Anda di halaman 1dari 6

Teori Pavlov

Dapat dikatakan bahwa pelopor teori coditioning adalah Ivan Petrovich Pavlov, seorang ahli
psikolog-refleksologi dari Rusia. Ia mengadakan percobaan-percobaan dengan anjing. Secara
ringkas percobaan-percobaan Pavlov dapat kita uraikan sebagai berikut:
https://lh6.googleusercontent.com/-JO722I3sXu4/TXh3_M4ZWoI/AAAAAAAAAFU/rMK-
4gNRLEs/s200/Stimulus+Respon.gif
Pavlov meneliti apakah bunyi bel sebagai stimulus berkondisi dapat menimbulkan air liur sebagai
respon berkondisi pada anjing, dan hasilnya adalah :
a) Apabila daging disajikan maka anjing mengeluarkan air liur (alami)
b) Apabila bunyi bel disajikan secara bersamaan dengan daging maka air liur tidak keluar
c) Apabila perlakuan pada poin b) dilakukan secara berulang-ulang maka air liur anjing dapat
keluar
d) Apabila bunyi bel diganti dengan bunyi sirine maka anjing tetap mengeluarkan air liur
e) Apabila bunyi bel disajikan sacara terus menerus tanpa diikuti oleh daging maka lama-lama air
liur tidak keluar hal ini disebut extinction (kepunahan)
f) Apabila stimulus disajikan secara bervariasi yaitu dengan penguatan berupa lampu merah
disertai daging dan lampu hijau tidak disertai daging dan diberikan secara berulang-ulang maka
anjing akan mengeluarkan air liur ketika melihat lampu merah walaupun tidak disertai daging
karena sudah terbentuk respon berkondisi.

Kesimpulan penelitian Pavlov adalah bahwa dalam diri anjing akan terjadi penglondisian selektif
berdasar penguatan selektif artinya anjing dapat membedakan stimulus yang disertai penguatan
dan yang tidak disertai penguatan. Teori Pavlov ini disebut Classical Conditioning

Selain itu, percobaan pada seekor anjing yang telah dibedah sedemikian rupa, sehingga kelenjar
ludahnya berada diluar pipinya, dimasukkan ke kamar yang gelap. Di kamar itu hanya ada sebuah
lubang terletak didepan moncongnya, tempat menyodorkan makanan atau menyorotkan cahaya
pada waktu diadakan percobaan-percobaan. Pada moncongnya yeang telah dibedah dipasang
sebuah pipa (selang) yang dihubungkan dengan sebuah tabung diluar kamar. Dengan demikian
dapat diketahui keluar tidaknya air liur dari moncong anjing oitu pada waktu diadakan percobaan-
percobaan. Alat-alat yang digunakan dalam percoban-percobaan itu ialah makanan, lampu senter
untuk menyorot bermacam-macam warna, dan sebuah bunyi-bunyian.
Dari hasil percobaan yang dilakukan dengan anjing itu Pavlov mendapat kesimpulan bahwa
gerakan-gerakan refleks itu dapat dipelajari, dapat berubah karena mendapat latihan. Sehingga
dengan demikian dapat dibedakan dua macam refleks, yaitu refleks wajar (unconditioned refleks)-
keluar air liur ketika melihat makanan yang lezat dan refleks bersyarat atau refleks yang dipelajari
(conditioned refleks)-keluar air liur karena menerima atau bereaksi terhadap warna sinar tertentu,
atau terhadap suara bunyi tertentu.
Demikianlah maka menurut teori conditioning belajar itu adalah suatu proses perubahan yang
terjadi karena adanya syarat-syarat (conditions) yang kemudian menimbulkan reaksi (response).
Untuk menjadikan seseorang itu belajar haruslah kita memberikan syarat-syarat tertentu. Yang
terpenting dalam belajar menurut teori conditioning ialah adanya latihan-latihan yang continue
(terus-menerus). Yang diutamakan dalm teori ini adalah hal belajar yeng terjadi secara otomatis.
Penganut teori ini mengatakan bahwa segala tingkah laku manusia juga tidak lain adalah hasil
daripada conditioning. Yaitu hasil daripada latihan-latihan atau kebiasaan-kebiasaan mereaksi
terhadap syarat-syarat atau perangsang-perangsang tertentu yang dialaminya dalam kehidupannya.
Proses belajar yang digambarkan seperti itu menurut Pavlov terdiri atas pembentukan asosiasi
antara stimulus dan respons refleksif. Dasar penemuan Pavlov tersebut, menurut J.B. Watson
diberi istilah Behaviorisme. Watson berpendapat bahwa perilaku manusia harus dipelajari secara
objektif. la menolak gagasan mentalistik yang bertalian dengan bawaan dan naluri. Watson
menggunakan teori Classical Conditioning untuk semuanya yang bertalian dengan pembelajaran.
Pada umumnya ahli psikologi mendukung proses mekanistik. Maksudnya kejadian lingkungan
secara otomatis akan menghasilkan tanggapan. Proses pembelajaran itu bergerak dengan
pandangan secara menyeluruh dari situasi menuju segmen (satuan bahasa yang diabstraksikan dari
kesatuan wicara atau teks) bahasa tertentu. Materi yang disajikan mirip dengan metode dengar
ucap.
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum
belajar, diantaranya :
a. Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam
stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka
refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
b. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang
sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan
reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.

C. Kekurangan Teori Pavlov


Dari teori belajar yang dikemukakan Pavlov, ternyata ada beberapa kekurangan/kelemahan,
diantaranya ;
Teori tersebut menganggap bahwa belajar itu hanyalah terjadi secara otomatis padahal
kenyataannya tidak.
Keaktifan dan penentuan pribadi tidak dihiraukan.
Peranan latihan atau kebiasaan terlalu ditonjolkan/dipentingkan padahal kita dalam bertindak dan
berbuat sesuatu tidak semata-mata tergantung dari pengaruh luar tetapi diri pribadilah yang
memegang peranan dalam memilih dan menentukan perbuatan dan reaksi apa yang akan
dilakukannya.
Teori tersebut memang tepat kalau kita terapkan pada hewan tetapi pada manusia, teori tersebut
hanya bias diterima dan diterapkan pada pelajaran-pelajaran tertentu saja diantaranya pelajaran-
pelajaran yang membutuhkan praktik dan pembicaraan yang mengandung unsur-unsur kecepatan,
spontanitas, kelenturan, refleks dan daya tahan. Misalnya dalam percakapan bahasa asing,
mengetik, menari dan olahraga.
D. Penerapan Teori Pavlov

Belajar adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan
respon. Perubahan perilaku dapat berujud sesuatu yang konkret atau yang non konkret,
berlangsung secara mekanik memerlukan penguatan. Aplikasi teori belajar behaviorisme dalam
pembelajaran, tergantung dari beberapa hal seperti tujuan pembelajaran, sifat meteri pelajaran,
karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.
Adapun contoh aplikasi teori belajar behaviorisme menurut Pavlov adalah pada awal tatap muka
antara guru dan murid dalam kegiatan belajar mengajar, seorang guru menunjukkan sikap yang
ramah dan memberi pujian terhadap murid-muridnya, sehingga para murid merasa terkesan
dengan sikap yang ditunjukkan gurunya.

Disamping teory Behaviorisme Pavlov juga mempunyai teori Classical Conditioning yang bisa
diterapkan dalam kehidupan dan dalam pembelajaran.
1. Classical Conditioning Dalam Kehidupan
Ternyata dalam kehidupan sehari-hari ada situasi yang sama seperti pada anjing. Sebagai contoh,
suara lagu dari penjual es krim Walls yang berkeliling dari rumah ke rumah. Awalnya mungkin
suara itu asing, tetapi setelah si pejual es krim sering lewat, maka nada lagu tersebut bisa
menerbitkan air liur apalagi pada siang hari yang panas. Bayangkan, bila tidak ada lagu tersebut
betapa lelahnya si penjual berteriak-teriak menjajakan dagangannya. Dari contoh tersebut dapat
diketahui bahwa dengan menerapkan strategi Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui
cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan
respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus
yang berasal dari luar dirinya.
2. Classical Conditioning Dalam Pembelajaran
Proses belajar dengan rumus S-R bisa berjalan dengan syarat adanya unsur-unsur seperti dorongan
(drive), rangsangan (stimulus), respon (response), dan penguatan (reinforcement).
Pertama, dorongan adalah suatu keinginan dalam diri seseorang untuk memenuhi suatu kebutuhan
yang sedang dirasakannya. Seorang anak merasakan adanya kebutuhan akan bahan bacaan ringan
untuk mengisi waktu senggangnya, maka ia terdorong untuk memenuhi kebutuhan itu, misalnya
dengan mencarinya di perpustakaan terdekat. Unsur dorongan ini ada pada setiap orang meskipun
tingkatannya tidak sama: ada yang kuat, ada pula yang lemah .
Kedua, adanya rangsangan (stimulus). Dalam Pembelajaran di siang hari, pada saat para siswa
banyak yang mengantuk dan kurang bergairah, sang guru bisa merangsangnya dengan berbagai
cara, dan yang sering dilakukan adalah antara lain dengan mengajukan berbagai pertanyaan yang
selektif dan menarik, bercerita ringan atau humor.
Ketiga, adalah masalah respon. Respon ini bisa dilihat atau diamati dari luar. Respon ini ada yang
positif dan ada pula yang negatif. Respon positif terjadi sebagai akibat “ketepatan” seseorang
melakukan respon (mereaksi) terhadap stimulus yang ada, dan tentunya yang sesuai dengan yang
diharapkan. Sedangkan respon negatif adalah apabila seseorang bereaksi justru sebaliknya dari
yang diharapkan oleh pemberi rangsangan.
Kempat, adalah masalah penguatan (reinforcement). Unsur ini datangnya dari pihak luar kepada
seseorang yang sedang melakukan respon. Apabila respon telah benar, maka perlu diberi
penguatan agar orang tersebut merasa adanya kebutuhan untuk melakukan respons seperti tadi
lagi. Seorang anak kecil yang sedang mencoret-coret buku kepunyaan kakaknya, tiba-tiba
dibentak dengan kasar, bisa terkejut bahkan bisa menderita guncangan sehingga ia tidak akan
mencoret-coret buku lagi. Bahkan kemungkinan yang paling jelek di kemudian hari barangkali ia
akan benci terhadap setiap yang namanya tulis menulis. Hal ini adalah bentuk penguatan yang
salah. Barangkali akan lebih baik apabila cara melarangnya dengan kata-kata yang tidak
membentak.

TEORI BELAJAR EDWARD LEE THORNDIKE


Definisi Teori Belajar Menurut Thordike
Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbantuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-
peristiwa yang disebut stimulus (S) dan respon (R).

Teori Thorndike disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi.

Teori belajar Thorndike dikenal dengan “Connectionism” (Slavin, 2000). Hal ini terjadi karena
menurut pandangan Thorndike bahwa belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan
respon. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang
dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Teori dari Thorndike dikenal pula
dengan sebutan “Trial and error” dalam menilai respon-respon yang terdapat bagi stimulus
tertentu.

Eksperimen Thorndike

Pada mulanya, model eksperimen Thorndike yaitu dengan mempergunakan kucing sebagai subjek
dalam eksperimennya Dengan konstruksi pintu kurungan yang dibuat sedemikian rupa, sehingga
kalau kucing menyentuh tombol tertentu, maka pintu kurungan akan terbuka dan akhirnya kucing
dapat keluar dan mancapai makanan ( daging ) yang ditempatkan di luar kurungan sebagai hadiah
atau daya penarik bagi kucing yang lapar tersebut.

Thordike menafsirkan bahwa “kucing itu sebenarnya tidak mengerti cara membebaskan diri dari
kurungan itu, tetapi dia belajar mencamkan ( mempertahankan ) respon – respon yang benar dan
menghilangkan atau meninggalkan respon – respon yang salah.”

Eksperimen Thorndike tersebut mempengaruhi pikirannya mengenai belajar pada taraf insansi
( human ).

Ciri – Ciri Belajar Menurut Thorndike

Adapun beberapa ciri – ciri belajar menurut Thorndike, antara lain:


Ada motif pendorong aktivitas
Ada berbagai respon terhadap sesuatu.
Ada aliminasi respon - respon yang gagal atau salah
Ada kemajuan reaksi – reaksi mencapai tujuan dari penelitiannya itu.

Hukum –Hukum Teori Belajar Thorndike


Thorndike mengemukakan bahwa asosiasi antara stimulus dan respons mengikuti hukum-hukum
berikut:
Hukum kesiapan
Yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh perubahan tingkah laku maka pelaksanaan
tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung
diperkuat.
Hukum latihan
Yaitu semakin sering suatu tingkah laku diulang/dilatih(digunakan) maka asosiasi tersebut akan
semakin kuat.
Hukum Akibat
Yaitu hubungan stimulus respons cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan
cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan.

Penerapan Teori Belajar Thorndike


Guru harus tahu apa yang akan diajarkan, materi apa yang harus diberikan, respon apa yang
diharapkan, kapan harus memberi hadiah atau membetulkan respon. Oleh karena itu tujuan
pedidikan harus dirumuskan dengan jelas.
Tujuan pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar peserta didik. Dan terbagi dalam
unit-unit sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkan menurut bermacaam-macam situasi.
Agar peserta didik dapat mengikuti pelajaran, proses belajar harus bertahap dari yang sederhana
sampai yang kompleks.
Dalam belajar motivasi tidak begitu penting karena yang terpenting adalah adanya respon yang
benar terhadap stimulus.
Peserta didik yang telah belajar dengan baik harus diberi hadiah dan bila belum baik harus segera
diperbaiki.
Situasi belajar harus dibuat menyenangkan dan mirip dengan kehidupan dalam masyarakat.
Materi pelajaran harus bermanfaat bagi peserta didik untuk kehidupan anak kelak setelah keluar
dari sekolah.
Pelajaran yang sulit, yang melebihi kemampuan anak tidak akan meningkatkan kemampuan
penalarannya.

Kelebihan Teori Belajar Thorndike


Dengan sering melakukan pengulangan dalam memecahkan suatu permasalahan, anak didik akan
memiliki sebuah pengalaman yang berharga. Selain itu dengan adanya sistem pemberian hadiah,
akan membuat anak didik menjadi lebih memiliki kemauan dalam memecahkan permasalahan
yang dihadapinya.

Anda mungkin juga menyukai