Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebutan agraria tidak selalu dipakai dalam arti yang sama. Dalam bahasa
latin ager berarti tanah atau sebidang tanah. Agrarius berarti perladangan,
persawahan, pertanian (Prent K. Adisubrata, J. Poerwadaminta, W.J.S.,1960,
Kamus Latin Indonesia, Yayasan Kanisisus, Semarang). Menurut kamus besar
bahasa Indonesia agrarian berarti urusan pertanian atau tanah pertanian, juga
urusan pemilikan tanah. Maka sebutan agrarian selalu diartikan tanah dan
dihubungkan dengan usaha pertanian. Sebutan agrarian laws bahkan sering kali
digunakan untuk menunjuk kepada perangkat peraturan-peraturan hukum yang
bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih
meratakan penguasaan dan pemilikannya.

Konsepsi penguasaan dan pemilikan hak atas tanah di Indonesia dan


penerapan konsep keadilan atas tanah pada kenyataannya cenderung berbeda.
Karena masyarakat Indonesia hidup dengan hukum adat, maka tata nilai yang
melandasi hukum tanah Indonesia adalah komunalistik yang religius yang
kemudian berubah seiring zaman penjajahan dan orde baru menjadi individualis
dan kapitalisme sehingga dalam penguasaan pemilikan menimbulkan
ketidakadilan.

Dari berbagai alasan kenapa pentingnya suatu kajian sejarah hukum, maka
penulis menganggap perlu untuk melakukan kajian terhadap sejarah hukum agraria
Indonesia. Dengan demikian, setidaknya dapat dilihat gambaran tentang hukum
agraria Indonesia sebagai suatu gejala yang tidak terlepas dari proses masa lalu.
Dari uraian di atas, penulis menuangkan kajian tentang sejarah hukum ini dalam
makalah sederhana dengan judul “Sejarah Pertanahan di Indonesia”.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana sejarah pertanahan di Indonesia?

1
1.3 Tujuan dan Manfaat
1.3.1 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana sejarah
pertanahan di Indonesia.
1.3.2 Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu:
1. Bagi penulis, merupakan salah satu syarat untuk melengkapi tugas
kelompok mata kuliah Hukum Agraria Semester VI di Fakultas Pertanian
Universitas Islam Jember, sekaligus bermanfaat untuk menambah
pengetahuan dan pengalaman.
2. Bagi pihak lain yang membutuhkan, diharapkan dapat menjadi bahan
pustaka dan informasi untuk masalah yang sama di masa datang.

2
BAB II

PEMBAHASAN

Sejarah Pertanahan di Indonesia:

Dari segi berlakunya, Hukum Agraria di Indonesia dapat dibagi menjadi 2 (dua),
yaitu:

1. Hukum agraria Kolonial yang berlaku sebelum Indonesia merdeka bahkan


berlaku sebelum diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 September 1960;
dan
2. Hukum Agraria nasional yang berlaku setelah diundangkannya UUPA.

Berikut ini adalah sejarah pertanahan di Indonesia:

Hukum Agraria Kolonial

1. Periode sebelum Proklamasi Kemerdekaan

Pada zaman VOC (1602-1799) yang berkaitan dengan politik pertanahan,


telah dikenal memberlakukan peraturan perundang-undangan mengenai pertanahan
yang sangat menindas rakyat miskin.

a. “Contingenten” yaitu berupa pajak atas hasil pertanian yang harus diserahkan
kepada penguasa kolonial.

b. Peraturan “Verplichte Leverantieen” yaitu raja wajib menyerahkan seluruh hasil


pertanian dengan pembayaran yang harganya sudah ditentukan secara sepihak.

Pada tanggal 31 Desember 1979 VOC membubarkan diri, maka pada


tanggal 1 Januari 1800 seluruh tanah jajahan menjadi bagian dari wilayah Negeri
Belanda dengan status sebagai negara jajahan Hindia Belanda. Gubernur pertama
yang memerintah Hindia belanda adalah Herman Willem Daendels (1808 – 1811).
Politik yang dijalankan berkaitan dengan tanah adalah menjual tanah-tanah kepada
pemilik modal besar terutama kepada Cina, Arab maupun kepada bangsa Belanda.
Tanah-tanah yang dijual ini disebut dengan Tanah partikelir.

3
Daendels digantikan oleh Jan Willmen Janssens, tidak beberapa lama
pemerintah kolonial Belanda jatuh ke tangan Inggris, Janssens diganti oleh
Stamford Raffles (1811-1816). Raffles dalam bidang pertanahan mewujudkan
pemikiran tentang fiskal (pajak) yang dikenal dengan “landrent” (pajak tanah).
Landrent tersebut tidak dibebankan langsung kepada para pemilik tanah, tetapi
ditugaskan kepada para Kepala Desa.

Pada tahun 1816 Pemerintah Inggris menyerahkan kekuasaannya kembali


kepada Pemerintah Belanda, di bawah pimpinan Johannes van den Bosch. Pada
tahun 1830 diadakan sistem tanam paksa (cultuur stelsel). Pada tahun 1870
pemerintah kolonial Belanda mengesahkan undang-undang agraria yang disebut
dengan “Agrarische Wet”. Stb 1870 No 55 Undang-undang yang dibuat di negeri
Belanda ini tujuannya adalah untuk memberi kemungkinan dan jaminan kepada
modal besar asing agar dapat berkembang di Indonesia.

a. Dasar dari hukum agraria lama adalah agrarische wet yang dijadikan satu dalam
pasal 51 IS (Indische Staats Regeling). Adapun bunyi ketentuan Pasal 51 IS adalah
sebagai berikut:

1) Gubernur jendral tidak boleh menjual tanah


2) Didalam larangan ini tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang
diperuntukkan perluasan kota dan desa serta mendirikan bangunan-
bangunan kerajinan/ industri.
3) Gubernur jenderal dapat menyewakan tanah, menurut ketentuan-ketentuan
yang ditetapkan dengan ordonansi. Adapun tanah-tanah yang telah dibuka
oleh orang-orang Indonesia asli atau yang dipunyai oleh desa sebagai
tempat penggembalaan umum atau atas dasar lainnya tidak boleh
dipersewakan.
4) Menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan ordonansi diberikan
tanah dengan hak erfpacht selama waktu tidak boleh lebih dari 75 tahun.
5) Gubernur jenderal menjaga jangan sampai ada pemberian tanah yang
melanggar hak-hak penduduk Indonesia asli.

4
6) Gubernur jenderal tidak boleh mengambil tanah-tanah yang telah dibuka
oleh orang-orang Indonesia asli untuk keperluan mereka sendiri atau tanah-
tanah kepunyaan desa sebagai tempat penggembalaan umum atau atas dasar
lainnya. Kecuali untuk kepentingan umum berdasarkan pasal 133 dan untuk
keperluan pengusahaan yang diselenggarakan atas perintah atasan, dengan
pemberian ganti kerugian yang layak.
7) Tanah-tanah yang dipunyai oleh orang-orang Indonesia asli dengan hak
milik, atas permintaan pemiliknya yang sah diberikan kepadanya hak
eigendom dengan pembatasan-pembatasan seperlunya yang ditetapkan
dengan ordonansi.
8) Menyewakan tanah atau menyerahkan tanah untuk dipakai oleh orang-
orang Indonesia asli kepada bukan orang-orang Indonesia asli dilakukan
menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan ordonansi.

Ketentuan-ketentuan dari Agrarische Wet pelaksanaannya diatur lebih


lanjut di dalam berbagai peraturan dan keputusan. Salah satu di antaranya yang
penting ialah yang diatur dalam Koninkjlk Besluit yang kemudian dikenal dengan
nama Agrarisch Besluit dan diundangkan dalam S 1870 No 118. Pasal 1 dari
Agrarisch Besluit ini menentukan:

“Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan ke2 dan ke 3 dari Undang-undang


tersebut (ayat 5 dan 6 Pasal 51 IS) maka tetap dipegang teguh dasar hukum yang
menyatakan bahwa: semua tanah yang tidak ada buktinya hak eigendom adalah
kepunyaan negara”.

b. Asas domein (domein beginsel) atau pernyataan domein berdasarkan ketentuan


pasal 20 S 1870 No 118 hanya diberlakukan di Jawa dan Madura saja. Tetapi
dengan S 1875 No 119a, pernyataan domein itu diberlakukan juga untuk daerah
luar Jawa dan Madura. Pernyataan domein yang dimuat dalam S 1870 No 118 dan
S 1875 No 119a itu bersifat umum dan oleh karena itu disebut juga pernyataan
domein umum.

5
c. Disamping itu ada juga pernyatan domein khusus yang pada pokoknya berbunyi:
“semua tanah liar (kosong) termasuk tanah negara, kecuali tanahtanah yang
dihaki rakyat berdasarkan atas haknya untuk membuka tanah” Pernyataan
domein khusus ini berlaku bagi daerah Sumatera, Manado dan Kalimantan Selatan
serta Timur, dimuat dalam Stb 1874 No 94f; Stb 1877 No 55 dan Stb 1888 No 58.
d. Kenyataan dalam praktik domein verklaring ini mempunyai beberapa fungsi
antara lain:

1) Dipakai sebagai landasan hukum bagi pemerintah kolonial untuk dapat


memberikan tanah dengan hak-hak barat, yaitu hak-hak yang diatur di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seperti Misalnya: Hak
Eigendom, hak Erfpacht, hak Opstaal.
2) Untuk keperluan pembuktian, yaitu apabila negara berperkara, maka negara
tidak perlu membuktikan hak eigendomnya atas tanah yang diperkarakan,
tetapi pihak lainlah yang wajib untuk membuktikan haknya.

C Van Vollenhoven mengkritik praktik-praktik domein verklaring ini,


sebab domein verklaring ini sangat kejam dan sangat merugikan rakyat. Lebih
lanjut dikatakannya bahwa tafsiran domein verklaring itu ada tiga, yaitu:

1) Semua tanah yang bukan tanah eigendom menurut Kitab Undang-Undang


Hukum Perdata.
2) Semua tanah yang bukan tanah eigendom, bukan pula tanah agrarisch
eigendom dan bukan pula tanah milik rakyat yang telah bebas dari
kungkungan hak ulayat.
3) Semua tanah yang bukan tanah eigendom, bukan pula tanah agrarisch
eigendom dan bukan pula tanah milik rakyat baik yang sudah maupun yang
belum bebas dari kungkungan hak ulayat.

Rumusan ini tidak dipergunakan oleh pemerintah kolonial Belanda,


pemerintah kolonial Belanda tetap mempergunakan rumusannya sendiri, yaitu
barang siapa tidak dapat membuktikan hak eigendom atau hak agrarische
eigendomnya atas sebidang tanah, maka tanah itu adalah domein negara.

6
2. Periode Sesudah Proklamasi Kemerdekaan

Dualisme hukum agraria ternyata masih berlangsung meskipun negara


Republik Indonesia sudah merdeka. Ketentuan-ketentuan agraria lama terpaksa
masih diberlakukan berdasarkan ketentuan Pasal II AP UUD 1945. Sejak
berlakunya UUD 1945 politik pemerintah kolonial Belanda ditinggalkan, diganti
dengan politik agraria yang baru seperti yang telah digariskan di dalam Pasal 33
ayat 3 UUD 1945, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.

Hukum Agraria Nasional

Ketentuan hukum agraria nasional sebagaimana yang tertuang dalam


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria yang dikenal dengan UUPA, merupakan dasar bagi politik hukum agraria
nasional. Oleh karena ketentuan-ketentuannya hanya berupa pokok-pokok atau
asas-asasnya saja. Sedangkan kelengkapannya diserahkan pada perkembangan dan
kebutuhan masyarakat dalam bidang keagrariaan. Terdapat beberapa asas yang
menjadi dasar di dalam pembentukan hukum tanah di Indonesia. Asas-asas hukum
tanah tersebut terdiri dari:

1. Asas Kenasionalan. Wilayah Indonesia merupakan kesatuan tanah air


seluruh rakyat Indonesia sebagai bangsa Indonesia yang menunjukkan
bahwa tanah bagi bangsa Indonesia mempunyai sifat komunalistik. Bersifat
komunalistik maksudnya adalah semua tanah yang terdapat dalam wilayah
negara Republik Indonesia merupakan tanah bersama rakyat Indonesia yang
bersatu sebagai bangsa Indonesia, menjadi hak bagi bangsa Indonesia, dan
bukan semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya saja.
2. Asas pada Tingkatan Tertinggi Bumi, Air, Ruang Angkasa dan
Kekayaan Alam yang Terkandung di Dalamnya Dikuasai oleh Negara.
Hak menguasai negara tersebut ditujukan untuk mencapai sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat untuk mewujudkan rakyat Indonesia yang bahagia dan

7
sejahtera. Berdasarkan hak menguasai tersebut, negara dapat memberikan
tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan suatu hak menurut
peruntukkan dan keperluannya, seperti:
a. Hak Milik;
b. Hak Guna Usaha;
c. Hak Guna Bangunan;
d. Hak Pakai; atau
e. Memberikan tanah dalam pengelolaan kepada suatu badan penguasa
untuk digunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing.
3. Asas Mengutamakan Kepentingan Nasional dan Negara yang
Berdasarkan Atas Persatuan Bangsa dari pada Kepentingan
Perseorangan atau Golongan. Keberadaan hak ulayat diakui bagi
kesatuan masyarakat hukum adat tertentu yang sepanjang kenyataannya
masih ada. Hak ulayat ini dapat dilihat dari kegiatan sehari-hari Kepala Adat
yang masih diakui sebagai pengemban tugas kewenangan mengatur dan
memimpin penggunaan tanah ulayat yang merupakan tanah bersama warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
4. Asas Semua Hak Atas Tanah Mempunyai Fungsi Sosial. Hak atas tanah
apa pun yang dimiliki oleh seseorang, tidak akan dibenarkan apabila tanah
tersebut digunakan semata-mata untuk kepentingannya sendiri yang
merugikan masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan
keadaan dan sifat haknya sehingga bermanfaat baik untuk kesejahteraan dan
kebahagiaan bagi masyarakat dan negara.
5. Asas Hanya Warga Negara Indonesia yang Mempunyai Hak Atas
Tanah. Asas ini menegaskan bahwa hanya warga negara yang memiliki
kedudukan sebagai subjek dari Hak Milik. Orang asing yang berkedudukan
di Indonesia tidak dapat mempunyai tanah yang berstatus Hak Milik,
melainkan hanya memiliki Hak Pakai atas tanah dan Hak Sewa Bangunan
dengan jangka waktu yang terbatas.
6. Asas Persamaan Bagi Setiap Warga Negara Indonesia. Baik laki-laki
maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh

8
hak-hak atas tanah, sepanjang memiliki status kewarganegaraan warga
negara Indonesia.
7. Asas Tanah Pertanian Harus Dikerjakan atau Diusahakan Secara
Aktif oleh Pemiliknya Sendiri dan Mencegah Cara-Cara yang Bersifat
Pemerasan. Pelaksanaan asas ini, akhir-akhir ini menjadi dasar dari
pelaksanaan land reform atau agrarian reform and rural development yang
berupa pengerjaan atas tanah pertanian dikerjakan atau diusahakan secara
aktif oleh pemiliknya sendiri. Maksud dari asas ini adalah bahwa tanah
pertanian tidak boleh ditelantarkan oleh pemiliknya, tidak digunakan atau
tidak diusahakan sesuai dengan sifat, tujuan, dan keadaannya. Penelantaran
tanah merupakan penyebab hapusnya hak atas tanah dan berakibat hak atas
tanah kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara (menjadi
tanah negara).
8. Asas Tata Guna Tanah/Penggunaan Tanah Secara Berencana.
Perencanaan mengenai peruntukkan, penggunaan, dan persediaan atas
bumi, air dan ruang angkasa guna kepentingan rakyat dan negara diperlukan
untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Adanya perencanaan ini, maka
penggunaan tanah akan dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur
sehingga memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat dan
negara.
9. Asas Kesatuan Hukum. Kesatuan hukum tersebut maksudnya kesatuan
pengaturan yang meliputi bidang-bidang hukum, hak atas tanah,
pendaftaran tanah, dan hak jaminan atas tanah.
10. Asas Jaminan Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum. Untuk
memberikan penghormatan dan perlindungan hukum bagi pemegang hak
atas tanah, hak atas tanah yang dimilikinya tidak dapat begitu saja diambil
oleh pihak lain meskipun itu untuk kepentingan umum, sehingga kepada
pemegang hak atas tanah diberikan ganti rugi yang layak.
11. Asas Pemisahan Horizontal. Implementasi dari asas ini adalah Hak Sewa
Untuk Bangunan. Seseorang atau suatu badan usaha menyewa tanah Hak
Milik orang lain yang tidak ada bangunannya dengan membayar sejumlah

9
uang sebagai uang sewa yang besarnya ditetapkan atas dasar kesepakatan,
untuk jangka waktu yang ditentukan, dan penyewa diberikan hak untuk
mendirikan bangunan yang digunakan untuk jangka waktu tertentu yang
telah disepakati kedua belah pihak. Dalam Hak Sewa Untuk Bangunan
terdapat pemisahan secara horizontal antara pemilik tanah dengan pemilik
bangunan yang ada di atasnya.

10
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sejarah Pertanahan di Indonesia. Dari segi berlakunya, Hukum Agraria di Indonesia


dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:

1. Hukum agraria Kolonial yang berlaku sebelum Indonesia merdeka bahkan


berlaku sebelum diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 September 1960; dan

2. Hukum Agraria nasional yang berlaku setelah diundangkannya UUPA.

Ketentuan hukum agraria nasional sebagaimana yang tertuang dalam


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria yang dikenal dengan UUPA, merupakan dasar bagi politik hukum agraria
nasional. Oleh karena ketentuan-ketentuannya hanya berupa pokok-pokok atau
asas-asasnya saja. Sedangkan kelengkapannya diserahkan pada perkembangan dan
kebutuhan masyarakat dalam bidang keagrariaan. Terdapat beberapa asas yang
menjadi dasar di dalam pembentukan hukum tanah di Indonesia.

3.2 Saran

Saran kami selaku penulis yaitu agar makalah ini bisa lebih menambah wawasan
saudara sekalian yang membacanya semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.

11
Daftar Pustaka

Diktat Hukum Agraria. file:/C:/Users/userpc/Documents/diktathukumagraria-


YASIN.pdf

12

Anda mungkin juga menyukai