Anda di halaman 1dari 11

Perdarahan gastrointestinal bgn atas

Hematemisis adalah muntah darah. Sedangkan melena adalah pengeluaran feses yang
berwarna hitam seperti ter yang disebabkan oleh adanya perdarahan saluran cerna
bagian atas (Tondobala, 1987 dalam Suparman, 1993).

Warna darah, tergantung:

 Lamanya hubungan antara atau kontak antara darah dengan asam lambung
 Besar kecilnya perdarahan,

Sehingga dapat berwarna seperti kopi, kemerah-merahan dan bergumpal-gumpal.

Hematemisis Melena
 Terjadi bila perdarahan dibagian  Dapat terjadi tersendiri atau bersama-
proksimal jejunum (Tondobala, sama dengan hematemisis.
1987) atau di atas ligamen Treitz
/pada jungsi denojejunal (Hudak &  Paling sedikit terjadi perdarahan
Gallo, 1996) sebanyak 50-100 mL, baru dijumpai
keadaan melena.

PENYEBAB PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS

 Kelainan esophagus: varises, esophagitis, keganasan


 Kelainan lambung dan duodenum: tukak lambung & duodenum, keganasan, dll
 Penyakit darah: leukemia, DIC, purpura trombositopenia, dll.
 Penyakit sistemik lainnya: uremia, dll
 Pemakaian obat yang ulserogenik: golongan salisilat, kortikosteroid, alkohol, dll

Penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas terbanyak di Indonesia adalah karena
pecahnya varises esophagus, dengan rata-rata 45-50% seluruh perdarahan saluran cerna
bagian atas (Hilmy, 1971: 58%; Soemomarto, 1981: 60%; Abdurrahman: 50%; Hernomo,
1981: 44,8%; dan Ali: 57,43% seperti dikutip Tondobala, 1987 dalam Suparman, 1993)

PATOFISIOLOGI

Pada gagal hepar sirosis kronis, kematian sel dalam hepar mengakibatkan
peningkatan tekanan vena porta. Sebagai akibatnya terbentuk saluran
kolateral dalam submukosa esopagus dan rektum serta pada dinding
abdomen anterior untuk mengalihkan darah dari sirkulasi splenik
menjauhi hepar. Dengan meningkatnya teklanan dalam vena ini, maka
vena tsb menjadi mengembang dan membesar (dilatasi) oleh darah
(disebut varises). Varises dapat pecah, mengakibatkan perdarahan
gastrointestinal masif. Selanjutnya dapat mengakibatkan kehilangan
darah tiba-tiba, penurunan arus balik vena ke jantung, dan penurunan
curah jantung. Jika perdarahan menjadi berlebihan, maka akan
mengakibatkan penurunan perfusi jaringan. Dalam berespon terhadap
penurunan curah jantung, tubuh melakukan mekanisme kompensasi
untuk mencoba mempertahankan perfusi. Mekanisme ini merangsang
tanda-tanda dan gejala-gejala utama yang terlihat pada saat pengkajian
awal. Jika volume darah tidak digantikan , penurunan perfusi jaringan
mengakibatkan disfungsi seluler. Sel-sel akan berubah menjadi
metabolsime anaerobi, dan terbentuk asam laktat. Penurunan aliran darah
akan memberikan efek pada seluruh sistem tubuh, dan tanpa suplai
oksigen yang mencukupi sistem tersebut akan mengalami kegagalan.

PENATALAKSANAAN

1. Penatalaksanaan kolaboratif

Intervensi awal mencakup 4 langkah: (a) kaji keparahan perdarahan, (b) gantikan cairan
dan produk darah untuk mnengatasi shock, (c) tegakan diagnosa penyebab perdarahan
dan (d) rencanakan danlaksanakan perawatan definitif.

a. Resusitasi Cairan dan Produk Darah:

 Pasang akses intravena dengan kanul berdiameter besar

 Lakukan penggantian cairan intravena: RL atau Normal saline

 Kaji terus tanda-tanda vital saat cairan diganti

 Jika kehilangan cairan > 1500 ml membutuhkan penggantian darah selain


cairan. Untuk itu periksa gol darah dan cross-match

 Kadang digunakan obat vasoaktif sampai cairan seimbang untuk


mempertahankan tekanan darah dan perfusi orghan vital, seperti: dopamin,
epineprin dan norefineprin untuk menstabilkan pasien sampai dilakukan
perawatan definitif.

b. Mendiagnosa Penyebab Perdarahan

 Dilakukan dengan endoskopi pleksibel

 Pemasangan selang nasogastrik utuk mengkaji tingkat perdarahan (tetapi


kontroversial)

 Pemeriksaan barium (double contrast untuk lambung dan duodenum.


 Pemeriksaan tsb dilakukan pada berbagai posisi terutama pada 1/3 distal
esopagus, kardia dan fundus lambung untuk mencari ada tidaknya varises,
sedini mungkin setelah hematemisis berhenti.

 Angiografi (jika tidak terkaji dengan endoskofi)

c. Perawatan Definitif

(1) Terapi Endoskofi

 Skleroterapi, menggunakan pensklerosis: natrium morrhuate atau


natrium tetradesil sulfat. Agen ini melukai endotel
menyebabkan nekrosis dan akhirnya mengakibatkan sklerosis
pembuluh yang berdarah.

 Endoskopi tamponade termal mencakup probe pemanas,


fotokoagulasi laser dan elektrokoagulasi.

(2) Bilas Lambung

 Dilakukan selama periode perdarahan akut (kontroversial, karena


mengganggu mekanisme pembekuan normal. Sebagian lain
meyakini lambung dapat membantu membersihkan darah
dalam lambung, membantu mendiagnosis penyebab perdarahan
selama endoskofi)

 Jika dinstruksikan bilas lambung maka 1000-2000 ml air atau


normal salin steril dalam suhu kamar dimasukan dengan
menggunakan NGT. Kemudian dikeluarkan kembali dengan
spuit atau dipasang suction sampai sekresi lambung jernih.

 Bilas lambung pakai es tidak dianjurkan  mengakibatkan


perdarahan

 Irigasi lambung dengan cairan normal saline levarterenol agar


menimbulkan vasokontriksi. Setelah diabsorbsi lambung obat
dikirim melalui sistem vena porta ke hepar dimana
metabolisme terjadi, sehingga reaksi sistemik dapat dicegah.
Pengenceran biasanya menggunakan 2 ampul dalam 1000 ml
larutan.

 Pasien berresiko mengalami apsirasi lambung karena


pemasangan NGT dan peningkatan tekanan intragastrik karena
darah atau cairan yang digunakan untuk membilas. Pemantauan
distensi lambung dan membaringkan pasien dengan kepala
ditinggikan penting untuk mencegah refluk isi lambung. Bila
posisi tsb kontraindikasi, maka diganti posisi dekubitus lateral
kanan—memudahkan mengalirnya isi lambung melewati
pilorus.

(3) Pemberian Pitresin

 Dilakukan bila dengan bilas lambung atau skleroterapi tidak


menolong, maka diberikan vasopresin (Pitresin) intravena.

 Obat ini menurunkan tekanan vena porta dan oleh karenanya


menurunkan aliran darah pada tempat perdarahan

 Dosis 0,2-0,6 unit permenit. Karena vasokontsriktor maka harus


diinfuskan melalui aliran pusat.

 Hati-hati karena dapat terjadi hipersensitif

 Mempengaruhi output urine karena sifat antidiuretiknya.

(4) Mengurangi Asam Lambung

 Turunkan keasaman sekresi lambung, dengan obat histamin (H2)


antagonistik, contoh: simetidin (tagamet), ranitidin
hidrokloride (zantac) dan famotidin (pepcid)

 Dosis tunggal dapat menurunkan sekresi asam selama hampir 5


jam.

 Ranitidin iv: 50 mg dicairkan 50 ml D5W setiap 6 jam. Simetidin


iv: 300 mg dicairkan dalam dosis intermiten 300 mg dicairkan
dalam 50 mg D5W setiap 6 jam atau sebagai infus intravena
kontinu 50 mg/jam. Hasil terbaik dicapai jika pH lambung 4
dapat dipertahankan.

 Antasid juga biasanya diberikan

(5) Memperbaiki Status Hipokoagulasi

 Pemberian vitamin K dalam bentuk fitonadion (aquaMephyton)


10 mg im atau iv dengan lambat untuk mengembalikan masa
protrombin menjadi normal.

 Dapat pula diberikan plasma segar beku.

(6) Balon Tamponade


Terdapat bermacam balon tamponade antara lain Tube Sangstaken-
Blakemore, Minnesota, atau Linton-Nachlas. Alat ini untuk
mengontrol perdaraghan GI bagian atas karena varises esophagus.

Tube Sangstaken-Blakemore mengandung 3 lumen: (1) balon


gastrik yang dapat diinflasikan dengan 100-200 mL udara, (2) balon
esopagus yang dapat diinflasikan dengan 40 mm Hg (menggunakan
spigmomanometer) dan lumen yang ke (3) untuk mengaspirasi isi
lambung.

Tube Minnesota, mempunyai lumen tambahan dan mempunyai


lubang untuk menghisap sekresi paring. Sedangkan tube Linton-
Nachlas terdiri hanya satu balon gaster yang dapat diinflasikan dengan
500-600 mL udara. Terdapat beberapa lubang/bagian yang terbuka
baik pada bagian esophagus maupun lambung untuk mengaspirasi
sekresi dan darah.

 Tube/slenag Sangstaken-Blakemore setelah dipasang didalam


lambung dikembangkan dengan udara tidak lebih dari 50 ml

 Kemudian selang ditarik perlahan sampai balon lambung pas


terkait pada kardia lambung.

 Setelah dipastikan letaknya tepat (menggunakan pemeriksaan


radiografi), balon lambung dpat dikembangkan dengan 100-
200 mL udara.

 Kemudian selang dibagian luar ditraksi dan difiksasi.

 Jika perdarahan berlanjut balon esopagus dapat dikembangkan


dengan tekanan 250 40 mm Hg (menggunakan
spigmomanometer) dan dipertahankan dalam 24-48 jam. Jika
lebih lama depat menyebabkan edema, esopagitis, ulserasi atau
perforasi esopagus.

 Hal yang penting dilakukan saat menggunakan balon ini adalah


observasi konstan dan perawatan cermat, dengan
mengidentifikasi ketiga ostium selang, diberi label dengan
tepat dan diperiksa kepatenannya sebelum dipasang.

(7) Asuhan Keperawatan

 Pasien dipertahankan istirahat sempurna, karena gerakan seperti


batuk, mengejan meningkatkan tekanan intra abdomen (tib)
shg dapat terjadi perdarahan lenjut.
 Bagian kepala tempat tidur tetap ditinggikan untuk mengurangi
aliran darah ke sistem porta dan mencegah refluk ke dalam
esopagus.

 Karena pasien tdk dapat menelan saliva harus sering di suction


dari esopagus bagian atas

 Nasoparing harus sering sisuction karena peningkatan sekresi


akiat iritasi oleh selang

 NGT harus diirigasi setiap 2 jam untuk memastikan


kepatenannya dan menjaga agar lambung tetap kosong.

 Lubang hidung harus sering diperiksa, dibersihkan dan diberi


pelumas untuk mencegah area penekanan yang disebabkan
selang.

 Jangan membiarkan darah berada dalam lambung karena akan


masuk ke intestin dan bereaksi dengan bakteri menghasilkan
amonia, yang akan diserap ke dalam aliran darah. Sementara
kemapuan hepar untuk merubah amonia menjadi urea rusak,
dan dapat terjadi intoksikasi amonia.

(8) Terapi Pembedahan

 Reseksi lambung (antrektomi)

 Gastrektomi

 Gastroentrostomi

 Vagotomi

Billroth I : prosedur yang mencakup vagotomi dan antrektomi dengan

anastomosis lambung pada duodenum.

Billroth II : meliputi vagotomi, reseksi antrum dan anastomosis


lambung pada jejunum

 Operasi dekompresi hiertensi porta

2. Penatalaksanaan keperawatan

2.1. Pengkajian
a. Anamnesis, Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium

Anamnesis: perlu ditanyakan tentang:

 Riwayat penyakit dahulku: hepatitis, penyakit hati menahun,


alkohlisme, penyakit lambung, pemakaian obat-obat
ulserogenikdan penyakit darah seperti leuikemia, dll.

 Pada perdarahan karena pecahnya varises esophgaus, tidak


ditemukan keluhan nyeri atau pedih di daerah epigastrium

 Tanda-gejala hemel timbul mendadak

 Tanyakan prakiraan jumlah darah: misalnya satu gelas, dua gelas


atau lainnya.

Pemeriksaan Fisik:

 Keadaan umum

 Kesadaran

 Nadi, tekanan darah

 Tanda-tanda anemia

 Gejala hipovolemia

 Tanda-tanda hipertensi portal dan sirosis hati: spider nevi,


ginekomasti, eritema palmaris, capit medusae, adanya kolateral,
asites, hepatosplenomegali dan edema tungkai.

Laboratorium:

 Hitung darah lengkap: penurunan Hb, Ht, peningkatan leukosit

 Elektrolit: penurunan kalium serum; peningkatan natrium, glukosa


serum dan laktat.

 Profil hematologi: perpanjangan masa protrombin, tromboplastin

 Gas darah arteri: alkalosis respiratori, hipoksemia.

b. Pemeriksaan Radiologis
 Dilakukan dengan pemeriksaan esopagogram untuk daerah esopagus
dan double contrast untuk lambung dan duodenum.

 Pemeriksaan tsb dilakukan pada berbagai posisi terutama pada 1/3


distal esopagus, kardia dan fundus lambung untuk mencari ada
tidaknya varises, sedini mungkin setelah hematemisis berhenti.

c. Pemeriksaan Endoskopi

 Untuk menentukan asal dan sumber perdarahan

 Keuntungan lain: dapat diambil foto, aspirasi cairan dan biopsi untuk
pemeriksaan sitopatologik

 Dilakukan sedini mungkin setelah hematemisis berhenti.

2.1. Diagnosa Keperawatan

1) Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah akut,


penggantian cepat volume dengan cairan kristaloid.

2) Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan kapasitas


angkut oksigen dan faktor-faktor resiko aspirasi.

3) Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan aliran intravena

4) Ansietas berhubungan dengan sakit kritis, ketakutan akan kematian


ataupun

kerusakan bentuk tubuh, perubahan peran dalam lingkup sosial atau

ketidakmampuan yang permanen.

2.2. Intervensi Keperawatan

Diagnosa keperawatan Tujuan Intervensi keperawtan


Defisit volume cairan Pasien akan tetap  Pantau vs setiap jam
berhubungan dengan stabil secara
kehilangan darah akut, hemodinamik  Pantau nilai-nilai
penggantian cepat volume hemodinamik
dengan cairan kristaloid.
 Ukur output urine tiap
jam

 Ukur I dan O dan kaji


keseimbangan

 Berikan cairan pengganti


dan produk darah sesuai
instruksi. Pantau adanya
reaksi yang merugikan
terhadap komponen
terapi.

 Tirang baring total,


baringkan pasien
terlentang dg kaki
ditinggikan untuk
meningkatkan preload
jika pasien mengalami
hipotensi. Jika terjadi
normotensi tempatkan
tinggi bagian kepala
tempat tidur pada 45
derajat untuk mencegah
aspirasi isi lambung.

 Pantau Hb dan Ht

 Pantau elektrolit

 Periksa feses terhadap


darah untuk 72 jam
setelah masa akut.

Lanjutan

Diagnosa keperawatan Tujuan Intervensi keperawtan


Kerusakan pertukaran gas Pasien akan  Pantau SaO2 dengan
berhubungan dengan mempertahankan menggunakan oksimetri
penurunan kapasitas oksigenasi dan atau ABGs
angkut oksigen dan faktor- pertukran gas yang
faktor resiko aspirasi. adekuat  Pantau bunyi nafas dan
gejala-gejala pulmoner
Resiko tinggi terhadap Pasien tidak akan
infeksi berhubungan mengalami infeksi  Gunakan suplemen O2
dengan aliran intravena nosokomial sesuai instruksi

 Pantau suhu tubuh

 Pantau adanya distensi


abdomen

 Baringkan pasien pada


bagian kepala tempat
tidur yang ditinggikan
jika segalanya
memungkinkan

 Pertahankan fungsi dan


patensi NGT dengan
tepat

 Atasi segera mual

 Pertahankan kestabilan
selang intravena.

 Ukur suhu tubuh setiap


jam

 Pantau sistem intravena


terhadap patensi,
infiltrasi, dan tanda-tanda
infeksi

 Ganti letak intravena


setiap 48-72 jam dan jika
perlu

 Ganti larutan intravena


sedikitnya tiap 24 jam

 Letak insersi setiap shift

 Gunakan tehnik aseptik


saat mengganti balutan
dan selang. Pertahankan
balutan bersih dan steril

 Ukur sel darah putih

DAFTAR PUSTAKA
Hudak dan Galo. (1996). Keperawatan kritis: Pendekatan holistik. (Vol. II, edisi 6).
Jakarta: EGC.

Lanros, N.E., dan Barber, J.M. (2000). Emergency nursing. (4th ed.). Stamford: Appleton
& Lange.

Suparman. (1987). Ilmu penyakit dalam. (Jilid I, edisi kedua). Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.

Diposkan oleh Rohman Azzam di 02:20

Anda mungkin juga menyukai