Mamik Mu'alifatul Ulya PDF
Mamik Mu'alifatul Ulya PDF
SKRIPSI
Oleh:
MAMIK MU’ALIFATUL ULYA
NIM. 145080300111014
i
KEMASAN CERDAS (SMART PACKAGING) DENGAN SENSOR pH
BERBASIS ANTOSIANIN DAUN ERPA SEBAGAI DETEKTOR KEBUSUKAN
FILET IKAN GURAMI (Osphronemus gouramy)
SKRIPSI
Oleh:
MAMIK MU’ALIFATUL ULYA
NIM. 145080300111014
ii
iii
IDENTITAS TIM PENGUJI
PENGUJI PEMBIMBING :
Pembimbing 1 : Dr. Ir. Titik Dwi Sulistiyati, MP.
iv
PERNYATAAN ORISINALITAS
NIM : 145080300111014
Detektor Kebusukan Filet Ikan Gurami (Osphronemus Gouramy)” yang saya tulis
ini benar merupakan hasil karya saya sendiri, dan sepanjang pengetahuan saya
juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh
orang lain kecuali yang tertulis oleh naskah ini dan disebut dengan daftar
pustaka.
Apabila kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil
Mahasiswa
v
UCAPAN TERIMAKASIH
vi
6. Tim, teman seperjuangan, sekaligus pendengar setia terbaik Halimatus
Sa’diyah yang selalu setia menjadi pendengar keluhan skripsi saya.
7. Tim Bimbingan Mami Titik yang selalu setia memberi semangat dan
masukan (Syafira, Peri, Anis, Cristin, Fitria, Hilman, Jihan, Josh, Eky,
Aim, Ling, Ucup, Mutia, Nyot, Hima, dan Nay).
8. Sahabat kontrakan kos lalapan 78, teman seperjuangan skripsi Bibah,
Anis, Lia, Zheng Lic, dan Zheng Nur yang selalu siap menghibur saat
lagi down karena skripsi.
9. Sahabat asisten Biokimia, Teknologi Refrigerasi, Teknologi
Pengemasan dan DTHP yang selalu memberi masukan dan semangat
agar bisa segera sidang.
10. Keluargaku THP 2014 serta semua sahabat yang tidak bisa disebutkan
semua yang selalu memberikan dukungan dan semangat.
Penulis
vii
RINGKASAN
viii
apakah antosianin daun erpa dapat digunakan sebagai zat warna alami
pada film indikator, serta untuk mengetahui bagaimana perubahan warna
yang terjadi dari film indikator setelah diaplikasikan pada produk filet ikan
gurami. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode
eksploratif deskriptif. Pengujian yang dilakukan yaitu terdiri dari uji
kandungan total antosianin, uji pH, kuat tarik, elongasi, trasnmisi uap air,
ketebalan, TPC, TVBN, TMA, organoleptik, kadar air, dan kadar protein.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa total antosianin ekstrak daun
erpa sebesar 71,47 mg/L. Ekstak antosianin daun erpa dapat digunakan
sebagai zat warna pada film indikator sebagai kemasan cerdas, karena
ekstak antosianin daun erpa dapat berubah warna sesuai dengan kondisi
kimia dan mikrobiologi dari lingkungan. Perubahan warna pada film
indikator terjadi dari yang awalnya berwarna merah pada jam ke-0
berubah menjadi warna oranye kecoklatan pada jam ke-6, berwarna
oranye pekat pada jam ke-12 dan berwarna oranye cerah pada jam ke-18.
Kemudian pada jam ke-24 film indikator berubah menjadi warna oranye
pudar kekuningan dan bewarna kuning keoranyenan pada jam ke-30.
Selanjutnya terakhir berwarna kuning kehijauan pada jam ke-36. Filet ikan
gurami tidak aman untuk dikonsumsi pada jam ke-24 yaitu dengan kadar
TVBN 31,715 mg/100 g dari batas maksimal 30 mg/100 g, TMA 12,595
mg/100 g dari batas maksimal 10 mg/100 g, dan TPC 6,18 log dari batas
maksimal 5,7 log dengan warna indikator berwarna oranye pudar
kekuningan.
ix
KATA PENGANTAR
Penulis
x
DAFTAR ISI
Halaman
COVER
HALAMAN JUDUL .............................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................... ii
IDENTITAS PENGUJI ......................................................................... iii
PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................................... iv
UCAPAN TERIMAKASIH .................................................................... v
RINGKASAN ....................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................... ix
DAFTAR ISI ......................................................................................... x
DAFTAR TABEL ................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xv
1. PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 4
1.4 Kegunaan ....................................................................................... 5
1.5 Jadwal Pelaksanaan ............................................................... 5
xi
a. Penelitian Pendahuluan Tahap 1 ................................... 27
b. Penelitian Pendahuluan Tahap 2 ................................... 28
3.3.2 Penelitian Utama ................................................................. 32
xii
4.6 Perubahan Warna Film Indikator Ekstrak Antosianin Daun Erpa
Selama Penyimpanan (Respon dari Kebusukan Filet Ikan
Gurami) ............................................................................................ 65
5. PENUTUP ............................................................................................. 68
5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 68
5.2 Saran .............................................................................................. 68
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
xvi
1. PENDAHULUAN
tawar yang bernilai ekonomis tinggi di Indonesia. Ikan gurami mempunyai harga
yang lebih tinggi dari pada ikan air tawar lainnya karena pertumbuhan ikan
gurami yang relatif lambat (Respati dan Santoso, 1993). Disamping itu ikan
gurami juga memiliki kandungan gizi yang tinggi yaitu protein 18,05%, lemak
0,57%, air 79,47%, karbohidrat 1,65%, dan abu 0,4% setiap ekornya (Aryani et
al., 2017). Meskipun ikan gurami memiliki harga yang lebih mahal dari jenis ikan
air tawar lainnya, namun banyak masyarakat yang mencarinya. Hal ini
dikarenakan daging ikan gurami yang kasat, tidak berair dan gurih menjadikan
Namun disisi lain ikan merupakan produk yang mudah busuk (Perishable
food), hal ini disebabkan karena kandungan protein yang tinggi dimana pada ikan
gurami sejumlah 18,05% dan kondisi lingkungan yang sangat sesuai untuk
pertumbuhan mikroba pembusuk. Selain itu kadar air yang terkandung di dalam
ikan dimana pada ikan gurami sejumlah 79,47% juga sebagai faktor utama
penyebab dari kebusukan (Purwani dan Hapsari, 2011). Salah satu upaya yang
pengemasan.
dalam menampilkan informasi seperti berat bahan, komposisi bahan, nilai gizi,
cara menyimpan, cara memasak, dan informasi penting lainnya seperti tanggal
Suprayitno (2014), ada beberapa jenis bahan kemasan yang sering digunakan
fleksibel, botol dan gelas jar. Macam-macam jenis bahan kemasan yang ada
disesuaikan dengan kegunaan dan kesesuaian terhadap sifat bahan yang akan
dikemas.
Secara umum kemasan ini hanya berupa plastik film yang disertai dengan
indikator yang bekerja atau bereaksi terhadap waktu dan suhu penyimpanan
dari lingkungan sekitar kemasan yang ada (Day, 2008). Berdasarkan teknik
indikator tersebut, metode pada kemasan ini masih belum menjamin akan
kemunduran mutu yang terjadi pada berbagai hasil perikanan (Eskin dan
Robinson, 2001).
kemasan ini menggunakan suatu metode yang dikenal sebagai Food Quality
Indicator (FQI). Kemasan ini bereaksi terhadap perubahan secara kimiawi atau
2
Salah satu bahan yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia
sebagai matrik pembawa warna pada Food Quality Indicator (FQI) adalah
kitosan. Menurut Purwanti (2010), kitosan dapat diperoleh dari kulit, kepala, dan
menggunakan larutan NaOH dan HCl. Film dengan bahan dasar kitosan
mempunyai sifat yang kuat, elastis, fleksibel dan sulit untuk dirobek sebanding
dengan polimer komersial dengan kekuatan sedang (Buttler et al., 1996). Warsiki
et al., (2013) melaporkan bahwa film kombinasi kitosan dan Polivinil Alkohol
(PVA) dapat menghasilkan film yang lebih baik yaitu dengan kombinasi bahan
dasar kitosan 40% (v/v) dan PVA 60% (v/v) dapat meningkatkan ketebalan, kuat
tarik dan elongasi pada film secara nyata jika dibandingkan dengan film yang
berbahan dasar kitosan saja. Polivinil alkohol (PVA) adalah polimer vinil alkohol
yang tersusun dari monomer unit vinil seperti ethylene dan prophylene. Menurut
Farha dan Kusumawati (2012), PVA berfungsi sebagai penguat pada struktur
suatu membran.
Selain itu dalam pembuatan film indikator dibutuhkan suatu zat warna
yang tidak stabil terhadap perubahan pH. Salah satu zat warna alami yang
yang bisa larut dalam air. Zat tersebut berperan dalam pemberian warna
terhadap bunga atau bagian tanaman lain dari mulai merah, biru sampai ke ungu
termasuk juga kuning dan tidak berwarna (seluruh warna kecuali hijau). Selama
ini antosianin didapatkan dari buah yang memiliki warna merah keunguan seperti
buah bluberry, blackberry, stroberi, anggur, dan ubi jalar ungu. Kandungan
antosianin pada ubi jalar ungu berkisar antara 84-600 mg/100g berat basah.
mengandung antosianin yaitu daun erpa, hal ini dikarenakan daun erpa
3
mempunyai warna merah keunguan seperti ubi jalar ungu. Erpa merupakan
tentang antosianin dari beberapa tumbuhan tetapi tidak untuk daun erpa. Sejauh
ini erpa hanya digunakan sebagai tanaman hias yang banyak tumbuh di pinggir
dipengaruhi oleh pH dan suhu, maka dari itu antosianin dapat digunakan sebagai
2. Apakah antosianin daun erpa dapat digunakan sebagai zat warna alami
4
1.4 Kegunaan
produk ikan segar khususnya filet ikan. Selain itu juga dapat digunakan dan
produk.
5
2. TINJAUAN PUSTAKA
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Ordo : Labirinthici
Subordo : Anabantoidei
Familia : Anabantidae
Genus : Osphronemus
Ikan gurami termasuk kedalam ordo Labirinthici, yaitu ikan yang memiliki
memiliki sirip dorsal berjari-jari keras sebanyak 12-18 buah dan jari-jari lemah 11-13
buah. Sirip anal berjari-jari keras 19-21 buah dan jari-jari lemah 19-21 buah. Sirip
pectoral 2 buah, terletak disisi kiri dan kanan dengan jumlah jari-jari lemah 13-14
buah, dan sepasang sirip ventral yang mempunyai jari-jari keras 1 buah dan jari-jari
berfungsi sebagai alat peraba. Letak garis rusuk menyilang di bagian bawah sirip
dorsal dengan jumlah sisik pada garis rusuk 30-33 buah (Susanto, 1989). Morfologi
panjang, lebar atau pipih ke samping (compressed), badan tertutup sisik yang
besar-besar, terlihat kasar dan kuat. Pada bagian kepala dari gurami muda
berbentuk lancip dan akan menjadi dempak bila sudah besar dan terdapat tonjolan
seperti cula pada bagian kepala ikan jantan yang sudah tua. Mulutnya kecil dan
bibir bagian bawah sedikit lebih maju daripada bibir atas dan dapat disembulkan.
Warna badan dari ikan gurami pada umumnya biru kehitam-hitaman dan bagian
perut bewarna putih. Warna tersebut akan berubah menjelang dewasa, yaitu pada
garis tegak berwarna htam berjumlah 7-8 buah dan garis-garis ini akan hilang/tidak
sektor perikanan dengan kenaikan produksi per tahun ditargetkan sebesar 4,9%
(Nirmala et al., 2012). Ikan ini mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, karena harga
jual di pasaran yang paling baik apabila dibandingkan dengan ikan air tawar lainnya
dan fluktuasi harganya pun relatif stabil. Sebagai bahan pangan, daging ikan
gurami mengandung gizi yang baik, rasa dagingnya lezat dan teksturnya yang
tidak lembek.
7
2.1.1 Kandungan Gizi Ikan Gurami
yaitu 75% oksigen, 10% hidrogen, 9,5% karbon, 2,5 nitrogen. Unsur-unsur
vitamin, dan enzim. Unsur-unsur anorganik terbanyak terdapat pada daging ikan
adalah kalsium, fosfor, dan sulfur. Komposisi kimia daging ikan bervariasi antara
yang satu dengan lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh faktor intrinsik (jenis dan
golongan ikan, umur ikan, jenis kelamin) dan faktor ektrinsik (lingkungan tempat
Filet ikan merupakan salah satu bentukan ikan dimana daging ikan
belakang kepala hingga mendekati bagian ekor ikan (Peterson, 2007). Berbagai
jenis bentukan filet yaitu filet berkulit (skin-on fillet), filet tidak berkulit (skinless
fillet), filet tunggal (single fillet) yaitu daging ikan yang disayat memanjang
tulang belakang, dan filet kupu-kupu (butterfly fillet) yakni dua filet tunggal yang
8
Menurut Rogers et al. (2004), Ikan juga dapat dibentuk menjadi beberapa jenis
a). Block fillet, yaitu bagian daging ikan yang berasal dari kedua sisi tubuh ikan,
b). Cross-cut fillet yaitu filet yang berasal dari ikan yeng berbentuk pipih, dimana
c). Quarter-cut fillet, yaitu filet yang berasal dari daging ikan yang berbentuk pipih,
dimana bagian daging ikan dari masing-masing sisi tubuh ikan dibuat
d). Single fillet, yaitu filet yang berasal dari satu sisi tubuh ikan.
Ikan adalah bahan biologis yang sangat cepat menurun mutunya ke arah
menurut Irianto dan Giyatmi (2014), dapat berlangsung lebih cepat apabila :
benar;
baik;
Ikan dikatakan baik jika masih dalam kondisi segar. Ikan segar adalah ikan
yang baru ditangkap atau ikan yang masih memiliki sifat-sifat seperti ikan yang
baru ditangkap dan belum mengalami kerusakan. Tingkat kesegaran ikan adalah
tolok ukur untuk membedakan ikan yang mempunyai nilai mutu yang baik dan
9
nilai mutu yang jelek (FAO, 1995). Ciri-ciri ikan segar dan ikan yang tidak segar
Kesegaran ikan dapat juga diukur berdasarkan hasil uji Total Volatile
Base (TVB). Uji TVB adalah salah satu metode pengukuran untuk menentukan
Standar kesegaran ikan berdasarkan nilai TVB-nya dapat dilihat pada Tabel 3.
Mutu filet ikan yang baik adalah ketika terjadi perubahan biokimia,
(Silva et al., 2001). Ciri-ciri mutu filet ikan yang segar dan tidak segar dapat dilihat
pada Tabel 4.
10
Tabel 4. Ciri-Ciri Filet Ikan Segar dan Tidak Segar
fisik, kimia dan organoleptik pada filet ikan. Semua proses perubahan ini akhirnya
perubahan pre rigor, rigor mortis, aktivitas enzim, akivitas mikroba dan oksidasi
Tanpa penanganan yang baik ikan hanya memerlukan waktu sekitar 10-12
jam untuk busuk. Setelah ikan mati, daging ikan akan mengalami serangkaian
proses perubahan yang akan mengarah pada kebusukan ikan. Perubahan tersebut
terutama disebabkan oleh sistem enzim atau mikroorganisme yang terdapat pada
ikan. Proses penurunan mutu ikan segar diawali dengan proses perombakan oleh
aktivitas enzim yang secara alami terdapat di dalam ikan, proses ini disebut proses
11
Gambar 2. Diagram Proses Kemunduran Mutu Ikan (Irianto dan Giyatmi, 2014)
Kemunduran mutu ikan melalui beberapa fase, yaitu fase pre rigor, fase
rigor mortis dan fase post rigor. Fase pre rigor terjadi segera setelah ikan mati dan
berlangsung antara 3- 6 jam. Pada fase ini terjadi kontraksi aktin dan miosin. Pada
saat kontraksi aktin dan miosin berlangsung menggunakan ATP sebagai sumber
energi yang dibantu oleh enzim ATPase. Kandungan ATP dalam daging ikan
sebagai sumber energi sangat bervariasi tergantung pada jenis ikan itu sendiri.
Sedangkan laju perombakan ATP juga bervariasi tergantung jenis ikan, cara ikan
mati, cara penyimpanan dan lain sebaginya. Pada ikan hidup reaksi perombakan
ATP dalam suatu siklus, sementara pada ikan mati berlangsung searah. Faktor laju
perombakan ATP dalam daging ikan oleh enzim ATPase inilah yang sangat
degradasi kandungan ATP dalam daging ikan selama transportasi atau selama
Fase pre rigor ditandai dengan lendir yang terlepas dari kelenjar dibawah
kulit di sekeliling tubuh ikan. Pada fase ini pH ikan masih netral yaitu sekitar 6,9-7,2.
12
Kondisi daging ikan pada fase ini lembut dan lunak, dan secara kimiawi ditandai
dengan penurunan jumlah ATP dan kreatin fosfat. Sirkulasi darah berhenti pada
awal kematian ikan dan menyebabkan habisnya aliran oksigen didalam jaringan
(Eskin, 1990).
Fase rigor mortis ditandai dengan keadaaan otot yang kaku dan keras.
pada awal fase rigor. Pembentukan aktomiosin ini berlangsung lambat pada tahap
awal dan kemudian menjadi cepat pada tahap selanjutnya. Pada fase rigor mortis,
sumber energi atau ATP akan berkurang akibat aktivitas enzim ATPase yang dikuti
oleh perubahan glikogen menjadi asam laktat. Perubahan glikogen pada daging
ikan menyebabkan penurunan nilai pH. Perubahan glikogen menjadi asam laktat
daging ikan sehingga dapat menunda datangnya proses rigor mortis. Pada fase
rigor mortis, nilai pH daging ikan akan mengalami penurun menjadi 6,2-6,6 dari pH
mula-mula 6,9-7,2. Tinggi rendahnya pH awal ikan sangat tergantung pada jumlah
glikogen yang ada dan kekuatan penyangga pada daging ikan. Kekuatan
penyangga pada daging ikan disebabkan oleh protein, asam laktat, asam fosfat,
TMAO dan basa-basa menguap. Nilai pH daging ikan akan terus naik mendekati
Fase post rigor ditandai dengan mulai melunaknya otot ikan secara
bertahap. Pada fase ini pH ikan akan naik dari yang awalnya 6,2-6,6 menjadi 7,5-8.
Fase post rigor merupakan permulaan dari proses pembusukan yang meliputi
13
autolisis dan pembusukan oleh bakteri. Proses autolisis terjadi karena adanya
penguraian daging ikan sebagai akibat dari aktivitas enzim dalam tubuh ikan.
sendirinya setelah ikan mati. Enzim yang berperan pada tahap ini antara lain enzim
katepsin (dalam daging), enzim tripsin, kemotripsin, dan pepsin (dalam organ
pencernaan), serta enzim dari mikroorganisme yang ada pada tubuh ikan.
rasa, tekstur dan penampakan filet ikan. Senyawa yang terbentuk selama proses
autolisis disukai oleh bakteri pembusuk. Tahap akhir proses autolisis adalah
amino, seperti asam glutamat, asam aspartat, lisin, histidin, dan arginin. Asam
asam amino tersebut dapat bertindak sebagai pemicu timbulnya senyawa biogenik
dan urea dapat diubah oleh bakteri menjadi produk yang dapat digunakan sebagai
indikator, baik yang diletakkan secara internal maupun secara eksternal dan
kritis, dan memberikan informasi lebih rinci seluruh rantai suplai dan distribusi
14
bertujuan untuk menunjukkan apakah mutu produk di dalamnya sudah menurun
yakni, Time-Temprature Integrators (TTI) dan Food Quality Indicators (FQI). Dua
indikator ini memiliki prinsip kerja sebagai colorimetric dengan melihat perubahan
warna akibat menurunnya mutu produk perikanan di dalam kemasan. Kinerja dari
kedua tipe indikator ini berdasarkan prinsip kimia. Perbedaan di antara keduanya
adalah TTI memperlihatkan perubahan warna akibat efek perubahan suhu kerena
reaksi antara kimia produk dengan indikator sedangkan FQI bereaksi pada
perubahan secara kimiawi atau biologi yang ditemukan di dalam kemasan yang
menandakan rusaknya produk. Kelemahan dari TTI adalah tidak dapat memberikan
TTI, metode pada kemasan ini masih belum menjamin akan tingkat kemunduran
mutu ikan, terlebih dengan sangat kompleksnya proses kemunduran mutu yang
terjadi pada berbagai hasil perikanan (Eskin dan Robinson, 2001). FQI mampu
memiliki prinsip pada penghitungan nilai amina dalam ikan. Nilai pH daging ikan
meningkat sebagai akibat kadar amina pada daging ikan meningkat. Perubahan pH
ini dideteksi oleh pewarna pH yang bertindak sebagai indikasi dari mutu daging
ikan. Alat sensor yang berisi pewarna indikator pH diletakkan di dalam membran
polimer berbasis selulosa. Konsep FQI terlihat sederhana tetapi memiliki beberapa
masalah. Masalah pada FQI diantaranya adalah adanya jarak antara peningkatan
untuk menutupi makanan agar makanan tetap segar. Namun dengan semakin
15
banyaknya permasalahan tentang sampah plastik maka muncul plastik film yang
dapat digunakan layaknya seperti plastik konvensional, namun akan hancur terurai
oleh aktivitas mikroorganisme. Karena sifatnya yang dapat kembali ke alam, plastik
dan Sartika, 2012). Menurut Hartatik et al. (2011), bioplastik secara umum dapat
dibuat dari bahan polimer alam seperti polisakarida dan protein. Dimana setiap
bahan yang digunakan akan mempengaruhi kualitas dari film yang dihasilkan.
Perbedaan nilai daya tarik dan elongasi dari berbagai jenis bahan dapat dilihat
pada Tabel 5.
Tabel 5. Perbedaan Nilai Daya Tarik dan Elongasi Dari Jenis Bahan yang Berbeda
Polyvinylidene Chloride 65 – 75 18 – 23
16
untuk mengetahui apakah film yang dihasilkan sudah sesuai dengan standar atau
belum. Standar kualitas film berdasarkan Japanese Industrial Standard (JIS) dapat
2.7 Kitosan
Kitosan dihasilkan dari kitin dan memiliki struktur kimia yang hampir sama
dengan kitin yang terdiri dari berat molekul yang tinggi dan rantai molekul yang
berikatan glikosidik 1-4 membentuk polimer linier dengan rantai panjang tanpa
glukosa yang dapat didapatkan dari pengolahan kitin menggunakan basa kuat.
Kitosan dapat dihasilkan dari kitin dengan cara deasetilasi pada waktu yang relatif
lama dan pada suhu yang tinggi (Purwanti dan Yusuf, 2013). Stuktur kimia kitosan
17
Kitosan diperoleh dengan cara deasetilasi kitin menggunakan larutan basa
konsentrasi tinggi. Secara garis besar pembuatan kitosan terdiri dari 3 tahap yaitu
deasetilasi kitin menjadi kitosan dimaksudkan untuk memutus ikatan antara gugus
asetil dengan atom nitrogen, sehingga berubah menjadi gugus amina (-NH2).
Mekanisme reaksi pembentukan kitosan dari kitin dapat dilihat pada Gambar 4.
Pada saat ini kitosan banyak dimanfaatkan, antara lain pada bidang
difungsikan untuk menggantikan peran dari kemasan plastik yang tidak ramah
permasalahan dari sampah plastik. Syarat mutu kitosan dapat dilihat pada Tabel 7.
18
Tabel 7. Syarat Mutu Kitosan
Fisika
- Kelarutan (%) Min. 99
- Viskositas* (cps) Min. 5
- Benda Asing (-) Negatif
Kimia
- Kadar Air (%) Maks. 12
- Kadar Abu (%) Maks. 5
- Derajat Deasetilasi (%) Min. 75
- Nitrogen* (%) Maks. 5
- Logam Berat*
a. Arsen (mg/kg) Maks. 5
b. Pb (mg/kg) Maks. 5
- pH (-) 7-8
Mikrobiologi*
Polivinil alkohol adalah suatu kopolimer vinil alkohol yang tersusun dari
alkohol dilakukan melalui proses hidrolisis (saponifikasi) dari polivinil asetat. Etilen
direaksikan dengan asam asetat akan membentuk vinil asetat. Reaksi ini dapat
berjalan dengan adanya katalis yaitu garam palladium (II) klorida (Schonberger et
al., 1997). Polivinil alkohol merupakan polimer sintetik yang mudah diuraikan
19
Wujud polivinil alkohol adalah powder atau serbuk yang berwarna putih dan dapat
larut dalam air pada suhu 80°C serta memiliki densitas sebesar 1,20-1,3020 g/cm3
(Sheftel, 2000).
plastik film. Polivinil alkohol memiliki kuat sobek sebesar 147-834 N.mm-1.kuat tarik
Dengan karakteristik tersebut dan sifatnya yang mudah larut dalam air, polivinil
(Hodgkinson dan Taylor, 2000). Bentuk struktur dari polivinil alkohol dapat dilihat
pada Gambar 5.
2.9 Gliserol
tiga buah. Gliserol (1,2,3 propanetriol) merupakan cairan yang tidak berwarna, tidak
berbau dan merupakan cairan kental yang memiliki rasa manis. Gliserol dapat
dimurnikan dengan proses destilasi agar dapat digunakan pada industri makanan,
farmasi atau juga dapat digunakan untuk pengolahan air. Sebagai produk samping
industri biodiesel, gliserol belum banyak diolah sehingga nilai jualnya masih rendah
Salah satu kegunaan dari gliserol menurut Huri dan Nisa (2014), yaitu
elastisitas dari film. Plastisizer merupakan salah satu bahan tambahan dalam
20
pembuatan film yang berfungsi untuk menambah sifat elastisitas. Salah satu jenis
plastisizer yang banyak digunakan selama ini adalah gliserol. Gliserol cukup
efektif digunakan untuk meningkatkan sifat plastis film karena memiliki berat
dalam suku Amaranthaceae dan genus Aerva. Erpa memiliki nama umum sambang
colok, namun erpa juga mempunyai nama daerah yaitu Ki Sambang (Sunda),
Sambang Colok (Jawa) dan Rebha et raedhan (Madura). Daun erpa berbentuk
jantung, bertepi rata, dan berbulu, warnanya merah-cokelat atau ungu. Ekstrak
warna daun erpa berwarna merah keunguan dan selama ini digunakan sebagai
pewarna alami. Kandungan yang terdapat dalam ekstrak daun erpa adalah
senyawa alkaloid, minyak atsiri, dan flavonoid (Warsiki et al., 2013). Morfologi
2.11 Antosianin
benzopiran. Struktur utama turunan benzopiran ditandai dengan adanya dua cincin
21
aromatik benzena (C6H6) yang dihubungkan dengan tiga atom karbon yang
warna biru, ungu, violet, magenta dan kuning. Berdasarkan penelitian warsiki et al
buah, sayur ataupun bunga yang berwarna merah keunguan. Kandungan total
suhu, dan sebagainya (Santoso dan Estiasih, 2014). Struktur kimia antosianin
22
Gambar 7. Struktur Kimia Antosianin (Seafast center (2012)
asam bentuk pigmen antosianin adalah kation flavilium yang berwarna merah ungu.
Stabilitas antosianin dipengaruhi oleh pH, temperatur dan kehadiran oksigen atau
cahaya. Antosianin umumnya tidak stabil pada temperatur tinggi, sehingga selama
23
3. METODE PENELITIAN
Materi dalam penelitian ini meliputi bahan penelitian dan alat penelitian.
Bahan penelitian dan alat penelitian akan dijelaskan lebih lanjut dibawah ini.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga bagian yaitu
bahan untuk mendapatkan ekstrak antosianin daun erpa, bahan untuk membuat film
indikator warna, dan bahan untuk analisis. Bahan-bahan yang digunakan untuk
mendapatkan ekstrak antosianin daun erpa yaitu antara lain daun erpa yang
diperoleh dari area kampus Universitas Brawijaya Malang, aquades, etanol, dan
kertas saring. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat film indikator warna
antara lain kitosan. Kitosan yang digunakan yaitu kitosan dari penelitian Ilham et al.,
(2018). Karakteristik kitosan dapat dilihat pada Lampiran 1. Kemudian PVA, gliserol,
asam asetat, dan aquades. Sedangkan bahan yang digunakan untuk analisis antara
lain filet ikan gurami, plastik wrap, stearofoam, aquades, etanol, HCl, PCA, NaCl,
koran, benang kasur, spirtus, alkohol, kapas, K2CO3, TCA, H3BO3, indikator tashiro
Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga bagian yaitu alat
untuk mendapatkan ekstrak antosianin daun erpa, alat untuk membuat film indikator
warna, dan alat untuk analisis. Alat yang digunakan untuk mengekstrak antosianin
daun erpa antara lain baskom, timbangan digital, oven, blender, ayakan 60 mesh,
gelas ukur dan erlenmeyer. Alat-alat yang digunakan untuk membuat film indikator
antara lain beaker glass, gelas ukur, hot plate, magnetic stirrer, plat kaca ukuran
30x20 cm, loyang, dan oven. Sedangkan alat yang digunakan untuk analisis antara
lain spektrofotometer UV-vis, pH meter, beaker glass, gelas ukur, cawan petri,
tabung reaksi, rak tabung reaksi, pipet serologis, pipet volume, bola hisap, spatula,
metode penelitian yang memiliki tujuan untuk menjabarkan fenomena yang terjadi
saat ini dengan menggunkan prosedur ilmiah untuk menyelesaikan masalah yang
adalah metode yang berusaha mendeskripsikan suatu kondisi yang terjadi saat ini,
psoses yang berlangsung dan efek yang terjadi selama proses penelitian
berlangsung.
Karena pada umumnya, penelitian eksploratif bertujuan untuk mencari sebab atau
hal-hal yang mempengaruhi terjadinya sesuatu dan digunakan pada saat kita tidak
bertujuan untuk menemukan sesuatu hal baru yang berupa pengelompokan suatu
gejala, fakta dan suatu penyakit tertentu. Dalam penelitian deskriptif eksploratif
25
yang dalam penelitian ini tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu akan
tetapi hanya menggambarkan apa adanya suatu variabel, gejala atau keadaan.
apakah antosianin dari daun erpa dapat digunakan sebagai zat warna alami pada
film indikator yang digunakan untuk mendeteksi kebusukan fillet ikan gurami, dan
jika dapat digunakan bagaimana perubahan warna yang terjadi dari film indikator
setelah diaplikasikan.
26
3.3.1 Penelitian Pendahuluan
tahap pertama dilakukan untuk mengetahui lama simpan filet ikan gurami dalam
filet ikan gurami dalam suhu ruang. Filet ikan gurami diperoleh dari ikan hidup yang
dibeli dari tambak Desa Tegaron Kecamatan Talangagung Kabupaten Malang, Jawa
Timur. Ikan yang digunakan memiliki ukuran panjang sekitar 30 cm dengan berat
800-1000 g setiap ekornya. Ikan yang akan difilet dimatikan dengan cara dipotong
kepalanya, kemudian ikan dibersihkan dan difilet. Setelah difilet ikan dipotong
berbagai cara, contohnya dengan uji organoleptik. Pada dasarnya, setiap orang
dapat melakukan penilaian organoleptik terhadap kesegaran ikan. Salah satu cara
yang paling mudah yaitu dengan pengamatan secara visual terhadap penampakan
ikan dengan menggunakan metode 4M, yaitu melihat, meraba, menekan, dan
kesegaran ikan juga dapat dilakukan dengan pengujian nilai derajat keasaman (pH).
Pada proses pembusukan ikan, terjadi perubahan daging ikan yang disebabkan
karena proses autolisis dan bakteriolisis (Fardiaz, 1992). Prosedur pengujian masa
27
Ikan gurami hidup
Hasil
antosianin daun erpa. Antosianin dapat diperoleh dengan cara ekstraksi. Ekstraksi
antosianin dari bahan nabati umumnya menggunakan pelarut etanol. Namun proses
antosianin yang lebih besar dibandingkan metanol dan etanol (Warsiki et al., 2013).
Hal ini dikarenakan aquadest mempunyai derajat kepolaran yang lebih tinggi
pelarut dan bahan terlarut yang sama-sama memiliki sifat polar (Santoso dan
Estiasih, 2014).
28
dicuci. Pencucian berfungsi untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada
daun erpa di oven pada suhu 50ºC selama 24 jam. Kemudian dihaluskan dengan
cara diblender. Setelah itu diayak dengan ayakan 60 mesh. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan Moeksin dan Ronald (2009), diperoleh hasil terbaik yaitu pada
perlakuan sampel kering oven dengan bentuk tepung. Ini dapat dilihat dari hasil %
yield yang paling tinggi yaitu 74,97%. Hal Ini disebabkan karena kandungan air pada
sampel dengan kondisi kering oven sangat sedikit, sehingga proses ekstraksi dapat
berlangsung dengan baik karena pelarut akan lebih mudah dalam mengekstrak
antosianin. Dengan kandungan air yang sedikit maka bahan akan cepat menyerap
pelarut, dan pelarut akan dengan mudah melarutkan zat aktif yang diinginkan.
yang terbaik. Semakin rendah kandungan air maka proses ekstraksi semakin baik.
antosianin yang dihasilkan, semakin besar luas permukaan bahan maka proses
ekstraksi semakin baik, begitu juga sebaliknya semakin kecil luas permukaan maka
zat aktif akan semakin sulit untuk terekstrak sehingga proses ekstraksi kurang
maksimal.
cara merendam bahan yang akan diekstrak pada suatu pelarut tertentu. Sedangkan
sokhletasi yaitu metode ekstraksi dengan menggunakan suatu alat yang disebut
sokhlet dalam suatu pelarut tertentu dengan suhu tertentu. Berdasarkan penelitian
Suzery et al. (2010), dalam ekstraksi antosianin metode maserasi pada suhu ruang
(25ºC) memberikan hasil yang lebih baik daripada metode sokhletasi dengan suhu
29
78ºC, yaitu dibuktikan dengan nilai rendemen dan total antosianin yang lebih tinggi
Selain itu ekstraksi juga dapat dilakukan dengan satu tahap ekstraksi
maupun bertingkat. Pada ekstraksi satu tahap hanya digunakan satu pelarut untuk
ekstraksi, sedangkan pada ekstraksi bertingkat digunakan dua atau lebih pelarut
(Septiana dan Asnani, 2012). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sarastani et al.
(2002), hasil ekstrak yang dihasilkan dari ekstraksi bertingkat lebih baik daripada
hasil dari ekstraksi satu tahap, yaitu dibuktikan dengan nilai aktivitas antioksidan
pelarut yaitu etanol 96% untuk ekstraksi pertama dan aquadest untuk ekstraksi
dikarenakan etanol merupakan pelarut yang bersifat semi polar yaitu etanol memiliki
dua gugus yang bersifat polar dan nonpolar. Gugus polarnya adalah OH dan gugus
berfungsi untuk mengeluarkan klorofil yang terkandung didalam daun erpa. Setelah
antosianin yang lebih murni daripada ekstraksi satu tingkat. Ekstraksi satu tingkat
dengan klorofil yang larut air. Rendemen ekstraksi antosianin dapat dilihat pada
Lampiran 2. Prosedur ekstraksi antosianin daun erpa dapat dilihat pada Gambar 10.
30
Daun Erpa
Pencucian
Diangin-anginkan
Residu
31
3.3.2 Penelitian Utama
Masa simpan fillet ikan gurami dari penelitian pendahuluan (36 jam)
digunakan sebagai dasar penelitian utama. Tahapan dalam penelitian utama terdiri
dari tiga tahap. Tahap pertama adalah pengukuran kadar total antosianin pada
ekstrak daun erpa, tahap kedua pembuatan film indikator warna dan tahap ketiga
aplikasi film pada produk filet ikan gurami yang dikemas dengan stearofoam dan
plastik wrap dalam suhu ruang. Pada penelitian utama parameter uji yang dilakukan
yaitu pH dan total antosianin untuk pengujian ekstrak antosianin daun erpa, warna
dan kecerahan yang meliputi (Kecerahan (L), kemerahan dan kehijauan (a), dan
kekuningan (b)), kuat tarik dan elongasi untuk pengujian film. Selain itu juga
dilakukan uji pendukung seperti TVBN, TPC, organoleptik dan pH. Prosedur
penelitian utama dapat dilihat pada berturut-turut pada Gambar 11. Gambar 12. dan
Gambar 13.
32
1 ml Ekstrak
Antosianin
1 ml ekstrak antosianin
Total Antosianin =
Keterangan :
33
DF = Faktor Pengenceran
I = Lebar Kuvet = 1 cm
1000 = faktor g ke mg
Pencetakan
Pewarna (ekstrak
Lembaran Film
daun erpa
Film indikator
- Ketebalan
- kuat tarik
- elongasi
- tingkat transmisi uap air
34
Ikan gurami hidup
rancangan aritmatika sederhana dengan satu perlakuan dan 2 kali ulangan. Adapun
Ulangan
Waktu
1 2
A A1 A2
B B1 B2
C C1 C2
D D1 D2
E E1 E2
F F1 F2
G G1 G2
35
Keterangan :
Data hasil penelitian dianalisis dengan analisis data eksploratif atau yang
sederhana dan teknik grafik dalam meringkas data pengamatan. Hasil dari analisis
Parameter uji yang digunakan pada penelitian ini antara lain untuk pengujian
film indikator dilakukan pengujian warna yang meliputi (Kecerahan (L), kemerahan
dan kehijauan (a), dan kekuningan (b)), uji ketebalan, uji kuat tarik dan elongasi,
serta uji laju transmisi uap air. Sedangkan untuk mengetahui kualitas filet ikan
gurami dilakukan pengujian seperti uji TVBN, TPC, organoleptik dan pH.
36
3.7 Prosedur Analisis Parameter
Analisis yang dilakukan terdiri dari beberapa pengujian yaitu uji warna (LAB),
uji pH, uji TVBN, uji total plate count (TPC), uji organoleptik, uji ketebalan, uji kuat
Ada beberapa sistem pengukuran warna (color measurement system) yaitu Hunter
L, a, b Color Scale; CIE L*a*b* Color Scale, dan L C H. Setiap sistem pengukuran
menunjukkan bahwa positif a (+a) adalah merah, negatif a (-a) menunjukkan hijau,
dan 0 adalah netral. Notasi b (bluegreen) dimana positif b (+b) adalah kuning,
negatif b (-b) adalah biru, dan 0 adalah netral.Delta/ perbedaan untuk L* (ΔL*), a*
(Δa*) dan b* (Δb*) bisa positif (+) atau negatif (-), namun total perbedaan, Delta E
Keterangan :
ΔL* (L* sampel dikurangi L* standar) = perbedaan antara terang dan gelap (positif
(+) = lebih terang, negatif (–) = gelap)
37
Δa* (a* sampel dikurangi a* standar) = perbedaan antara merah dan hijau (positif (+)
= merah, negatif (– )= hijau)
Δb* (b*sampel dikurangi b* standar) = perbedaan kuning dan biru (+ = lebih kuning,
– = biru)
ΔE* = Total perbedaan warna
3.7.2 Uji pH
elektroda pada sampel dan nilai pH tertera pada layar monitor (Mega et al., 2009).
Uji TVBN menurut AOAC (1995), dapat dilakukan dengan cara sampel filet
ikan yang telah dihaluskan sebanyak 3 g dimasukkan kedalam beaker glass dan
rapat dengan aluminium foil. Campuran sampel dan TCA kemudian diinkubasi
selama 30 menit dalam suhu ruang dengan beaker glass diletakkan di dalam
baskom yang berisi air es. Setelah diinkubasi campuran sampel dan TCA disaring
dengan menggunakan kertas saring (Whatman no. 1). Tampung filtrat dengan
beaker glass yang mana beaker glass diletakkan dalam baskom yang berisi air es
untuk menjaga agar suhunya tetap rendah. Filtrat yang telah terkumpul selanjutnya
ditambah TCA 4% sampai volume akhir 15 ml. Setelah itu larutan innering 1 ml
dimasukkan ke dalam inner chamber cawan conway dan tutup cawan diletakkan
dengan posisi hampir menutupi cawan. Dengan menggunakan pipet lain, 1 ml filtrat
38
dimasukkan ke dalam outer chamber di sebelah kiri. Kemudian ditambahkan 1 ml
larutan K2CO3 jenuh ke dalam outer chamber sebelah kanan sehingga filtrat dan
K2CO3 tidak bercampur. Cawan segera ditutup yang sebelumnya telah diberi
tercampur. Untuk pengujian TMA sama dengan pengujian TVBN hanya saja pada uji
menguapkan senyawa amin dan turunannya kecuali TMA. Di samping itu dikerjakan
blanko dengan prosedur yang sama tetapi filtrat diganti dengan larutan TCA 4%.
Kemudian kedua cawan conway tersebut disimpan pada suhu ruang selama 2 jam.
Setelah disimpan, larutan innering dalam inner chamber cawan conway yang berisi
blanko dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N dengan menggunakan mikro buret.
berubah warna menjadi merah muda. Selanjutnya cawan conway yang berisi
sampel yang berisi sampel dititrasi dengan menggunakan larutan yang sama
sehingga berubah menjadi warna merah muda yang sama dengan blanko.
Pengujian Total Plate Count (TPC) menurut SNI (2008), merupakan suatu
cara perhitungan jumlah mikroba yang terdapat dalam suatu produk yang tumbuh
39
pada media agar pada suhu dan waktu inkubasi yang sudah ditetapkan. Langkah
suspense pengenceran 10-1 tersebut dengan pipet steril ke larutan 9 ml Na-fis untuk
mendapatkan pengenceran 10-2. Buat pengenceran 10-3, 10-4, 10-5 dan seterusnya
PCA yang sudah didinginkan hingga temperature 450C pada masing-masing cawan
yang sudah berisi suspense. Supaya larutan contoh dan media PCA tercampur
angka delapan dan diamkan sampai menjadi padat. Inkubasikan pada temperature
340C sampai dengan 360C selama 24 - 28 jam dengan posisi cawan terbalik.
dalamcawan petri. Jumlah koloni bakteri yang dihitung adalah cawan petri
Σc
N=
(1xn1 )+(0,1xn2 ) x(d)
Dengan :
40
3.7.5 Uji Organoleptik
bau, dan tekstur. Score sheet uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 3.
Ketebalan film dapat diukur dengan menggunakan suatu alat yang disebut
supaya rahang dari mikrometer dapat mengukur ketebalan dari film. Untuk setiap
sampel film yang akan diuji, ketebalannya diukur pada lima titik yang berbeda
Pengujian kuat tarik dan elongasi atau pemanjangan dapat diuji dengan
sebagai gaya maksimum yang diberikan pada film sampai sobek (Newton) dibagi
luas penampang film (m2), sedangkan elongasi atau pemanjangan dihitung sebagai
[(Δtmax x test speed)/ panjang film awal)] x 100% (Poeloengasih dan Marseno, 2003).
method (ASTM) yang dimodifikasi. Film yang akan diuji dipasang pada cawan yang
berisi 10 g silika gel. Bagian tepi cawan dan film ditutup dengan wax atau isolasi.
41
Cawan dan film ditimbang, dimasukkan ke dalam toples plastik berisi 100 ml larutan
NaCl 40%, kemudian toples ditutup rapat. Setiap jam cawan ditimbang dan
pengamatan dilakukan selama 8-10 jam. Data yang diperoleh kemudian dibuat
persamaan regresi linier, sehingga diperoleh slope kenaikan berat cawan. Laju
transmisi uap air dinyatakan sebagai slope kenaikan berat cawan (g/jam) dibagi
dengan luas area film yang diuji (m2) (Poeloengasih dan Marseno, 2003).
42
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
ikan gurami dalam suhu ruang dan mendapatkan ekstrak antosianin daun erpa.
Masa simpan filet ikan gurami dapat dilihat pada Tabel 10.
Waktu (jam)
Parameter 0 6 12 18 24 30 36
pH 7.14 6.92 6.89 6.62 6.98 7.36 7.58
Organoleptik
Daging 9 9 8 7 5 3 1
Bau 9 8 8 7 3 3 1
Tekstur 9 8 8 7 5 3 1
Sumber: Laboratorium Perekayasaan Hasil Perikanan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya (2018)
Tabel 10. menunjukkan masa simpan filet ikan gurami yang disimpan
dalam suhu ruang. Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa apabila dilihat dari
nilai pH dan organoleptik filet ikan gurami mampu bertahan selama 36 jam dari
segar sampai busuk. Menurut Saputra dan Nurhayati (2014), filet ikan yang
disimpan dalam suhu ruang masih layak untuk dikonsumsi (segar) sekitar 10-12
Dari nilai organoleptik maka dapat diketahui bahwa batas maksimal filet
ikan gurami untuk dikonsumsi yaitu pada jam ke-18. Ini sesuai dengan SNI 01-
2729.1-2006 yang menjelaskan bahwa nilai minimal untuk filet ikan yang aman
dikonsumsi bernilai 7 dari kisaran poin 1-9 (Badan Standarisasi Nasional, 2006).
oleh beberapa faktor diantaranya yaitu suhu lingkungan, kondisi ikan, dan jenis
ikan. Yang mana dari beberapa faktor tersebut akan menyebabkan masa simpan
antosianin pada daun erpa, pembuatan film indikator dan aplikasinya pada filet
ikan gurami. Dalam pembuatan film digunakan bahan PVA (Polivinil alkohol),
kitosan-asetat, gliserol, serta ekstrak antosianin daun erpa sebagai zat warna
pada film indikator. Sensor ini berbentuk film yang digunakan untuk mendeteksi
tingkat kebusukan dari produk yang telah mengalami perubahan pH. Parameter
yang dianalisa pada film indikator (sensor kesegaran) adalah ketebalan, kuat
tarik, elongasi, transmisi uap air, dan warna LAB. Hasil analisa ekstrak daun erpa
dan film indikator dapat dilihat berturut-turut pada Tabel 11. Dan Tabel 12.
nilai 71,47 mg/L filtrat. Nilai total ekstrak antosianin daun erpa ini lebih tinggi dari
penelitian Hayati et al. (2012), yang meneliti tentang ekstrak antosianin dari
bunga rosella dengan nilai total antosianin sebesar 71,079. Pigmen antosianin ini
44
sehingga tingkat kebusukan dari produk dapat terdeteksi dengan adanya
larutan kestabilan strukturnya bisa berubah warna sesuai dengan perubahan pH.
Warna merah, kuning, hijau dan biru disebabkan pH larutan berturut turut bersifat
Tabel 12. menunjukkan bahwa jika dilihat dari parameter ketebalan, kuat
tarik, dan transmisi uap air maka film indikator sudah memenuhi standart. Namun
apabila dilihat dari nilai elongasi maka film indikator belum memenuhi standar
sebagai film yang komersil menurut Japanese Industrial Strandard (JIS) (Saputra
et al., 2015).
cerdas adalah filet ikan gurami (Osphronemus gouramy). Karakteristik kimia filet
45
Tabel 13. Karakteristik Kimia Filet Ikan Gurami Segar
Tabel 13. menunjukkan bahwa kadar TVBN (Total Volatile Base Nitrogen)
dan TMA (Trimetilamine) dari filet ikan gurami berturut-turut adalah 8,395 mg/
100 g dan 2,77 mg/ 100 g. Nilai ini menandakan bahwa filet ikan gurami masih
dalam kondisi sangat segar dan layak untuk dikonsumsi. Hal ini sesuai dengan
TVBN untuk ikan aman dikonsumsi yaitu 30 mg/ 100 g. Selain itu batasan TMA
untuk ikan segar yaitu 10,0 mg/ 100 g (Pandit et al., 2008).
Filet ikan gurami juga termasuk dalam kategori segar apabila dilihat dari
nilai pH yaitu 7,12 dan nilai TPC 34 x 103 CFU/g. Hal ini sesuai dengan pH
produk ikan segar yang berkisar antara 6,7-7,2. Perbedaan nilai pH pada ikan
yang baru ditangkap terjadi karena perbedaan spesies, diet, musim, habitat dan
tingkat stres selama penangkapan (Tingting et al., 2013). Selain itu dari nilai TPC
filet ikan gurami juga masuk dalam kategori segar dan layak konsumsi, karena
46
4.3.1 Nilai pH filet ikan gurami selama penyimpanan
Hal ini disebabkan karena pH menjadi tolok ukur tingkat kerusakan dari filet ikan
pH
7,80 7,58
7,60 7,37
7,40
7,12 7,11
7,20 6,96
6,88
7,00
6,72
6,80 pH
6,60
6,40
6,20
6,00
1 2 3 4 5 6 7
dari filet ikan gurami mengalami penurunan dari penyimpanan jam ke-0 sampai
berhenti pada jam ke-18. Setelah turun pada pengamatan jam ke-18 nilai pH naik
secara signifikan pada jam ke-24 sampai jam ke-36. Penurunan pH filet ikan
gurami pada pengamatan jam ke-0 sampai jam ke-18 terjadi karena di dalam
daging ikan sudah tidak ada pasokan oksigen, dengan begitu respirasi akan
terjadi secara anaerob yang akan menghasilkan asam laktat. Penumpukan asam
laktat pada daging inilah yang menyebabkan pH daging menjadi lebih asam.
Selain itu peningkatan pH pada jam ke-24 sampai jam ke-36 terjadi karena ikan
47
sudah mulai memasuki fase kebusukan atau fase post rigor dimana pada fase
tersebut terjadi proses bakteriolisis. Pada fase ini bakteri akan ikut memecah
senyawa basa seperti skatol, indol, merkaptan, dan ammonia. Karena senyawa
basa inilah pH ikan pada jam ke-24 sampai jam ke-36 jadi naik.
terbagi menjadi 3 tahap yaitu pre rigor dimana pada fase ini ikan masih segar
dan baru mati yang ditandai dengan pH ikan yang netral yaitu berkisar antara
6,9-7,2. Tahap kedua yaitu tahap rigor mortis, pada tahap ini ditandai dengan
kekakuan pada ikan. Pada tahap rigor ini ikan masih layak konsumsi. Selain ikan
yang kaku tahap ini juga ditandai dengan pH ikan yang cenderung turun (asam)
yaitu berkisar antara 6,2-6,6. Yang terakhir yaitu tahap post rigor, dimana pada
tahap ini ikan sudah busuk. pH pada ikan post rigor cenderung naik (basa) yaitu
sekitar 7,5-8.
ikan akan meningkat sebagai tanda kerusakan produk perikanan (Ojagh et al.,
48
TVBN
50
40,115
45
36,07
40
31,715
35 26,585
30 23,615
25
TVBN
20 13,525
15 8,395
10
5
0
1 2 3 4 5 6 7
penyimpanan pada suhu ruang (28ºC). Kisaran nilai TVBN ini antara 8,395 mg/
100 g - 40,115 mg/ 100 g bahan. Gambar 14. memperlihatkan peningkatan kadar
TVBN pada filet ikan gurami yang dikemas dengan kemasan cerdas indikator
warna ekstrak daun erpa yang disimpan selama 36 jam. Berdasarkan total kadar
TVBN filet ikan gurami tidak aman dikonsumsi pada jam ke -24 yaitu dengan nilai
kadar TVBN sebesar 31,715 mg/ 100 g bahan. Farber (1965), menyatakan
bahwa suatu hasil perikanan aman dikonsumsi oleh manusia apabila kadar
khas pada ikan (Dalgaard, 1995). Selama proses pembusukan, terjadi reaksi
(TMA) oleh bakteri. Ketika TMAO direduksi menjadi TMA, terjadi beberapa
49
perubahan fisik, menurunnya potensial reduksi, dan peningkatan pH.
produk perikanan.
Selama penyimpanan kadar TMA filet ikan gurami berkisar antara 2,77-
17,41 mg/ 100 g. Nilai TMA filet ikan gurami selama penyimpanan dapat dilihat
25
TMA
20 17,41
15,08
15 12,595
9,95
10 7,775 TMA
5,44
5 2,77
0
1 2 3 4 5 6 7
ikan gurami, maka semakin meningkat kadar TMA pada filet ikan gurami
tersebut.
Kadar TMA melebihi batas maksimum aman dikonsumsi pada jam ke-24
dengan nilai 12,595 mg/ 100 g (Gambar 15.), sedangkan untuk kadar TVBN
dicapai kadar maksimum juga pada hari ke-24 (Gambar 14.). Pacquit et al.
senyawa lainnya yang terdiri dari NH3 dan DMA. Sehingga peningkatan kadar
TVBN selalu diringi dengan peningkatan kadar TMA. Pengujian TMA pada
50
4.3.4 Nilai TPC Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan
Jumlah mikroba selama ini menjadi faktor yang paling utama dalam
penentuan kualitas suatu pangan (Khalafalla et al., 2015). Nilai TPC pada filet
ikan gurami sebesar 34 x 103 cfu/g (jam ke-0) sampai 540 x 104 (pada jam ke-36).
Nilai TPC filet ikan gurami selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 17.
TPC
8,00
6,48 6,72
7,00 6,17
6,00 5,51
5,14
4,74
5,00 4,51
4,00
TPC
3,00
2,00
1,00
0,00
1 2 3 4 5 6 7
semakin banyak juga total bakteri yang ada di dalam filet ikan gurami. Dari grafik
dapat diketahui bahwa batas maksimal kadar TPC pada filet ikan gurami yaitu
pada jam ke-24 dengan nilai 152 x 104 cfu/g. SNI 01-2729.1-2006 menjelaskan
bahwa batas maksimal total bakteri untuk ikan dapat dikonsumsi yaitu berjumlah
kimia dan mikrobiologi filet ikan gurami selama penyimpanan terdiri dari respon
51
perubahan warna film indikator selama penyimpanan, respon perubahan warna
film indikator dengan pH pada filet ikan gurami selama penyimpanan, hubungan
respon perubahan warna film indikator dengan TVBN pada filet ikan gurami
selama penyimpanan, respon perubahan warna film indikator dengan TMA pada
filet ikan gurami, dan respon perubahan warna film indikator dengan TPC pada
adanya senyawa volatile yang dihasilkan oleh produk yang dikemas dan
berinteraksi dengan senyawa sensor (indikator kimia). Pada penelitian ini respon
film indikator dihitung sebagai ΔE, seperti yang dijelaskan oleh Pratama (2015),
Perubahan parameter kimia dan mikrobiologi pada filet ikan gurami yang
disimpan selama 36 jam pada suhu ruang (28C) memberikan perubahan warna
pada film indikator. Film indikator yang diberi warna ekstrak antosianin daun erpa
mengalami perubahan dari warna awal sehingga didapatkan warna akhir yang
berbeda. Sedangkan blanko yang hanya berupa film indikator tanpa filet ikan
Demikian juga dengan blanko filet ikan gurami yang dikemas dengan film yang
tidak diberi warna ekstrak antosianin daun erpa juga tidak memberikan
oleh Pacquit et al. (2007), menerangkan bahwa indikator yang ditempatkan pada
52
senyawa indikator. Hal ini yang menyebabkan perubahan warna pada indikator.
Grafik respon warna film indikator selama waktu penyimpanan dapat dilihat pada
Gambar 18.
45
40
35
30
25
ΔE
20
15 ΔE
10
5
0
0 10 20 30 40
Jam
Gambar 18. Grafik Hubungan Respon Warna Film Indikator dengan Lama Waktu
Penyimpanan
Gambar 18. menunjukkan nilai dari perubahan warna yang terjadi pada
setiap jam pengamatan. Jika dilihat pada grafik nilai perubahan warna naik turun
hal ini terjadi karena untuk memperoleh nilai ΔE (total perbedaan warna)
merah, - = hijau), dan b* (+ = kuning, - = biru). Warna dari film indikator pada jam
ke-0 yang berwarna merah berubah menjadi oranye kecoklatan pada jam ke 6
dengan nilai ΔE yaitu 12.884, sedangkan pada jam ke 12 berwarna oranye pekat
menjadi oranye cerah dengan nilai ΔE yaitu 6.837. Pada jam ke 24 film indikator
dengan nilai ΔE sebesar 39.401. Dan terakhir pada jam ke 36 film indikator
Menurut Pifferi dan Vaccari (1983), Antosianin adalah indikator alami dari pH
53
yang mana dalam media asam akan berwarna merah dan pada saat pH menjadi
4.4.2 Respon Perubahan Warna Film Indikator Dengan pH Pada Filet Ikan
Gurami Selama Penyimpanan
warna film indikator yang diletakkan pada bagian dalam kemasan cerdas.
kecoklatan, oranye pekat, dan oranye cerah menandakan filet ikan gurami masih
segar dan layak dikonsumsi. Sedangkan warna oranye pudar kekuningan, kuning
keoranyenan, dan kuning kehijauan menandakan bahwa filet ikan gurami sudah
tidak layak untuk dikonsumsi. Grafik hubungan respon warna film indikator
dengan nilai pH selama waktu penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 19.
ΔE
50
40 y = 30,759x - 198,39
30 R² = 0,7011
ΔE
20 ΔE
10 Linear (ΔE)
0
6,6 6,8 7 7,2 7,4 7,6 7,8
pH
Gambar 19. Grafik hubungan respon warna film indikator dengan nilai pH
selama waktu penyimpanan
perubahan warna (ΔE), yaitu seiring dengan adanya perubahan pH pada filet
ikan gurami warna film indikator juga akan berubah mengikuti pH lingkungan.
54
Warna respon film indikator pada jam ke-6 adalah 12.884 dengan warna film
indikator oranye kecoklatan dan nilai pH 6.96. Dimana filet ikan gurami masih
layak untuk dikonsumsi. Pada jam ke-12 respon film indikator memberikan nilai
sebesar 17.144 dengan warna film indikator oranye pekat dan nilai pH 6.88.
Pada jam ini filet ikan gurami masih layak untuk dikonsumsi. Kemudian pada jam
ke-18 filet ikan gurami juga masih layak untuk dikonsumsi dengan nilai pH 6.72
dan respon film indikator sebesar 6.837. Warna pada film indikator pada jam ke-
18 ini yaitu oranye cerah. Selanjutnya untuk jam ke-24 pH filet ikan gurami
sebesar 7.11 dengan nilai respon film indikator sebesar 15.916 dan warna film
oranye kekuningan menunjukkan bahwa filet ikan gurami sudah tidak layak untuk
tidak segar dagingnya mempunyai nilai pH yang lebih tinggi dari pada yang
masih segar (lebih basa). Hubungan antara nilai pH filet ikan gurami dengan
respon warna film indikator jika dilihat pada grafik terlihat nyata, hal ini
korelasi yang lumayan bagus yaitu R2 0.6276. Grafik hubungan perubahan warna
film indikator dengan TVBN pada filet ikan gurami selama penyimpanan dapat
55
45
40
ΔE (Respon Sensor)
35
y = 0,9018x - 5,9637
30
R² = 0,6276
25
ΔE
20
15 Linear (ΔE)
10
5
0
0 10 20 30 40 50
TVBN
menyebabkan film indikator berubah warna dari warna awal. Respon warna film
indikator pada jam ke-6 berubah dari warna dari merah menjadi oranye
kecoklatan dengan kadar TVBN 13.525 mg/ 100 g, dimana masih dibatas aman
kadar TVBN untuk ikan konsumsi. Pada jam ke-12 film indikator berubah warna
menjadi oranye pekat dengan kadar TVBN yaitu 23,615 mg/ 100 g, dimana ini
juga masih batas aman untuk dikonsumsi. Kemudian pada jam ke-18 film
berubah menjadi warna oranye cerah dengan kadar TVBN 26,585 mg/ 100 g
bahan, dan jumlah ini juga masih dalam batasan aman untuk dikonsumsi. Pada
pengamatan jam ke-24 film indikator berubah menjadi warna oranye pudar
kekuningan dengan kadar TVBN sebesar 31,715 mg/ 100 g. Kadar TVBN pada
jam ke-24 ini sudah melebihi batasan aman untuk dikonsumsi. Farber (1965),
menyatakan bahwa level kadar TVBN 30 mg/ 100 g merupakan batas maksimum
manusia. Sehingga dapat diketahui bahwa filet ikan gurami dikatakan tidak aman
dikonsumsi karena kadar TVBN yang melewati batas dan film indikator berwarna
56
4.4.4 Respon Perubahan Warna Film Indikator Dengan TMA Pada Filet
Ikan Gurami
indikator dari warna merah menjadi oranye kecoklatan dengan kadar TMA
sebesar 5,44 mg/ 100 g. Korelasi antara respon warna film indikator ΔE dengan
kadar TMA filet ikan gurami lumayan bagus yaitu R2 0.6476. Grafik hubungan
perubahan warna film indikator dengan TMA pada filet ikan gurami selama
45
40
35 y = 2,0209x - 3,3643
30 R² = 0,6476
25
ΔE
20 ΔE
15
Linear (ΔE)
10
5
0
0 5 10 15 20
TMA
Gambar 21. Grafik hubungan perubahan warna film indikator dengan TMA pada
filet ikan gurami selama penyimpanan
pada filet ikan gurami akan menyebabkan perubahan warna pada film indikator
ikan gurami masih segar dan layak untuk dikonsumsi, sedangkan menuju warna
kuning menyatakan filet ikan gurami sudah tidak layak dikonsumsi. Pada jam ke-
12 film indikator berubah menjadi warna oranye pekat dengan kadar TMA masih
dibatas aman konsumsi yaitu 7,775 mg/100 g. Kemudian pada jam ke-18 film
indikator berwarna oranye cerah dengan kadar TMA sebesar 9,95 mg/100 g,
57
yang mana kadar ini masih dalam batasan aman untuk dikonsumsi. Pada jam ke-
24 film indikator berubah warna menjadi oranye pudar kekuningan dengan kadar
TMA yang sudah melebihi batas aman konsumsi yaitu sebesar 12,595 mg/100 g.
Pandit et al. (2008), menyatakan bahwa batasan kadar TMA hasil perikanan
bahwa filet ikan gurami dikatakan tidak aman dikonsumsi karena kadar TMA
yang melewati batas dan film indikator berwarna oranye pudar kekuningan.
ammonia termasuk kedalam golongan basa lemah. Maka dari itu dengan adanya
peningkatan kadar TMA akan mempengaruhi pH dari filet ikan gurami dan
4.4.5 Respon Perubahan Warna Film Indikator Dengan TPC Pada Filet Ikan
Gurami
Peningkatan total bakteri pada filet ikan gurami yang disimpan selama 36
jam pada suhu ruang yaitu berkisar 4.53– 6.73 log cfu/g memberikan pengaruh
pada respon warna film indikator yang diletakkan pada bagian dalam kemasan
pintar. Grafik hubungan perubahan warna film indikator dengan TPC pada filet
58
45
40
35
ΔE (Respon Sensor)
y = 12,316x - 52,091
30 R² = 0,6426
25
20 ΔE
15 Linear (ΔE)
10
5
0
0 2 4 6 8
TPC
Gambar 22. Grafik hubungan perubahan warna film indikator dengan TPC pada
filet ikan gurami selama penyimpanan
total bakteri (TPC) pada filet ikan gurami dan juga terdapat perubahan warna
pada film indikator dari jam ke-0 yang awalnya berwarna merah menjadi oranye
kecoklatan pada jam ke-6, oranye pekat pada jam ke 12, oranye cerah pada jam
ke-18, berwarna oranye pudar kekuningan pada jam ke-24, kuning keoranyenan
pada jam ke-30, dan berwarna kuning kehijauan pada jam ke-36. Sesuai dengan
jam ke-6 berjumlah log 4.78 cfu/g dengan warna indikator oranye kecoklatan
yang menandakan bahwa filet ikan gurami masih aman untuk dikonsumsi. Jam
ke-12 film indikator berwarna oranye pekat dengan total bakteri log 5.16 cfu/g
yang menandakan filet ikan gurami masih aman untuk dikonsumsi. Pada jam ke-
18 jumlah bakteri filet ikan gurami berjumlah log 5.53 cfu/g dengan warna film
indikator oranye cerah. Pada jam ke-18 ini filet ikan gurami masih dalam batasan
aman untuk dikonsumsi. Kemudian pada jam ke-24 film indikator berwarna
oranye pudar kekuningan dengan total bakteri berjumlah log 6.18 cfu/g. Hal ini
59
total bakteri untuk ikan dapat dikonsumsi yaitu berjumlah 5 x 105 (Badan Standar
Nasional, 2006).
pada filet ikan gurami selama penyimpanan, hubungan perubahan tma dengan
ph pada filet ikan gurami selama penyimpanan, hubungan perubahan tpc dengan
ph pada filet ikan gurami selama penyimpanan, hubungan perubahan tvbn (total
volatile base nitrogen) dengan tma (trimethylamine) pada filet ikan gurami
selama penyimpanan, dan hubungan perubahan tvbn dengan tpc pada filet ikan
Parameter kimia TVBN (Total Volatile Base Nitrogen) dan pH filet ikan
gurami selama penyimpanan memiliki korelasi, hal ini dapat dilihat seiring
dengan peningkatan kadar TVBN nilai pH dari filet ikan gurami juga akan
meningkat. Grafik hubungan TVBN dengan pH pada filet ikan gurami selama
60
7,8
7,6
6,6
0 10 20 30 40 50
TVBN
Gambar 23. Grafik hubungan TVBN dengan pH pada filet ikan gurami selama
penyimpanan
grafik cukup kuat, hal ini ditunjukkan dengan nilai R2 0.9284. Semakin lama
daging juga meningkat (lebih basa). Peningkatan kadar TVBN disebabkan oleh
korelasi selama penyimpanan. Grafik hubungan TMA dengan pH pada filet ikan
61
TMA pH
7,8
7,6
7,4
7,2 y = 0,0093x2 - 0,1525x + 7,4769 pH
R² = 0,9152
7 Poly. (pH)
6,8
6,6
0 5 10 15 20
Gambar 24. Grafik hubungan TMA dengan pH pada filet ikan gurami selama
penyimpanan
Gambar 24. menunjukkan korelasi antara kadar TMA dengan nilai pH filet
ikan gurami selama penyimpanan. Hubungan TMA dengan pH jika dilihat pada
grafik cukup kuat, hal ini ditunjukkan dengan nilai R2 0.9152. Semakin lama
menyebabkan pH daging juga meningkat (lebih basa). Hal ini disebabkan karena
TMA merupakan bagian dari senyawa TVBN yang memiliki sifat basa. Menurut
ammonia (NH3) ini masuk kedalam golongan basa lemah (Hernandez et al.,
2009).
Parameter kimia TPC (Total Plate Count) dan pH filet ikan gurami
filet ikan gurami selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 25.
62
7,7
7,6
7,5 y = 0,4506x2 - 4,8551x + 19,875
7,4 R² = 0,974
7,3
7,2 pH
pH
7,1
7 Poly. (pH)
6,9
6,8
6,7
6,6
0 2 4 6 8
TPC
Gambar 25. Grafik hubungan TPC dengan pH pada filet ikan gurami selama
penyimpanan
Gambar 25. menunjukkan korelasi antara nilai TPC dengan nilai pH filet
kuat, hal ini dapat dilihat pada nilai R2 yaitu 0.974. Apabila dilihat pada grafik
maka dapat dilihat bahwa dengan semakin meningkatnya jumlah bakteri maka
semakin tinggi pula nilai pH (lebih basa). Hal ini disebabkan semakin lama
metabolit yang bersifat basa seperti TVBN, TMA, dan amonia yang merupakan
hubungan TVBN dengan TMA pada filet ikan gurami selama penyimpanan dapat
63
45
40 y = 2,1816x + 3,4862
R² = 0,978
35
30
25
TVBN
20 TVBN
15 Linear ( TVBN)
10
5
0
0 5 10 15 20
TMA
Gambar 26. Grafik hubungan TVBN dengan TMA pada filet ikan gurami selama
penyimpanan
kadar TMA pada filet ikan gurami selama penyimpanan. Korelasi antara
keduanya terbilang sangat kuat, hal ini dapat dilihat pada nilai R 2 yaitu 0.978.
TMA merupakan senyawa volatil bagian dari TVBN sehingga dengan terjadinya
peningkatan TVBN, maka kadar TMA juga akan meningkat. Menurut Dalgaard
(1995), TVBN merupakan senyawa basa volatil yang terdiri dari trimethylamine
4.5.5 Hubungan Perubahan TVBN dengan TPC pada Filet Ikan Gurami
Selama Penyimpanan
Parameter kimia TVBN (Total Volatile Base Nitrogen) dengan TPC (Total
Plate Count) filet ikan gurami memiliki korelasi selama penyimpanan. Grafik
hubungan TVBN dengan TPC pada filet ikan gurami selama penyimpanan dapat
64
45
40 y = 13,217x - 48,675
35 R² = 0,959
30
25 TVBN
TVBN
20 Linear ( TVBN)
15
10
5
0
0 2 4 6 8
TPC
Gambar 27. Grafik hubungan TVBN dengan TPC pada filet ikan gurami selama
penyimpanan
Gambar 27. menunjukkan korelasi antara kadar TVBN dan TPC filet
ikan gurami selama penyimpanan. Ini dapat dilihat pada nilai R2 yaitu 0.959 yang
berarti bahwa korelasi antara TVBN dan TPC sangat kuat. Semakin tinggi kadar
TVBN maka akan semakin banyak pula jumlah mikroba psikrofilik yang tumbuh.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Qiu et al. (2014), yang menyatakan bahwa
nilai-nilai TVB-N dari sampel filet ikan akan meningkat sesuai dengan
mikroorganisme pembusuk.
warna yang jelas secara visual selama penyimpanan 36 jam dalam suhu ruang
(28C). Perubahan warna film indikator sebagai respon dari kebusukan filet ikan
65
JAM KE 0 JAM KE 6 JAM KE 12 JAM KE 18
Gambar 28. Perubahan warna film indikator sebagai respon dari kebusukan filet
ikan gurami
warna terjadi dari yang awalnya berwarna merah pada jam ke-0 berubah menjadi
warna oranye kecoklatan pada jam ke-6, berwarna oranye pekat pada jam ke-12
dan berwarna oranye cerah pada jam ke-18. Kemudian pada jam ke-24 film
indikator berubah menjadi warna oranye pudar kekuningan dan bewarna kuning
Berdasarkan kadar TVBN filet ikan gurami tidak aman untuk dikonsumsi
pada jam ke-24 yaitu dengan kadar TVBN 31,715 mg/100 g dari batas maksimal
juga jika dilihat dari jumlah TMA, TPC, dan nilai pH yang menunjukkan hasil
bahwa filet ikan gurami dikatakan tidak aman untuk dikonsumsi pada jam ke-24
dengan nilai TMA, TPC, dan pH berturut-turut yaitu 12,595 mg/100 g dari batas
maksimal 10 mg/100 g, 6,18 log dari batas maksimal 5,7 log. Cianti et al. (2013),
bakteri. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa filet ikan gurami tidak aman
untuk dikonsumsi (busuk) pada jam ke-24 dengan warna film indikator oranye
pudar kekuningan.
4.7 Potensi Aplikasi Film Indikator Warna Ekstrak Daun Erpa Sebagai
Kemasan Cerdas
diaplikasikan pada produk filet ikan. Film indikator warna ekstrak daun erpa
kemasan filet ikan. Aplikasi film indikator warna ekstrak daun erpa ditempel
dalam bentuk label bersamaan dengan pedoman warna film indikator, sehingga
film indikator dapat menjadi panduan bagi konsumen agar konsumen dapat
melihat tingkat kerusakan produk hanya dengan melihat perubahan warna pada
label indikator warna ekstrak daun erpa sebagai kemasan cerdas dapat dilihat
Gambar 29. Panduan warna label indikator warna ekstrak daun erpa sebagai
kemasan cerdas
67
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Daun erpa (Aerva Sanguinolenta) memiliki kandungan total antosianin sebesar 71,47
mg/L.
2. Ekstrak antosianin daun erpa dapat digunakan sebagai zat warna pada film indikator
sebagai kemasan cerdas, karena ekstak antosianin daun erpa dapat berubah warna
3. Perubahan warna pada film indikator terjadi dari yang awalnya berwarna merah pada
jam ke-0 berubah menjadi warna oranye kecoklatan pada jam ke-6, berwarna oranye
pekat pada jam ke-12 dan berwarna oranye cerah pada jam ke-18. Kemudian pada
jam ke-24 film indikator berubah menjadi warna oranye pudar kekuningan dan
bewarna kuning keoranyenan pada jam ke-30. Selanjutnya terakhir berwarna kuning
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini yaitu, perlu dilakukan penelitian lebih
spesifik mengenai ekstrak antosianin daun erpa sehingga dapat tergali semua potensi dan
fungsi yang ada di dalamnya. Kemudian juga perlu dilakukan penelitian dengan
menggunakan suhu refrigerasi atau beku karena mengingat produk perikanan dijual dalam
Afrianto, E., dan Liviawaty, E. 1989. Pengawetan Dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta
: Kanisius.
Afiesh. 2013. Ikan Gurame (Osphronemus gouramy).
http://afiesh.blogspot.com/2013/04/ikan-gurame-osphronemus-gouramy.html.
Diakses pada hari jumat, 8 juni 2018 pukul 03.00 WIB.
Agustina, S., I. M. D. Swantara., dan I. N. Suartha. 2015. Isolasi Kitin, Karakterisasi, dan
Sintesis Kitosan dari Kulit Udang. Jurnal Kimia. Vol. 9 (2) : 271-278.
69
Eskin, N. A. M. 1990. Biochemistry of Food Second Edition. San Diego: Academic
Press, Inc.
Eskin, N. A. M., dan D. S. Robinson. 2001. Food Shelf Life Stability : Chemical, Biochemical,
Microbiological Changes. Washington DC : CRC Press.
Fachry, A. R., dan A. Sartika. 2012. Pemanfaatan Limbah Kulit Udang Dan Limbah Kulit
Ari Singkong Sebagai Bahan Baku Pembuatan Plastik Biodegradable. Jurnal Teknik
Kimia. Vol. 18(3) : 1-9.
Ilyas, S. 1983. Teknologi Refrigrasi Hasil Perikanan Jilid 1. Teknik Pendinginan Ikan.
Jakarta: CV. Paripurna.
Inggrid, H. M., dan H. Santoso. 2015. Aktivitas Antioksidan dan Senyawa Bioaktif Dalam
Buah Stroberi. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan.
70
Irianto, H. E., dan S. Giyatmi. 2014. Prinsip Dasar Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan.
Modul Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Hal. 1-52.
Jabarsyah, A. 2015. Perbedaan Laju Perkembangan Rigor Mortis Beberapa Jenis Ikan.
Jurnal Harpodon Borneo Tarakan.
Khalafalla, F. A., F. H. M. Ali., and A. R. H. A. Hassan. 2015. Quality improvement and shelf-
life extension of refrigerated Nile tilapia (Oreochromis niloticus) fillets using natural
herbs. Beni-suefuniversity Journal of Basic nad Appiled Science. Vol 4 : 33-40.
Moeksin, R., dan S. Ronald. 2009. Pengaruh Kondisi, Perlakuan dan Berat Sampel
Terhadap Ekstraksi Antosianin dari Kelopak Bunga Rosela dengan Pelarutaquadest
dan Etanol. Jurnal Teknik Kimia. Vol. 16(4) : 11-18.
Nirmala, K., Y. Hadiroseyani., dan R. P. Widiasto. 2012. Penambahan Garam dalam Air
Media yang Berisi Zeolit dan Arang Aktif pada Transportasi Sistem Tertutup Benih
Ikan Gurami (Osphronmus goramy Lac.). Jurnal Akuakultur Indonesia. Vol. 11(2) :
190-201.
Noviadji, B. R. 2014. Desain Kemasan Tradisional dalam Konteks Kekinian. Jurnal Fakultas
Desain. Vol. 1(1) : 10-21.
Ojagh. S. M., M. Rezaei., S. H. Razavi., and S. M. H. Hosseini. 2010. Effect of chitosan
coatings enriched with cinnamon oil on the quality of refrigerated rainbow trout. Food
Chemistry. Vol. 120 : 193±198.
Pacquit, A., J. Frisby., D. Diamond., K. T. Lau., A. Farrell., B. Quilty., and D. Diamond. 2007.
Development of a Smart Packaging for The Monitoring of Fish Spoilage. Talanta. Vol.
102(2) : 466-470.
Pacquit, A., K. T. Lau., H. McLaughlin., J. Frisby., B. Quilty., and and D. Diamond. 2006.
Development of a Volatile Amine Sensor for The Monitoring of Fish Spoilage.
Talanta. Vol. 69 : 515-520.
Pacquit, A., K. Crowley., dan D. Diamond. 2008. Smart Packaging Technologies for
Fish and Seafood Products. In : Smart Packaging Technologies for Fast
Moving Consumer Goods. Willey John (Eds): 75-96, England : John Wiley &
Sons Ltd.
71
Pandit, I. G. S., N. T. Suryadhi., I. B. Arka., dan N. Adiputra. 2008. Pengaruh
Peyiangan dan Suhu penyimpanan Terhadap Mutu Kimiawi, Mikrobiologi dan
Organoleptik Ikan Tongkol (Auxis tharzard, Lac). Fakultas Pertanian
Universitas Marwadewa. Progam Pascasarjana Universitas Udayana.
Peterson, J. 2007. Cooking : Fish. London : Ten Speed Press. Hal. 265-269.
Pifferi. P. G., A. and A. Vaccari 1983. The Anthocyanins of Sunflower : II a Study of The
Extraction Process. Journal of Food Technology. Vol. 18. Hal. 629.
Prasetyo, A. E., A. Widhi., dan Widayat. 2012. Potensi Gliserol dalam Pembuatan Turunan
Gliserol Melalui Proses Esterifikasi. Jurnal Ilmu Lingkungan Vol. 10(1) : 26-31.
Pratama, F. 2015. Analisa Hasil Pertanian (PTH 243). Penuntun Praktikum Jurusan
Teknologi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. Hal. 20-22.
Purwani, E., dan S. W. N. Hapsari. 2011. Pengaruh Ekstrak Jahe (Zingiber officinale)
Terhadap Penghambatan Mikroba Perusak pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus).
Jurnal Kesehatan. Vol. 4(1) : 80-91.
Purwanti, A. 2010. Analisis Kuat Tarik dan Elongasi Plastik Kitosan Terplastisasi Sorbitol.
Jurnal Teknologi. Vol. 3(2) : 99-106.
Purwanti, A., dan M. Yusuf. 2013. Upaya Peningkatan Kelarutan Kitosan dalam Asam Asetat
dengan Melakukan Perlakuan Awal pada Pengolahan Limbah Kulit Udang Menjadi
Kitosan. Seminar Nasional : Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi. Hal. 198-
202.
Poeloengasih, C. D., dan D. W. Marseno. 2003. Karakteristik Edible Film Komposit Protein
Biji Kecipir dan Tapioka. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Vol. 14(3) : 224-232.
Qiu, X., S. Chen., G. Liu., and Q. Yang. 2014. Quality enhancement in the Japanese sea
bass (Lateolabrax japonicas) fillets stored at 4 C by chitosan coating incorporated
with citric acid or licorice extract. Food Chemistry 162 : 156±160.
Rahardjo, K. K. E., dan S. B. Widjarnako. 2015. Biosensor pH Berbasis Antosianin Stoberi
dan Klorofil Daun Suji Sebagai Pendeteksi Kebusukan Fillet Daging Ayam. Jurnal
Pangan dan Agroindustri. Vol. 3(2) : 333-344.
Respati, H., dan Santoso, B. 1993. Petunjuk Praktis Budi Daya Ikan Gurami. Yogyakarta :
Kanisius.
Rio. 2016. Alam Anggrek. Erpah. http://alam-
anggrek.blogspot.com/2016/07/erpah.html?m=1. Diakses pada hari jumat 8 juni 2018
pukul 03.52 WIB.
Ritonga, M. J. 2005. Riset Kehumasan. Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia.
Robertson, G. L. 2006. Food Packaging ± Principles and Practice. Second edition, CRC
Press, Boca Raton, FL, USA.
Rogers, J. F., R. C. Cole., dan J. D. Smith. 2004. An illustrated guide to fish preparation
tropical product. Insitute London.
Saanin, Hasanuddin. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Binacipta. Bandung.
Hal. 24-39.
72
Santoso, W. E. A., dan T. Estiasih. 2014. Kopigmentasi Ubi Jalar Ungu (Ipomoea Batatas
Var.Ayamurasaki) dengan Kopigmen Na-Kaseinat Dan Protein Wheyserta
Stabilitasnya Terhadap Pemanasan. Jurnal Pangan dan Agroindustri. Vol. 2(4) : 121-
127.
Saputra, E., dan Nurhayati, T. 2014. Teknik Pengawetan Fillet Ikan Nila Merah dengan
Senyawa Anti Bakteri Asal Lactobacillus Acidophilus dan Bacteria Bifidum.
ComTech. Vol. 5(2) : 1021-1030.
Saputra, E., K. H. Pramono., A. A. Abdillah., M. A. Alamsjah. 2015. An Edible Film
Characteristic of Chitosan Made from Shrimp Waste as a Plasticizer. Journal of
Natural Sciences Research. Vol. 5(4) : 118-124.
Sarastani, D.,S. T. Soekarto., T. R. Muchtadi., D. Fardiaz., dan A. Apriyantono. 2002.
Aktivitas Antioksidan Ekstrak dan Fraksi Ekstrak Biji Atung (Parinarium glaberrimum
Hassk.). Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Vol. 8(2) : 149-156.
Schonberger, H., A. Maumann., W. Keller. 1997. Study of Microbial Degradation of Polyvinyl
Alcohol (PVA) in Wastewater Treatment Plants. Jerman : American Dyestuff
Reporter. Hal. 364-372.
Seafast Center. 2012. Merah-Ungu Antosianin. Pewarna Alami Untuk Pangan. Kajian Bahan
Pewarna Alami. Hal. 23-43.
Septiana, A. T., dan A. Asnani. 2012. Kajian Sifat Fisikokimia Ekstrak Rumput Laut Coklat
Sargassum Duplicatum Menggunakan Berbagai Pelarut dan Metode Ekstraksi.
AGROINTEK. Vol. 6(1) : 22-28.
Sheftel, V. O. 2000. Indirect Food Additives and Polymer : Migration and Toxicology. Boca
Raton London New York Washington, DC : Lewis Publisher. Hal. 736-737.
Shit, S. C., dan P. M. Shah. 2014. Edible Polymers: Challenges and Opportunities. Journal
of Polymer. Hal. 1-13.
Silva, J. L., G. R. Ammerman., dan S. Dean. 2001. Processing channel catfish. SRAC
Publication No.183.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta.
Suardi, Didi. 2015. Potensi Beras Merah untuk Peningkatan Mutu Pangan. Jurnal Litbang
Pertanian. Vol. 24(3) : 93-100.
Suhardi. 1993. Khitin dan Khitosan. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi
UGM.
Sukmadinata, N. S. 2006. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Remaja Rosda Karya.
Sulistiyati, T. D., dan E. Suprayitno. 2014. Influence of Freezing and Pasteurization of The
Physical Condition of The Plastik (PE, PP, and HDPE) as Selar Fish Packaging
(Selaroides leptolepis) in Sendang Biru, Malang, East Java, Indonesia. Journal of
Biodiversity and Environmental Sciences (JBES). Vol. 5(6) : 282-288.
Suptijah, P., Y. Gushagia., dan D. R. Sukarsa. 2008. Kajian Efek Daya Hambat Kitosan
Terhadap Kemunduran Mutu Fillet Ikan Patin (Pangasius Hypopthalmus) Pada
Penyimpanan Suhu Ruang. Buletin Teknologi Hasil Perikanan. Vol. 11(2) : 89-101.
Susanto, H. 1989. Budidaya Ikan Gurame. Yogyakarta : Kanisius. Hal. 11-16.
73
Suzery, M., S. Lestari., dan B. Cahyono. 2010. Penentuan Total Antosiain dari Kelopak
Bunga Rosela (Hibiscus Sabdariffa L) dengan Metode Maserasi dan Sokshletasi.
Jurnal Sains dan Matematika (JSM). Vol. 18(1) : 1-6.
Tingting, L., L. Jianrong ., H. Wenzhong., and L. Xuepeng. 2013. Quality Enhancement in
Refrigerated Red Drum (Sciaenops ocellatus) Fillets using Chitosan Coating
Containing natural Preservatives. Food Chemistry. 138: 821±826.
Trisnawati, E., D. Andesti., dan A. Saleh. 2013. Pembuatan Kitosan Dari Limbah Cangkang
Kepiting Sebagai Bahan Pengawet Buah Duku Dengan Variasi Lama Pengawetan.
Jurnal Teknik Kimia. Vol. 19(2) : 17-26.
Warsiki, E., R. Nofrida., dan I. Yuliasih. 2013. Pemanfaatan Ekstrak Daun Erpa (Aerva
sanguinolenta) untuk Label Cerdas Indikator Warna. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia
(JIPI). Vol. 18(1) : 15-19.
74