dari cerita.
7. Menurut Mitthcell (2003:228) cerita-cerita traditional pada umumnya menampilkan
tokoh yang bersifat sederhana dan stereotip (flat and stereotypical characters) yang
mempersentasikan kualitas sifat kemanusiaan tertentu.
8. Dilihat dari segi alur cerita traditional pada umumnya bersifat linear dan hanya
menampilkan satu jalinan kisah.
9. Pengaluran cerita traditional bersifat sederhana.
10. Mencerminkan kondisi kehidupan sosial budaya masyarakat pendukungnya
11. Cerita traditional hadir untuk memberikan pengajaran sebab masyarakat pada zaman
dahulu menjadikan sarana lisan yang bergerak dari mulut kemulut merupakan sarana
terpenting untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain.
12. Cerita tradisional pada umumnya kurang atau tidak masuk akal, namun begitulah cara
orang dahulu memaknai kehidupan dan dunia.
13. Cerita traditional merupakan akar dari kata-kata dan dunia kita.

Menurut Mitchell (2003:228) cerita-cerita tradisional pada umumnya menampilkan tokoh


yang bersifat sederhana dan stereotip yang mempresentasikan kualitas sifat kemanusiaan
tertentu. Dilihat dari segi alur, cerita tradisional pada umumnya bersifat linear dan hanya
menampilkan satu jalinan kisah. Jadi sama halnya dengan penokohan, pengaluran cerita
tradisional juga bersifat sederhana. Selain itu di sana-sini di sela-sela alur cerita juga lewat
karakter tokoh diselipi dengan pesan-pesan moral dan pandangan tentang kebenaran
(Nurgiyantoro, 2005). Derasnya arus globalisasi yang terjadi saat ini, mulai melunturkan
pengetahuan dan pemahaman terhadap sastra tradisional yang ada, padahal sastra tradisional
memegang peranan penting baik secara eksistensi, penyampai nilai moral dan lain sebagainya.

Sastra tradisional merupakan suatu bentuk tuturan yang muncul dan berkembang(secara
turun temurun) secara tidak sengaja untuk mengungkapkan berbagai gagasan yang sudah muncul
sebelumnya yang pada umumnya lebih dimaksudkan sebagai sarana untuk memberikan pesan
moral(Nurgiyantoro, 2005). Sastra tradisional berkembang dan menjadi tradisi lisan yang turun
temurun, dalam hal ini Dan Andjaja (1997:22) mengklasifikasi tradisi lisan men-jadi enam
bentuk, yakni: (a) bahasa rakyat,(b) ungkapan tradisional, (c) pernyataan tradisional, (d) sajak
dalam puisi rakyat, (e)cerita prosa rakyat, dan (f) nyanyian rakyat.

Cerita rakyat merupakan salah satubentuk sastra tradisional yang termasuk kedalam
tradisi lisan (folklore) yang ada dalam masyarakat Indonesia yang berpengaruh terhadap
perubahan sosial masyarakat pendukungnya. Di dalam cerita rakyat acapkali terefleksikan
fenomena sosial masyarakatnya. Dari berbagai bentuk tradisi lisan yang ada Prosa rakyatlah
yang paling banyak berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakatnya. Menurut Bascom
(Danandjaja, 1997:50), cerita prosa itu pun kemudian diklasifikasi lagi menjadi (a) mite (myth),
(b) legenda (legend), dan dongeng (folklore). Cerita rakyat tersebut tersebar diseluruh penjuru
Indonesia. Contoh di tanah jawa kita mengenal Wali Sanga, Jayaprana dalam masyarakat Bali
dan lain sebagainya.

Besarnya pengaruh dari tradisi lisan atau cerita rakyat tersebut untuk pendidikan moral,
sebagai budaya daerah maka perlu adanya pelestarian dan pengembangan. Pelestarian tidaklah
diberi arti 'tetap seperti keadaannya semula, tidak berubah, kekal(sebagaimana yang masih
sangat dominan diartikan selama ini). Perlu disadari bahwa dalam konsep pelestarian itu
sebenarnya terkandung juga pengertian kesinambungan dan perubahan (continuity and change)
(Singleton, 1974:29). Pelestarian dan perubahan ini dapat disangkutkan dengan Pernyataan
Herskovits (1956:18) mengenai salah satu karakteristik dasar dari budaya (essential natura of
culture) bahwa paradoks yang selalu ada di dalam diri budaya itu sendiri yaitu: “Culture is
stable,yet culture is also dynamic, and manifestscontinuous and constant change”.Maksudnya,
suatu budaya memiliki dalam dirinya sekaligus keadaan lestari (stable) dan keadaan senantiasa
berubah (ever-change).

Maka penyesuaian sastra tradisional di era global dapat dilakukan dengan adanya
perubahan atau dekonstruksi, yang semata mata bukan untuk menghilangkan nilai asli yang
terkandung namun sebagaai upaya agar generasi bangsa ini lebih mengenali, memahami dan
menghayati budaya sendiri. Dengan demikian generai ini akan memiliki jati diri, terlepas dari itu,
yang terjadi saat ini banyak generasi muda yang menggandrungi budaya asing dan tampak
kehilangan jati dirinya. fakta yang ada saat ini para generasi muda telah berkiblat pada tokoh
tokoh idola asing dan begitu saja melupakan tokoh dalam budayanya sendiri, juga pesan moral
dan nilai budaya adiluhungnya. Sehingga keironisan yang banyak terjadi yaitu hidup didaerah
dengan jati diri asing.

C. Pemanfaatan Peran Dekonstruksi Sastra Tradisional Sebagai Upaya Penanaman Nilai


Kebudayaan di Era Global
Di era globalisasi kebudayaan dewasa ini, semua pengaruh kebudayaan asing ini
merupakan kenyataan yang tidak terhindarkan. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain kecuali
memperkuat posisi tradisi budaya lokal bangsa kita sendiri agar dalam menghadapi aneka
pengaruh budaya asing dan dapat terbuka adanya akulturasi yang seimbang. Bangsa kita tidak
boleh dibiarkan tercerabut dari akar budayanya sendiri karena harus melayani pengaruh budaya
asing yang sangat dominan dan hegemoni. Untuk itu, diperlukan upaya sengaja untuk melakukan
revitalisasi aneka adat istiadat dan tradisi budaya lokal dalam menghadapi arus pengaruh budaya
asing tersebut.

Dekonstruksi dilakukan dengan menawarkan pegembangan bagi cerita cerita tradisional


sebagai penawaran dan inovasi atas bentuk revitalisasi nilai kebudayaan melalui sastra
tradisional. Dekonstruksi dikemukakan oleh Jacques Derrida, seorang filsuf Prancis yang lahir di
Aljazair pada tahun 1930. Secara leksikal prefiks ‘de’ berarti penurunan, pengurangan,
penokohan, penolakan. Jadi, dekonstruksi dapat diartikan sebagai cara-cara pengurangan
terhadap konstruksi, yaitu gagasan. Menurut Kristeva (1980:36-37) menjelaskan bahwa
dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat destruktif dan konstruktif. Dekonstruksi adalah
cara membaca teks, sebagai strategi. Dekonstruksi tidak semata-mata ditunjukkan terhadap
tulisan, tetapi semua pernyataan kultural sebab keseluruhannya pernyataan tersebut adalah teks
yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan
tujuan-tujuan tertentu.

Penyesuaian sastra tradisional dalam pembelajaran diharapkan dapat diintegrasikan


dengan metode dan strategi pembelajaran disekolah. Metode yang dilakukan bermediakan
legenda, foklor, mitos dan lainnya. Gerlach & Ely (1971) dalam Azhar Arsyad (2014: 3)
mengatakan bahwa media adalah manusia, materi atau kejadian yang membangun kondisi yang
membuat peserta didik mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan atau sikap. Dalam proses
pembelajaran, media sering diartikan sebagai alat-alat grafis, photografis atau elektronis untuk
menangkap, memproses dan menyusun kembali informal visual atau verbal. Dengan media
tersebut peserta didik akan terbiasa dengan budaya yang disalurkan melalui sastra.

PENUTUP
Kesimpulan

Arus gobalisasi membawa kearah yang lebih maju bagi kehidupan manusia. Disisi lain
arus globalisasi telah membawa dampak negatif terhadap kebudayaaan Indonesia. Mudahnya
akses untuk menjangkau segala hal berdampak pada generasi muda yang saat ini lebih menerima
kebudayaan serapan dari berbagai belahan dunia, sehingga budaya lokal yang ada termasuk
didalamnya sastra perlahan mulai ditinggalkan. Peranan sastra tradisional dapat dimanfaatkan
sebagai penanaman kembali nilai kebudayaan khususnya melalui dekonstruksi sastra tradisional.
Dekonstruksi Sastra tradisional memiliki menawarkan cara yang berbeda dalam menyesuaikan
penanaman kembali nilai kebudayaan, karena pada dasarnya semua daerah di Indonesia memiliki
sastra tradisional yang berbeda beda. Penerapan yang dilakukan dapat dilakukan di kelas oleh
para guru sebagai bahan ajar atau melalui sumber belajar yang dapat diakses secara luas.
Sehingga dengan penerapan secara formal di sekolah dapat menciptakan generasi penerus bangsa
yang tidak hanya mengetahui budayanya namun memahai dan menerapkan nilai nilainya.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Fayyadl, Muhammad. Derrida. 2011. Yogyakarta: LkiS Printing Cemerlang.

Arsyad, Azhar. 2014. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja grafindo Persada.

Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia: Ilmu Gosif, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti.

Efendi, Anwar. 2008. Bahasa dan sastra dalam berbagai perspektif. Yogyakarta: Tiara wacana.

Herfanda, Ahmadun Yosi, dkk. 2008. Komunitas Sastra Indonesia: Catatan Perjalanan.
Tangerang: Komunitas Sastra Indonesia.

Majid, Abdul dan Dian Andayani. 2013. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung:
Rosdakarya.
Nurgiantoro, Burhan. 2005. Sastra anak. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Anda mungkin juga menyukai