Efektifitas Dari Program Tatalaksana CDC
Efektifitas Dari Program Tatalaksana CDC
KOMPREHENSIF (CDC) PADA PASIEN PRIA USIA LANJUT DENGAN DIABETES MELLITUS
TIPE II: SEBUAH PENELITIAN RETROSPEKTIF
Rohit Sane 1, Pravin Ghadigaonkar 2, Rekha Chaure 3, Sangeeta Jain 3, Shweta Wahane 4, Aarti Nadapude
5
, Aarati Badre 3, Rahul Mandole 1,*
1
Departemen Penelitian dan Pengembangan, Klinik dan Rumah Sakit Perawatan Jantung Madhavbaug, Mumbai, India
2
Departemen Operasi Medis, Klinik dan Rumah Sakit Perawatan Jantung Madhavbaug, Mumbai, India
3
Klinik Perawatan Jantung Madhavbaug, Mumbai, India
4
Klinik Perawatan Jantung Madhavbaug, Nagpur, India
5
Klinik Perawatan Jantung Madhavbaug, Latur, India
Abstrak: Prevalensi diabetes mellitus telah menyebabkan munculnya ancaman secara global, oleh karena
penyakit ini menjadi penyebab utama meningkatnya mortalitas dan morbiditas serta pengeluaran biaya
untuk perawatan kesehatan. India merupakan negara ke-2 dengan jumlah pasien dengan diabetes mellitus
terbanyak, yaitu dengan perkiraan prevalensi sekitar 10%. Perawatan diabetes secara komprehensif (CDC)
merupakan sebuah kombinasi dari Panchakarma dan tatalaksana diet. Penelitian ini dilakukan untuk
mengevaluasi pengaruh perawatan diabetes secara komprehensif (CDC) pada hemoglobin terglikosilasi
(HbA1c), indeks massa tubuh (IMT), berat badan, lingkar perut, dan ketergantungan terhadap terapi
konvensional pada pasien- pasien dengan diabetes mellitus. Penelitian retrospektif ini dilakukan dari bulan
Juli 2017 hingga bulan Januari 2018, di mana data dari pasien- pasien pria lanjut usia dengan diabetes
mellitus tipe 2 [hemoglobin terglikosilasi (HbA1c) > 6,5%] yang datang ke klinik Madhavbaug di
Maharashtra, India diidentifikasi. Para peneliti mempertimbangkan data pasien yang diberikan perawatan
diabetes secara komprehensif (CDC) (60-75 menit) dengan minimal 6 pertemuan selama 90 hari (± 15 hari).
Variabel dibandingkan antara hari 1 dan hari 90 perawatan diabetes secara komprehensif (CDC). Dari 48
pasien pria lanjut usia yang terdaftar, 34 dimasukkan untuk analisis. Perawatan diabetes secara
komprehensif (CDC) menunjukkan peningkatan hemoglobin terglikosilasi (HbA1c) yang signifikan dari
8,27 ± 0,96 menjadi 7,1 ± 1,30; p = 0,0001), indeks massa tubuh (IMT) dari 27,65 ± 3,20 hingga 25,91 ±
3,29, p < 0,0001), berat dari 73,75 ± 10,76 hingga 69,46 ± 10,39, p < 0,0001). Lingkar perut (dari 100,0 ±
9,08 menjadi 95,36 ± 9,10; p < 0,0001), juga menunjukkan penurunan yang signifikan. Ketergantungan
pada obat-obatan secara bersamaan berkurang, dengan jumlah pasien yang tidak menggunakan obat-obatan
bersamaan meningkat dari 3% menjadi 15%. Perawatan diabetes secara komprehensif (CDC) dan allopati
keduanya terbukti manjur; tetapi perawatan diabetes secara komprehensif (CDC) bekerja secara bertahap,
yaitu dengan mengurangi hemoglobin terglikosilasi (HbA1c), serta mengurangi ketergantungan pada obat-
obatan allopatik.
Kata kunci: Perawatan Diabetes secara Komprehensif, CDC, Panchakarma, HbA1C, Indeks Massa Tubuh
(IMT), Diabetes Mellitus, Pengobatan Alternatif
1. Pendahuluan
Prevalensi diabetes mellitus tipe II telah mencapai tingkat epidemi dalam skala global. Federasi
diabetes internasional mengutip bahwa jumlah penderita diabetes pada tahun 2030 akan meningkat sekitar
200 juta dalam jumlah kasus, dibandingkan dengan prevalensi pada tahun 2011 [1]. Ini jauh lebih
memprihatinkan di India, di mana diperkirakan sekitar 1/10 dari populasi yang ditimbulkan oleh diabetes
mellitus, dengan tingkat kematian yang sangat tinggi [2, 3]. Secara historis, kadar gula darah puasa > 126
mg/dl dan kadar gula darah pasca makan > 140 mg/dl, yang bersama-sama merupakan tes toleransi glukosa
oral digunakan untuk diagnosis diabetes mellitus. Saat ini, hemoglobin terglikosilasi (HbA1c) digunakan
untuk diagnosis diabetes mellitus, karena menggambarkan kadar glukosa darah selama 2-3 bulan
sebelumnya. Tingkat hemoglobin terglikosilasi (HbA1c) > 6,5% merupakan diagnosis diabetes mellitus,
sementara tingkat kurang dari 6,5 tetapi lebih dari 5,7% dianggap sebagai pradiabetik. Sebagian besar
pedoman menyarankan target hemoglobin terglikosilasi (HbA1c) sebagai ≤ 6,5% [4]. Banyaknya
komplikasi diabetes mellitus, dikelompokkan sebagai makrovaskuler dan mikrovaskuler, jangka pendek dan
jangka panjang, membuat penyakit ini lebih berbahaya. Stroke, infark miokard, penyakit pembuluh darah
perifer adalah beberapa komplikasi makrovaskular, sedangkan retinopati, neuropati, dan nefropati
dikelompokkan dalam komplikasi mikrovaskular. Namun, penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada
pasien- pasien dengan diabetes adalah penyakit penyakit kardiovaskular (CVD) [5]. Ulkus pedis dan
amputasi adalah beberapa pengaruh setelah neuropati diabetik, sedangkan nefropati diabetik adalah salah
satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien- pasien dengan diabetes setelah penyakit
kardiovaskular (CVD) [6-9]. Saat ini diabetes ditangani dengan mengadvokasi koreksi diet dan latihan fisik
secara teratur bersama dengan pengobatan dengan obat antidiabetik oral / agen hipoglikemik oral (OAD).
Disarankan untuk memulai obat antidiabetik oral / agen hipoglikemik oral (OAD) ketika tatalaksana diet
dan tindakan lain tidak dapat menurunkan kadar hemoglobin terglikosilasi (HbA1c) menjadi < 6,5% setelah
2 bulan. Mayoritas obat antidiabetik oral / agen hipoglikemik oral (OAD) bertindak dengan cara baik,
mengurangi produksi glukosa intrinsik, meningkatkan penyerapan jaringan atau meningkatkan ekskresi.
Sulphonylureas, thiazolidinedione, biguanides, dan lain- lain. Adalah beberapa contoh obat antidiabetes
kelas konvensional. Ketika 1 obat antidiabetik oral / agen hipoglikemik oral (OAD) tidak dapat mengurangi
hemoglobin terglikosilasi (HbA1c) di bawah 7,5% atau jika nilai awal hemoglobin terglikosilasi (HbA1c)
terlalu tinggi, disarankan untuk menggunakan kombinasi obat antidiabetik oral / agen hipoglikemik oral
(OAD) dari kelas yang berbeda [10]. Namun, masalah utama yang dihadapi dengan penggunaan obat
antidiabetik oral / agen hipoglikemik oral (OAD) adalah sejumlah besar efek samping yang meliputi
hipoglikemia, pankreatitis, anemia, dan lain- lain [11]. Efek samping ini seiring dengan peningkatan biaya
terapi telah ditemukan secara drastis mengurangi kepatuhan pengobatan pada pasien- pasien dengan
diabetes mellitus [12]. Meskipun ketersediaan berbagai kelas obat antidiabetik oral / agen hipoglikemik oral
(OAD) dan pedoman yang ditetapkan secara luas, jumlah kasus diabetes mellitus secara konsisten
meningkat [12]. Dengan demikian, diperlukan terapi alternatif yang efektif, yang akan menangkal dampak
buruk dari obat-obatan konvensional dan meningkatkan kepatuhan pasien terhadap obat-obatan untuk hasil
yang optimal. obat antidiabetik oral / agen hipoglikemik oral (OAD) bertindak dengan mengurangi kadar
gula darah dalam tubuh. Berbagai obat herbal telah menunjukkan pengaruh yang serupa dalam penelitian
klinis, termasuk pengurangan hemoglobin terglikosilasi (HbA1c) [13-15] yang signifikan. Ini menjadikan
Ayurveda alternatif terapi potensial pada pasien- pasien dengan diabetes mellitus tipe 2. Dokter Ayurvedic
menganjurkan Panchakarma - proses detoksifikasi tubuh multi-langkah dalam fase kronis penyakit.
Panchakarma dan terapi diet digabungkan dalam program perawatan diabetes secara komprehensif (CDC).
Tiga teknik digunakan di Panchakarma pada perawatan diabetes secara komprehensif (CDC)-Snehana
yaitu, terapi panas pasif dan Basti yaitu pemberian obat per rektal. Panchakarma adalah prosedur yang
terkenal untuk detoksifikasi internal tubuh [16-17]. Depresi dikaitkan dengan diabetes mellitus oleh karena
penurunan kualitas hidup, sehingga kami merencanakan penelitian retrospektif ini pada pasien pria lanjut
usia diabetes mellitus tipe 2, yaitu dengan tujuan untuk menilai kemanjuran perawatan diabetes secara
komprehensif (CDC) pada berbagai parameter seperti hemoglobin terglikosilasi (HbA1c), indeks massa
tubuh (IMT), pengurangan berat badan, lingkar perut, dan reduksi ketergantungan pada pengobatan
konvensional setelah perawatan diabetes secara komprehensif (CDC) selesai.
Laki-laki lanjut usia (> 60 tahun), menderita diabetes mellitus tipe 2 [hemoglobin terglikosilasi
(HbA1c) > 6,5%], [4] yang datang ke klinik Madhavbaug di seluruh Maharashtra.
2.2.3. Metodologi
Data pasien yang telah diberikan perawatan diabetes secara komprehensif (CDC) dengan minimal 6
pertemuan selama kurun waktu 90 hari (± 15 hari) dipertimbangkan untuk penelitian ini, di mana 4
pertemuan dilakukan pada bulan 1, dan 1 duduk per bulan untuk selanjutnya 2 bulan. Pasien-pasien ini
dirawat dengan diet 800-1.000 kalori per hari, menurut catatan medis pasien. Rencana diet terdiri dari
karbohidrat rendah, protein sedang, dan lemak rendah. Kasus diidentifikasi, dan data dinilai dari catatan
klinik Madhavbaug di Maharashtra. Pemilihan didasarkan pada ketersediaan data dasar yang relevan
lengkap [hari 1 perawatan diabetes secara komprehensif (CDC)] dan data hari terakhir [hari 90 perawatan
diabetes secara komprehensif (CDC)]. Informasi tentang obat yang diresepkan bersamaan, jika ada, juga
dicatat. Pada hari 1 perawatan diabetes secara komprehensif (CDC), pasien telah menjalani hemoglobin
terglikosilasi (HbA1c), berat badan, indeks massa tubuh (IMT), pengukuran lingkar perut sesuai pedoman
[18]. Bacaan ini dianggap sebagai bacaan dasar. Proses ini diulangi pada hari ke 90 perawatan diabetes
secara komprehensif (CDC) untuk menghitung perubahan dari pembacaan nilai awal. indeks massa tubuh
(IMT) untuk hari 1 dan hari 90 pasien dihitung dengan memeriksa berat dan tinggi dari lembar data medis
pasien dan menggunakan rumus: berat dalam kilogram / (tinggi dalam meter) 2. Ketergantungan pada
pengobatan standar dihitung baik pada hari 1 dan hari 90 perawatan diabetes secara komprehensif (CDC)
sebagai persentase pasien dari total yang terdaftar yang membutuhkan agen terapi allopatik konvensional
selama masa penelitian 90 hari.
Perawatan diabetes secara komprehensif (CDC) adalah prosedur 3 langkah yang dilakukan pada
pasien- pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 setelah sarapan ringan. Satu langkah prosedur memakan
waktu 65-75 menit, seperti yang dijelaskan dalam tabel 1 [19-20].
Data dikumpulkan dan diberi kode dalam lembar kerja Microsoft Excel. R Versi 3.4.1 perangkat
lunak digunakan untuk menganalisis data. Data kategorikal disajikan dalam bentuk frekuensi dan data
kontinu disajikan sebagai Rata- rata ± deviasi standar. Uji t-berpasangan digunakan untuk menilai
perbedaan antara nilai-nilai dasar dan hari ke-90 setelah pengobatan. Histogram digunakan untuk mewakili
grafik.
Step of CDC Type of Therapy Herbs used for therapy Duration of Therapy
Massage or external oleation 100 ml Azadirechta indica (neem) extract
Snehana 25-30 minutes
(centripetal upper strokes on the processed in sesame oil
body)
Swedana Passive heat therapy to the body Dashmoola (group of ten herbal roots) with steam at <40 15-20 minutes
+ 3-4 minutes
Step of Type of Therapy Herbs used for therapy Duration of
CDC Per-rectal drug degrees Celsius) Therapy
of relaxation
administration should be after
Basti in body for > 15 Daruharidra (Berberis aristate) 10 minutes
kadha minutes for maximum and 40%of
Mixture Yashtimadhu
40% Gudmaar
absorption (Glycyrrhiza glabra) 20%
(Gymnema sylvestre),
3. Hasil procedure
Populasi penelitian:
R p-value r p-value
6
Figure 1. Comparison of HbA1c at baseline and after 90 days.
7
Figure 3. Comparison of BMI of the patients at baseline and after 90
days.
Kami juga menilai korelasi antara indeks massa tubuh (IMT) dan hemoglobin
terglikosilasi (HbA1c), lingkar perut dan hemoglobin terglikosilasi (HbA1c)b (tabel
3). Ada korelasi positif yang lemah antara indeks massa tubuh (IMT) dan hemoglobin
terglikosilasi (HbA1c) (r = 0,05) pada hari pertama pengobatan dan itu tidak
signifikan secara statistik (p = 0,06), hal yang sama ditunjukkan pada Gambar 5a.
8
0,07, p = 0,70) yang ditunjukkan pada gambar 5b. Kami menemukan hubungan
negatif antara hemoglobin terglikosilasi (HbA1c) dan lingkar perut (r = -0,049) pada
hari pertama pengobatan yang tidak signifikan secara statistik (p = 0,82) (gambar 5c).
Kami menemukan hubungan positif yang lemah di antara mereka setelah perawatan (r
= 0,051) pada hari 90, dan itu tidak signifikan secara statistik (p = 0,81) (gambar 5d).
Konsumsi obat-obatan allopatik pada hari 1 dan setelah 90 hari terapi adalah
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4. Sebagian besar peserta yang terdaftar diobati
dengan biguanides (58,82%), sulfonylurea (38,24%), obat antiinflamasi nonsteroid
(35,29%), statin (29,41%). Semua subjek yang merupakan obat allopatik sebelum
terapi menurun setelah hari ke-90. Namun, subjek dengan obat antiinflamasi
nonsteroid tidak bervariasi setelah terapi. Ilustrasi diberikan pada gambar 6.
9
Medicine Day 1 After 90 days
Sulfonylurea 13 (38.24) 10 (29.41)
Biguanide 20 (58.82) 13 (38.24)
Thiazolidinedione 4 (11.76) 2 (5.88)
DPP-4 inhibitor 8 (23.53) 5 (14.71)
Alpha-glucosidases inhibitors 5 (14.71) 3 (8.82)
Insulin 3 (8.82) 3 (8.82)
NSAID 12 (35.29) 12 (35.29)
Statin 10 (29.41) 6 (17.65)
ARB 8 (23.53) 6 (17.65)
Beta blocker 5 (14.71) 2 (5.88)
CCB 6 (17.65) 5 (14.71)
Antiplatelet 7 (20.59) 7 (20.59)
Nitrate 1 (2.94) 1 (2.94)
No medicine 1 (2.94) 5 (14.71)
10
4. Diskusi
11
ada pengurangan yang signifikan dalam ketergantungan pasien pada obat antidiabetik
allopatik konvensional pada akhir periode penelitian.
12
konvensional pada akhir periode penelitian. Juga, jumlah pasien yang menggunakan
obat konvensional meningkat pada akhir hari ke-90.
5. Kesimpulan
13