Anda di halaman 1dari 13

Kemampuan Self-Efficacy dalam Pembelajaran Matematika

Asri Damayanti, Iis Ismayati, dan Muhammad Rayhan Zaky


Universitas Negeri Jakarta
adamayanti14@gmail.com;iis.ismayati1@gmail.com;rayhan.zaky17@yahoo.com

ABSTRACT

Self-efficacy is a belief or confidence in the ability of individual people to


organize, implement actions to display certain skills, perform a task, achieve a
goal, and produce something in life to overcome. Students with a high self-
efficacy have a great desire to do his duties and will strive to do the job even
though they will find difficulties. Believe in the self-ability is necessary. High self-
efficacy helps create a sense of calm in approaching difficult tasks and activities.
From the statements above, it can be concluded that the higher self-efficacy, the
higher the individual students’ ability in the face of learning mathematics, and
conversely the lower self-efficacy is the individual student's ability in dealing with
mathematics learning would be lower.
Key Words : Self Efficacy, Learning Mathematics

ABSTRAK
Self-efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan individu mengenai
kemampuan individu untuk mengorganisasi, mengimplementasi tindakan untuk
menampilkan kecakapan tertentu, melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan,
dan menghasilkan sesuatu dalam mengatasi kehidupan. Siswa dengan self-efficacy
yang tinggi mempunyai keinginan yang besar untuk mengerjakan tugas-tugasnya
dan akan berusaha keras untuk mengerjakan tugas tersebut meskipun ia kesulitan.
Keyakinan akan kemampuan di dalam diri sangat diperlukan. Self-efficacy yang
tinggi membantu membuat perasaan tenang dalam mengerjakan tugas dan
melakukan kegiatan yang sulit. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
semakin tinggi self-efficacy individu maka akan semakin tinggi kemampuan siswa
dalam menghadapi pembelajaran matematika, dan sebaliknya semakin rendah
self-efficacy maka kemampuan siswa dalam menghadapi pembelajaran
matematika akan semakin rendah.
Kata Kunci :Self Efficacy, Pembelajaran matematika.

A. PENDAHULUAN
Matematika merupakan subjek atau mata pelajaran yang penting untuk
dipelajari. Kleine dan Thomas dalam tesisnya menyatakan berdasarkan National
Mathematics Advisory Panel (NMAP, 2008),

“leading societies have commanded mathematical skills that have brought


them advantages in medicine and health, in technology and commerce, in
navigation and exploration, in defense and finance, and in the ability to
understand past failures and to forecast future developments”.
(Kleine and Thomas 2013)

Matematika, merupakan kemampuan yang penting untuk dikuasai dalam


kehidupan sehari-hari. Pemikiran matematika adalah sesuatu yang kita lakukan,
mulai dari perhitungan yang sederhana hingga kompleks. Adam dalam
disertasinya mengungkapkan National Numeracy Strategy (Department for
Education and Employment (DfEE), 1999) menyatakan bahwa dasar yang kuat
dalam berhitung dasar membantu anak untuk berhasil dalam bidang studi lainnya
dalam kurikulum dan mengembangkan kemampuan matematika yang penting
untuk pendidikan yang lebih tinggi dan pekerjaan. (Adams 2007). Ketika
Matematika disebutkan, banyak orang akan bicara bahwa mereka tidak memiliki
kemampuan bermatematika yang baik, takut terhadap matematika atau tidak suka
dengan matematika. (Diane Kay Borton Kahle 2008)
Del Siegle dan McCoach menyatakan mengapa ada siswa yang antusias
sedangkan yang lainnya tidak tertarik untuk belajar? Mengapa sebagian siswa
percaya akan kemampuan dirinya dalam bermatematika dan sebagian lainnya
merasa tidak mampu? Hal ini berpengaruh terhadap kepercayaan diri seseorang
pada kemampuan dirinya. Contohnya, jika siswa percaya akan kemampuan
dirinya, mereka akan lebih banyak bertanya atau menjawab pertanyaan lebih
sering daripada siswa yang tidak percaya akan kemampuan dirinya, mereka akan
lebih banyak diam dan cenderung takut. Tentunya hal ini akan mempengaruhi
proses belajar mengajar. (Siegle and McCoach 2007)
Mengapa hal itu bisa terjadi? Bandura (1997) menyatakan Self-Efficacy
merupakan hal yang mendasari siswa termotivasi sehingga sukses dalam bidang
yang spesifik dan juga mempunyai peran penting dalam prestasi akademiknya.
Selain itu Pajares & Millers (1994) juga menyatakan bahwa faktanya Self-Efficacy
merupakan predictor yang menentukan mathematics performance yang lebih kuat
dari faktor-faktor lainnya seperti self-concept, anxiety, perceived usefulness of
mathematics, jenis kelamin, atau latar belakang matematika. (Kleine and Thomas
2013)
Bandura (1977) pertama kali mengenalkan construct of self-efficacy pada
akhir tahun 1970-an. Penelitian selama 30 tahun lalu telah mengungkapkan
hubungan positif antara self-efficacy belief dengan prestasi akademik dan
ketekunan. (Siegle and McCoach 2007). Dalam Latifatul, Bandura menyatakan
bahwa self-efficacy merupakan salah satu potensi yang ada pada faktor kognitif
manusia, self-efficacy berpengaruh besar terhadap perilaku manusia. Hal yang
ditekankan dalam self-efficacy dapat dipandang sebagai keyakinan seseorang dan
kemampuan melakukan serangkaian tindakan dalam situasi tertentu. Keyakinan
ini tidak berkaitan dengan seberapa banyak kemampuan yang dimiliki siswa,
namun keyakinan apa yang dapat dilakukan dengan kemampuan yang dimiliki
dalam berbagai kondisi. (Masraroh 2012). Permasalahan yang muncul dalam
tulisan ini adalah bagaimana pengaruh kemampuan self-efficacy dalam
pembelajaran matematika?

B. PEMBAHASAN
1. Self-efficacy
Self-efficacy merupakan salah satu kemampuan pengaturan diri individu.
Konsep self-efficacy pertama kali dikemukakan oleh Bandura. Self-efficacy
mengacu pada persepsi tentang kemampuan individu untuk mengorganisasi dan
mengimplementasi tindakan untuk menampilkan kecakapan tertentu (Bandura,
1986). Baron dan Byrne (2000) mengemukakan bahwa self-efficacy merupakan
penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan
suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan menghasilkan sesuatu. Schultz (1994)
mendefinisikan self-efficacy sebagai perasaan kita terhadap kecukupan, efisiensi,
dan kemampuan kita dalam mengatasi kehidupan. Di samping itu, menurut
Zimmerman (2000), self-efficacy merupakan penilaian pribadi tentang
kemampuan seseorang untuk mengatur dan melaksanakan program kerja dalam
mencapai tujuan yang telah ditentukan, dan ia berusaha menilai tingkat,
keumuman, dan kekuatan dari seluruh kegiatan dan konteks.
Berdasarkan persamaan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan
bahwa self-efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan individu mengenai
kemampuan individu untuk mengorganisasi, mengimplementasi tindakan untuk
menampilkan kecakapan tertentu, melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan,
menghasilkan sesuatu dalam mengatasi kehidupan.
Bagaimana self-efficacy berkembang? Self-efficacy tidak muncul begitu saja,
ia tumbuh melalui suatu proses. Keyakinan ini mulai terbentuk pada anak usia dini
sebagai anak-anak berurusan dengan berbagai macam pengalaman, tugas, dan situasi.
Namun, pertumbuhan self-efficacy tidak berakhir selama masa muda, tapi terus
berkembang sepanjang hidup dalam memperoleh keterampilan baru, pengalaman,
dan pemahaman. Pengalaman awal self-efficacy berpusat dalam keluarga. Anak
mendapatkan pengetahuan mengenai kemampuannya pada saat ia
mengembangkan kemampuan sensorik, motorik dan menguasi bahasa. Kemudian
pengalaman tersebut bertambah dalam lingkungan sosialnya. Dalam
mengembangkan kecakapan dukungan orangtua amat besar pengaruhnya, orang
tua yang respon terhadap perilaku anaknya dan memberikan pengayaan
lingkungan fisik serta memberikan kebebasan bergerak untuk bereksplorasi, maka
anaknya akan mengalami percepatan dalam perkembangan kognitifnya. Teman
sebaya sebagai peer group memberikan dorongan untuk mengembangkan dan
meningkatkan self-efficacy seseorang, adanya model self-efficacy, informasi
penilaian serta pembuktian self-efficacy, teman sebaya menjadi agen utama dalam
pengembangan dan validasi self-efficacy. Pertumbuhan self-efficacy berlangsung
pula sepanjang masa transisi remaja. Remaja belajar bertanggung jawab dalam
hampir semua dimensi kehidupannya, karena setiap individu pada dasarnya
dihadapkan pada suatu krisis, dan krisis itulah yang menjadi tugas bagi seseorang
untuk dapat dilaluinya dengan baik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi self-efficacy menurut Bandura (1997)
yaitu:
a. Pengalaman Keberhasilan (mastery experiences)
Keberhasilan yang sering didapatkan akan meningkatkan self-efficacy
yang dimiliki seseorang sedangkan kegagalan akan menurunkan self-efficacy nya.
Apabila keberhasilan yang didapat seseorang banyak karena faktor-faktor di luar
dirinya, biasanya tidak akan membawa pengaruh terhadap peningkatan self-
efficacy dirinya. Akan tetapi, jika keberhasilan tersebut didapatkan dengan melalui
hambatan yang besar dan merupakan hasil perjuangannya sendiri, maka hal itu
akan membawa pengaruh pada peningkatan self-efficacy nya. Jadi, ketika
seseorang mengeluarkan usaha yang besar dalam melaksanakan tugas yang
dirasakan sulit, kesuksesan tidak akan dengan kuat mempengaruhi self-efficacy
dirinya di mana kegagalan akan menurunkan self-efficacynya.
b. Pengalaman Orang Lain (Vicarious Experiences)
Pengalaman keberhasilan orang lain yang memiliki kemiripan dengan
individu dalam mengerjakan suatu tugas biasanya akan meningkatkan self-efficacy
seseorang dalam mengerjakan tugas yang sama. Self-efficacy tersebut didapat
melalui social models yang biasanya terjadi pada diri seseorang yang kurang
pengetahuan tentang kemampuan dirinya sehingga mendorong seseorang untuk
melakukan modeling. Namun self-efficacy yang didapat tidak akan terlalu
berpengaruh bila model yang diamati tidak memiliki kemiripan atau berbeda
dengan model. Biasanya orang membuat perbandingan dengan orang lain dalam
hal usia, jenis kelamin, ras, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi, penandaan
etnik, dan prediksi kemampuan sendiri mereka dalam mengerjakan tugas. Meski
tidak sebesar pengaruh seperti pada Mastery Experiece (Past Experience),
modeling ini berpengaruh sangat kuat pada self-efficacy ketika seseorang tidak
meyakini dirinya sendiri.
c. Persuasi Sosial (Social Persuation)
Informasi tentang kemampuan yang disampaikan secara verbal oleh
seseorang yang berpengaruh biasanya digunakan untuk meyakinkan seseorang
bahwa ia cukup mampu melakukan suatu tugas. Persuasi positif meningkatkan
self-efficacy, sedangkan persuasi negatif menurunkan self-efficacy. Secara umum
lebih udah menurunkan self-efficacy seseorang dari pada meningkatkannya.
d. Keadaan Fisiologis dan Emosional (Physiological and Emotional States)
Kecemasan dan stress yang terjadi dalam diri seseorang ketika
melakukan tugas sering diartikan sebagai suatu kegagalan. Pada umumnya
seseorang cenderung akan mengharapkan keberhasilan dalam kondisi yang tidak
diwarnai oleh ketegangan dan tidak merasakan adanya keluhan atau gangguan
somatik lainnya. Self-efficacy biasanya ditandai oleh rendahnya tingkat stress dan
kecemasan sebaliknya self-efficacy yang rendah ditandai oleh tingkat stress dan
kecemasan yang tinggi pula.
Pertumbuhan self-efficacy juga bergantung kepada faktor pribadi. Faktor
yang berpengaruh terhadap pribadi pada saat menjalankan suatu tugas berkaitan
dengan 3 unsur pokok, yaitu:
1. Stucture Permanent Characteristic. Yaitu dalam suatu kecakapan dan
karakterisrik individu yang telah menetap dalam kepribadiannya yang merupakan
hasil interaksi antara hereditas dan lingkungan. Dalam hal ini termasuk
pendidikan, pengalaman, struktur masyarakat, jenis kelamin, dan falsafah hidup.
2. Temporary State. Keadaan dalam diri individu yang bersifat sementara, seperti
sakit, marah, sedih, gembira, lapar dan sebagainya merupakan keadaan yang dapat
mempengaruhi self-efficacy. Orang yang sakit biasanya mempunyai pengaruh
yang sangat besar terhadap penampilan. Mereka akan merasa ragu terhadap
kemampuannya untuk berhasil karena terganggu oleh keadaan sakit yang
dideritanya. Sebaliknya orang sehat akan berbuat lebih baik dalam menalankan
satu kegiatan tertentu.
3. Activity in Process. Kegiatan yang sedang berlangsung. Orang yang sedang
terlibat satu kegiatan akan terbagi konsentrasi pemikirannya bila dihadapkan
dengan kegiatan lain dalam waktu yang bersamaan. Pada saat dia memutuskan
perhatiannya untuk menyelesaikan satu tugas, maka tugas yang lainnya akan
terabaikan, paling tidak hasilnya tidak akan maksimal.
Berikut ini perbedaan individu dengan self-efficacy tinggi dan orang dengan
rasa self-efficacy yang rendah:
Orang dengan rasa self-efficacy
Orang dengan rasa self-efficacy tinggi
rendah
Lihat masalah yang menantang sebagai Menghindari tugas-tugas yang
tugas yang harus dikuasai menantang
Mengembangkan minat lebih dalam Percayalah bahwa tugas sulit dan situasi
kegiatan di mana mereka berpartisipasi yang di luar kemampuan mereka
Membentuk rasa kuat komitmen terhadap Fokus pada kegagalan pribadi dan hasil
kepentingan dan kegiatan mereka negatif
Segera pulih dari kemunduran dan Cepat kehilangan keyakinan pada
kekecewaan kemampuan pribadi
Tabel 1. Perbedaan antara Orang dengan Self-Efficacy yang Tinggi dengan Orang dengan
Self-Efficacy yang Rendah

Bandura (1997) menyebutkan bahwa ada beberapa manfaat dari self-


efficacy yaitu:
a. Pilihan Perilaku
Dengan adanya self-efficacy yang dimiliki individu, hal tersebut
mempengaruhi tindakan apa yang akan ia lakukan dalam menghadapi suatu tugas
untuk mencapai tujuan yang diinginkannya.

b. Pilihan Karir
Self-efficacy merupakan mediator yang cukup berpengaruh terhadap
pemilihan karir seseorang. Bila seseorang merasa mampu melaksanakan tugas-
tugas dalam karir tertentu maka biasanya ia akan memilih karir tesebut.
c. Kuantitas Usaha dan Keinginan untuk Bertahan pada Suatu Tugas
Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi biasanya akan berusaha
keras untuk menghadapi kesulitan dan bertahan dalam mengerjakan suatu tugas
bila mereka telah mempunyai keterampilan prasyarat. Sedangkan individu yang
mempunyai self-efficacy yang rendah akan terganggu oleh keraguan terhadap
kemampuan diri dan mudah menyerah bila menghadapi kesulitan dalam
mengerjakan tugas tersebut.
d. Kualitas Usaha
Penggunaan strategi dalam memproses suatu tugas secara lebih
mendalam dan keterlibatan kognitif dalam belajar memiliki hubungan yang erat
dengan self-efficacy yang tinggi. Suatu penelitian dari Pintrich dan De Groot
menemukan bahwa siswa yang memiliki self-efficacy tinggi cenderung akan
memperlihatkan penggunaan kognitif dan strategi belajar yang lebih bervariasi..
Hal ini dimaksudkan untuk menumbuhkan kepercayaan dalam diri individu bahwa
yang bersangkutan memiliki kemampuan untuk berhasil dengan sukses
melakukan sesuatu dan mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan yang
ada di dalam lingkungan sekitar.

2. Pembelajaran Matematika
Pembelajaran merupakan proses yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh perubahan perilaku maupun sikap sebagai hasil pengalaman dalam
interaksi dengan lingkungannya untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam Kamus Istilah Pendidikan dan Umum yang disusun oleh M.
Sastrapradja menyatakan: "pengajaran adalah cara mengajar atau mengajarkan”.
Oemar Hamalik juga menambahkan bahwa: “pembelajaran adalah suatu
kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas,
perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi dalam mencapai tujuan
pembelajaran”.
Pengertian pembelajaran matematika menurut Tim MKPBM (200: 8-9)
terbagi dua macam:
1) Pengertian pembelajaran matematika secara sempit, yaitu proses pembelajaran
dalam lingkup persekolahan, sehingga terjadi proses sosialisasi individu siswa
dengan lingkungan sekolah, seperti guru, sumber atau fasilitas, dan teman
sesama siswa.
2) Pengertian pembelajaran matematika secara luas, yaitu upaya penataan
lingkungan yang memberi nuansa agar program belajar matematika tumbuh
dan berkembang secara optimal.
Nickson (Jajang, 2005:5) berpendapat bahwa pembelajaran matematika
adalah pemberian bantuan kepada siswa untuk membangun konsep-konsep dan
prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses
internalisasi (arahan terbimbing) sehingga konsep atau prinsip itu terbangun.
Dari beberapa pendapat tentang pengertian pembelajaran matematika,
dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika merupakan serangkaian
aktivitas guru dalam memberikan pengajaran terhadap siswa untuk membangun
konsep-konsep dan prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan sendiri
melalui proses internalisasi, sehingga konsep atau prinsip itu terbangun dengan
metode atau pendekatan mengajar dan aplikasinya agar dapat meningkatkan
kompetensi dasar dan kemampuan siswa.
Pada dasarnya tujuan matematika merupakan sasaran yang ingin dicapai
sebagai hasil dari proses pembelajaran matematika, yaitu siswa telah memiliki
sejumlah pengetahuan dan kemampuan di bidang matematika yang telah
dipelajari, sehingga siswa tersebut dapat menggunakannya dalam memecahkan
masalah yang berhubungan dengan matematika atau dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran di banyak sekolah belum diselenggarakan secara
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas,
dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta
psikologis peserta didik. Pada sisi lain, dalam proses pembelajaran banyak
pendidik belum dapat memberikan keteladanan bagi peserta didiknya. Hal ini
berdampak pada tujuan pendidikan nasional di atas, termasuk tujuan pembelajaran
matematika, yang belum begitu tercapai secara optimal. Keberhasilan peserta
didik menyelesaikan pendidikannya di suatu satuan pendidikan lebih banyak
diwarnai oleh deskripsi aspek-aspek kognitif dan/atau aspek psikomotorik; aspek
afektif belum begitu banyak mewarnai peta keberhasilan mereka selama
menempuh pendidikan dan pembelajaran.

3. Peran Self-efficacy dalam Pembelajaran Matematika


Pajares dan Kranzler (1995) menyebutkan bahwa self-efficacy adalah suatu
alat yang berguna dalam pembelajaran matematika. Self-efficacy matematis
didefinisikan sebagai suatu penilaian situasional dari suatu keyakinan individu dalam
kemampuannya untuk berhasil membentuk atau menyelesaikan tugas-tugas atau
masalah-masalah matematis tertentu. Artinya ketika kepada siswa diberikan suatu
masalah matematika ia dapat meyakini dirinya tentang kemampuannya dalam
menyelesaikan masalah tersebut.
Kemampuan self-efficacy ini juga dituntut dalam kurikulum matematika
sekolah menengah pertama. Tuntutan pengembangan kemampuan self-efficacy
yang tertulis dalam kurikulum matematika antara lain menyebutkan bahwa
pelajaran matematika harus menanamkan sikap menghargai kegunaan matematika
dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam
mempelajari matematika serta sikap ulet dan percaya diri.
Menurut The SEA’s program (2004) dalam jurnal “Pengaruh Self-
efficacy Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematik” oleh Hamidah
menyebutkan bahwa gejala siswa yang memiliki self-efficacy rendah, tampak
kurang percaya diri, meragukan kemampuan akademisnya, tidak berusaha
mencapai nilai tinggi di bidang akademik antara lain: (1) meragukan
kemampuannya (self-doubt); (2) malu dan menghindari tugas-tugas sulit; (3)
kurang memiliki aspirasi, komitmennya rendah dalam mencapai tujuan; (4)
menghindar, melihat tugas-tugas sebagai rintangan, dan merasa rugi
menyelesaikannya; (5) usaha kurang optimal dan cepat menganggap sulit; (6)
lambat memperbaiki self-efficacy apabila mengalami kegagalan; (7) merasa tidak
memiliki cukup kemampuan dan bersikap defensif serta tidak belajar dari banyak
kegagalan yang dialaminya; (8) mudah menyerah, malas, stres, dan depresi; (9)
meragukan kemampuan ini mendorong mereka percaya pada hal-hal yang tidak
rasional dan yang tidak mendasar pada kenyataan; (10) cenderung takut, tidak
aman dan manipulatif; (11) cepat menyerah, merasa tidak akan pernah berhasil;
dan (12) meyakini seakan-akan segalanya "telah gagal''. Pikiran tidak rasional ini
berkembang menjadi pikiran negatif (self–scripts) yang terus dipelihara oleh
orang yang rendah diri.
Mereka yang memiliki rasa keberhasilan lebih tinggi tentang kemampuan
yang dimilikinya diperkirakan akan memiliki kemungkinan sukses yang lebih
tinggi. Beberapa reaksi psikologis menyarankan bahwa sekolah harus
mengajarkan dan meningkatkan self-efficacy siswanya.
Self-efficacy yang dimiliki siswa mempengaruhi tindakan apa yang akan
ia lakukan dalam menghadapi suatu tugas untuk mencapai tujuan yang
diinginkannya. Siswa dengan self-efficacy yang rendah mungkin menghindari
pelajaran yang banyak tugasnya, khususnya untuk tugas-tugas yang menantang,
sedangkan siswa dengan self-efficacy yang tinggi mempunyai keinginan yang
besar untuk mengerjakan tugas-tugasnya. Individu yang memiliki self-efficacy
yang tinggi akan berusaha keras untuk mengerjakan tugas menantang tersebut
meskipun ia kesulitan, namun mereka akan bertahan dalam mengerjakan tugas
tersebut. Sebaliknya siswa dengan self-efficacy yang rendah akan terganggu oleh
keraguan terhadap kemampuan diri dan mudah menyerah bila menghadapi
kesulitan dalam mengerjakan tugas tersebut. Jadi, self-efficacy yang tinggi
membantu membuat perasaan tenang dalam mengerjakan tugas dan melakukan
kegiatan yang sulit. Sebaliknya, orang yang meragukan kemampuan dirinya,
mereka bisa percaya bahwa sesuatu itu lebih sulit daripada yang sesungguhnya.
Oleh karena itu, keyakinan akan kemampuan di dalam diri sangat
diperlukan. Kenyataan yang terjadi dalam dunia pendidikan seringkali ditemukan
siswa yang kurang percaya diri, tidak yakin dengan kemampuannya, atau pasrah saja
menerima nasib. Kondisi ini jika dibiarkan tentulah akan dapat berakibat buruk
terhadap masa depan siswa di kelas berlanjut di luar kelas. Sebagai orang yang
terlibat dalam dunia pendidikan sudah seharusnya guru mencari suatu cara untuk
dapat mengatasi masalah ini.
Self-efficacy dan achievement siswa meningkat saat mereka menetapkan
tujuan yang spesifik, untuk jangka pendek, dan menantang. Meminta siswa untuk
menetapkan tujuan jangka panjang adalah hal yang baik seperti: “Saya ingin
malanjutkan ke perguruan tinggi”, tetapi akan sangat lebih baik kalau mereka juga
membuat tujuan jangka pendek tentang apa yang harus dilakukan seperti: “Saya
harus mendapatka nilai A untuk tes matematika yang akan datang”. Dengan
adanya tujuan jangka pendek ini diharapkan keyakinan siswa akan meningkat,
sehingga mereka pun akan lebih berusaha keras dalam mencapai tujuan tersebut.
Self-efficacy dapat dibangkitkan dari diri siswa melalui empat sumber;
yaitu :
(1) Pengalaman otentik (authentic mastery experience),
(2) Pengalaman orang lain (vicarious experience),
(3) Pendekatan sosial atau verbal (verbal persuasion),
(4) Aspek psikologi (physiological affective states).
Menurut Del Siegle dan D. Betsy McCoach dalam Journal of Advance
Academics menyatakan instruksi-instruksi yang dapat digunakan untuk
meningkatkan self-efficacy siswa, diantaranya:
1. Mengulang pelajaran yang lalu, menyampaikan tujuan pembelajaran,
memperhatikan jalannya pembelajaran agar tercapai tujuan pembelajaran, dan
mengulang tujuan pembelajaran di akhir pelajaran.
2. Menyuruh siswa untuk mencatat apa saja yang telah mereka setiap harinya
pada kalender dan hal-hal baru apa saja yang telah mereka dapatkan hari itu
atau sesuatu yang istimewa.
3. Mendorong siswa yang kurang mampu dalam menggunakan kegagalan
mereka untuk berusaha lebih keras.
4. Menggambarkan perhatian siswa terhadap pertumbuhan mereka dan memuji
mereka atas kemampuan khusus mereka.
5. Menggunakan contoh siswa sebagai orang yang sudah mampu menguasai
materi untuk menunjukkan bahwa mereka telah menguaasinya dan siswa lain
pun mampu menguasainya seperti mereka.

C. KESIMPULAN
Self-efficacy merupakan salah satu kemampuan pengaturan diri individu.
self-efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan individu mengenai
kemampuan individu untuk mengorganisasi, mengimplementasi tindakan untuk
menampilkan kecakapan tertentu, melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan,
menghasilkan sesuatu dalam mengatasi kehidupan. Self-efficacy tidak muncul
begitu saja, ia tumbuh melalui suatu proses.
Pembelajaran matematika merupakan serangkaian aktivitas guru dalam
memberikan pengajaran terhadap siswa untuk membangun konsep-konsep dan
prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses
internalisasi, sehingga konsep atau prinsip itu terbangun dengan metode atau
pendekatan mengajar dan aplikasinya agar dapat meningkatkan kompetensi dasar
dan kemampuan siswa.
Kemampuan self-efficacy dituntut dalam kurikulum matematika. Self-
efficacy yang dimiliki siswa mempengaruhi tindakan apa yang akan ia lakukan
dalam mencapai tujuan yang diinginkannya. Oleh karena itu, keyakinan akan
kemampuan di dalam diri sangat diperlukan. Mereka yang memiliki rasa
keberhasilan lebih tinggi tentang kemampuan yang dimilikinya diperkirakan akan
memiliki kemungkinan sukses yang lebih tinggi. Beberapa reaksi psikologis
menyarankan bahwa sekolah harus mengajarkan dan meningkatkan self-efficacy
siswanya.
Secara umum disimpulkan bahwa self-efficacy yang dimiliki seseorang
memberi pengaruh yang besar terhadap pembelajaran matematika. Hal ini
dimaksudkan bahwa semakin tinggi self-efficacy seseorang, maka semakin tinggi
kemampuannya dalam pembelajaran matematika. Sebaliknya semakin rendah self-
efficacy seseorang maka semakin rendah kemampuan dalam pembelajaran
matematika.
Disarankan, dalam pembelajaran di kelas khususnya pembelajaran
matematika agar memperhatikan cara apa saja yang diperlukan untuk
memunculkan dan meningkatkan self-efficacy siswa. Lebih lanjut, seorang guru
disarankan menciptakan proses pembelajaran yang mampu meningkatkan self-
efficacy siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Kleine, Megan, and Kracht Thomas. "Predicting Students’ Confidence: How


Teacher Feedback and Other Sources Influence Self-Efficacy in
Mathematics Classroom." Theses and Dissertations--Educational, School,
and Counseling Psychology, 2013: 1.

Masraroh, Latifatul. Efektivitas Bimbingan Kelompok Teknik Modeling untuk


Meningkatkan Self Efficacy Akademik Siswa di Kelas X SMA. Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia, 2012.

Siegle, Del, and D. Betsy McCoach. "Increasing Student Mathematics Self


Efficacy Through Teacher Training." Journal of Advance Academics
Vol.18 No.2, 2007: 278.

Anda mungkin juga menyukai