Anda di halaman 1dari 17

PERBEDAAN TINGKAT KECACATAN PADA MATA, TANGAN,

DAN KAKI PENDERITA KUSTA TIPE PAUSIBASILAR


DAN MULTIBASILAR SETELAH MENDAPAT
PENGOBATAN MULTI DRUG THERAPY
DI .............KABUPATEN JEMBER

Kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium Lepra yang


menyerang kulit dan saraf tepi. Penyakit kusta sering diabaikan oleh penderitanya
karena tanda awalnya yang menyerupai panu. Padahal penyakit kusta dalam
jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya (Amirudin, 2005). Kusta dapat sangat progresif
menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak dan mata.
Penyakit kusta umumnya terdapat di negara berkembang sebagai akibat
ketidakmampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai di
bidang kesehatan pada masyarakat (Depkes RI, 2007). Mayoritas penderita kusta
berasal dari negara India sebesar 133.717 kasus, Brazil 37.610 kasus, dan di
Indonesia sebanyak 17.260 kasus (WHO, 2010).
Secara nasional, Provinsi Jawa Timur merupakan penyumbang penderita
kusta terbanyak diantara provinsi lainnya. Rata-rata penemuan penderita kusta di
Provinsi Jawa Timur per tahun antara 4000-5000 orang. Pada Tahun 2012,
penemuan penderita baru di Indonesia sebanyak 18.853 orang, sedangkan
penemuan penderita baru di Provinsi Jawa Timur sebanyak 4.807 orang (Laporan
Program Kusta Seksi Pemberantasan Penyakit, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Timur dalam Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2012). Pada tahun
2013, Jawa Timur masih merupakan penyumbang tertinggi kasus baru kusta
diantara provinsi lainnya yaitu sebesar 4.132 orang (Profil Kesehatan Indonesia
2013, Pusat Data dan Informasi).
Dari seluruh kabupaten di Jawa Timur, Jember berada di posisi keempat
penderita kusta terbanyak. Tipe kusta terbagi menjadi dua yaitu tipe pausibasilar
(PB) dan multibasilar (MB). Jika seseorang mempunyai daya tahan tubuh yang
masih mampu sedikit melawan Mycobacterium leprae, bakteri tidak sempat
menjadi terlalu banyak, disebut “Pausibasiler” (sedikit bakteri) atau disebut
golongan PB. Secara klinis seseorang diklasifikasikan sebagai penderita kusta
golongan PB jika mempunyai 1-3 bercak pada kulitnya dan/atau maksimum satu
saraf yang tebal atau fungsinya terganggu. Tetapi kalau daya tahan tubuhnya tidak
melawan serangan Mycobacterum leprae sama sekali, bakteri itu sempat
berkembang biak dengan bebas sampai ada banyak sekali. Seseorang yang begitu
disebut “Multibasiler” (banyak bakteri) atau disebut golongan MB. Di Kabupaten
Jember, tipe penyakit kusta Multibasilar (MB) lebih banyak daripada penyakit
kusta tipe Pausibasilar (PB). Perbedaan tipe MB dan PB ditentukan dari respon
imun seseorang. Sistem Imun Seluler (SIS) memberikan perlindungan terhadap
penderita lepra. Ketika SIS spesifik efektif dalam mengontrol infeksi dalam tubuh,
lesi akan menghilang secara spontan atau menimbulkan lepra dengan tipe
Pausibasilar. Apabila SIS rendah, infeksi akan menyebar tidak terkendali dan
menimbulkan lepra dengan tipe Multibasilar. Hal ini berarti jika seseorang
menderita penyakit kusta tipe MB, infeksi yang diderita akan lebih berat daripada
tipe PB.
Dilain sisi, beban utama masalah kusta adalah kecacatan yang
ditimbulkannya. Masalah fisik berupa kecacatan yang dialami klien kusta
umumnya terjadi pada mata, tangan, dan kaki. Di Indonesia, proporsi cacat
penderita kusta sebesar 10.4% (WHO, 1997). Terjadinya cacat pada penderita
kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi syaraf tepi, baik karena kuman kusta
maupun karena terjadinya peradangan (neuritis) sewaktu keadaan reaksi kusta.
Reaksi kusta adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang
merupakan suatu reaksi kekebalan (cellulair respons) atau reaksi antigen antibody
(humoral respons) dengan akibat yang merugikan penderita, terutama jika
mengenai saraf tepi karena menyebabkan gangguan fungsi (cacat). Reaksi ini
dapat terjadi pada penderita sebelum mendapat pengobatan, dalam pengobatan
maupun setelah pengobatan. Namun sering terjadi pada 6 bulan sampai 1 tahun
sesudah mulai pengobatan.
Kejadian reaksi pada penderita kusta lebih sering terjadi pada umur 15 tahun
lebih. Kejadian reaksi kusta umumnya sebesar 30,9% pada saat awal kunjungan.
Insiden paling tinggi terjadi antara 6 sampai 12 bulan setelah dimulai pengobatan
MDT (Kumar et al., 2004).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan
tingkat kecacatan pada mata, tangan, dan kaki penderita kusta tipe PB dan MB
setelah mendapat pengobatan Multi Drug Therapy di ............. Kabupaten Jember
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kusta
2.1.1 Sejarah Kusta
Penyakit kusta telah dikenal hampir 2000 tahun SM. Banyak para ahli
percaya bahwa tulisan pertama tentang kusta muncul dalam sebuah dokumen
Papirus Mesir ditulis sekitar tahun 1550 SM. Sekitar tahun 1400 - 600 SM,
ditemukan sebuah tulisan berbahasa India menggambarkan penyakit yang
menyerupai kusta. Di Eropa, kusta pertama kali muncul dalam catatan Yunani
Kuno setelah tentara Alexander Agung kembali dari India. Kemudia di Roma pada
62 SM bertepatan dengan kembalinya pasukan Pompei dari Asia kecil (Infodatin
Kusta, 2015). Selain itu, di Tiongkok penyakit kusta telah dikenal sejak 600 SM
dan di Mesopotamia sejak 400 tahun SM (Pedoman Nasional Program
Pengendalian Penyakit Kusta, 2012).
Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada
akir 1940-an dengan diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Namun, bakteri
penyebab lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian
menyebar (id.wikipedia.org).
Pada tahun 1873, Dr Gerhard Armauer Henrik Hansen dari Norwegia
adalah orang pertama yang mengidentifikasi kuman yang menyebabkan penyakit
kusta di bawah mikroskop. Penemuan Mycobacterium leprae membuktikan
bahwa kusta disebabkan oleh kuman, dan dengan demikian tidak turun menurun,
dari kutukan atau dari dosa (Infodatin Kusta, 2015).
Berikut ini merupakan sejarah pemberantasan penyakit kusta di dunia
yang terbagi dalam 3 zaman yaitu (Pedoman Nasional Program Pengendalian
Penyakit Kusta, 2012) :

1. Jaman Purbakala

Pada zaman purbakala, telah terjadi pengasingan secara spontan


karena pasien merasa rendah diri dan malu, disamping itu masyarakat
menjauhi karena merasa jijik dan takut.
Penjelasan mengenai penyakit kusta dapat juga dibaca dalam Kitab –
Kitab agama seperti :
a. Agama Hindu
Dalam Kitab Weda (1400 SM) penyakit kusta disebut Kustha, nama
yang lazim juga disebut di Indonesia
b. Agama Kong Hu Cu
Dalam kitab agama Kong Hu Cu, penyakit kusta disebut “Ta Feng”
yang disebabkan oleh hubungan kelamin yang tidak teratur. Penyakit
ini dibawah pengaruh setan “Feng Shui” yang pada umumnya
dianggap tidak dapat disembuhkan.
c. Agama Kristen
Kata kusta dicantumkan beberapa kali di dalam Injil dan kata ini
merupakan terjemahan dari bahasa Ibrani “Zaraath”. Menurut
Herodous, kata Zaraath berarti kelainan kulit yang bersisik yang
gambaran kliniknya tidak sesuai dengan penyakit kusta.
d. Agama Islam
Dalam agama Islam ditemukan dua istilah untuk pengertian kusta,
yaitu dalam Al – Qur’an disebut “Al-Abras” dan dalam Hadits disebut
“Al-Majrum”.
2. Jaman Pertengahan
Pada pertengahan abad ke – 13 dengan adanya keteraturan
ketatanegaraan dengan sistem feodal yang berlaku di Eropa
mengakibatkan masyarakat sangat patuh dan takut terhadap penguasa dan
hak asasi manusia tidak mendapat perhatian. Demikian pula yang terjadi
pada pasien kusta yang umumnya merupakan rakyat biasa. Pada waktu itu
penyakit dan obat – obatan belum ditemukan, maka pasien kusta
diasingkan lebih ketat dan dipaksakan tinggal di Leprosaria / Koloni /
Perkampungan pasien kusta seumur hidup.
3. Jaman Modern
Dengan ditemukannya kuman kusta oleh Gerhard Armauer Hansen
pada tahun 1873, maka dimulailah era perkembangan baru untuk mencari
obat anti kusta dan usaha penanggulangannya. Demikian pula di
Indonesia, Dr Sitanala telah mempelopori perubahan sistem pengobatan
yang tadinya dilakukan secara isolasi, secara bertahap dilakukan dengan
pengobata rawat jalan.
2.1.2 Definisi
Kusta adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi, kulit, dan jaringan tubuh
lainnya kecuali susunan saraf pusat (Depkes RI, 2006).
Istilah kusta berasal dari bahasa India, yakni kushtha berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen,
sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer
Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen (Kosasih,
2003). Saat ini penyakit lepra lebih disebut sebagai penyakit Hansen, bukan hanya
untuk menghargai jerih payah penemunya, melainkan juga
karena kata leprosy dan leper mempunyai konotasi yang begitu negatif, sehingga
penamaan yang netral lebih diterapkan untuk mengurangi stigma sosial yang tak
seharusnya diderita oleh pasien kusta (id.wikipedia.org).
Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik dan menular, penyebabnya ialah
Mycobacterium Leprae yang pertama-tama menyerang kulit, mukosa mulut,
saluran nafas bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis.
Tidak ada penyakit infeksi lain selain penyakit kusta yang dapat menandingi
keanekaragaman gambaran klinik baik dari lesi kulit maupun lesi saraf sehingga
penyakit kusta disebut “The Greatest Imitator” (Halim, 2000).
Pada tahun 2008, juga telah ditemukan bakteri Mycobacterium
lepromatosis oleh Universitas Texas yang menyebabkan endemik sejenis kusta
di Meksiko dan Karibia, yang dikenal lebih khusus dengan sebutan diffuse
lepromatous leprosy (id.wikipedia.org).

2.1.3 Gejala Klinis


Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau
tipe dari penyakit tersebut. Tanda dan gejala dari penyakit kusta antara lain :
1. Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia.
2. Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin
melebar dan banyak.
3. Adanya pelebaran saraf terutama pada saraf ulnaris, medianus, aulicularis
magnus serta peroneus. Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit
menjadi tipis dan mengkilat.
4. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar pada kulit.
5. Alis rambut rontok.
6. Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka
singa).
Gejala-gejala umum pada kusta, reaksi :
1. Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil.
2. Anoreksia.
3. Nausea, kadang-kadang disertai vomitus.
4. Cephalgia.
5. Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis.

6. Kadang-kadang disertai dengan Nephrosia, Nepritis dan


hepatospleenomegali.
7. Neuritis

2.1.4 Klasifikasi

Ridley dan Jopling (1962) memperkenalkan istilah spektrum Determinate


pada penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu:

1. TT (Tuberkuloid Type)
Lesi ini mengenai kulit maupun saraf perifer. Lesi kulit bisa satu atau
beberapa, dapat berupa makula maupun plakat, batas jelas dan pada bagian
tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau Central Healing. Permukaan
lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi bahkan dapat menyerupai
gambaran psoriasis. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya
teraba dan kelemahan otot (Halim et al, 2000).
2. BT (Borderlines Tuberculoid)
Mirip gambaran pada tipe TT, tetapi terdapat gambaran hipopigmentasi,
kekeringan kulit atau skuama yang tidak jelas seperti pada tipe
tuberkuloid. Adanya gangguan saraf yang tidak seberat tipe tuberkuloid,
biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer
yang menebal (Halim et al, 2000).
3. BB (Mid Borderline)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil diantara semua spektrum penyakit
kusta, disebut juga bentuk dimorfik. Lesi berbentuk plak, permukaannya
dapat berkilat, batas lesi kurang jelas dan cenderung simetris. Lesi sangat
bervariasi baik ukuran, bentuk maupun distribusinya. Bisa ditemukan lesi
Punched Out, yaitu hipopigmentasi berbentuk bulat pada bagian tengah
dengan batas jelas (Halim et al, 2000).
4. BL (Borderline Lepramatous)
Lesi dmulai dengan infiltrat yang dengan cepat menyebar ke seluruh
tubuh. Makula lebih kecil dan bervariasi bentuknya. Papul dan nodus lebih
tegas walaupun lebih kecil dan distribusinya hampir simetris. Tanpa
kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya
keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan tipe LL
dengan penebalan saraf yang dapat teraba di tempat predileksi (Halim et
al, 2000).
5. LL (Lepramatosa type)
Jumlah lesi infiltrat sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih
eritematosa, berkilat, berbatas tidak tegas. Distribusi lesi khas yaitu di
wajah, dahi, pelipis, dagu, cuping telinga, sedangkan pada bagian badan
pada bagian belakang, lengan, punggung tangan dan permukaan ekstensor
tungkai bawah. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan anestesi yang
disebut Glove and Socking Anesthesi. Bila penyakit ini berlanjut, maka
makula dan papul baru muncul, sedangkan lesi yang lama menjadi plakat
dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami
degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan atrofi otot
tangan dan kaki (Halim et al, 2000).
6. LI (Lepromatosa Indefinite)
Tipe ini tidak termasuk dalam kriteria Ridley-Jopling, namun diterima
secara luas oleh para ahli kusta. Lesi kulit biasanya berupa makula
hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit di sekitarnya normal. Lokasi
berada di bagian ekstensor ekstremitas, bokong, atau muka. Kadang dapat
ditemukan makula hipoestesi atau sedikit penebalan saraf. Tipe ini
merupakan tanda pertama pada 20-80% kasus penderita kusta. Pada
sebagian besar, tipe ini akan sembuh spontan (Halim et al, 2000).
Klasifikasi Internasional (Madrid, 1953)
a. Indeterminate (I)
b. Tuberkuload (T)
c. Borderline (B)
d. Lepromatosa (S)
Menurut WHO, klasifikasi kusta dibagi menjadi :
1. Pausibasilar (PB)
Termasuk kusta tipe TT dan BT menurut kriteria Ridley dan Jopling atau
tipe I dan T menurut klasifikasi Madrid dengan BTA negatif (Amirudin et
al, 1997).
2. Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe BB, BL, dan LL menurut kriteria Ridley dan Jopling
atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif
(Amirudin et al, 1997).

2.1.5 Patogenesis
M. leprae sebagai mikroorganisme penyebab lepra masuk ke dalam tubuh
melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan mukosa
hidung. Pengaruh dari infeksi M. Leprae bergantung pada imunitas seseorang,
pengaruh kemampuan hidup M. Leprae pada suhu tubuh yang rendah.
Mikroorganisme ini bersifat obligat intraselular yang terutama pada sel makrofag
di seluruh pembuluh darah pada dermis dan sel schwann di jaringan saraf. Bila M.
Leprae masuk ke tubuh maka tubuh akan mengeluarkan makrofag untuk
melakukan fagositosis.
Pada tipe LL yang mengakibatkan kelumpuhan sistem imunitas selular,
makrofag tidak mampu menghancurkan basil sehingga basil dapat bermultiplikasi
dengan bebas sehingga dapat merusak jaringan.
Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi,
makrofag dapat menghancurkan basil, sayangnya setelah semua basil
difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak
aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel Datia Langhans. Bila infeksi ini
tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan massa epiteloid akan
menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya.
Sel schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. Leprae,
disamping itu sel schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit
fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel
schwann, basil dapat bermigrasi dan beraktifasi. Akibatnya aktifasi regenerasi
saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif (Amirudin et al, 1997).
pembuluh darah pada dermis dan sel schwann di jaringan saraf. Bila M. Leprae
masuk ke tubuh maka tubuh akan mengeluarkan makrofag untuk melakukan
fagositosis.

2.1.6 Pemeriksaan
1. Anamnesis
Anamnase pada pasien kusta sering menjadi tidak informatif, namun hal
ini tetap kita lakukan. Tanyakan pada pasien mengenai adanya kebas, rasa
seperti tersayat atau terbakar, perubahan lesi pada kulit, kesulitan untuk
menggenggam atau berjalan, masalah pada mata, kontak keluarga dengan
kusta, riwayat pengobatan dengan dapson (Bryceson et al, 1990).
2. Inspeksi
Jika diperlukan, minta pasien untuk berdiri dan membuka pakaiannya.
Perhatikan lesi kulit yang ada pada tubuh pasien di bawah cahaya yang
cukup (Bryceson et al, 1990).
3. Tes Fungsi Syaraf
a. Rasa raba
Dengan kapas atau sepotong kapas yang dilancipkan dipakai untuk
memeriksa perasaan dengan menyinggung kulit.

b. Rasa nyeri
Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan
ujung jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul
dan penderita harus mengakatan tusukan mana yang tajam dan mana
yang tumpul.
c. Rasa suhu
Dilakukan dengan mempergunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi
airpanas (40oC) yang lainnya air dingin (20oC) ditempelkan pada
daerah kulit yang dicurigai dengan sebelumnya melakukan kontrol
pada kulit yang sehat. Jika pada daerah kulit yang dicurigai penderita
salah menyebutkan suhu pada tabung yang ditempelkan, maka dapat
disimpulkan bahwa sensasi suhu di daerah tersebut terganggu.
d. Tes motoris: Voluntary Muscle Test (Amirudin et al, 1997).

4. Pemeriksaan Bakteriologis
Skin smear atau kerokan kulit adalah pemeriksaan sediaan yang
diperoleh lewat irisan dan kerokan kecil pada kulit yang kemudiaan diberi
pewarnaan Ziehl Nielsen untuk melihat M. Leprae.
Pemeriksaan ini beberapa tahun terakhir ini tidak diwajibkan dalam
program Nasional. Namun demikian menurut penelitian, pemeriksaan skin
smear banyak berguna untuk mempercepat penegakan diagnosis, karena
sekitar &-10% penderita yang datang dengan lesi Pba, merupakan kasus
MB yang dini.

Pada kasus yang meragukan harus dilakukan pemeriksaan apusan


kulit (skin smear). Pemeriksaan ini dilakukan oleh petugas terlatih. Karena
cara pewarnaan yang sama dengan pemeriksaan TBC maka pemeriksaan
dapat dilakukan di puskesmas (PRM) yang memiliki tenaga serta fasilitas
untuk pemeriksaan BTA (Amirudin et al, 1997).

5. Pemeriksaan Histopatologik

Diagnosis penyakit kusta biasanya dapat dibuat berdasarkan


pemeriksaan klinik, secara teliti dan pemeriksaan bakterioskopik. Pada
sebagian kecil kasus, bilamana diagnosis masih meragukan, pemeriksaan
histopatologik dapat dilakukan. Pemeriksaan ini digunakan untuk
menegakkan diagnosa penyakit kusta, Khisusnya pada anak-anak, bilaman
pemeriksaan saraf sensoris tidak mudah dilakukan pada lesi dini,
contohnya pada tipe indeterminate, juga untuk menentukan klasifikasi
yang tepat (Amirudin et al, 1997).

2.1.6 Pengobatan
Obat anti kusta yang paling banyak dipakai saat ini adalah DDS
(Diaminodifenil Sulfon) lalu Klofazimin, dan Rifampisin. DDS mulai
dipakai sejak 1948 dan pada tahun 1952 di Indonesia. Kolfazimin dipakai
sejak 1962 oleh Brown dan Hoogerzeil dan Rifampisin sejak tahun 1970.
pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotika lain untuk
pengobatan alternatif, yaitu Ofkloksasin, Minisiklin dan Klartromisin
(Kosasih, 2008).
1. DDS (Diamino-difenil-sulfon)
Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat
sintase. Resistensi terhadap dapson timbul akibat kandungan enzim
sintetase yang terlalu tinggi pada kuman kusta. Dapson biasanya
diberikan sebagai dosis tunggal, yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa,
atau 2 mg/kg BB untuk anak-anak. Efek samping yang mungkin timbul
anatara lain: erupsi obat, anemia hemofilik, leukopenia, insomnia,
neuropati. Namun efek samping tersebut jarang terjadi pada pemberian
dosis lazim (Soebono, 1997).
2. Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisidal kuat pada dosis lazim. Rifampisin
bekerja dengan menghambat enzim polimerase RNA yang berikatan
secara ireversibel. Dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kg BB.
Pemberian seminngu sekali dengan jumlah besar dapat menyebabkan
flu like syndrome. Efek samping yang harus diperhatikan adalah
hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, dan erupsi kulit
(Soebono, 1997). Obat ini adalah obat yang menjadi salah satu
komponen kombinasi dengan Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai
monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan terjadinya
resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu ditakutkan, tidak
boleh diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu mengingat efek
sampingnya (Kosasih, 2003).
3. Klofazimin (lamprene)
Obat ini merupakan turunan iminofenazin dan mempunyai efek
bakteriosidal yang setara dengan dapson. Kemungkinan obat ini
bekerja melalui gangguan metabolisme oksigen radikal. Obat ini juga
bersifat anti-inflamasi sehingga dapat dipakai pada penanggulangan
reaksi kusta. Dosis untuk kusta adalah 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali
seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/kg BB/ hari. Efek sampingnya
hanya terjadi dalam dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal
(Nyeri Abdomen, Nausea, Diare, Anoreksi, dan Vomitus). Selain itu
dapat terjadi penurunan berat badan. Dapat juga tertimbun di hati.
Dapat juga terjadi hiperpigmentasi pada kulit, dan perubahan warna
kulit tersebut akan menghilang setelah obat dihentikan (Soebono,
1997).
4. Protionamid dan etionamid
Kedua obat ini merupakan obat anti tuberkuloasis dan hanya sedikit
diakai untuk pengobatan kusta. Dulu kedua obat ini merupakan
pengganti klofazimin terutama pada pasien yang merasa keberatan
dengan efek hiperpigmentasinya. Obat ini bersifat bakteriostatik, tetapi
karena cepat timbul resistensi, lebih toksik, harganya mahal serta efek
hepatotoksiknya, maka sekarang tidak dianjurkan lagi pada pengobatan
kusta.
Skema rejimen Multi Drug Therapy (MDT) WHO terdiri atas
kombinasi obat-obatan dapson, rifampsin, dan klofasimin, dengan skema
menurut WHO sebagai berikut :
1. Rejimen PB : terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan sekali, dibawah
pengawasan ditambah dapson 100 mg/hari (1-2 mg/kg BB) selama 6
bulan.
2. Rejimen MB : terdiri atas kombinasi rifampisin 600 mg sebulan sekali
dibawah pengawasan, dapson 100 mg/hari, ditambah klofazimin 300
mg sebulan sekali diawasi dan 50 mg/hari swakelola. Lama
pengobatan 2 tahun.
Setelah penderita menyelesaikan pengobatan MDT sesuai dengan
peraturan maka ia akan menyatakan RFT (Relasif From Treatment), yang
berarti tidak perlu lagi mimum obat MDT dan dianggap sudah sembuh.
Sebelum penderita dinyatakan RFT, petugas kesehatan harus :
1. Mengisi dan menggambarkan dengan jelas pada lembaran tambahan
RFT secara teliti.
a. Semua bercak masih nampak.
b. Kulit yang hilang atau kurang rasa terutama ditelapak kaki dan
tangan.
c. Semua saraf yang masih tebal.
d. Semua cacat yang masih ada.
2. Mengambil skin smear (sesudah skin smearnya diambil maka penderita
langsung dinyatakan RFT tidak perlu menunggu hasil skin smear).
3. Mencatat data tingkat cacat dan hasil pemeriksaan skin smear dibuku
register.
Pada waktu menyatakan RFT kepada penderita, petugas harus memberi
penjelasan tentang arti dan maksud RFT, yaitu :

1. Pengobatan telah selesai.


2. Penderita harus memelihara tangan dan kaki dengan baik agar jangan
sampai luka.
3. Bila ada tanda-tanda baru, penderita harus segera datang untuk
periksaan ulang.
2.1.7 Reaksi Kusta
Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode dalam perjalanan
kronis penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan atau reaksi
antigenantibodi dengan akibat merugikan penderita, terutama jika mengenai
saraf tepi karena menyebabkan gangguan fungsi (cacat). Reaksi kusta dapat
terjadi sebelum pengobatan tetapi terutama terjadi selama atau sesudah
pengobatan. Gambaran klinisnya sangat khas berupa panas, merah, bengkak dan
dapat disertai gangguan fungsi saraf. Namun tidak semua gejala reaksi serupa.
1. Reaksi Tipe 1
Reaksi ini banyak terjadi pada penderita yang berada pada spektrum
borderline. Reaksi ini terjadi selama pengobatan dan terjadi karena
peningkatan hebat respon imun seluler secara tiba-tiba, sehingga terjadi
peradangan hebat pada kulit dan saraf. Inflamasi pada saraf dapat
mengakibatkna kerusakan dan kecacatan yang timbulnya dalam hitungan
hari, jika tidak ditangani secara adekuat. Gejala pada reaksi tipe 1 dapat
dilihat berupa perubahan pada kulit, maupun saraf dalam bentuk
peradangan. Kulit bengkak, nyeri, dan panas . Pada saraf, manifestasi berupa
nyeri dan gangguan fungsi saraf, kadang juga dapat terjadi demam (Pedoman
Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, 2006).
2. Reaksi Tipe 2
Terjadi pada penderita MB dan merupakan reaksi humoral karena tingginya
respon imun humoral pada penderita borderline dan lepromatous, dimana
tubuh membentuk antibodi karena salah satu protein M. Leprae bersifat
antigenik. Jika terjadi reaksi dengan antibodi sehingga membentuk kompleks
imun dan menyebabkan nodul merah yang disebut ENL (Erytema Nodosum
Leprosum). Kompleks imun juga biasanya terjadi ekstravaskuler dan dalam
sirkulasi darah, sehingga dapat mengendap ke berbagai organ terutama pada
kulit, saraf, limfonodus, dan testis. Umumnya menghilang dalam 10 hari dan
bekasnya daat menimbulkan hiperpigmentasi (Pedoman Nasional
Pemberantasan Penyakit Kusta, 2006).
3. Lucio Phenomenon Reaksi yang terjadi pada tipe LL yang menyerang pasien
kusta di negara Meksiko yang tidak mendapatkan pengobatan. Gejalanya
berupa bintik merah yang lunak dan nyeri di kulit, biasanya pada
ekstremitas, kemudian bintik tersebut menjadi seperti purpura dan bagian
tengahnya menjadi ulkus dan akhirnya menjadi seperti krusta yang berwarna
coklat atau hitam (Jopling, 1995).
2.1.8 Cacat Kusta
WHO (1980) membatasi istilah dalam cacat kusta sebagai berikut:
1. Impairment: segala kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi
yang bersifat patologik, fisiologik, atau anatomik, misalnya leproma,
ginekomastia, madarosis, claw hand, ulkus, dan absorbsi jari.
2. Disability: segala keterbatasan atau kekurangmampuan (akibat
impairment) untuk melakukan kegiatan dalam batas kehidupan yang
normal bagi manusia.
3. Handicap: kemunduran pada seorang individu (akibat impairment atau
disability) yang membatasi atau menghalangi penyelesaian tugas normal
yang bergantung pada umur, jenis kelamin, dan faktor soial budaya.
Handicap ini merupakan efek penyakit kusta yang berdampak sosial,
ekonomi, dan budaya.
WHO Expert Comittee on Leprosy dalam laporan yang dimuat dalam
WHO Technical Report Series No. 607 telah membuat klasifikasi cacat bagi
penderita kusta. Klasifikasi tersebut antara lain:
1. Tingkat 0 (tidak terdapat gangguan sensibilitas atau deformitas yang
terlihat pada kaki, tangan dan mata).
2. Tingkat 1 (ada gangguan sensibilitas, tanpa ada kerusakan yang terlihat
pada tangan dan kaki. Ada gangguan pada mata, tidak terdapat
gangguan penglihatan yang berat. Visus 6/60 atau lebih baik).
3. Tingkat 2 (ada deformitas pada tangan dan kaki, visus kurang dari 6/60,
terdapat gangguan penglihatan berat) (Kosasih, 2003).
Jenis cacat yang timbul pada penderita kusta dapat dibagi:
1. Kelompok cacat primer
Kelompok kecacatan yang disebabkan langsung oleh aktivitas
penyakit, terutama kecacatan sebagai respon kerusakan jaringan
terhadap infeksi. Yang termasuk cacat ini:
a. Cacat pada fungsi sensorik, misalnya anestesia, fungsi saraf
motorik. Misalnya: claw hand, wrist drop, foot drop, lagoftalmos
dan cacat pada fungsi otonom yang dapat menyebabkan kulit
kering dan elastisitas kulit berkurang.
b. Infiltrasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan
kulit berkerut dan berlipat-lipat. Kerusakan folikel rambut
menyebabkan alopesia dan madarosis.
c. Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman dapat terjadi
tendon, ligamen, sendi, tulang rawan, tulang, testis, dan bola
mata (Harijanto, 2000).
2. Kelompok cacat sekunder
Cacat yang terjadi akibat cacat primer, terutama akibat adanya
kerusakan saraf. Anestesi memudahkan luka akibat trauma mekanis
maupun termis. Kelumpuhan motorik dapat menyebabkan
kontraktur sehingga dapat menimbulkan gangguan mengenggam
dan berjalan. Lagoftalmos dapat menyebabkan kornea kering dan
terjadinya keratitis (Harijanto, 2000).
Menurut Kuniarto (2006), terdapat beberapa faktor risiko yang
mempengaruhi terjadinya kecacatan pada penderita kusta, yaitu:
a. Pekerjaan
b. Status ekonomi
c. Lama sakit
d. Tidak teratur minum obat
e. Riwayat reaksi
f. Lokasi lesi
g. Perawatan diri

Anda mungkin juga menyukai