Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS BESAR

WANITA 41 TAHUN DENGAN MATA KIRI PTERIGIUM NASAL

Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan senior bagian Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh :
Jessa Kris Dayanti
22010117220064

Pembimbing :
dr. Kartika Cindy Fibrian

Penguji :
dr. Riski Prihatningtias, Sp.M

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Jessa Kris Dayanti


NIM : 22010117220064
Bagian : Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Judul : Wanita 41 Tahun dengan Mata Kiri Pterigium Nasal
Penguji : dr. Riski Prihatningtias, Sp.M
Pembimbing : dr. Kartika Cindy Fibrian

Semarang, September 2018

Mengetahui,

Penguji Kasus, Pembimbing,

dr. Riski Prihatningtias, Sp.M dr. Kartika Cindy Fibrian


LAPORAN KASUS

Penguji kasus : dr. Riski Prihatningtias, Sp.M


Pembimbing : dr. Kartika Cindy Fibrian
Dibacakan oleh : Jessa Kris Dayanti
22010117220064
Dibacakan tanggal : 6 September 2018

I. PENDAHULUAN
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular berbentuk segitiga
yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah inter
palpebral yang bersifat degeneratif dan invasif.1 Pterigium berasal dari bahasa
yunani pteron yang berarti wing atau sayap, seperti asal katanya pterigium
tumbuh membentuk sayap pada konjungtiva bulbi. Pterigium dapat
berkembang dengan cepat dan semakin meluas sampai mendistorsi kornea,
dalam beberapa kasus lanjut dapat mempengaruhi penglihatan. Pterigium
umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan berupa mata berair
dan tampak merah serta mungkin menimbulkan astigmatisme akibat adanya
perubahan bentuk kornea akibat adanya mekanisme penarikan oleh pterigium
serta terdapat pendataran dari pada meridian horizontal pada kornea.1,12
Pterigium digambarkan sebagai suatu degenerasi elastotik, ditandai
dengan jaringan subepitelial yang abnormal, terdiri dari serat kolagen, dan
murni yang merupakan suatu proses yang disebabkan oleh paparan sinar
matahari. Pada gambaran histopatologi pterigium, diketahui terjadi suatu
proses proliferasi aktif. Terlihat transformasi fibroblas yang menginvasi
permukaan kornea sehingga menyebabkan kerusakan Membran Bowman.
Jaringan ikat pterigium mengandung banyak vaskularisasi daripada epitel
konjungtiva normal, terutama pembuluh darah dengan kaliber kecil yang
berkelok – kelok dan bercabang. Morfologi pembuluh darah tersebut
menandakan adanya proses angiogenesis aktif pada jaringan ikat subepitelial
pterigium.2

1
Prevalensi pterigium di dunia dilaporkan 10,2% dengan prevalensi
tertinggi berada di wilayah dataran rendah. Meningkatnya insidensi pterigium
tercatat di daerah tropis dan di zona ekuator antara 30° lintang utara dan
selatan. Insiden yang lebih tinggi dikaitkan dengan paparan sinar matahari
kronis (sinar ultraviolet), usia tua, jenis kelamin laki-laki, dan aktivitas luar
ruangan.1,3
Kejadian pterigium banyak di daerah beriklim panas dan kering dan
prevalensinya juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Hasil survei Riset
Kesehatan Dasar tahun 2013 menyebutkan prevalensi pterigium di Indonesia
adalah 8,3% dengan prevalensi tertinggi ditemukan di Bali (25,2%) dan
terendah yaitu Provinsi DKI Jakarta (3,7). Prevalensi pterigium semakin
meningkat dengan bertambahnya umur, dengan prevalensi tertinggi ditemui
pada kelompok umur ≥ 75 tahun (36,4%). Prevalensi pterigium pada laki-laki
cenderung sedikit lebih tinggi dibanding prevalensi pada perempuan.
Pekerjaan sebagai petani, nelayan, dan buruh mempunyai prevalensi
pterigium tertinggi (15,8%) dibanding kelompok pekerja lainnya. Tingginya
prevalensi pterigium pada kelompok pekerjaan tersebut dapat berkaitan
dengan tingginya paparan matahari yang mengandung sinar ultraviolet. Sinar
ultraviolet merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kejadian
pterigium. Kasus pterigium cukup banyak di Indonesia karena merupakan
salah satu negara tropis dengan paparan sinar ultraviolet yang tinggi.4 Dalam
laporan ini akan dibahas mengenai seorang wanita usia 41 tahun dengan
pterigium pada mata kiri yang berobat ke RSU William Booth Semarang.

II. IDENTITAS PENDERITA


Nama : Ny. S
Umur : 41 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
No. CM : 28-97-93
Agama : Islam
Alamat : Jatisari Mijen Semarang
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

2
III. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 29
Agustus 2018 pukul 9.40 WIB di Poliklinik Mata RS William Booth
Semarang.
Keluhan Utama
Terdapat selaput putih pada mata kiri

Riwayat Penyakit Sekarang


Kurang lebih 10 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh
terdapat selaput putih pada mata kiri. Awalnya muncul dengan ukuran kecil
pada bola mata putih, kemudian semakin membesar meluas ke bola mata
hitam. Pasien mengeluhkan terdapat rasa mengganjal seperti berpasir, dan
tidak nyaman pada mata kiri. Pasien juga sering merasa gatal (+), panas (+)
apabila terkena debu, udara panas dan paparan sinar matahari. Keluhan
berkurang setelah mata diusap. Sebelumnya pasien bekerja sebagai penjual
sayur keliling. Sehari-hari pasien berjualan tanpa menggunakan kacamata
ataupun topi. Pasien berjualan dari pagi hingga siang hari. Saat ini pasien
sudah berhenti bekerja. Pasien berobat ke puskesmas dan mendapat obat tetes
mata yang diteteskan 4 kali sehari 1 tetes pada mata kiri,namun keluhan tidak
membaik. Pasien juga mengeluh tidak dapat membuka mata karena terasa
lengket saat bangun tidur. Terkadang mata berair terutama saat bangun tidur
disertai adanya selaput lendir pada mata pasien. Keluhan mata merah (-),
mata berair (+) saat bangun tidur, terdapat selaput lendir di mata (+), kotoran
mata berlebih (-), pandangan kabur (-), pandangan ganda (-), pandangan silau
saat keluar rumah (-). Karena keluhan tidak berkurang pasien datang ke RSU
William Booth Semarang untuk memeriksakan mata.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat operasi mata disangkal
 Riwayat trauma mata disangkal
 Riwayat mata buram disangkal

3
 Riwayat penggunaan kacamata sebelumnya tidak ada.
 Riwayat penyakit mata sebelumnya disangkal
 Riwayat alergi obat disangkal
 Riwayat kencing manis, darah tinggi disangkal
 Riwayat kolesterol tinggi (+)
 Riwayat merokok disangkal

Riwayat penyakit keluarga


 Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit serupa
 Riwayat kencing manis dalam keluarga disangkal
 Riwayat penyakit darah tinggi dalam keluarga disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi


 Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal bersama seorang
suami yang bekerja sebagai buruh pabrik dan memiliki 2 orang anak yang
belum mandiri
 Biaya pengobatan ditanggung BPJS
Kesan ekonomi kurang

IV. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Fisik (29 Agustus 2018)
Status Praesens
Keadaan umum : Baik
Kesadaaran : Compos Mentis, GCS 15
Tanda vital : TD :110/80 mmHg RR : 20x/menit
Nadi : 88x/menit Suhu : afebris
Pemeriksaan Fisik: Kepala : Mesosefal
Thorax : Tidak ada kelainan
Abdomen : Tidak ada kelainan
Ekstremitas : Tidak ada kelainan

Status Oftalmologis

4
fibrovaskuler

Gambaran makroskopis mata pasien

Mata kanan Mata kiri

Mata Kiri

Jaringan fibrovaskuler pada sisi nasal


meluas kearah kornea OS ± 2 mm dari
limbus, arah jam 9

Oculus Dexter Oculus Sinister


5/5 Visus Dasar 5/6 F
5/5 E Visus Koreksi 5/6 C-0.50 x 15⁰ 5/5F
Bebas ke segala arah baik Gerak bola mata Bebas ke segala arah baik
Tidak ada kelainan Supercilia Tidak ada kelainan
Edema (-), entropion (-), Edema (-), entropion (-),
Palpebra
ektropion (-), tumor (-) ektropion (-), tumor (-)
Hiperemis (-), sekret (-), Konjungtiva Hiperemis (-), sekret (-),

5
Oculus Dexter Oculus Sinister
edema (-), corpus alienum (-), palpebralis edema (-),corpus alienum (-),
papil (-) papil (-)
Konjungtiva
Hiperemis (-), sekret (-) Hiperemis (-), sekret (-)
fornices
Sekret (-),
Injeksi konjungtiva(-),
Sekret (-), injeksi siliar (-), tear meniscus
Injeksi konjungtiva(-), <1mm
injeksi siliar (-), tear meniscus Konjungtiva bulbi terdapat jaringan fibrovaskuler
>1mm berbentuk segitiga dari arah
nasal dengan apeks ± 2 mm
melewati limbus, belum
mencapai pupil
Jernih,
Jernih, terdapat jaringan fibrovaskuler
Kornea
dari sisi nasal meluas kearah
kornea ± 2mm dari limbus
Kedalaman cukup, jernih, Camera oculi Kedalaman cukup, jernih,
Tindal Efek (-) anterior Tindal Efek (-)
Kripte (+), Kripte (+),
sinekia anterior (-), sinekia anterior (-),
Iris
sinekia posterior (-), sinekia posterior (-),
atrofi iris (-) atrofi iris (-)
Bulat, Bulat,
sentral regular, sentral regular,
Pupil
d= 3mm, d= 3mm,
reflek pupil (+) N reflek pupil (+) N
Jernih Lensa Jernih
Jernih Corpus Vitreous Jernih
Tidak dilakukan Fundus reflex Tidak dilakukan
Tidak dilakukan Funduscopy Tidak dilakukan
T (digital) : normal Tensio oculi T (digital) : normal
System canalis
Tidak dinilai Tidak dinilai
lacrimalis
Tidak dinilai Sensus coloris Tidak dinilai

V. RESUME
Pasien datang dengan benjolan yang kronik progresif pada konjungtiva bulbi
meluas ke kornea pada okuli sinistra. Keluhan rasa mengganjal seperti

6
berpasir (+), panas (+) apabila terkena debu, udara panas dan paparan sinar
matahari. Sebelumnya pasien bekerja sebagai penjual sayur keliling tanpa
menggunakan peilindung mata. Pasien sudah berobat ke puskesmas, diberi
obat tetes mata yang diteteskan 4 kali sehari 1 tetes, tidak ada perbaikan.
Keluhan disertai lakrimasi (+) pada saat bangun tidur, penurunan visus (+).
Pemeriksaan Fisik
Status presens : dalam batas normal

Status Oftalmologis
Oculus Dexter Oculus Sinister
5/5 Visus Dasar 5/6 F
5/5 E Visus Koreksi 5/6 C-0.50 x 15⁰ 5/5F
Sekret (-),
Injeksi konjungtiva(-),
Sekret (-), injeksi siliar (-), tear meniscus
Injeksi konjungtiva(-), <1mm
injeksi siliar (-), tear meniscus Konjungtiva bulbi terdapat jaringan fibrovaskuler
>1mm berbentuk segitiga dari arah
nasal dengan apeks ± 2 mm
melewati limbus, belum
mencapai pupil
Jernih,
Jernih, terdapat jaringan fibrovaskuler
Kornea
dari sisi nasal meluas kearah
kornea ± 2mm dari limbus

VI. DIAGNOSIS
DIAGNOSIS BANDING
- OS Pterigium
- OS Pseudopterigium
- OS Pinguekula

DIAGNOSIS KERJA
- OS Pterigium grade II

DIAGNOSIS TAMBAHAN

7
- Dry eye

VII.TERAPI
- Farmakologis :
NaCl dan KCl eye drops o.4.h gtt I OS (Substitusi Cendo Lyteers)
- Non farmakologis :
pemberian resep kacamata sesuai dengan koreksi
edukasi kepada pasien untuk selalu menggunakan kacamata bila
beraktivitas di luar rumah

VIII. PROGNOSIS
OD OS
Quo ad visam Ad Bonam Dubia Ad Bonam
Quo ad sanam Dubia ad Bonam Dubia ad Bonam
Quo ad vitam Dubia Ad bonam
Quo ad cosmeticam Dubia Ad bonam

IX. USUL
 Evaluasi keluhan , bila keluhan tidak membaik atau benjolan semakin
meluas maka dapat dilakukan eksterpasi Pterigium

X. EDUKASI
 Menjelaskan kepada pasien bahwa pada mata sebelah kiri terdapat selaput
tumbuh yang disebut pterigium yang mungkin dapat disebabkan oleh
karena sering terpapar sinar matahari, angin, debu, asap jangka lama.
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien agar pasien menghindari
hal-hal yang merupakan faktor risiko dari pterigium misalnya sinar UV.
Beberapa cara untuk menghindarai paparan UV misalnya dengan
menggunakan kacamata anti-UV maupun topi saat keluar rumah dengan
paparan matahari langsung serta menghindari aktivitas yang mendapat
paparan sinar matahari langsung.

8
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bahwa penyakit pasien
tidak dapat hilang hanya dengan pemberian obat. Pengobatan yang tepat
adalah dilakukan tindakan operasi pengangkatan selaput putih tersebut.
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bahwa penyakit pasien
dapat timbul berulang meskipun telah dilakukan tindakan pembedahan.
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya bahwa penglihatan pasien
dapat dikoreksi dengan menggunakan kacamata dengan lensa silinder.
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya agar pasien dapat menjaga
kebersihan dengan baik.
 Menjelaskan kepada pasien agar pasien dapat mengikuti dan mematuhi
terapi yang diberikan sesuai petunjuk dokter.

XI. DISKUSI
A. KONJUNGTIVA
Konjungtiva adalah membran mukosa tembus cahaya yang
melapisi permukaan aspek posterior dari kelopak mata dan anterior bola
mata. Nama konjungtiva (conjoin= bergabung) diberikan kepada
membran mukosa ini karena fakta bahwa konjungtiva menghubungkan
bola mata dengan kelopak mata. Membentang dari pinggir kelopak mata
ke limbus, dan membungkus ruang kompleks yang disebut saccus
konjungtiva yang terbuka di depan fisura palpebral.
Konjungtiva dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:5
 Konjungtiva palpebralis. Bagian ini melapisi permukaan dalam
kelopak mata dan melekat kuat pada tarsus. Konjungtiva palpebralis
terbagi 3 yakni konjungtiva marginal, tarsal, orbital. Konjungtiva
marginal membentang dari tepi kelopak mata sekitar 2 mm pada
bagian belakang kelopak sampai ke alur dangkal, yakni sulkus
subtarsalis. Bagian ini sebenarnya zona transisi antara kulit dan
konjungtiva lebih tepatnya. Konjungtiva tarsal tipis, transparan dan
banyak mengandung vaskular. Bagian ini melekat kuat pada seluruh
tarsal kelopak mata atas. Pada kelopak mata bawah, hanya melekat

9
pada setengah bagian tarsal. Konjungtiva orbital terletak longgar
antara tarsal dan forniks.
 Konjungtiva bulbaris. melekat longgar pada sclera dan melekat lebih
erat pada limbus kornea. Di sana epitel konjungtiva bergabung dangan
epitel kornea. Bagian ini dipisahkan dari sklera anterior oleh jaringan
episcleral dan kapsul Tenon. Terdapat sebuah dataran tinggi 3-mm
dari konjungtiva bulbaris sekitar kornea disebut konjungtiva limbal.
 Konjungtiva fornix, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal
dengan konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra
yang melekat erat pada struktur sekitarnya, konjungtiva fornix ini
melekat secaralonggar dengan struktur dibawahnya yaitu fasia
muskulus levator palpebra superior serta muskulus rektus. Karena
perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva fornix dapat
bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut
berkontraksi.

Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan yaitu epitel,


lapisan adenoid, dan lapisan fibrosa.
1. Epitel. Lapisan sel epitel di konjungtiva bervariasi pada masing-
masing daerah dan dalam bagian-bagian sebagai berikut: Konjungtiva
marginal memiliki 5 lapis epitel sel gepeng bertingkat. Konjungtiva

10
tarsal memiliki 2 lapis epitel: lapisan superficial terdiri dari sel-sel
silinder dan lapisan dalam terdiri dari sel-sel datar. Konjungtiva
forniks dan bulbaris memiliki 3 lapis epitel: lapisan superfisial terdiri
dari sel silindris, lapisan tengah terdiri dari sel polyhedral dan lapisan
dalam terdiri dari sel kubus. Limbal konjungtiva memiliki lagi lapisan
yang banyak (5 sampai 6 lapis) epitel berlapis gepeng.
2. Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan terdiri
dari retikulum jaringan ikat halus dengan jerat dimana terdapat
limfosit. Lapisan ini paling pesat perkembangannya di forniks.
Lapisan ini tidak ditemukan ketika bayi lahir tapi akan berkembang
setelah 3-4 bulan awal kehidupan. Hal ini menjelaskan bahwa
peradangan konjungtiva pada bayi tidak menghasilkan reaksi
folikuler.
3. Lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat elastis.
Lapisan ini lebih tebal dari lapisan adenoid, kecuali di daerah
konjungtiva tarsal, di mana lapisan ini sangat tipis. Lapisan ini
mengandung pembuluh dan saraf dari konjungtiva. Lapisan ini bersatu
dengan mendasari kapsul Tenon di daerah konjungtiva bulbar.
Konjungtiva berisi dua jenis kelenjar, yakni kelenjar sekresi musin
dan kelenjar lakrimalis aksesoris. Kelenjar ini terdiri dari sel goblet
(kelenjar uniseluler yang terletak di dalam epitel), Crypts of Henle
(terdapat di konjungtiva tarsal) dan kelenjar Manz (ditemukan dalam
konjungtiva limbal). Kelenjar-kelenjar ini mensekresi mucus yang penting
untuk membasahi kornea dan konjungtiva. Kelenjar lakrimalis aksesoris
terdiri dari: Kelenjar Krause (terdapat pada jaringan ikat subconjunctival
forniks, sekitar 42 buah di atas forniks dan 8 buah di bawah forniks) dan
kelenjar Wolfring (terdapat di sepanjang batas atas tarsus superior dan
sepanjang batas bawah tarsus inferior).
Plica semilunaris merupakan lipatan seperti bulan sabit berwarna
merah muda dari konjungtiva yang terdapat di kantus medial. Batas bebas
lateralnya berbentuk cekung.

11
Korunkula adalah massa kecil, oval, merah muda, terletak di
canthus bagian dalam. Pada kenyataannya, massa ini merupakan potongan
modifikasi kulit dan ditutupi dengan epitel gepeng bertingkat dan berisi
kelenjar keringat, kelenjar sebasea dan folikel rambut.
Arteri yang memperdarahi konjungtiva berasal dari tiga sumber
yakni arkade arteri perifer palpebra, arkade arteri marginal kelopak mata,
dan arteri ciliaris anterior. Konjungtiva palpebralis dan forniks
diperdarahi oleh cabang-cabang dari arkade arteri perifer dan marginal
palpebra. Konjungtiva bulbar diperdarahi oleh dua set pembuluh darah
yaitu: arteri konjungtiva posterior yang merupakan cabang dari arteri
kelopak mata, dan arteri konjungtiva anterior yang merupakan cabang
dari arteri ciliaris anterior. Cabang terminal arteri konjungtiva posterior
membentuk anastomosis dengan arteri konjungtiva anterior dan
membentuk arkade pericorneal. Vena konjungtiva bermuara ke dalam
vena pleksus kelopak mata dan beberapa mengelilingi kornea dan
bermuara ke vena ciliaris anterior. Sistem limfatik konjungtiva tersusun
dalam dua lapisan, yakni superficial dan profunda. Sistem ini dari sisi
lateral bermuara ke limfonodus preaurikuler dan sisi medial bermuara ke
limfonodus submandibular. Konjungtiva menerima persarafan dari
percabangan nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini
memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.6

12
B. DEFINISI PTERIGIUM
Pterigium merupakan proliferasi jaringan fibrovaskular pada
konjungtiva bulbi yang berbentuk segitiga atau menyerupai sayap yang
dapat menginvasi kornea superfisial.1,7 Pterigium dapat tumbuh terarah,
berkembang dengan cepat dan semakin meluas sampai menginfiltrasi
kornea antara lain lapisan stroma dan membrana bowman.7
Pterigium dibagi menjadi 3 bagian yaitu apex (head), collum
(neck), body dan cap. Bagian segitiga yang meninggi pada pterigium
dengan dasarnya ke arah kantus disebut body, sedangkan bagian atasnya
disebut apex, dan ke belakang disebut cap. Subepitelial cap atau halo
timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir pterigium.7,8
Pterigium dapat bervariasi bentuknya, dari ukuran kecil, lesi atrofi sampai
lesi fibrovaskular besar yang tumbuh agresif dan dapat merusak topografi
kornea, dalam beberapa kasus lanjut dapat mempengaruhi penglihatan.

C. EPIDEMIOLOGI PTERIGIUM
Prevalensi pterigium di dunia dilaporkan 10,2% dengan prevalensi
tertinggi berada di wilayah dataran rendah. Meningkatnya insidensi
pterigium tercatat di daerah tropis dan di zona ekuator antara 30° lintang
utara dan selatan. Insiden yang lebih tinggi dikaitkan dengan paparan
sinar matahari kronis (sinar ultraviolet), usia tua, jenis kelamin laki-laki,
dan aktivitas luar ruangan.1,3
Hasil survei Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menyebutkan
prevalensi pterigium di Indonesia adalah 8,3% dengan prevalensi tertinggi
ditemukan di Bali (25,2%), diikuti Maluku (18,0%) dan Nusa Tenggara

13
Barat (17,0%). %). Provinsi DKI Jakarta mempunyai prevalensi pterigium
terendah yaitu 3,7 persen, diikuti oleh Banten 3,9 persen. Prevalensi
pterigium semakin meningkat dengan bertambahnya umur. Prevalensi
pterigium pada dua mata maupun satu mata terendah dijumpai pada
kelompok umur 0-4 tahun (0,8%) sedangkan prevalensi tertinggi ditemui
pada kelompok umur ≥ 75 tahun (36,4%). Prevalensi pterigium pada laki-
laki cenderung sedikit lebih tinggi dibanding prevalensi pada perempuan.4
Prevalensi kasus pterigium dengan pasien bekerja sebagai petani,
nelayan, dan buruh yaitu 15,8%, merupakan yang tertinggi dibanding
kelompok pekerjaan lainnya. Tingginya prevalensi pterigium pada
kelompok pekerjaan tersebut dapat berkaitan dengan tingginya paparan
matahari yang mengandung sinar ultraviolet. Sinar ultraviolet merupakan
salah satu faktor yang dapat meningkatkan kejadian pterigium. Kasus
pterigium cukup banyak di Indonesia karena merupakan salah satu negara
tropis dengan paparan sinar ultraviolet yang tinggi.4,9

D. PATOFISIOLOGI PTERIGIUM
Pterigium sangat berhubungan dengan paparan sinar matahari,
walaupun dapat disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan
paparan terhadap angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B merupakan
faktor mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang terdapat pada stem
sel basal di limbus dan elastin gene yang terdapat pada fibroblas di epitel
limbus. Mutasi p53 gene menyebabkan ekspresi berlebihan sitokin seperti
TGF-β dan VEGF (vascular endothelial growth factor) yang kemudian
menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi sel, dan angiogenesis. Sel
pterigium meningkatkan sekresi MMP-2, MMP-9, MT1-MMP, dan MT2-
MMP, dimana kemudian akan mempengaruhi rusaknya membrana
Bowman. Sintesis TGF- β menyebabkan deposit monosit dan kapiler pada
epitel dan laposan stroma pada kornea.10

14
Terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan
subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi
elastoid (degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi
fibrovaskular di bawah epitel yaitu substansi propia yang akhirnya
menembus kornea. Kerusakan kornea terdapat pada lapisan membran
Bowman yang disebabkan oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan
sering disertai dengan inflamasi ringan. Kerusakan membran Bowman ini
akan mengeluarkan substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan
pterigium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi
displasia.10

15
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada
keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada
permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan
konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan
membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga
ditemukan pada pterigium dan oleh karena itu banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau
disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Pterigium ditandai
dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler
yang ditutupi oleh epitel. Pada pemeriksaan histopatologi daerah kolagen
abnormal yang mengalami degenerasi elastolik tersebut ditemukan
basofilia dengan menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin,
Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas.
Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic,
hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering menunjukkan area
hiperplasia dari sel goblet.11

E. FAKTOR RISIKO

16
Faktor risiko yang mempengaruhi pterigium antara lain faktor
herediter dan faktor lingkungan yakni radiasi ultraviolet sinar matahari,
iritasi kronik dari bahan tertentu di udara. 13
1. Radiasi ultraviolet
Faktor risiko lingkungan merupakan faktor penting dalam
timbulnya pterigium, terutama paparan sinar matahari. Sinar
ultraviolet yang diabsorbsi oleh kornea dan konjungtiva akan
menyebabkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Banyaknya paparan
sinar matahari dipengaruhi oleh letak geografis, waktu di luar rumah,
penggunaan pelindung kepala / mata.

2. Faktor Genetik
Beberapa laporan kasus menyatakan bahwa sekelompok
anggota keluarga dengan pterigium dan berdasarkan penelitian case
control menunjukkan adanya riwayat keluarga dengan pterigium.
Kejadian ini kemungkinan diturunkan secara autosomal dominan.

3. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau
perifer kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik
dan terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru
patogenesis dari pterigium. Wong juga menunjukkan adanya
pterigium angiogenesis factor dan penggunaan pharmacotherapy
antiangiogenesis sebagai terapi. Debu, kelembaban yang rendah, dan
trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eye dan virus papilloma
juga dapat menjadi penyebab dari pterigium.

F. GAMBARAN KLINIS
Pterigium dapat terjadi unilateral atau bilateral. Pterigium muncul
sebagai lipatan segitiga konjungtiva yang dapat mencapai kornea,
biasanya di sisi nasal. tetapi juga dapat terjadi di sisi temporal. Deposisi
besi kadang-kadang terlihat pada epitel kornea anterior disebut garis
Stocker. Pterigium terdiri dari tiga bagian:

17
 Cap (bagian yang berbentuk semilunar, tepat didepan apeks)
 Apeks/head (bagian apikal pada kornea),
 Collum/neck (bagian limbal), dan
 Corpus/body (bagian scleral) membentang antara limbus dan yang
canthus

Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian kepalanya


menginvasi bagian tengah kornea. Kekuatan tarikan yang terjadi pada
kornea dapat menyebabkan astigmatisme kornea. Pterigium lanjut yang
menyebabkan skar pada jaringan konjungtiva dapat secara perlahan
mengganggu motilitas okular, pasien kemudian akan mengalami
penglihatan ganda atau diplopia.

G. KLASIFIKASI PTERIGIUM
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan
tipe, stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh
darah episklera.
Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas 3:
 Tipe I: Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau
menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas <2 mm dari kornea.
Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan
kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering
mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat
mengalami keluhan lebih cepat.
 Tipe II: disebut juga pterigium tipe primer advanced atau pterigium
rekuren tanpa keterlibatan zona optic. Pada tubuh pterigium sering

18
nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai
4 mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan
tear film dan menimbulkan astigmat.
 Tipe III: pterigium primer atau rekuren dangan keterlibatan zona
optic. Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan
zona optic membedakan tipe ini dengan tipe yang lain. Lesi mengenai
kornea >4mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya
pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis
subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan
gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan.
Berdasarkan stadium pterigium dibagai ke dalam 4 stadium yaitu:10
A. Stadium 1 : invasi minimum, pertumbuhan lapisan yang transparan
dan tipis, pertumbuhan pembuluh darah yang tipis hanya terbatas
pada limbus kornea.
B. Stadium 2: lapisan tebal, pembuluh darah profunda tidak kelihatan dan
menginvasi kornea tapi belum mencapai pupil.
C. Stadium 3: lapisan tebal seperti daging yang menutupi pupil,
vaskularisasi yang jelas
D. Stadium 4: pertumbuhan telah melewati pupil.

Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2


yaitu:
1. Pterigium progresif: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrate di
kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
2. Pterigium regresif: tipis,atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi
bentuk membrane, tetapi tidak pernah hilang.
Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan
harus diperiksa dengan slitlamp pterigium dibagi 3 yaitu:10

19
1. T1(atrofi):pembuluh darah episkleral jelas terlihat.
2. T2(intermediet):pembuluh darah episkleral sebagian terlihat.
3. T3(fleshy,opaque):pembuluh darah tidak jelas.

H. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti smata
merah, gatal, mata sering berair, gangguan penglihatan. Perlu
ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak
bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar matahari
yang tinggi, serta riwayat trauma sebelumnya.
2. Pemeriksaan fisik
Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskuler
pada permukaan konjungtiva. Pterigium dapat memberikan
gambaran vaskular dan tebal tetapi ada juga pterigium yang
avaskuler dan flat. Pterigium paling sering ditemukan pada
konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula
ditemukan pterigium pada daerah temporal.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium
adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi
berupa astigmatisme ireguler yang di sebabkan oleh pterigium.

I. DIAGNOSIS BANDING
Secara klinis pterigium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang
sama yaitu pinguekula dan pseudopterigium. Pinguekula bentuknya kecil,
meninggi, masa kekuningan berbatasan dengan limbus pada konjungtiva
bulbi di fissura interpalpebra dan kadang-kadang mengalami inflamasi.

20
Pinguekula merupakan degenerasi hialin dari jaringan submukosa
konjungtiva. Pembuluh darah tidak masuk ke pinguekula, tetapi bila
terjadi peradangan atau iritasi maka sekitar bercak degenerasi akan terlhat
pembuluh darah yang melebar. Pada pinguekula tidak perlu pengobatan,
kecuali yang mengalami peradangan (pinguekulitis) dapat diberikan obat-
obatan antiradang. Tindakan eksisi tidak diindikasikan. Prevalensi dan
insiden meningkat dengan meningkatnya umur. Pinguekula sering terjadi
pada iklim sedang dan iklim tropis dengan angka kejadian sama pada laki-
laki dan perempuan. Paparan sinar ultraviolet bukan faktor resiko
penyebab pinguekula.

Pseudopterigium mirip dengan pterigium, dimana adanya jaringan


parut fibrovaskular yang timbul pada konjungtiva bulbi menuju kornea.
Berbeda dengan pterigium, pseudopterigium adalah akibat inflamasi
permukaan okular sebelumnya seperti trauma, trauma kimia,
konjungtivitis sikatrikal, trauma bedah atau ulkus perifer kornea. Untuk
mengidentifikasi pseudopterigium, cirinya tidak melekat pada limbus
kornea. Probing dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati
bagian bawah pseudopterigium pada limbus, dimana hal ini tidak dapat
dilakukan pada pterigium. Pada pseudopterigium tidak dapat dibedakan
antara head, cap dan body serta pada pseudopterigium cenderung keluar
1, 13,
dari ruang fissura interpalpebra yang berbeda dengan true pterigium.
14

Tabel 1. Diagnosis Banding Pterigium1, 13, 14

Pembeda Pterigium Pinguekula Pseudopterigium


Definisi Jaringan Benjolan pada Perlengketan
fibrovaskuler konjungtiva konjungtiva bulbi
konjungtiva bulbi bulbi dengan kornea
berbentuk yang cacat
segitiga
Warna Putih kekuningan Putih-kuning Putih kekuningan
keabu-abuan
Letak Celah kelopak Celah kelopak Pada daerah
bagian nasal atau mata terutama konjungtiva yang
temporal yang bagian nasal terdekat dengan

21
meluas ke arah proses kornea
kornea sebelumnya
♂:♀ ♂>♀ ♂=♀ ♂=♀
Progresifitas Sedang Tidak Tidak
Reaksi Tidak ada Ada Ada
kerusakan
permukaan
kornea
sebelumnya
Pembuluh Lebih menonjol Menonjol Ada
darah
konjungtiva
Sonde Tidak dapat Tidak dapat Dapat diselipkan
Diselipkan diselipkan di bawah lesi
karena tidak
melekat pada
limbus
Puncak Ada pulau – Tidak ada Tidak ada (tidak
pulau Funchs ada head, cap,
(bercak kelabu) body)
Histopatologi Epitel ireguler Degenerasi Perlengketan
dan degenerasi hialin jaringan
hialin dalam submukosa
stromanya konjungtiva

J. TATALAKSANA PTERIGIUM
Pada awal perjalanan penyakit, dokter sering mengambil tindakan
konservatif dengan menghindari asap dan debu dan memberi obat topical
seperti lubrikans, vasokonstriktor dan kortikosteroid digunakan untuk
menghilangkan gejala terutama pada derajat 1 dan derajat 2. Untuk
mencegah progresifitas, beberapa peneliti menganjurkan penggunaan
kacamata pelindung ultraviolet. Pterigium yang ukurannya lebih besar
dari 3 mm dapat menyebabkan astigmatisma, dan diperlukan intervensi
untuk memperbaiki visus. 13,14
Indikasi eksisi pterigium sangat bervariasi. Eksisi dilakukan pada
kondisi adanya ketidaknyamanan yang menetap, gangguan penglihatan
akibat pertumbuhan yang progresif ke tengah kornea atau aksis visual, dan
adanya gangguan pergerakan bola mata. Eksisi pterigium bertujuan untuk
mencapai gambaran permukaan mata yang sesuai dengan anatomisnya.
Suatu teknik yang sering digunakan untuk mengangkat pterigium dengan

22
menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium ke arah
limbus. Memisahkan pterigium ke arah bawah pada limbus lebih disukai,
kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma jaringan
sekitar otot. Setelah eksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol
perdarahan.
Beberapa teknik operasi yang dapat menjadi pilihan yaitu : 14, 15
1. Bare sclera : tidak ada jahitan atau jahitan benang absorbable
digunakan untuk melekatkan konjungtiva ke sklera di depan insersi
tendon rektus. Meninggalkan suatu daerah sklera yang terbuka.
Rekurensi sebesar 5-68 %. Dapat terjadi simblepharon, restriksi dari
pergerakan dan gaze dependent diplopia. Komplikasi : penipisan
sklera, astigmatisma yang irregular, terbentuknya formasi dellen.

Gambar 6. Bare Sclera14

2. Simple closure : tepi konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif


hanya jika defek konjungtiva sangat kecil). Dapat digunakan untuk
pinguekula. Rekuerensi sebesar 45-69%. Komplikas : formasi dellen

Gambar 7. Simple closure 14

23
3. Sliding flaps : suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka kemudian flap
konjungtiva digeser untuk menutupi defek. Tingkat rekuren sebesar
0,75-5,6 %. Komplikasi : retraksi flap, pembentukan kista.

Gambar 8. Sliding flaps 14

4. Rotational flap : insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk membentuk


lidah konjungtiva yang dirotasi pada tempatnya. Tingkat rekurensi
sebesar 4 %.

Gambar 9. Rotational flaps14

5. Conjunctival graft : suatu free graft biasanya dari konjungtiva


superior, dieksisi sesuai dengan besar luka dan kemudian dipindahkan
dan dijahit. Digunakan saat tidak terjadi kerusakan luas atau destruksi
pada limbal epithelial stem cell. Tingkat rekurensi sebesar 2-5 %
(namun bias sampai 40 %). Memperbaiki restriksi dari fungsi otot
ekstraokuler.

24
Gambar 10. Teknik Conjunctival graft 14

6. Amnion membrane transplantation : mengurangi frekuensi rekuren


pterigium, mengurangi fibrosis atau skar pada permukaan bola mata
dan penelitian baru mengungkapkan menekan TGF-β pada
konjungtiva dan fibroblast pterigium. Pemberian mytomicin C dan
beta irradiation dapat diberikan untuk mengurangi rekuren tetapi
jarang digunakan.

Gambar 11. Amnion membrane transplantation14

Digunakan dalam defek konjungtiva yang luas dan untuk


mempersiapkan konjungtiva superior untuk pembedahan glaucoma
selanjutnya

25
Keuntungan :

 Mempercepat sembuhnya
 Lebih nyaman
 Rekuren sebesar 2 % dalam 1 tahun

Kekurangan :

 Kurang efisien dibandingkan konjungtiva autografting (dimana


rekurensi sebesar 13 %)

Indikasi operasi pterigium :

a. Iritasi mata yang signifikan dan tidak berkurang dengan


medikamentosa
b. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita
c. Penurunan visus karena astigmatisma atau pelebaran pterigium ke
axis visual
d. Perkembangan terus berlanjut sehingga dapat dipastikan akan
terjadi gangguan visual
e. Diplopia sekunder karena penarikan dari pterigium terhadap otot
bola mata

K. ANALISIS KASUS
Seorang wanita 20 tahun datang dengan keluhan terdapat selaput
putih pada mata yang semakin lama semakin meluas dari bola mata putih
hingga ke bola mata hitam. Rasa mengganjal (+) seperti berpasir, gatal
(+), dan rasa panas (+),berair (+) saat bangun tidur,dan penurunan visus.
Pada anamnesis mengarah pada diagnosis Pterigium. Penegakan diagnosis
dapat dilakukan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pterigium
merupakan proliferasi jaringan fibrovaskular pada konjungtiva bulbi yang
berbentuk segitiga atau menyerupai sayap yang dapat menginvasi kornea
superfisial. Faktor risiko pterigium berupa berbagai faktor seperti radiasi

26
ultravilet, faktor genetik dan faktor lainnya. Hal ini sesuai pada kasus
bahwa pasien memiliki faktor risiko yaitu seringnya beraktivitas diluar
rumah pada siang hari tanpa menggunakan pelindung mata sehingga
terpapar sinar matahari secara langsung, debu dan udara panas.

Pada pemeriksaan visus dasar didapatkan OD 5/5 dan OS 5/6F


dengan visus koreksi didapatkan hasil OD 5/5E dan OS C-0.50 x 15⁰ 5/5f
(No better corection). Pemeriksaan oftalmologi pasien didapatkan hasil
pada konjungtiva bulbi OS didapatkan tear meniscus <1mm terdapat
jaringan fibrovaskuler berbentuk segitiga dari arah nasal dengan apeks ± 2
mm melewati limbus, belum mencapai pupil. Kornea OS pasien terdapat
jaringan fibrovaskuler dari sisi nasal meluas kearah kornea ± 2mm dari
limbus. Hal ini mengarah pada diagnosis pterigium grade II yaitu lapisan
tebal, pembuluh darah profunda tidak kelihatan dan menginvasi kornea
tapi belum mencapai pupil.
Pasien diberikan terapi konservatif dengan menghindari paparan
sinar matahari secara langsung dan debu dengan menggunakan kacamata
dan diberikan obat topikal Cendo lyteers setiap 4 jam 1 tetes pada mata
kiri. Hal ini sejalan dengan teori yaitu pemberian terapi konservatif
dengan menghindari asap dan debu dan memberi obat topical seperti
lubrikans, vasokonstriktor dan kortikosteroid digunakan untuk
menghilangkan gejala terutama pada derajat 1 dan derajat 2. Untuk
mencegah progresifitas, beberapa peneliti menganjurkan penggunaan
kacamata pelindung ultraviolet. Pemberian Cendo Lyteers dilakukan
mengingat pada penderita pterigium seringkali ditemukan adanya dry eyes
serta keadaan mata kering akan memperparah tumbuhnya jaringan
fibrovaskular sehingga memungkinkan mengganggu aksis visual yang
nantinya dapat berakibat pada penurunan visus. Pasien dapat diusulkan
untuk dilakukan eksterpasi pterigium bila pada pengobatan tidak ada
perbaikan atau keluhan semakin memberat.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Jakarta: Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia; 2015.
2. Livezeanu C, Crǎiţoiu MMC, Mǎnescu R, Mocanu C, Crǎiţoiu Ş.
Angiogenesis in the Pathogenesis of Pterygium. Rom J Morphol Embryol.
2011;52(3):837–44.
3. Liu L, Wu J, Geng J, Yuan Z, Huang D. Geographical prevalence and risk
factors for pterygium: A systematic review and meta-analysis. BMJ Open.
2013;3(11):1–8.
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2013. Jakarta; 2013. 1-384 p.
5. Lang KG, EG L. Conjunctiva. In: Lang KG, Gareis O, Lang EG, Recker D
WP, editor. Ophthalmology: A Pocket Textbook Atlas. 2nd ed. New York:
Thieme Stuttgart; 2006. p. 67–72.
6. KA Khurana. Diseases of the Conjunctiva. In: KA Khurana, editor.
Comprehensive Ophthalmology. 4th ed. New Delhi: New Age
International; 2007. p. 51–82.
7. Džunić B, Jovanović P, Veselinović D. Analysis of Pathohistological
Characteristics of Pterygium. Bosn J Basic Med Sci. 2010;10(4):307–13.
8. Emilia E. Third Grade Pterygium of a Farmer. Medula. 2014;2(3):38–43.
9. Erry, Mulyani UA, Susilowati D. Distribusi dan Karakteristik Pterigium di
Indonesia. Bul Penelit Sist Kesehat. 2011;14(1):84–9.
10. Dushku N, John MK, Schultz GS, Reid TW. Pterygia Pathogenesis. Arch
Ophthalmol. 2001;119:695–706.
11. Fisher JP, Trattler WB. Pterygium. In: Medscape [Internet]. 2017.
Available from: https://emedicine.medscape.com/article/1192527-
overview#showall
12. American Academy of Ophthalmology Staff. Pterygium. In: American
Academy of Ophthalmology Staff [Internet]. 2015. Available from:
https://www.aao.org/topic-detail/pterygium-asia-pacific

28
13. Edward JH, Mark J. Ocular Surface Disease Medical Surgical
Management. 2002.
14. Stephen GW. Pterigium in Duane’s Clinical Ophthalmology. Lippincont
William & Wilkin.; 2004.
15. Gazzard G, Saw S, Farook M, Koh D, Wijaya D, et al. Pterigium in
Indonesia : Prevalence, severity and risk factors. British Journal of
Ophthalmology. 2002.

29

Anda mungkin juga menyukai