Anda di halaman 1dari 44

Evaluasi Kasus Rujukan Obstetri di Unit Gawat Darurat

RSUP. Dr. M. Djamil Padang Periode


1 Januari 2018 – 31 Desember 2018

PROPOSAL PENELITIAN

Universitas Andalas

Oleh:
Dyhan Purna Setia

Pembimbing :

Dr.H.Syahredi SA,Sp.OG (K)


Dr.dr.Hafni Bachtiar,MPH

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP.DR.M.DJAMIL PADANG
2019

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sistem rujukan adalah sistem pelayanan kesehatan yang melakukan


pelimpahan tanggung jawab timbal balik, suatu masalah kesehatan pada unit yang
lebih mampu menangani, atau antar unit yang setingkat (Christanto, 2014).
Sedangkan rujukan kebidanan adalah adanya keadaan gawat darurat pada
kehamilan dan persalinan yang merupakan penyebab utama terjadinya kesakitan
dan kematian ibu sehingga diperlukan tindakan segera untuk menanganinya yang
disebut dengan adanya komplikasi (Laili et al, 2014).

Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan indikator dari suatu sistem kesehatan.
Pada tahun 2015, diperkirakan 303.000 wanita di seluruh dunia meninggal karena
kehamilan dan persalinan ( WHO, 2018 ). Di Indonesia, Tren AKI hingga tahun 2007
mengalami penurunan, namun meningkat tajam pada tahun 2012 (dari 228 pada
2007 menjadi 359 pada 2012). Jumlah kematian ibu tertinggi di kelompok usia 25-
29, 30-34, dan 35- 39 tahun (BKKBN, BPS, Kemenkes RI & ICF International,
2013). Dari profil kesehatan Propinsi Sumatera Barat (tahun 2011/2012), AKI pada
tahun 2008 sebesar 266 per 100.000 KH, tahun 2009 AKI sebesar 234 per 100.000
KH, pada tahun 2010 AKI sebesar 209 per 100.000 KH, pada tahun 2011 AKI
sebesar 208 per 100.000 KH dan pada tahun 2012 AKI sebesar 209 per 100.000
KH.
Penyebab utama kematian ibu menurut SDKI tahun 2001, dikelompokkan
menjadi penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung biasanya erat
dengan kondisi kesehatan ibu sejak proses kehamilan, proses persalinan, dan pasca
persalinan seperti perdarahan (28 %), infeksi (11 %), komplikasi peurperium (8 %),
partus macet/lama (5 %), abortus (5 %), trauma obstetri (5 %), emboli obstetri (5 %),
dan lain-lain (11 %). Sedangkan penyebab tidak langsung lebih terkait dengan
kondisi sosal ekonomi, geografis serta perilaku budaya masyarakat yang terangkum
dalam empat T “terlalu” (terlalu tua, terlalu muda, terlalu banyak, terlalu sering) dan

2
tiga terlambat (terlambat mengambil keputusan, terlambat membawa, dan terlambat
mendapatkan pelayanan) (Depkes, 2008).

Kegawat daruratan di bidang obstetri suatu keadaan yang dapat mengancam


jiwa saat selama dan sesudah persalinan dan kelahiran ( Chamberlain, 1999).
Pasien yang datang dengan kegawat daruratan obstetri perlu mendapatkan
pelayanan khusus. Kira-kira 40% persalinan di rumah sakit adalah kasus rujukan.
Kematian maternal di rumah sakit pendidikan 80%-90% berasal dari kelompok
rujukan. Pelayanan kesehatan primer diperkirakan dapat menurunkan angka
kematian ibu sampai 20%, namun dengan sistem rujukan yang efektif, angka
kemaian ibu (AKI) dapat ditekan sampai 80% ( Nasution, 2003).

Pelayanan rujukan maternal merupakan mata rantai yang penting, sebagai


suatu upaya yang dapat menurunkan angka kematian ibu (AKI). Setiap kasus
dengan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal yang datang ke Puskesmas
PONED harus langsung dikelola sesuai dengan prosedur tetap sesuai dengan Buku
Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Setelah dilakukan
stabilisasi kondisi pasien, kemudian ditentukan apakah pasien akan dikelola di
tingkat Puskesmas PONED atau dilakukan rujukan ke Rumah Sakit PONEK untuk
mendapatkan pelayanan yang lebih baik sesuai dengan tingkat
kegawatdaruratannya.

Rujukan harus berupa kegiatan yang terencana, bukan sebagai reaksi sesaat
terhadap suatu keadaan yang tidak diinginkan menjadi rujukan terlambat. Ibu hamil
dengan masalah risiko tinggi membutuhkan pelayanan berkelanjutan yang adekuat
dan spesialistik di pusat rujukan rumah sakit kabupaten/kota (Diflayzer, 2017), maka
untuk itu diperlukan sistem rujukan yang tepat sehingga dapat terwujudnya derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Untuk itu rujukan harus dilakukan
secara tepat dan harus menghindari tiga terlambat dan resiko resiko yan
mengancam ibu dan janin.

Sistem rujukan pelayanan kegawat daruratan maternal dan neonatal


mengacu pada prinsip utama kecepatan dan ketepatan tindakan, efisien, efektif da
sesuai dengan kemampuan dan kewenangan fasilitas pelayanan ( Depkes RI,
2007). Selain itu, sitem rujukan juga dikembangkan karena keterbatasan
penyebaran sarana pelayanan kesehatan, keterbatasan kemampuan petugas

3
kesehatan dan. dan tenaga yang terlibat dalam perawatan obstetri terdiri dari dukun,
perawat, bidan, dokter umum dan dokter ahli yang jumlah dan penyebarannya masih
terbatas ( Soedigdamarto,1990).

Saat ini penerapan Sistim Rujukan Pelayanan kesehatan belum berjalan di


semua tingkat fasilitas kesehatan, hal ini dibuktikan dengan adanya kasus kematian
ibu dan anak dan kasus kasus lainnya yang membutuhkan rujukan dan rujukan balik
yang belum memadai. Sistim rujukan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor
yaitu, tidak tersedia petunjuk atau informasi bagi petugas kesehatan dilapangan,
tidak adanya upaya konseling terhadap pasien atau keluarga pasien oleh petugas
kesehatan, sarana dan prasarana rujukan yang kurang memadai.3

Rujukan di bidang obstetri di bagi menjadi dua yaitu rujukan dini berencana
dan rujukan tepat waktu. Rujukan dini berencana dilakukan pada ibu hamil dengan
Ada Potensi Gawat Obstetri (APGO) dan Ada Gawat Obstetri (AGO) yang
diperkirakan mungkin masih mengalami komplikasi dalam persalinan, sedangkan
rujukan tepat waktu dilakukan upaya penyelamatan nyawa ibu dan bayinya pada ibu
dengan Ada Gawat Obstetri (AGDO) dan ibu komplikasi obstetri dini dalam
persalinan (Afriani, 2013). Seperti yang disampaikan oleh Murray (2001), rujukan
yang efektif memerlukan komunikasi antar fasilitas. Tujuan dari komunikasi adalah
agar pihak fasilitas terujuk mengetahui keadaan pasien dan dapat menyiapkan
secara dini penanganan yang diperlukan pasien segera setelah pasien sampai di
rumah sakit.

Dalam pengamatan yang dilakukan berkaitan dengan rujukan maternal dan


neonatal pada setiap tingkat pelayanan kesehatan, didapatkan beberapa masalah
yang dianggap dapat memberikan dampak negatif terhadap pelaksanaan rujukan,
antara lain, Penerima pertama pasien bukan tenaga medis terlatih, Dokter dan Bidan
sebagai tenaga terlatih justru berada di lini belakang, prosedur penerimaan rujukan
yang lambat karena birokrasi baik pelaporan ataupun kriteria rujukan yang sesuai
dengan kriteria rujukan menurut Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS),
keterbatasan pelayanan pemeriksaan penunjang karena keterbatasan SDM, sarana
dan prasarana, umpan balik (feedback) surat Rujukan, petunjuk pelaksanaan sistem
rujukan yang tidak baik, belum terdapat persepsi yang sama tentang prosedur
tindakan diantara petugas pelaksana pelayanan kesehatan maternal dan neonatal,

4
pengetahuan masyarakat tentang kegawatdaruratan maternal & neonatal,
Kemampuan ibu dalam mengambil keputusan ( Depkes RI, 2003).

1.2. Rumusan Masalah

Dari data yang ada bahwa angka kematian ibu pada kasus-kasus
kegawatdaruratan obstetri ke RSUP.Dr.M. Djamil Padang masih tinggi, maka
permasalahan pada penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah Karakteristik kasus kasus rujukan Obstetri yang dirujuk ke


Unit Gawat Darurat Dr. M. Djamil Padang dalam kurun waktu 1 Januari-
31 Desember 2018?
2. Bagaimanakah ketepatan kasus kasus rujukan Obstetri yang dirujuk ke
Unit Gawat Darurat Dr. M. Djamil Padang dalam kurun waktu 1 Januari-
31 Desember 2018 ?
3. Apa saja faktor faktor yang mempengaruhi kematian ibu pada kasus kasus
rujukan Obstetri yang dirujuk ke Unit Gawat Darurat Dr. M. Djamil Padang
dalam kurun waktu 1 Januari- 31 Desember 2018?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik, jumlah angka


kematian ibu dan faktor faktor yang mempengaruhi nya serta melakukan evaluasi
pada kasus kasus obstetri yang di rujuk ke Unit Gawat Darurat RSUP.Dr.M.Djamil
Padang dalam kurun waktu 1 Januari – 31 Desember 2018.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui karakteristik kasus kasus rujukan obsteri yang dirujuk
ke Unit Gawat Darurat RSUP.Dr.M.Djamil Padang dalam kurun waktu 1
Januari – 31 Desember 2018.
2. Melakukan evaluasi terhadap kasus kasus obstetri yang di rujuk ke Unit
Gawat Darurat RSUP.Dr.M.Djamil Padang dalam kurun waktu 1 Januari –
31 Desember 2018 dengan tolak ukur angka kematian maternal pada
kasus rujukan.

5
3. Untuk mengetahui jumlah Angka Kematian Ibu dan faktor faktor yang
mempengaruhinya pada kasus kasus rujukan obsteri yang dirujuk ke Unit
Gawat Darurat RSUP.Dr.M.Djamil Padang dalam kurun waktu 1 Januari –
31 Desember 2018.

1.4. Manfaat Penelitian

Jika penelitian ini berhasil dapat memberikan masukan pada :

1.4.1 Perkembangan Ilmu


Hasil Penelitian ini dapat memberi informasi ilmiah mengenai gambaran
kasus kasus obstetri, jumlah angka kematian ibu dan faktor faktor yang
mempengaruhi nya pada kasus kasus yang di rujuk ke Unit Gawat Darurat
RSUP.Dr.M.Djamil Padang dalam kurun waktu 1 Januari – 31 Desember 2018.

1.4.2 Manfaat Terapan

Penelitian ini dapat dijadikan dasar dan digunakan untuk evaluasi, masukan
dan pertimbangan dalam perbaikan program rujukan obstetri pada waktu yang akan
datang dan juga meningkatkan pelayanan obstetri di Sumatera Barat.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Kematian Ibu

2.1.1 Pengertian Kematian Ibu

Kematian ibu adalah kematian wanita dalam masa kehamilan, persalinan dan

dalam masa 42 hari (6 minggu) setelah berakhirnya kehamilan tanpa memandang

usia kehamilan maupun tempat melekatnya janin, oleh sebab apa pun yang berkaitan

dengan atau diperberat oleh kehamilan atau pengelolaannya, bukan akibat

kecelakaan. (WHO, 1994).

2.1.2 Angka Kematian Ibu (AKI)

Insiden kematian ibu biasanya digambarkan berdasarkan Angka kematian ibu

( Maternal Mortality Rate ) yaitu kematian ibu pada saat persalinan per 100.000

kelahiran hidup. Lebih dari satu wanita meninggal setiap menit akibat komplikasi

kehamilan dan persalinan, yaitu sekitar 585.000 wanita setiap tahun. Kurang dari

satu persen dari kematian ini terjadi di negara-negara maju. Risiko Kematian di

negara berkembang 1 :16, dibandingkan dengan 1 : 1.800 di negara maju, sehingga

Ini angka kematian ibu dijadikan sebagai indikator kesehatan baik bagi negara maju

maupun negara berkembang (MMJ, 2006).

Di Indonesia, Tren AKI hingga tahun 2007 mengalami penurunan, namun

meningkat tajam pada tahun 2012 (dari 228 pada 2007 menjadi 359 pada 2012).

Jumlah kematian ibu tertinggi di kelompok usia 25-29, 30-34, dan 35- 39 tahun

(BKKBN, BPS, Kemenkes RI & ICF International, 2013). Dari profil kesehatan

Propinsi Sumatera Barat (tahun 2011/2012), AKI pada tahun 2008 sebesar 266 per

100.000 KH, tahun 2009 AKI sebesar 234 per 100.000 KH, pada tahun 2010 AKI

7
sebesar 209 per 100.000 KH, pada tahun 2011 AKI sebesar 208 per 100.000 KH

dan pada tahun 2012 AKI sebesar 209 per 100.000 KH.

2.1.3 Penyebab Kematian Ibu

Penyebab kematian di bagi dua kelompok yaitu :

a. Penyebab Langsung

Kematian ibu yang disebakan oleh penyuli obstetri pada masa kehamilan,
persalinan dan nifas atau kematian yang disebabka oleh suatu tindakan atau
berbagai hal yang terjadi akibat tindakan tersebut yang dilakukan selama
kehamilan, persalinan atau nifas (Kassebaum NJ, 2018).

Gambar 1 : Penyebab Langsung Kematian ibu

b. Penyebab tidak langsung

Kematian ibu yang diakibatkan penyakit yang sudah ada sebelumnya yang

berkembang selama kehamilan dan dan diperburuk oleh efek fisiologis dari

kehamilan (Kassebaum NJ, 2018). Penyebab tidak langsung paling banyak

disebakan oleh tiga terlambat yaitu Terlambat mengambil keputusan,

terlambat dalam pengiriman ke tempat rujukan, terlambat mendapatkan

pelayanan kesehatan dan empat terlalu yaitu, yaitu terlalu muda (batasan

reproduksi sehat 20 – 35 tahun), terlalu tua (kehamilan berisiko pada usia di

8
atas 30 tahun), terlalu sering (jarak ideal untuk melahirkan : 2 tahun) dan

terlalu banyak (jumlah persalinan di atas 4) (Saddiyah Rangkuti, 2015 ).

2.1.4. Faktor Faktor yang mempengaruhi Kematian Ibu

A. Faktor Non Medik

1. Pendidikan

Menurut Skiner dalam Notoatmojo (2010), perilaku kesehatan adalah respon

seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit,

penyakit, dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan seperti

lingkungan, makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan. Dengan perkataan lain

perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang baik yang dapat

diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati (unobservable) yang

berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Pemeliharaan

kesehatan ini mencakup mencegah atau melindungi diri dari penyakit dan masalah

kesehatan lain, meningkatkan kesehatan, dan mencari penyembuhan apabila sakit

atau terkena masalah kesehatan (Skiner, 2010).

Pendidikan yang ditempuh seseorang merupakan salah satu faktor demografi

yang sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan individu dan masyarakat.

Seseorang dengan pendidikan yang tinggi diasumsikan dapat mencegah atau

melindungi dirinya dari penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan

kesehatannya, dan mencari penyembuhan apabila sakit. Biasanya orang yang

berpendidikan tinggi selalu berusaha mencari informasi yang berhubungan dengan

dirinya, dalam hal ini seorang ibu hamil dengan pendidikan yang tinggi apabila

mengalami suatu masalah dalam kehamilannya dapat segera mengatasi masalah

tersebut dan akhirnya dapat memperkecil risiko yang tidak diinginkan (Skiner, 2010).

9
2. Pekerjaan

Tidak ada rekomendasi dalam asuhan kehamilan dimana ibu hamil sama

sekali tidak boleh melakukan aktivitas pekerjaan rumah atau bekerja di luar rumah,

yang penting diperhatikan adalah keseimbangan dan toleransi dalam pekerjaan.

Karena pada kenyataannya pekerjaan selain berhubungan dengan pemeliharaan

kesehatan juga berhubungan dengan penghasilan keluarga.

3. Pendapatan Keluarga

Kemampuan ekonomi yang sering dinyatakan dalam pendapatan keluarga

mencerminkan kemampuan masyarakat dari segi ekonomi dalam memenuhi

kebutuhan hidupnya termasuk kebutuhan akan kesehatan. Pendapatan juga

mempengaruhi kemampuan dalam mengakses pelayanan kesehatan sehingga ibu

hamil dengan pendapatan yang tinggi dapat dengan teratur memeriksakan dirinya

ke fasilitas kesehatan yang diinginkannya sehingga kasus yang tidak diinginkan

dapat cepat ditangani (Skiner, 2010).

Menurut Kemenkes dalam Sriningsih (2011). wanita-wanita dari keluarga

dengan pendapatan rendah (<US$1/hari) memiliki risiko kurang lebih 300 kali untuk

menderita kesakitan dan kematian ibu bila dibanding dengan mereka yang memiliki

pendapatan yang lebih baik (Sriningsih, 2011).

4. Faktor Sosial Budaya

Fakta di berbagai kelompok masyarakat di Indonesia, masih banyak ibu-ibu

yang menganggap kehamilan sebagai hal yang biasa, alamiah, dan kodrati. Mereka

merasa tidak perlu memeriksakan kehamilannya secara rutin ke bidan atau dokter.

Hal ini mengakibatkan tidak terdeteksinya faktor-faktor risiko tinggi yang mungkin

dialami, risiko ini baru diketahui pada saat persalinan yang seringkali kasusnya

sudah terlambat dan dapat menyebabkan kematian (Sriningsih, 2011). Faktor-faktor

10
sosial budaya yang mempengaruhi kehamilan dan persalinan antara lain adalah

adanya kepercayaan-kepercayaan terhadap konsep kehamilan, pantangan

makanan, pantangan perbuatan, dan dukungan suami (Sriningsih, 2011).

Menurut Bloom dalam Notoatmodjo (2010) , perilaku dibagi atas 3 tingkatan:

a. Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang

terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan

sebagainya). Dengan sendirinya pada waktu penginderaan menghasilkan

pengetahuan. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan

persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui

indera pendengaran (telinga) dan mata. Pengetahuan seseorang terhadap objek

mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besarnya,

pengetahuan dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yakni:

 Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya

setelah mengamati sesuatu.

 Memahami (Comprehension)

Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak

sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpretasikan

secara benar tentang objek yang diketahui tersebut.

 Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat

menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi

yang lain.

 Analisis (Analysis)

11
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau

memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang

terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikator bahwa

pengetahuan orang tersebut sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila

orang tersebut telah dapat membedakan, atau memisahkan, mengelompokkan,

membuat diagram terhadap pengetahuan atas objek tersebut.

 Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang merangkum atau

meletakkkan dalam suatu hubungan yang logis dari komponen-komonen

pengetahuan yang dimiliki, dengan kata lain dapat menyusun suatu formulasi baru

dari formulasi yang telah ada.

 Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau

penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan

pada suatu kriteria yang telah ditentukan sendiri (Bloom, 2010).

b. Sikap (Attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2007). Sikap belum merupakan

suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan reaksi tertutup, akan

merupakan reaksi terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap

objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Allport,

2010).

Menurut Allport dalam soekidjo (2010), sikap merupakan reaksi atau respon

yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Dalam

12
bagian lain Alport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen

pokok:

a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek

b. kehidupan dan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek

c. kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).

Ketiga komponen ini secara bersama membentuk sikap yang utuh, pengetahuan,

berfikir, keyakinan dan emosi memang peranan penting. Menurut), pengetahuan

sikap ini terdiri dari berbagai tingkat yakni :

 Menerima (receiving)

Menerima, diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus

yang diberikan (objek). Misalnya, sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari

kesediaan dan perhatian itu terhadap ceramah-ceramah.

 Merespons (Responding)

Memberikan jawaban apa bila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas

diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk

menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan lepas pekerjaan itu

benar atau salah adalah berarti orang menerima ide tersebut.

 Menghargai (Valving)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang

lain terhadap suatu masalah.

c. Bertanggung Jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala suatu yang telah telah dipilihnya dengan

segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi. Pengalaman langsung

dan komunikasi antara perorangan. Melalui proses demikian, keyakinan

berkembang atau berubah dan disimpan dalam memori ingatan. Bila dikaitkan

13
dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan sikap masyarakat dapat diartikan

sebagai kecenderungan untuk berespon atau partisipasi secara positif atau negatif

terhadap pemanfaatan sarana kesehatan.

d. Tindakan atau praktik (practise)

Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya

tindakan perlu faktor lain antara lain adanya fasilitas,sarana, dan prasarana.

Praktek atau tindakan ini dapat dibedakan atas 3 tingkatan menurut kualitasnya:

a. Praktek terpimpin (guided response) adalah apabila seseorang telah

melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntunan atau menggunakan

panduan. Misalnya seorang ibu memeriksakan kehamilannya dengan diingatkan

oleh bidan atau tetangganya.

b. Praktek secara mekanisme (mechanism) adalah apabila subjek atau

seseorang telah melakukan atau mempraktekkan sesuatu hal secara otomatis.

Misalnya seorang ibu hamil telah memeriksakan kehamilannya tanpa harus

menunggu perintah bidan, atau kader.

e. Adopsi (adoption) adalah suatu tindakan atau praktek yang sudah

berkembang, artinya apa yang dilakukan tidak hanya sekedar rutinitas, tetapi

sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas.

Misalnya seorang ibu hamil yang paling sedikit memeriksakan kandungannya

4 kali selama kehamilannya (Prawirohardjo, 2009).

5. Keputusan Merujuk

Menurut Kemenkes (2013), dapat disebabkan oleh beberapa hal berikut ini :

1. Ibu terlambat mencari pertolongan tenaga kesehatan walaupun akses terhadap

tenaga kesehatan tersedia 24/7 (24 jam dalam sehari dan 7 hari dalam

seminggu), oleh karena masalah tradisi/kepercayaan dalam pengambilan

14
keputusan di keluarga, dan ketidakmampuan menyediakan biaya non medis dan

biaya medis lainnya.

2. Keluarga terlambat merujuk karena tidak mengerti tanda bahaya yang

mengancam nyawa ibu.

3. Tenaga kesehatan terlambat melakukan pencegahan dan/atau mengidentifikasi

komplikasi secara dini. Hal ini dikarenakan kompetisi tenaga kesehatan tidak

optimal, antara lain kemampuan untuk melakukan APN (Asuhan Persalinan

Normal) sesuai standar dan penanganan pertama keadaan GDON (Gawat

Darurat Obstetri dan Neonatal).

4. Tenaga kesehatan tidak mampu mengadvokasi pasien dan keluarganya akan

pentingnya merujuk tepat waktu untuk menyelamatkan nyawa ibu (Kemenkes,

2013).

B. Faktor Pelayanan Kesehatan

1. ANC

Ibu hamil sebaiknya dianjurkan untuk mengunjungi bidan atau dokter sedini

mungkin, semenjak ia merasa dirinya hamil untuk mendapatkan pelayanan/asuhan

ANC. Setiap kehamilan dapat berkembang menjadi masalah atau komplikasi setiap

saat. Itulah sebabnya mengapa ibu hamil memerlukan pemantauan selama

kehamilannya (McCarthy, 1999).

Menurut Prawirohardjo (2009), tujuan asuhan antenatal adalah

1. Memantau kemajuan kehamilan untuk memastikan kesehatan ibu dan

tumbuh kembang bayi

2. Meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik, mental, dan sosial

ibu dan bayi

15
3. Mengenali secara dini adanya ketidaknormalan atau komplikasi yang

mungkin terjadi selama hamil, termasuk riwayat penyakit secara umum,

kebidanan, dan pembedahan.

4. Mempersiapkan persalinan cukup bulan, melahirkan dengan selamat ibu

maupun bayinya dengan trauma seminimal mungkin

5. Mempersiapkan ibu agar masa nifas berjalan normal dan pemberian ASI

eksklusif

6. Mempersiapkan peran ibu dan keluarga dalam menerima kelahiran bayi

agar dapat tumbuh kembang secara normal (PrawirohardjO, 2009).

Adapun kebijakan program asuhan ANC sebaiknya dilakukan paling sedikit 4

kali kunjungan selama kehamilan, yaitu satu kali pada triwulan pertama, satu kali

pada triwulan kedua, dan dua kali pada triwulan ketiga

Pelayanan yang dilakukan pada ANC adalah standar minimal yang dikenal dengan

’’7T’’ yaitu:

1. Timbang berat badan

2. Ukur tekanan darah

3. Ukur tinggi fundus uteri

4. Pemberian imunisasi TT lengkap

5. Pemberian tablet zat besi, minimum 90 tablet selama kehamilan

6. Tes terhadap penyakit menular seksual

7. Temu wicara dalam rangka persiapan rujukan

2. Tenaga Pemeriksa Kesehatan

Menurut Kemenkes (2012), dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak, dikenal

beberapa jenis tenaga yang memberi pertolongan persalinan yakni, dokter umum,

dokter spesialis kandungan, dan bidan.

16
Dalam Permenkes No.369/Menkes/SK/III/2007 dikatakan, defenisi Bidan

menurut International Confederation of Midwives (ICM) yang dianut dan diadopsi

oleh seluruh organisasi bidan di seluruh dunia dan diakui oleh WHO dan Federation

of International Gynecologist Obstetrition (FIGO), bidan adalah seseorang yang

telah mengikuti program pendidikan bidan yang diakui di negaranya, telah lulus dari

pendidikan tersebut, serta memenuhi kualifikasi untuk didaftar (diregister) dan atau

memiliki izin yang sah (lisensi) untuk melakukan praktik bidan (Kemenkes, 2012).

Ikatan Bidan Indonesia (IBI) menetapkan bahwa bidan Indonesia adalah

seorang perempuan yang lulus dari pendidikan Bidan yang diakui Pemerintah dan

organisasi profesi di wilayah negara Republik Indonesia serta memiliki kompetensi

dan kualifikasi untuk diregister, sertifikasi dan atau secara sah mendapat lisensi

untuk menjalankan praktik kebidanan (Kemenkes, 2012)

Bidan diakui sebagai tenaga profesional yang bertanggungjawab dan

akuntabel, yang bekerja sebagai mitra perempuan untuk memberikan dukungan,

asuhan, dan nasehat selama masa hamil, masa persalinan, dan masa nifas,

memimpin persalinan atas tanggungjawab sendiri dan memberikan asuhan kepada

bayi baru lahir dan bayi. Asuhan ini mencakup upaya pencegahan, promosi

persalinan normal, deteksi komplikasi pada ibu dan anak, dan akses medis atau

bantuan lain yang sesuai, serta melaksanakan tindakan kegawatdaruratan

(Kemenkes, 2012).

Kewenangan Bidan sesuai Permenkes No. 1464 Tahun 2010 Tentang Izin

dan Penyelenggaraan Praktek Bidan, meliputi:

1. Kewenangan normal, yaitu melakukan pelayanan KIA, pelayanan

kesehatan reproduksi, dan KB.

2. Kewenangan dalam menjalankan program pemerintahan.

17
3. Kewenangan menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter.

Penolong persalinan oleh dukun terkait pengetahuannya tentang keadaan

fisiologis dan patologis dalam kehamilan, persalinan, serta nifas sangat terbatas

oleh karena apabila timbul komplikasi dukun tidak mampu mengatasinya, bahkan

tidak menyadari akibatnya. Mereka bekerja hanya berdasarkan pengalaman saja

dan kurang profesional (Kemenkes, 2012).

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tidak

memperbolehkan lagi dukun bayi sebagai tenaga penolong persalinan tetapi hanya

sebagai pendamping dari bidan yang merupakan penolong persalinan yang telah

direkomendasikan Menteri Kesehatan (Kemenkes, 2012).

Puskesmas mampu PONED adalah puskesmas rawat inap yang mampu

menyelenggarakan pelayanan obstetri dan neonatal emergency/komplikasi tingkat

dasar dalam 24 jam sehari dan 7 hari seminggu (Kemenkes, 2013).

Tenaga pelaksana yang berfungsi sebagai tim inti pelaksana PONED harus

yang sudah terlatih dan bersertifikat dari Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat)

tenaga kesehatan yang telah mendapat sertifikasi sebagai penyelenggara Pusdiklat

PONED. Tim inti pelaksana puskesmas PONED minimal terdiri dari 1 orang Dokter

Umum, 1 orang Bidan (minimal Diploma tiga), dan 1 orang Perawat (minimal

Diploma tiga), yang selalu siap on side selama 24 jam sehari dan 7 hari seminggu

(Kemenkes, 2017).

Tim inti pelaksana RS PONEK pada hakekatnya sama dengan puskesmas

PONED yang dibantu oleh dokter kebidanan, dokter anak, dakter/petugas anestesi,

dokter penyakit dalam, dan dokter spesialis lain yang berhubungan (Kemenkes,

2017).

18
3. Tempat Pemeriksaan Kesehatan

Tempat pemeriksaan kesehatan adalah tempat di mana ibu melakukan

pemeriksaan kesehatan selama hamil, bersalin, dan nifas. Menurut Kemenkes

(2012) tempat pemeriksaan kesehatan ibu hamil, bersalin, dan nifas adalah di

fasilitas kesehatan seperti praktek dokter spesialis obgyn/ dokter umum/bidan,

polindes, puskesmas, dan rumah sakit (Kemenkes, 2012).

4. Penanganan Adekuat

Menurut Prawirohardjo (2009), kebijakan pelayanan asuhan persalinan

adalah:

 Semua persalinan harus dihadiri dan dipantau oleh petugas kesehatan terlatih

 Rumah bersalin dan tempat rujukan dengan fasilitas memadai untuk menangani

kegawatdaruratan obstetric dan neonatal harus tersedia 24 jam

 Obat-obatan essensial, bahan, dan perlengkapan harus tersedia bagi seluruh

petugas terlatih

 Puskesmas mampu PONED adalah puskesmas rawat inap yang mampu

menyelenggarakan pelayanan obstetri dan neonatal emergency/komplikasi

tingkat dasar dalam 24 jam sehari dan 7 hari seminggu (Kemenkes, 2013).

RS mampu PONEK adalah RS PONEK 24 jam memiliki tenaga dengan

kemampuan serta sarana dan prasarana penunjang yang memadai untuk

memberikan pelayanan pertolongan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal dasar

maupun komprehensif terhadap ibu hamil, ibu bersalin, dan ibu nifas baik yang

datang sendiri atau atas dasar rujukan masyarakat, bidan, puskesmas, dan

puskesmas PONED (Prawirohardjo, 2009).

Puskesmas PONED dan RS PONEK diharapkan dapat memberikan

pelayanan dan penanganan yang adekuat kepada ibu hamil, bersalin, dan nifas. Ibu

19
hamil, bersalin, dan nifas mendapatkan pelayanan dan pertolongan yang sesuai

dengan masalahnya dan tepat waktu sehingga nantinya kasus-kasus kematian ibu

tidak terjadi (Prawirohardjo, 2009).

5. Akses

Akses adalah kemudahan penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan oleh

individu dengan kebutuhan akan pelayanan kesehatan. Kemudahan akses ke

sarana pelayanan kesehatan berhubungan dengan beberapa faktor penentu, antara

lain jarak tempat tinggal dan waktu tempuh ke sarana pelayanan kesehatan, serta

status sosial ekonomi dan budaya (Kemenkes, 2012).

Menurut Permatasari (2011), faktor aksesibilitas pelayanan kesehatan

dikelompokkan dalam 3 kategori, yaitu:

1. Aksesibilitas fisik

Aksesibilitas fisik terkait dengan ketersediaan pelayanan kesehatan atau

jaraknya terhadap pengguna pelayanan. Akses fisik dapat dihitung dari waktu

tempuh, jarak tempuh, jenis transportasi, dan kondisi dari pelayanan kesehatan.

Sarana pelayanan kesehatan yang paling mudah dijangkau berada pada jarak

kurang dari 1 km.

Pengukuran akses pelayanan kesehatan dapat dilihat dari waktu tempuh dari

lokasi pemukiman sasaran pelayanan dasar dan puskesmas ke fasilitas puskesmas

PONED paling lama 1 jam dengan transportasi umum.

2. Aksesibilitas ekonomi

Aksesibilitas ekonomi dari sisi pengguna dapat dilihat dari kemampuan finansial

seseorang untuk mengakses pelayanan kesehatan. Pemanfaatan fasilitas

pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh harga atau biaya yang dibebankan kepada

pengguna jasa pelayanan tersebut, sehingga apabila biaya dari pelayanan

20
kesehatan tertentu mudah untuk dijangkau maka orang akan cenderung untuk

berobat ke sana.

3. Aksesibilitas Sosial

Aksesibilitas sosial adalah kondisi nonfisik dan nonfinansial yang

mempengaruhi pengambilan keputusan untuk menggunakan pelayanan kesehatan.

Aksesibilitas sosial berhubungan dengan dapat atau tidak diterimanya pelayanan

kesehatan itu secara sosial, kepercayaan, dan perilaku.

3.2. Upaya Menurunkan Angka Kematian Ibu

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menurunkan angka kematian

ibu dan kematian bayi, antara lain melalui penempatan bidan di desa,

pemberdayaan keluarga dan masyarakat dengan menggunakan buku Kesehatan Ibu

dan Anak (buku KIA) dan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan

Komplikasi (P4K), serta penyediaan fasilitas kesehatan PONED di puskesmas

perawatan dan PONEK di rumah sakit (Zulhadi, 2012).

Hal tersebut didasari fakta bahwa salah satu kendala utama lambatnya

penurunan AKI di Indonesia adalah hambatan terhadap penyediaan dan akses

pelayanan kegawatdaruratan obstetri. Kemampuan penanganan kasus komplikasi

saat ini, masih bertumpu pada fasilitas pelayanan kesehatan lanjutan di rumah sakit,

sedangkan penanganan kasus komplikasi di tingkat Puskesmas belum berjalan

dengan baik. Oleh karena itu diperlukan adanya jenjang pembagian tugas di antara

berbagai unit pelayanan kesehatan melalui suatu tatanan sistem rujukan (Depkes

RI, 2007; Palimbo, 2015). Di Indonesia juga telah dibuat berbagai program

kesehatan reproduksi yang diadaptasi dari berbagai kebijakan internasional yaitu :

21
1. Making Pregnancy Safer (MPS)

Ada tiga pesan kunci dalam MPS yang perlu diperhatikan:

a. Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan yang terlatih

b. Setiap komplikasi obstetric dan neonatal mendapat pelayanan yang

adekuat (memadai).

c. Setiap wanita usia subur mempunyai akses terhadap pencegahan

kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran.

2. Gerakan Sayang Ibu

Gerakan Sayang Ibubertujuan memobilisasi masyarakat dan pelayanan

kesehatan untuk mengatasi tiga keterlambatan dalam keadaan darurat obstetri dan

neonatal (terlambat membuat keputusan, terlambat merujuk, terlambat mendapat

penanganan di fasilitas kesehatan). Gerakan ini meningkatkan akses ibu hamil

untuk mendapatkan perawatan, dan rujukan dari obstetri dan neonatal. Sejak

tahun 2000, pemerintah juga telah menggulirkan Paket Kesehatan Reproduksi

Esensial (PKRE) yang terdiri dari (Saddiyah Rangkuti, 2015 ).

a. Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir (KIBBL)

b. Keluarga Berencana (KB)

c. Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR)

d. Pencegahan Penyakit Menular Seksual

22
2.3. Sistem Rujukan

2.3.1 Definisi Sistem Rujukan

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 001 tahun

2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan, Sistem rujukan (referral

system) adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur dan

melaksanakan pelimpahan tanggung jawab pengelolaan suatu kasus penyakit dan

ataupun masalah kesehatan secara timbal balik secara vertikal, dalam arti antar

sarana pelayanan kesehatan yang berbeda stratanya, atau secara horizontal dalam

arti antar sarana pelayanan kesehatan yang sama stratanya (Depkes RI, 2009).

Sistem Rujukan pelayanan kesehatan adalah penyelenggaraan pelayanan

kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan

kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal yang wajib

dilaksanakan oleh peserta jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan sosial, dan

seluruh fasilitas kesehatan (Aswar, 1996).

2.3.2 Jenis Jenis Sistim Rujukan

A. Menurut lingkup Pelayananmya :

1. Rujukan Medis

Merupakan bentuk pelimpahan wewenang dan tanggung jawab untuk

masalah kedokteran. Tujuannya adalah untuk mengatasi problem kesehatan,

khususnya kedokteran serta memulihkan status kesehatan pasien (Pudiastuti,

2011).

23
2. Rujukan Kesehatan

Merupakan pelimpahan wewenang dan tanggung jawab untuk kesehatan

masyarakat. Dengan tujuan meningkatkan derajat kesehatan dan ataupun

mencegah penyakit yang ada di masyarakat (Pudiastuti, 2011).

B. Rujukan menurut tata hubungannya :

1. Rujukan Internal

Rujukan horizontal yang terjadi antar unit pelayanan di dalam institusi

tersebut. Misalnya dari jejaring puskesmas (puskesmas pembantu) ke

puskesmas induk (Primasari, 2015).

2. Rujukan Eksternal

Rujukan yang terjadi antar unit-unit dalam jenjang pelayanan kesehatan, baik

horizontal (dari puskesmas rawat jalan ke puskesmas rawat inap) maupun

vertikal (dari puskesmas ke rumah sakit umum daerah) (Primasari,2015).

2.3.3 Manfaat Sistem Rujukan

Manfaat sistem rujukan menurut Pranoko & Dhanabhalan (2012) adalah:

a. Pelayanan yang diberikan sedekat mungkin ke tempat pasien, berarti

bahwa pertolongan dapat diberikan lebih cepat, murah dan secara

psikologis memberi rasa aman pada pasien dan keluarga.

b. Penataran yang teratur diharapkan pengetahuan dan keterampilan

petugas daerah makin meningkat sehingga makin banyak kasus yang

dapat dikelola di daerahnya masing– masing.

24
c. Memudahkan masyarakat di daerah terpencil atau desa dapat

memperoleh dan menikmati tenaga ahli dan fasilitas kesehatan dari

jenjang yang lebih tinggi.

2.3.4 Prosedur Rujukan

Pada dasarnya, prosedur fasilitas pemberi pelayanan kesehatan pengirim

rujukan adalah sebagai berikut:

a. Menjelaskan kepada para pasien atau keluarganya tentang alasan rujuk

b. Melakukan komunikasi dengan fasilitas kesehatan yang dituju sebelum

merujuk

c. Membuat surat rujukan dan juga melampirkan hasil diagnosis pasien dan

catatan medisnya

d. Mencatat pada register dan juga membuat laporan rujukan

e. Stabilisasi keadaan umum pasien, dan dipertahankan selama dalam

perjalanan

f. Pendampingan pasien oleh tenaga kesehatan

g. Menyerahkan surat rujukan kepada pihak-pihak yang berwenang di fasilitas

pelayanan kesehatan di tempat rujukan

h. Surat rujukan pertama harus berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan

primer, kecuali dalam keadaan darurat

i. Ketentuan-ketentuan yang terdapat pada Askes, Jamkesmas, Jamkesda,

SKTM dan badan penjamin kesehatan lainnya tetap berlaku (Jabar, P).

Adapun prosedur sarana kesehatan penerima rujukan adalah:

a. Menerima rujukan pasien dan membuat tanda terima pasien

25
b. Mencatat kasus-kasus rujukan dan membuat laporan penerimaan rujukan

c. Mendiagnosis dan melakukan tindakan medis yang diperlukan, serta

melaksanakan perawatan disertai catatan medik sesuai ketentuan

d. Memberikan informasi medis kepada pihak sarana pelayanan pengirim

rujukan

e. Membuat surat rujukan kepada sarana pelayanan kesehatan lebih tinggi dan

mengirim tembusannya. kepada sarana kesehatan pengirim pertama;

f. Membuat rujukan balik kepada fasilitas pelayanan perujuk bila sudah tidak

memerlukan pelayanan medis spesialistik atau subspesialistik dan setelah

kondisi pasien (Jabar P, 2011).

2.3.5 Alur Rujukan

Untuk memahami tentang alur rujukan dan ketentuannya, perlu diketahui

tentang tahapan pelayanan kesehatan. Ada tiga tahapan dalam pelaksanaan

pelayanan pelaksanaan pelayanan kesehatan,yaitu sebagai berikut :

Gambar 2. Sistem Rujukan Berjenjan

26
1. Pelayanan tingkat primer

Pelayanan di sini diselenggarakan oleh Dokter Praktek Umum (DPU).

Tahap ini disebut tahap awal atau kontak pertama pasien dengan dokter yang

biasanya bertempat di klinik pribadi, klinik dokter bersama, Puskesmas, balai

pengobatan, klinik perusahaan, atau poliklinik umum di rumah sakit. Setiap

pasien semestinya harus ke DPU dulu kecuali bila terjadi kasus gawat

darurat.

2. Pelayanan tingkat sekunder

Jika dianggap perlu, pasien akan dirujuk ke pelayanan tingkat

sekunder. Untuk itu DPU akan menulis surat konsultasi atau rujukan yang

menjelaskan masalah medis dan kendala yang dihadapi pada pasien yang

bersangkutan. Di sini pasien akan dilayani oleh dokter spesialis (DSp) di

rumah sakit (kelas C atau B1), klinik spesialis atau klinik pribadi. Jika masalah

kesehatan yang sulit telah diselesaikan pasien akan dikirim balik ke DPU

yang mengirimnya dengan bekal surat rujuk balik yang berisi anjuran

kelanjutan pengobatannya.

3. Pelayanan tingkat tersier

Jika masalahnya juga tidak dapat atau tidak mungkin diselesaikan oleh

DSp di tingkat sekunder maka pasien yang bersangkutan akan dikirim ke

pelayanan tingkat tersier (top referral). Di sini pasien akan dilayani oleh para

dokter super/sub spesialis atau Spesialis Konsultan (DSpK) di rumah sakit

pendidikan atau rumah sakit besar yang mempunyai berbagai pusat riset

yang mapan (kelas B2 atau A). Pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan

primer yang dapat dirujuk langsung ke fasilitas kesehatan tersier hanya untuk

kasus yang sudah ditegakkan diagnosis dan rencana terapinya, merupakan

27
pelayanan berulang dan hanya tersedia di faskes tersier. Rujuk balik pun

tetap berlaku di sini dan bukan tidak mungkin berisi anjuran untuk kembali ke

DPU-nya jika masalah telah diatasi. Jika masalahnya tidak mungkin dapat

diatasi lagi (stadium terminal), sehingga diputuskan untuk dilanjutkan dengan

perawatan di rumah, maka yang terakhir ini pun menjadi tugas DPU

Pengecualian rujukan berjenjang:

a. Terjadi keadaan gawat darurat;

Kondisi kegawatdaruratan mengikuti ketentuan yang berlaku

b. Bencana;

Kriteria bencana ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah

Daerah

c. Kekhususan permasalahan kesehatan pasien; untuk kasus yang sudah

ditegakkan rencana terapinya dan terapi tersebut hanya dapat dilakukan di

fasilitas kesehatan lanjutan

d. Pertimbangan geografis; dan

e. Pertimbangan ketersediaan fasilitas

Selain tiga tahapan di atas masih ada tahapan pelayanan kesehatan yang

kedudukannya lebih rendah dari pelayanan tingkat primer, seperti pelayanan tingkat

rumah tangga dan tingkat masyarakat yang secara swadana, misalnya: Bidan,

Perawat, Posyandu, Polindes, POD, Sakabhakti Husada, dan lain-lain.

Dalam keadaan tertentu, bidan atau perawat dapat memberikan pelayanan

kesehatan tingkat pertama sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Bidan

dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/atau dokter gigi pemberi

pelayanan kesehatan tingkat pertama kecuali dalam kondisi gawat darurat dan

kekhususan permasalahan kesehatan pasien (Kemenkes, 2012).

28
2.4 Sistem Rujukan dalam bidang Obstetri

Sistem rujukan obstetri merupakan salah satu bagian dari upaya kesehatan

yang termasuk dalam ruang lingkup sistem kesehatan nasional yang bertujuan

meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak (Laili et al, 2014). Dalam mewujudkan

strategi pendekatan risiko, Rochjati P, membagi ibu hamil dalam dua kelompok yaitu

A. Berdasarkan gambaran klinisnya :

1. Risiko Rendah : mereka yang tidak mempunyai masalah.

2. Risiko tinggi : mereka yang bermasalah,dibagi lagi dalam tiga kelompok :

a. Ada potensi gawat obstetri (APGO)

b. Ada gawat Obstetri (AGO)

c. Ada gawat darurat Obstetri (AGDO)

B. Berdasarkan sistem skoring :

1. Kehamilan resiko rendah (KRR) : Skor = 2  Hijau

2. Kehamilan resiko tinggi (KRT) : Skor 6 – 10  Kuning

3. Kehamilan resiko sangat tinggi (KRST) : Skor > 10  merah

C. Berdasarkan adanya Rujukan terencana:

1. Rujukan Dini Berencana (RDB)

Rujukan yang dilakukan pada ibu hamil dengan APGOdan AGO yang

diperkirakan mungkin masih mengalami komplikasi dalam persalinan

(Rocjati P, 2004).

2. Rujukan Tepat Waktu (RTW),

Rujukan untuk ibu dengan gawat darurat obstetrik, perdarahan

antepartum, preeklampsi berat/eklampsia, dan ibu dengan komplikasi

29
persalinan dini yang dapat terjadi pada semua ibu hamil dengan atau

tanpa faktor resiko (AGDO) (Rocjati P, 2004).

RTW hanya akan berhasil bila didukung dengan empat syarat yang bisa

mencegah terjadinya 4 terlambat :

a. Pengenalan dini adanya tanda bahaya/masalah/faktor resiko,melalui

skirining antenatal yang proaktif.

b. Pengambilan keputusan oleh keluarga tentang persiapan dan

perencanaan persalinan,tempat dan penolong yang sesuai dengan

kondisi ibu hamil,didukung dengan kesiapan

mental,biaya,transportasi,dan kesiapan persalinan yang aman.

c. Pengiriman dan transportasi segera dilakukan,agara dapat sampai

di RS Rujukan dengan keadaan ibu dan bayi masih baik.

d. Penangan di RS rujukan diberikan dengan segera,oleh tenaga

profesional secara efektif dan efisien,baik dilihat dari segi waktu

maupun biaya.

30
Tabel 1. Hubungan antara kelompok risiko, Gambara Klinis dan Jenis Rujukan.

Status Resiko Faktor Resiko Gambaran Jenis Rujukan


Klinis
Kelompok I 1.Primi muda APGO RDB atau RDR
2.Primi tua
3.Primi tua sekunder
4.Anak terkecil < 2th
5.Grande multi
6.Umur >35th
7.Tinggi badan <145cm
8.Riwayat Obstetri buruk
9.Bekas Sc

Kelompok II 1.Penyakit ibu AGO RDB atau RDR


2.Pre eklampsia ringan
3.Gemeli
4.Hidramnion
5.IUFD
6.Hamil serotinus
7.Letak lintang
8.Letak sungsang
Kelompok III 1.Perdarahan antepartum AGDO RTW
2.PEB/Eklampsia
3. Inversio Uteri
4. Hemoragic Post Partum
5. Kehamilan dengan
Kelainan Jantung

31
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1. Kerangka Konseptual

Ibu hamil, Bersalin dan Nifas

APGO AGO AGDO

Karakteristik

- Umur
Rujuk ke RSUP DR. M.
- Paritas
Djamil Padang
- Alamat
- Pendidikan
- ANC

Hidup Mati
- U
m
u
r

- P Kematian Ibu
a
r
Gambar 3.1. Kerangka Konseptual Penelitian
i
Keterangan : t
a
s Variabel yang diteliti
- A
l
a
m
a
t

- P
e 32
n
d
i
3.2. Hipotesis Penelitian

1. Terdapat hubungan antara karakteristik pasien dengan kematian ibu pada

kasus kasus rujukan di instalasi gawat darurat RSUP. Dr. M. Djamil Padang.

2. Terdapat hubungan antara sistem dan mekanisme rujukan pasien dengan

kematian ibu pada kasus kasus rujukan di instalasi gawat darurat RSUP. Dr.

M. Djamil Padang.

33
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis dan Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pengkajian

retrospektif dan rancangan studi cross sectional.

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di RSUP.Dr.M.Djamil Padang mulai dari 1 Januari 2018

hingga 31 Desember 2018.

4.3. Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah semua ibu hamil, bersalin dan nifas ( 6 minggu

setelah berakhirnya kehamilan ) yang dirujuk ke Instalasi Gawat Darurat RSUP. Dr.

M. Djamil Padang, mulai dari 1 Januari 2018 hingga 31 Desember 2018. Sampling

menggunakan teknik simple random yaitu seluruh populasi dijadikan sampel.

4.4. Sampel Penelitian

Sampel Penelitian adalah bagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi

dan ekslusi. Adapun kriteria Inklusi dan eksklusi adalah sebagai berikut :

a. Kriteria Inklusi adalah

1. Penderita adalah semua ibu hamil, bersalin dan nifas ( 6 minggu setelah

berakhirnya kehamilan) yang dirujuk ke IGD RSUP. Dr. M. Djamil Padang

yang berasal dari Rumah Sakit ataupun klinik persalinan dalam kurun waktu 1

Januari 2018 hingga 31 Desember 2018.

34
2. Penderita adalah semua ibu hamil, bersalin dan nifas ( 6 minggu setelah

berakhirnya kehamilan) yang dirujuk ke IGD RSUP.Dr.M.Djamil Padang yang

berasal dari Rumah Sakit ataupun klinik persalinan yang mempunyai atau

tercatat dalam rekam medis pada kurun waktu 1 Januari 2018 hingga 31

Desember 2018.

3. Penderita yang di anter oleh tenaga kesehatan atau disertai dengan surat

rujukan dalam kurun waktu 1 Januari 2018 hingga 31 Desember 2018.

4. Indikasi rujukan adalah karena alasan medis atau alasan lainnya selain

karena penderita ingin melahirkan di RSUP. Dr.M. Djamil Padang.

5. Kasus rujukan berupa kasus kasus di bidang obstetri.

6. ibu hamil, bersalin dan nifas ( 6 minggu setelah berakhirnya kehamilan)

yang dirujuk ke Instalasi Gawat Darurat RSUD. Dr. M. Djamil Padang yang

tercatat dalam data kematian ibu dalam kurun waktu 1 Januari 2018 hingga

31 Desember 2018.

b. Kriteria Ekslusi adalah :

1. Ibu hamil, ibu bersalin dan nifas yang dirujuk ke Instalasi Gawat Darurat

RSUD. Dr. M. Djamil Padang yang tidak tercatat atau tidak mempunyai

rekam medis dalam kurun waktu 1 Januari 2018 hingga 31 Desember

2018.

2. Kasus rujukan yang tidak termasuk kasus kasus obstetri.

35
4.4.1. Perhitungan Besar Sampel

Besar sampel daslam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus

dari Slovin :

n= N

1+ N. e

n = Jumlah sampel

N = Populasi Sampel

e = Margin of error

n= 517 = 99 sampel

1+ 517 x 0,01

4.4.2. Teknik Pengambilan Sampel

Sampel dipilih jika memenuhi seluruh kriteria inklusi dan eksklusi dengan

menggunakan tekhnik simple random sampling

4.5. Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas

a. Karakteristik Pasien

- Umur

- Paritas

- Alamat

- Pendidikan

b. Sistem Rujukan Obsteri

36
2. Variabel Terikat

a. Kematian Ibu pada kasus kasus rujukan

4.6. Definisi Operasional Penelitian

Tabel.1. Definisi Operasional, Skala Pengukuran dan Hasil Ukur l

Variabel Definisi Operasional Skala Hasil Ukur

Pengukuran

Kematian Kematian ibu adalah Nominal 1. Meninggal

Maternal kematian wanita 2. Sehat

dalam masa kehamilan,

persalinan dan dalam

masa 42 hari (6

minggu) setelah

berakhirnya kehamilan

tanpa memandang usia

kehamilan maupun

tempat melekatnya

janin, oleh sebab apa

pun yang berkaitan

dengan atau diperberat

oleh kehamilan

atau pengelolaannya,

bukan akibat

kecelakaan

37
Umur usia responden dari Nominal Tahun

awal kelahiran

sampai pada saat

penelitian dilakukan

Tingkat Jumlah tahun yang Nominal Tahun

pendidikan pernah dijalani dalam

jenjang pendidikan

formal.

Paritas Jumlah Kehamilan yang Nominal Angka

diakhiri dengan

kelahiran bayi hidup

maupun lahir mati

Rujukan Pelimpahan wewenang Nominal Tepat

Obsteri dan tanggung jawab Tidak tepat

pengelolaan wanita

hamil, bersalin yang

dilakukan secara

vertika

4.7. Pengumpulan data

Dalam penelitian ini data yang di kumpulkan berasal dari, medical record ibu

hamil, melahirkan dan nifas yang dirujuk ke instalasi gawat darurat RSUP. Dr. M.

Djamil Padang periode 1 Januari- 31 Desember 2018.

38
4.8. Prosedur Penelitian

Tahap Persiapan

a. Mengupayakan surat izin penelitian dari Ketua Program Study

Pendidikan Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas

Andalas

b. Mengajukan surat izin penelitian kepada Direktur RSUP. Dr. M. Djamil

Padang melalui komite etik rumah sakit.

c. Pengumpulan data di Instalasi Medical Record RSUP. Dr. M. Djamil

Padang dibantu oleh 3 orang petugas medical record, dengan

mengunakan alat pengumpul data dalam bentuk lembar checklist dan

disupervisi oleh peneliti

Tahap Pengumpulan Data

a. Data pasien yang berasal dari rujukan dari 1 Januari- 31 Desember

2018, diambil dari rekap IGD RSUP. Dr. M. Djamil Padang

b. Kasus kematian maternal yang didapat medical record RSUP. Dr. M.

Djamil Padang.

c. Semua kasus kasus rujukan obsteri yang ada medical record-nya

(status) RSUP. Dr. M. Djamil Padang.

d. Data yang diambil dari medical record adalah sebagai berikut:

- alamat pasien.

- data surat rujukan.

- waktu pasien masuk IGD.

- waktu pasien masuk kamar bersalin.

- keluhan utama pasien.

39
- riwayat persalinan dan pertolongan sebelum dirujuk kerumah

sakit / data partograf.

- catatan pertolongan dikamar bersalin rumah sakit.

- waktu tindakan pertolongan definitive atau catatan seksio

sesarea.

- riwayat perjalanan penyakit setelah ditolong.

- penyebab medis kematian pasien.

- Catatan waktu kematian pasien.

e. Data diolah dan selanjutnya dilakukan analisis.

Tahap Pembuatan Laporan dan Penyajian Data

Setelah data terkumpul kemudian dilakukan pengolahan data, sehingga data

yang dikumpulkan memiliki sifat yang jelas dan dimasukkan ke dalam program

komputer untuk proses analisis data. Data dianalisis dan diinterpretasikan dengan

melakukan pengujian terhadap hipotesis, menggunakan program komputer SPSS

for Windows Release 10.0.

Etika Penelitian

Adapun etika dalam penelitian menurut Setiadi (2007) adalah sebagai berikut:

1. Informed Consent

Lembar persetujuan diedarkan sebelum penelitian dilaksanakan agar

responden mengetahui maksud dan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik, jumlah angka kematian

ibu dan faktor faktor yang mempengaruhi nya serta melakukan evaluasi pada

kasus kasus obstetri yang di rujuk ke Unit Gawat Darurat RSUP.Dr.M.Djamil

Padang dalam kurun waktu 1 Januari – 31 Desember 2018.

40
2. Tanpa Nama (Anonimity)

Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, peneliti tidak akan

mencantumkan nama subyek pada lembar pengumpulan data yang diisi oleh

subyek. Lembar tersebut hanya akan diberi inisial dari nama responden dan

nomor urut responden, sehingga identitas responden dapat terjaga.

3. Kerahasiaan (Confidentiality)

Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dari subjek dijamin

kerahasiaannya.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Azwar Azrul. (1996). Pengantar Administrasi Kesehatan.Jakarta. Binarupa


Aksara.
2. Afriani A. (2013). Kasus persalinan dengan bekas seksio sesarea menurut
keadaan waktu masuk di bagian Obstetrik dan Ginekologi RSUP Dr. M.
Djamil Padang (skripsi). Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
3. Allport dalam soekidjo Notoatmodjo (2010) komponen Pokok dalam
tingkatan sikap.
4. Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat. (2011) . Petunjuk Teknis
Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
5. Bloom dalam Notoadmojo S 2010. Ilmu perilaku. Jakarta: Rineke Cipta
6. Bahan Paparan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Sistem jaminan
Sosial Nasional. (2013).
7. Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam
Sistem Jaminan Sosial Nasional. 2014. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta.
8. Chamberlain G and Steer P. (1999). ABC of Labour Care: Obstetric
Emergencies. British Medical Journal.; 318 (7194) : 1342-1345.
9. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik. Pedoman 7. Kementerian
Kesehatan. (2007) Peraturan Menteri Rumah Sakit Pelayanan Obstetri
Neonatal Emergensi Kesehatan Republik Indonesia Nomor Komprehensif
(PONEK) 24 Jam. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
10. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2009). Sistem Kesehatan
Nasional Jakarta.
11. Idris, Fachmi. (2014) Panduan Praktis Sistem Rujukan Berjenjang. Jakarta:
BPJS Kesehatan.
12. Jabar, P. 2011. Pedoman Pelaksanaan Sistem Rujukan pelayanan
Kesehatan Provinsi Jawa Barat.
13. Kassebaum NJ, Bertozzi-Villa A, Coggeshall MS, et al. (2013). Global,
regional, and national levels and causes of maternal mortality during: a
systematic analysis for the global burden of disease study Lancet; 384: 980–
1004

42
14. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Sistem Rujukan
Terstruktur dan Berjenjang dalam Rangka Menyongsong Jaminan
Kesehatan Nasional (Regionalisasi Sistem Rujukan) Jakarta.
15. Kemenkes 2012, pelayanan kesehatan ibu dan anak, www.depkes.go.id
16. Latuamury, Siti Rabiah. (2001). Hubungan Antara Keterlambatan Merujuk
dengan Kematian Ibu di RSUD Tidar Kota Magelang Propinsi Jawa Tengah.
Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
17. McCarthy J and Maine D. 1992. A Framework for Analyzing the
Determinants of Maternal Mortality.
18. Murray SF, Davies S, Phiri RK, Ahmed Y. (2001) Tools for monitoring the
effectiveness of district maternity referral systems. Health Policy Plan, 16; p.
353-61.
19. Mundiharno, Thabrany H. (2012). Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan
Nasional. Jakarta
20. Nasution, S,A. (2003). Gambaran Penanganan Kasus Kedaruratan Obstetri ,
USU Digital Libarary, Medan.
21. Prawirohardjo (2009), pelayanan kesehatan maternal dan Neonatal, Jakarta
PT Bina Pustaka.
22. Pranoko & Dhanab halan. (2012). Sistem Rujukan Puskesmas Batealit
Jepara. Semarang
23. Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.
Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
24. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2013.
25. Permenkes. (2012) Peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia nomor
001 tahun 2012 tentang sistem rujukan pelayanan kesehatan perorangan.
26. Rochjat, P. (2011). Sistem Rujukan dalam Pelayanan Kesehatan Reproduksi
dalam. Bunga Rampai Obstetri dan Ginekologi Sosial. PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: Hal 258-75
27. Syafrudin, Hamidah. (2009). Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. Kebidanan komunitas. Jakarta : EGC.
28. Soedigdamarto, H.M. (1990). Menuju Kesehatan Reproduksi Bagi Semua
Wanita Indonesia dalam Majalah Obstetri Dan Ginekologi Indonesia: 217-24.
29. Saddiyah Rangkuti. (2015) .upaya menekan angka kematian ibu melahirkan.
Jurnal ilmiah Research Sains Vol.1 No. 3.
43
30. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN).
31. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS.

44

Anda mungkin juga menyukai