Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Toksoplasmosis serebral adalah penyakit infeksi opportunistik yang biasanya

menyerang pasien-pasien dengan HIV-AIDS dan merupakan penyebab paling

sering terhadap abses serebral pada pasien-pasien ini. 2

B. Etiologi

Disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh kucing,

burung dan hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja

kucing dan kadang pada daging atau sayur mentah/kurang matang. Apabila parasit

masuk ke dalam sistem kekebalan, ia menetap di dalam tubuh, tetapi sistem

kekebalan pada orang yang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga tuntas

dan dapat mencegah penyakit. Transmisi pada manusia terutama terjadi bila

memakan daging babi atau domba yang mentah yang mengandung kista. Bisa

juga dari sayur yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan feses kucing.

Selain itu dapat terjadi transmisi lewat transplasental, transfusi darah, dan

transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang immunokompeten biasanya

asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi

reaktivasi dari infeksi laten. Yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi

opportunistik dengan predileksi di otak. 3,4

3
C. Epidemiologi

Prevalensi zat anti T. gondii berbeda di berbagai daerah geografik, seperti

pada ketinggian yang berbeda, di daerah rendah, prevalensi zat anti lebih tinggi

dibandingkan dengan daerah yang tinggi. Prevalensi zat anti ini juga lebih tinggi

di daerah tropik. Pada umumnya prevalensi zat anti T. gondii yang positif

meningkat sesuai dengan umur, tidak ada perbedaan antara pria dan wanita.

Anjing sebagai sumber infeksi mendapatkan infeksi dari makan tinja kucing atau

bergulingan pada tanah yang mengandung tinja kucing, yang merupakan

instrumen penyebaran secara mekanis dari infeksi T. gondii. Lalat dan kecoa

secara praktis juga penting dalam penyebarannya. 5

Di Indonesia, prevalensi zat anti T. gondii pada hewan adalah sebagai

berikut:5

 kucing 35-73 %,

 babi 11-36 %,

 kambing 11-61 %

 anjing 75 %

 ternak lain kurang dari 10 %

4
D. Siklus Hidup

Siklus Hidup dan Morfologi Toxoplasmosis. 2,3,7

Gambar 1. Siklus Hidup Toxoplasmosis 3

Parasit ini merupakan jenis intraseluler obligat (hanya bisa bereproduksi

ketika didalam sel inang), hospes definitifnya adalah kucing, sedangkan hospes

perantaranya adalah manusia. Siklus kehidupannya digambarkan terjadi didalam

tubuh manusia dan tubuh kucing.

1. Siklus didalam tubuh kucing

Kucing dapat terinfeksi Toxoplasma gondii apabila si kucing memakan tikus,

burung yang mengandung kista Toxoplasma gondii atau makanan yang

terkontaminasi ookista, ketika termakan maka kista atau ookista ini akan pecah

kemudian bradizoit didalamnya akan berhamburan kemudian menembus sel epitel

usus si kucing kemudian berdiferensiasi menjadi takhizoit. Takhizoit akan

berdiferensiasi lagi menjadi mikrogamet dan makrogamet, kemudian akan

5
dihasilkan zigot, setelah itu barulah menjadi ookista. Ookista akan keluar bersama

feses kucing dan mampu bertahan di dunia bebas sampai pada saatnya hoseps

baru tidak sengaja menelannya.

2. Siklus didalam tubuh manusia atau hewan perantara lainnya

(misalkan hewan ternak)

Ookista yang tertelan akan sampai ke usus kemudian pecah dan

mengeluarkan takhizoit, takhizoit akan menembus usus, beredar dalam darah

(memanfaatkan sel fagosit sebagai transporter), kemudian menginvasi sel-sel lain,

takhizoit akan terus melakukan multiplikasi di dalam sel-sel yang di invasi

(biasanya sel pada jaringan otot dan otak), kemudian pada fase kronis akan

membentuk pseudo kista. Takhizoit yang terbungkus oleh pseudo kista dinamakan

bradizoit, selain memiliki ciri dibungkus oleh pseudo kista, bradizoit cenderung

diam dan tidak melakukan multiplikasi. Pertumbuhan biasanya berhenti pada fase

pseudo kista, namun bila pseudo kista tersebut pecah, maka siklus akan berulang

kembali.

Penularan dapat terjadi melalui :

1. Peroral (menelan ookista) misalkan memakan daging mentah atau kurang

matang, memakan sayur yang tidak dicuci dengan bersih

2. Perinhalasi, menghirup ookista yang terbang bersama debu

3. Transfusi darah, menerima darah yang terkontaminasi takhizoit

4. Menerima organ donor yang terinfeksi T.gondii dan mengandung bradizoit

5. Transmisi secara transplasenta

6
Toxoplasma gondii terdapat dalam 3 bentuk yaitu bentuk tachyzoite, kista,

dan Ookista. 2,3

 Tachyzoit berbentuk oval dengan ukuran 3-7 um, dapat menginvasi semua

sel mamalia yang memiliki inti sel. Dapat ditemukan dalam jaringan

selama masa akut dari infeksi. Bila infeksi menjadi kronis tachyzoit dalam

jaringan akan membelah secara lambat dan disebut bradizoit.

Gambar 2. Tachyzoit

 Bentuk kedua adalah kista yang terdapat dalam jaringan dengan jumlah

ribuan berukuran 10-100 um. Kista penting untuk transmisi dan paling

banyak terdapat dalam otot rangka, otot jantung dan susunan syaraf pusat.

Gambar 3. Kista

7
 Bentuk yang ke tiga adalah bentuk Ookista yang berukuran 10-12 um.

Ookista terbentuk di sel mukosa usus kucing dan dikeluarkan bersamaan

dengan feces kucing. Dalam epitel usus kucing berlangsung siklus

aseksual atau schizogoni dan siklus seksual atau gametogenidan sporogoni

yang menghasilkan ookista dan dikeluarkan bersama feces kucing. Kucing

yang mengandung toxoplasma gondii dalam sekali ekskresi akan

mengeluarkan jutaan ookista. Bila ookista ini tertelan oleh pejamu

perantara seperti manusia, sapi, kambing atau kucing maka pada berbagai

jaringan pejamu perantara akan dibentuk kelompok-kelompok tachyzoit

yang membelah secara aktif. Pada pejamu perantara tidak dibentuk

stadium seksual tetapi dibentuk stadium istirahat yaitu kista. Bila kucing

makan tikus yang mengandung kista maka terbentuk kembali stadium

seksual di dalam usus halus kucing tersebut.

Gambar 4. Ookista

E. Patofisiologi

Penularan pada manusia dimulai dengan tertelannya tissue cyst atau oocyst

diikuti oleh terinfeksinya sel epitel usus halus oleh bradyzoites atau sporozoites

8
secara berturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi tachyzoites,organisme ini

menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darah atau limfatik. Parasit ini

berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai jaringan perifer. Bentuk ini

dapat bertahan sepanjang hidup pejamu, dan berpredileksi untuk menetap pada

otak, myocardium, paru, otot skeletal dan retina. 2,6

Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi

dari infeksi laten yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik dengan

predileksi di otak. Tissue cyst menjadi ruptur dan melepaskan invasive trofozoit

(takizoit). Takizoit ini akan menghancurkan sel dan menyebabkan focus

nekrosis.1,2,6

Ookista (Daging mentah)

Tachyzoit (usus)

Darah & Limfe

Imune Respon

Bradyzoit (otak, skeletal,


myocard, retina)

Immunocompromized

→reaktivasi

Gambar 5. Patogenesis Toxoplasmosis 6

9
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi

prediktor kemungkinan adanya infeksi oportunistik. HIV secara signifikan

berdampak pada kapasitas fungsional dan kualitas kekebalan tubuh. HIV

mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor CD4.

Beberapa sel lain yangjuga mempunyai reseptor CD4 adalah : sel monosit, sel

makrofag, sel folikular, dendritik, sel retina, sel leher rahim, dan sel langerhans.

Infeksi limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh perlekatan virus kepermukaan sel

reseptor CD4, yang menyebabkan kematian sel dengan meningkatkan tingkat

apoptosis pada sel yang terinfeksi. Selain menyerang sistem kekebalan tubuh,

infeksi HIV juga berdampak pada sistem saraf dan dapat mengakibatkan kelainan

pada saraf. Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh

pada penderita HIV/AIDS. Infeksi tersebut dapat menyerang sistem saraf yang

membahayakan fungsi dan kesehatan sel saraf. Mekanisme bagaimana HIV

menginduksi infeksi oportunistik seperti toxoplasmosis sangat kompleks. Ini

meliputi deplesi dari sel T CD4, kegagalan produksi IL-2, IL-12, dan IFN-gamma;

kegagalan aktivitas Limfosit T sitokin. Sel-sel dari pasien yang terinfeksi HIV

menunjukkan penurunan produksi IL-12 dan IFN-gamma secara invitro dan

penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai respon terhadapT gondii. 1,2,6

10
Tachyzoit

Aktivasi CD4 sel T

ekspresi CD154

sel dendritik dan


makrofag

IL-12

Sel T→INF-y

Respon antitoxoplasmik

Gambar 6. Respon Imun Terhadap Toxoplasmosis 6

F. Manifestasi klinis

Gejala toxoplasmosis cerebral tidak bersifat spesifik dan agak sulit untuk

dibedakan dengan penyakit lain seperti lymphoma, tuberculosis dan infeksi HIV

akut. Toksoplasmosis dapatan tidak diketahui karena jarang menimbulkan gejala.

Gejala yang ditemui pada dewasa maupun anak-anak umumnya ringan. 1

Apabila menimbulkan gejala, maka gejalanya tidak khas seperti demam,

nyeri otot, sakit tenggorokan, nyeri dan ada pembesaran kelenjar limfe servikalis

posterior, supraklavikula dan suboksiput. Pada infeksi berat, meskipun jarang,

dapat terjadi sefalgia, muntah, depresi, nyeri otot, pneumonia, hepatitis,

miokarditis, ensefalitis, delirium dan dapat terjadi kejang. 2

11
Gejala-gejala klinis pada toksoplasmosis pada umumnya sesuai dengan

kelainan patologi yang terjadi dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu

gejala-gejala klinis pada toksoplasmosis congenital dan toksoplasmosis didapat. 3

Gejala cerebral toksoplasma atau dikenali sebagai toksoplasma otak

termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala hebat yang tidak ada respon terhadap

pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan

meningkat, masalah penglihatan, vertigo, afasia, masalah berjalan, muntah dan

perubahan kepribadian. Tidak semua pasien menunjukan tanda infeksi. Pada

ensefalitis fokal ditemukan nyeri kepala dan rasa bingung kerna adanya

pembentukan abses akibat dari terjadinya infeksi toksoplasma. Pasien dengan

sistem imunnya menurun, gejala-gejala fokalnya cepat sekali berkembang dan

penderita mungkin akan mengalami kejang dan penurunan kesadaran. 1,2,3

Toksoplasmosis serebral sering muncul dengan onset subakut dengan gejala

fokal nerologik. Walau bagaimanapun, terdapat juga onset yang tiba-tiba disertai

kejang atau pendarahan serebral. Hemiparesis dan gangguan percakapan sering

ditemui sebagai gejala klinis awal. 3

Keterlibatan batang otak bisa menghasilkan lesi saraf cranial dan pasien akan

mempamerkan disfungsi serebral seperti disorientasi, kesadaran menurun, lelah

atau koma. Pengibatan medulla spinalis akan menghasilkan gangguan motorik dan

sensorik bagi beberapa anggota badan serta kantung kemih atau kesakitan fokal. 3

12
G. Diagnosis

Identifikasi dan Isolasi Parasit

Diagnosis definitif membutuhkan pembuktian adanya parasit pada spesimen.

Walaupun jarang, pada pasien dengan meningoensefalitis yang disebabkan T.

Gondii, parasit tersebut dapat diisolasi pada cairan LCS. Parasit dapat juga

diisolasi dari kultur darah pasien, walaupun dengan atau tanpa bukti adanya

ensefalitis yang sedang berlangsung. Dulu isolasi T. Gondii yang didapatkan dari

specimen klinis memerlukan perlakuan intensif dan hasil yang didapat setelah 6

minggu kemudian. Metode diagnostik lainnya yang sedang diteliti adalah

amplikasi selektif dengan PCR dari produksi khusus DNA specimen klinik T.

Gondii. Karena keuntungan klinis dari teknik pemeriksaan yang sangat senditif ini

untu mengidentifikasi parasit pada LCS (pada infeksi yang predominan ensefalitis

dibandingkan meningitis) pemeriksaan ini tetap perlu dilakukan. 1

Test Serologis

Tes terhadap IgM digunakan untuk menentukan apakah suatu pasien telah

terkena infeksi baru-baru ini atau di waktu yang lalu. Oleh karena ada

kemungkinan dalam salah menafsir hasil positif IgM dari hasil percobaan,

pengujian untuk konfirmasi harus dilakukan. 1

a. Toxoplasma Serological Profile (TSP)

TSP telah secara klinis sangat menolong dalam mendiagnosis

toxoplasmik limfadenitis, myocarditis, polyomiositis, chorioretinitis dan

selama kehamilan. Karena pemeriksaan TSP dengan hasil positif pada

IgG dan IgM dapat membedakan antara infeksi/peradangan kronis atau

13
infeksi yang didapat dan lebih baik daripada pemeriksaan serologi

tunggal manapun.

b. Dye test

Antibodi IgG diukur terutama menggunakan sabin-fieldman dye test

(DT). Pemeriksaan ini merupakan tes netralisasi sensitif dan sangat

spesifik, dimana organisme dilisiskan kemudian dipresentasikan dengan

komplemen dan IgG antibodi spesifik T. Gondii. IgG biasanya timbul

dalam 1-2 minggu infeksi, puncaknya dalam 1-2 bulan kemudian turun

dengan rata-rata penurunan bervariasi dan biasanya tetap ada selama

hidup. Tingginya titer tidak berkorelasi dengan keparahan penyakit.

Dye test positif menyatakan bahwa pasien pernah terpapar oleh parasit,

sebaliknya DT yang negatif mempunyai arti penting dalam

mengesampingkan kemungkinan terpapar T.gondii. Pada sebagian kecil

pasien antibodi IgG mungkin saja tidak terdeteksi dalam 2-3 minggu

setelah awal paparan terhadap parasit.

c. Test differential aglutination (AC/HS)

Test differential aglutination menggunakan dua preparat antigen yang

dapat menggambarkan antigen penentu yang ditemukan pada awal

infeksi akut (antigen AC) atau antigen pada tahap akhir infeksi (HS).

Rasio titer menggunakan antigen AC dibandingkan antigen HS dapat

menginterpretasikan sebagai akut.

d. Avidity

14
Test avidity digunakan sebagai test konfirmasi diagnostik tambahan pada

TSP untuk pasien dengan IgM positif atau equivocal atau hasil tes

AC/HS yang akut atau equivocal. Hasil antibody avidity IgG rendah atau

equivocal jangan diinterpretasikan sebagai diagnostik infeksi yang

didapat sekarang.

e. Antibody IgM

Antibodi IgM diukur dengan menggunakan metode double sandwich atau

immune capture IgM-ELISA. Metode ini menghindari kesalahan false

positive.

Pada pasien dengan infeksi didapat saat ini, antibodi IgM T.gondii

dideteksi pada awal penyakit dan titer ini akan negatif dalam beberapa

bulan. IgM yang tetap persisten tidak menggambarkan relevansi klinis

dan pada pasiennya harus dipertimbangkan infeksi kronis.

f. Antibody IgA

Antibodi IgA mungkin dapat ditemukan pada infeksi akut dalam serum

penderita dewasa dan infan yang terinfeksi secara kongenital

menggunakan ELISA atau metode ISAGA. Antibodi IgA dapat tetap ada

untuk beberapa bulan sampai lebih dari satu tahun. Berdasarakan hal ini,

pemeriksaan antibodi ini mempunyai peranan yang sedikit untuk

menegakkan infeksi akut pada orang dewasa, hal ini kontras

dibandingkan apabila ada peningkatan sensitifitas dengan hasil

pemeriksaan IgA yang melebihi IgM untuk mendiagnosis toxoplasmosis

kongenital.

15
g. Antibody IgE

Antibodi IgE dideteksi dengan menggunakan ELISA pada serum

penderita dewasa dengan infeksi akut, neonatus yang terinfeksi secara

kongenital, anak-anak dengan chorioretinitis toxoplasmosis kongenital.

Durasi seropositif IgE kurang dibandingkan antibodi IgM atay IgA.

Neuroimaging

Pada gambaran CT-scan di otak menunjukkan gambaran lesi noduler tunggal

(30%) atau multipel (70%). Lebih sering gambaran CT-scan menunjukkan lesi

kavitasi dengan dinding yang tipis dan diikuti adanya ring enhancemen setelah

pemberian kontras. Gambaran edema di sekeliling white matter juga sering

ditemukan. 1

Sekitar 75% nodul-nodul berlokasi di basal ganglia, tetapi dapat juga

tersebar sampai ke bagian serebral lain pada gray matter-white matter.

Toxoplasmosis mempunyai kecenderungan untuk melibatkan basal ganglia, lesi

juga dapat timbul di sepanjang serebellum, batang otak dan medulla spinalis.

Perdarahan dan kalsifikasi dapat timbul selama pengobatan dan dikatakan

kalsifikasi berupa cincin tergambar pada awal dilakukan CT-scan sebagai

diagnosis pertama, walaupun dikatakan bahwa kalsifikasi berupa cincin jarang

terjadi pada penyakit yang diapat dibandingkan dengan kelainan kongenital. 1

Tanda karakteristik dari toxoplasma di SSP adalah target yang asimetris

yang dapat dideteksi baik dengan CT-scan maupun dengan MRI, dengan MRI

lebih sensitif dibandingkan CT-scan. Target asimetris yang timbul berupa abses

ring enhancement yang mengandung nodul eksentris pada kavitas absesnya.

16
Tanda target asimetri ini sebenarnya patognomonik untuk toxoplasmosis SSP

tetapi hanya terlihat pada 30% penderita. 1

MRI lebih sensitif dibandingkan CT-scan pada awal infeksi. MRI dapat

mendeteksi lesi pada penderita toxoplasmosis aktif yang pada CT-scan didapatkan

hasil yang normal. Dengan demikian MRI direkomendasikan pada penderita yang

dijumpai gejala neurologis dan antibodi toxoplasma dengan gambaran CT-scan

yang normal. Toxoplasmosis memperlihatkan area hipointens ringan pada T1W1

dan hiperintense pada T2W1. Kadang lesi dapat menunjukkan sedikit isointense

sampai hipointense pada T2W1, dikelilingi oleh edema dengan intensitas lebih

tinggi. Pada CECT dan CEMR, ring-like dan nodular enhancement dikelilingi

edema white matter dengan berbagai tingkatan. Nodul atau ring enhancement

fokal dijumpai sekitar 70% pendeita setelah pemberian gadolinium. 1

Gambar 7. CT-scan kontras pada pasien dengan toksoplasmosis cerebri 1

Diagnosis didasarkan pada gejala klinis, tingkat resiko, pemeriksaan antibodi

IgG terhadap Toxoplasma gondii dan hasil dari pemeriksaan radiologi yang

17
menunjang, selain itu dugaan diagnosis dapat pula didasarkan adanya respon

klinis pengobatan terhadap Toxoplasma. 1

H. Tatalaksana

Terapi diberikan dalam jangka waktu minimal 6 bulan dan dibagi menjadi

dua bagian, yaitu terapi fase akut yang diberikan selama sekitar 4 sampai 6

minggu, yang kemudian dilanjutkan dengan fase perawatan. 1

Pemberian terapi kortikosteroid sebagai terapi tambahan untuk mengatasi

edema, akan tetapi apabila toksoplasmosis ini terjadi karena adanya infeksi

opportunistik, maka harus dipertimbangkan pemberian kortikosteroid ini. Pada

kasus ini sebaiknya hanya diberikan untuk jangka pendek, agar tidak mengurangi

immunitas penderita. 1

Terapi empiris Toxoplasmosis dapat diberikan pada penderita HIV dengan

CD4 yang kurang dari 100/mm3 dan didapatkan gambaran abses otak dengan

seropositif dari Toxoplasma. Terapi fase akut dapat diberikan pyrimethamine

dengan dosis awal 200mg peroral yang kemudian dilanjutkan dengan dosis 75-

100mg/hari ditambah dengan sulfadiazin 1-1,5 gram yang diberikan setiap 6 jam

atau 100mg/kg/hari (maksimum dosis 8 gr/hari) dan ditambah pula dengan asam

folat 10-20 mg/hari. Pada penderita yang mempunyai alergi terhadap sulfa, maka

preparat sulfa ini dapat digantikan dengan klindamisin dengan dosis 600-1200 mg

yang diberikan setiap 6 jam sekali, selain ini dapat pula diberikan preparat lain

sebagai alternatif, yaitu trimetoprim sulfametoksazol 5mg/kg/12 jam (dosis

maksimum 15-20 mg/kg/hari), azitromycin (900-1200 mg/hari), clarithromycin

1000 mg diberikan per oral setiap 12 jam atau atovaquone 1,5mg per oral setiap

18
12 jam, minocyclin 150-200 mg diberikan setiap 12 jam atau doksisiklin diberikan

300-400 mg/hari. Kombinasi pemberian pyrimetamin dengan sulfadiazin

dibandingkan kombinasi pyrimetamin dengan klindamisin tidak memberikan hasil

yang berbeda. 1

Terapi fase perawatan dapat diberikan pyrimetamin 25-50 mg/hari ditambah

dengan sulfadiazin 500-1000 mg/hari diberikan sebanyak empat kali perhari dan

juga diberikan asam folat bersama-sama. Apabila pasien tidak tahan atau alergi

terhadap sulfadiazin dapat diganti dengan klindamisin 1200 mg diberikan 3 kali

perhari. Pada penderita yang mendapat terapi HAART (Highly Active Anti-

Retroviral Therapy) terapi perawatan dapat diberikan apabila kadar CD4 lebih

200/dl selama 3 bulan pada pencegahan primer dan selama 6 bulan pada

pencegahan sekunder. 1

I. Diagnosis Banding

Diagnosa banding penyakit yang paling dekat adalah primary central nervous

system lesion (PCNSL). Diagnosa banding yang lain adalah tumor metastase,

tuberkuloma, abses otak. 1,2

Toxoplasmosis PCNSL
Lokasi Basal ganglia, perbatasan Periventricular
white matter-gray matter
Jumlah lesi Banyak (multipel) Tunggal > multipel
Gambaran enhancement Cincin Heterogen atau homogen
Edema Sedang sampai berat Bervariasi
T2 weighted image Hiperintense Isontense sampai
(lesion relatif to white hipointense
matter)

19
Diffusion weighted Biasanya hipointense Seringkali hiperintense
image
MR perfusion Menurun Meningkat
MR spectroscopy Kadar laktat meningkat Kadar choline meningkat
Lain-lain Antibodi IgG EBV DNA amplified by
Toxoplasma positif (90% PCR in CSF (hampir
penderita) seluruh penderita)

Tabel 1. Diagnosis banding ensefalitis toxoplasma dengan PCNSL 1,2

J. Prognosis

Pada umumnya ensefalitis toksoplasma dapat diterapi dengan baik sehingga

prognosisnya baik. Angka kematian berkisar 1-25% pada penderita yang

mendapat penanganan dengan baik. Pada penderita dengan defisiensi imun,

terdapat kemungkinan terjadinya kekambuhan apabila pengobatan profilaksis

dihentikan. 1

20

Anda mungkin juga menyukai