TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kusta
2.1.1 Sejarah Kusta
Penyakit kusta telah dikenal hampir 2000 tahun SM. Banyak para ahli
percaya bahwa tulisan pertama tentang kusta muncul dalam sebuah dokumen
Papirus Mesir ditulis sekitar tahun 1550 SM. Sekitar tahun 1400 - 600 SM,
ditemukan sebuah tulisan berbahasa India menggambarkan penyakit yang
menyerupai kusta. Di Eropa, kusta pertama kali muncul dalam catatan Yunani
Kuno setelah tentara Alexander Agung kembali dari India. Kemudia di Roma pada
62 SM bertepatan dengan kembalinya pasukan Pompei dari Asia kecil (Infodatin
Kusta, 2015). Selain itu, di Tiongkok penyakit kusta telah dikenal sejak 600 SM
dan di Mesopotamia sejak 400 tahun SM (Pedoman Nasional Program
Pengendalian Penyakit Kusta, 2012).
Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada
akir 1940-an dengan diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Namun, bakteri
penyebab lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian
menyebar (id.wikipedia.org).
Pada tahun 1873, Dr Gerhard Armauer Henrik Hansen dari Norwegia
adalah orang pertama yang mengidentifikasi kuman yang menyebabkan penyakit
kusta di bawah mikroskop. Penemuan Mycobacterium leprae membuktikan
bahwa kusta disebabkan oleh kuman, dan dengan demikian tidak turun menurun,
dari kutukan atau dari dosa (Infodatin Kusta, 2015).
Berikut ini merupakan sejarah pemberantasan penyakit kusta di dunia
yang terbagi dalam 3 zaman yaitu (Pedoman Nasional Program Pengendalian
Penyakit Kusta, 2012) :
1. Jaman Purbakala
2.1.4 Klasifikasi
1. TT (Tuberkuloid Type)
Lesi ini mengenai kulit maupun saraf perifer. Lesi kulit bisa satu atau
beberapa, dapat berupa makula maupun plakat, batas jelas dan pada bagian
tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau Central Healing. Permukaan
lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi bahkan dapat menyerupai
gambaran psoriasis. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya
teraba dan kelemahan otot (Halim et al, 2000).
2. BT (Borderlines Tuberculoid)
Mirip gambaran pada tipe TT, tetapi terdapat gambaran hipopigmentasi,
kekeringan kulit atau skuama yang tidak jelas seperti pada tipe
tuberkuloid. Adanya gangguan saraf yang tidak seberat tipe tuberkuloid,
biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer
yang menebal (Halim et al, 2000).
3. BB (Mid Borderline)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil diantara semua spektrum penyakit
kusta, disebut juga bentuk dimorfik. Lesi berbentuk plak, permukaannya
dapat berkilat, batas lesi kurang jelas dan cenderung simetris. Lesi sangat
bervariasi baik ukuran, bentuk maupun distribusinya. Bisa ditemukan lesi
Punched Out, yaitu hipopigmentasi berbentuk bulat pada bagian tengah
dengan batas jelas (Halim et al, 2000).
4. BL (Borderline Lepramatous)
Lesi dmulai dengan infiltrat yang dengan cepat menyebar ke seluruh
tubuh. Makula lebih kecil dan bervariasi bentuknya. Papul dan nodus lebih
tegas walaupun lebih kecil dan distribusinya hampir simetris. Tanpa
kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya
keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan tipe LL
dengan penebalan saraf yang dapat teraba di tempat predileksi (Halim et
al, 2000).
5. LL (Lepramatosa type)
Jumlah lesi infiltrat sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih
eritematosa, berkilat, berbatas tidak tegas. Distribusi lesi khas yaitu di
wajah, dahi, pelipis, dagu, cuping telinga, sedangkan pada bagian badan
pada bagian belakang, lengan, punggung tangan dan permukaan ekstensor
tungkai bawah. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan anestesi yang
disebut Glove and Socking Anesthesi. Bila penyakit ini berlanjut, maka
makula dan papul baru muncul, sedangkan lesi yang lama menjadi plakat
dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami
degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan atrofi otot
tangan dan kaki (Halim et al, 2000).
6. LI (Lepromatosa Indefinite)
Tipe ini tidak termasuk dalam kriteria Ridley-Jopling, namun diterima
secara luas oleh para ahli kusta. Lesi kulit biasanya berupa makula
hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit di sekitarnya normal. Lokasi
berada di bagian ekstensor ekstremitas, bokong, atau muka. Kadang dapat
ditemukan makula hipoestesi atau sedikit penebalan saraf. Tipe ini
merupakan tanda pertama pada 20-80% kasus penderita kusta. Pada
sebagian besar, tipe ini akan sembuh spontan (Halim et al, 2000).
Klasifikasi Internasional (Madrid, 1953)
a. Indeterminate (I)
b. Tuberkuload (T)
c. Borderline (B)
d. Lepromatosa (S)
Menurut WHO, klasifikasi kusta dibagi menjadi :
1. Pausibasilar (PB)
Termasuk kusta tipe TT dan BT menurut kriteria Ridley dan Jopling atau
tipe I dan T menurut klasifikasi Madrid dengan BTA negatif (Amirudin et
al, 1997).
2. Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe BB, BL, dan LL menurut kriteria Ridley dan Jopling
atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif
(Amirudin et al, 1997).
2.1.5 Patogenesis
M. leprae sebagai mikroorganisme penyebab lepra masuk ke dalam tubuh
melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan mukosa
hidung. Pengaruh dari infeksi M. Leprae bergantung pada imunitas seseorang,
pengaruh kemampuan hidup M. Leprae pada suhu tubuh yang rendah.
Mikroorganisme ini bersifat obligat intraselular yang terutama pada sel makrofag
di seluruh pembuluh darah pada dermis dan sel schwann di jaringan saraf. Bila M.
Leprae masuk ke tubuh maka tubuh akan mengeluarkan makrofag untuk
melakukan fagositosis.
Pada tipe LL yang mengakibatkan kelumpuhan sistem imunitas selular,
makrofag tidak mampu menghancurkan basil sehingga basil dapat bermultiplikasi
dengan bebas sehingga dapat merusak jaringan.
Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi,
makrofag dapat menghancurkan basil, sayangnya setelah semua basil
difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak
aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel Datia Langhans. Bila infeksi ini
tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan massa epiteloid akan
menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya.
Sel schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. Leprae,
disamping itu sel schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit
fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel
schwann, basil dapat bermigrasi dan beraktifasi. Akibatnya aktifasi regenerasi
saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif (Amirudin et al, 1997).
pembuluh darah pada dermis dan sel schwann di jaringan saraf. Bila M. Leprae
masuk ke tubuh maka tubuh akan mengeluarkan makrofag untuk melakukan
fagositosis.
2.1.6 Pemeriksaan
1. Anamnesis
Anamnase pada pasien kusta sering menjadi tidak informatif, namun hal
ini tetap kita lakukan. Tanyakan pada pasien mengenai adanya kebas, rasa
seperti tersayat atau terbakar, perubahan lesi pada kulit, kesulitan untuk
menggenggam atau berjalan, masalah pada mata, kontak keluarga dengan
kusta, riwayat pengobatan dengan dapson (Bryceson et al, 1990).
2. Inspeksi
Jika diperlukan, minta pasien untuk berdiri dan membuka pakaiannya.
Perhatikan lesi kulit yang ada pada tubuh pasien di bawah cahaya yang
cukup (Bryceson et al, 1990).
3. Tes Fungsi Syaraf
a. Rasa raba
Dengan kapas atau sepotong kapas yang dilancipkan dipakai untuk
memeriksa perasaan dengan menyinggung kulit.
b. Rasa nyeri
Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan
ujung jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul
dan penderita harus mengakatan tusukan mana yang tajam dan mana
yang tumpul.
c. Rasa suhu
Dilakukan dengan mempergunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi
airpanas (40oC) yang lainnya air dingin (20oC) ditempelkan pada
daerah kulit yang dicurigai dengan sebelumnya melakukan kontrol
pada kulit yang sehat. Jika pada daerah kulit yang dicurigai penderita
salah menyebutkan suhu pada tabung yang ditempelkan, maka dapat
disimpulkan bahwa sensasi suhu di daerah tersebut terganggu.
d. Tes motoris: Voluntary Muscle Test (Amirudin et al, 1997).
4. Pemeriksaan Bakteriologis
Skin smear atau kerokan kulit adalah pemeriksaan sediaan yang
diperoleh lewat irisan dan kerokan kecil pada kulit yang kemudiaan diberi
pewarnaan Ziehl Nielsen untuk melihat M. Leprae.
Pemeriksaan ini beberapa tahun terakhir ini tidak diwajibkan dalam
program Nasional. Namun demikian menurut penelitian, pemeriksaan skin
smear banyak berguna untuk mempercepat penegakan diagnosis, karena
sekitar &-10% penderita yang datang dengan lesi Pba, merupakan kasus
MB yang dini.
5. Pemeriksaan Histopatologik
2.1.6 Pengobatan
Obat anti kusta yang paling banyak dipakai saat ini adalah DDS
(Diaminodifenil Sulfon) lalu Klofazimin, dan Rifampisin. DDS mulai
dipakai sejak 1948 dan pada tahun 1952 di Indonesia. Kolfazimin dipakai
sejak 1962 oleh Brown dan Hoogerzeil dan Rifampisin sejak tahun 1970.
pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotika lain untuk
pengobatan alternatif, yaitu Ofkloksasin, Minisiklin dan Klartromisin
(Kosasih, 2008).
1. DDS (Diamino-difenil-sulfon)
Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat
sintase. Resistensi terhadap dapson timbul akibat kandungan enzim
sintetase yang terlalu tinggi pada kuman kusta. Dapson biasanya
diberikan sebagai dosis tunggal, yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa,
atau 2 mg/kg BB untuk anak-anak. Efek samping yang mungkin timbul
anatara lain: erupsi obat, anemia hemofilik, leukopenia, insomnia,
neuropati. Namun efek samping tersebut jarang terjadi pada pemberian
dosis lazim (Soebono, 1997).
2. Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisidal kuat pada dosis lazim. Rifampisin
bekerja dengan menghambat enzim polimerase RNA yang berikatan
secara ireversibel. Dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kg BB.
Pemberian seminngu sekali dengan jumlah besar dapat menyebabkan
flu like syndrome. Efek samping yang harus diperhatikan adalah
hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, dan erupsi kulit
(Soebono, 1997). Obat ini adalah obat yang menjadi salah satu
komponen kombinasi dengan Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai
monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan terjadinya
resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu ditakutkan, tidak
boleh diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu mengingat efek
sampingnya (Kosasih, 2003).
3. Klofazimin (lamprene)
Obat ini merupakan turunan iminofenazin dan mempunyai efek
bakteriosidal yang setara dengan dapson. Kemungkinan obat ini
bekerja melalui gangguan metabolisme oksigen radikal. Obat ini juga
bersifat anti-inflamasi sehingga dapat dipakai pada penanggulangan
reaksi kusta. Dosis untuk kusta adalah 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali
seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/kg BB/ hari. Efek sampingnya
hanya terjadi dalam dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal
(Nyeri Abdomen, Nausea, Diare, Anoreksi, dan Vomitus). Selain itu
dapat terjadi penurunan berat badan. Dapat juga tertimbun di hati.
Dapat juga terjadi hiperpigmentasi pada kulit, dan perubahan warna
kulit tersebut akan menghilang setelah obat dihentikan (Soebono,
1997).
4. Protionamid dan etionamid
Kedua obat ini merupakan obat anti tuberkuloasis dan hanya sedikit
diakai untuk pengobatan kusta. Dulu kedua obat ini merupakan
pengganti klofazimin terutama pada pasien yang merasa keberatan
dengan efek hiperpigmentasinya. Obat ini bersifat bakteriostatik, tetapi
karena cepat timbul resistensi, lebih toksik, harganya mahal serta efek
hepatotoksiknya, maka sekarang tidak dianjurkan lagi pada pengobatan
kusta.
Skema rejimen Multi Drug Therapy (MDT) WHO terdiri atas
kombinasi obat-obatan dapson, rifampsin, dan klofasimin, dengan skema
menurut WHO sebagai berikut :
1. Rejimen PB : terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan sekali, dibawah
pengawasan ditambah dapson 100 mg/hari (1-2 mg/kg BB) selama 6
bulan.
2. Rejimen MB : terdiri atas kombinasi rifampisin 600 mg sebulan sekali
dibawah pengawasan, dapson 100 mg/hari, ditambah klofazimin 300
mg sebulan sekali diawasi dan 50 mg/hari swakelola. Lama
pengobatan 2 tahun.
Setelah penderita menyelesaikan pengobatan MDT sesuai dengan
peraturan maka ia akan menyatakan RFT (Relasif From Treatment), yang
berarti tidak perlu lagi mimum obat MDT dan dianggap sudah sembuh.
Sebelum penderita dinyatakan RFT, petugas kesehatan harus :
1. Mengisi dan menggambarkan dengan jelas pada lembaran tambahan
RFT secara teliti.
a. Semua bercak masih nampak.
b. Kulit yang hilang atau kurang rasa terutama ditelapak kaki dan
tangan.
c. Semua saraf yang masih tebal.
d. Semua cacat yang masih ada.
2. Mengambil skin smear (sesudah skin smearnya diambil maka penderita
langsung dinyatakan RFT tidak perlu menunggu hasil skin smear).
3. Mencatat data tingkat cacat dan hasil pemeriksaan skin smear dibuku
register.
Pada waktu menyatakan RFT kepada penderita, petugas harus memberi
penjelasan tentang arti dan maksud RFT, yaitu :