- Pendahuluan
- Patofisiologi
- Etiologi
- Epidemiologi
- Diagnosis
- Penatalaksanaan
- Prognosis
- Edukasi dan Promosi Kesehatan
Pendahuluan Delirium
Oleh dr. Paulina Livia
Delirium merupakan sindrom yang ditandai dengan gangguan kognitif dan atensi yang mendadak
dan reversibel.[1,2,3] Istilah “delirium” pertama kali digunakan pada Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorder (DSM) edisi III untuk menggambarkan disfungsi otak akut
(sebelumnya disebut acute confusional state/ACS, ensefalopati, acute brain failure, ICU psychosis,
atau subacute befuddlement).[4]
Delirium disebabkan berbagai kelainan proses di otak akibat inflamasi, penuaan, stres oksidatif,
ketidakseimbangan neurotransmiter, gangguan endokrin, dan gangguan tidur. Proses-proses
tersebut dapat dicetuskan oleh infeksi, kelainan metabolik, obat antikolinergik, zat psikoaktif,
alkohol, dan lain-lain. [2,5,6]
Kelompok lanjut usia (lansia) adalah kelompok yang rentan mengalami delirium. Gangguan ini
juga sering terjadi setelah penyakit akut, operasi, atau rawat inap. Prevalensi delirium pada pasien
rawat inap adalah 10–40%. [7] Sementara itu, suatu systematic review (2004–2012) menyatakan
bahwa delirium di luar rumah sakit hanya 1–2%. Riwayat gangguan struktur otak atau psikiatri
juga meningkatkan risiko delirium.[1,8-10] Delirium biasanya berhubungan dengan rawat inap
yang lebih panjang, kejadian komplikasi, peningkatan biaya, disabilitas jangka panjang, dan
peningkatan mortalitas.[8,9]
Gejala delirium muncul dalam hitungan jam hingga hari (setelah pencetus) dan berfluktuasi dalam
satu hari. Pada delirium dapat ditemukan gangguan pada:
Atensi
Kognitif, misal kehilangan ingatan, disorientasi, kesulitan berbicara, gangguan berbahasa,
gangguan visuo-spasial, gangguan persepsi
Motorik, seperti tremor, asterixis
Aktivitas, seperti penurunan atau peningkatan aktivitas, perubahan nafsu makan, gangguan tidur
Perilaku sosial, misalnya tidak kooperatif, menarik diri, dan perubahan mood [2-4,6,9,11]
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Kriteria diagnosis delirium berdasarkan DSM-5
adalah:
Gangguan atensi (yaitu penurunan kemampuan untuk mengarahkan, memfokuskan,
mempertahankan, dan mengubah atensi) dan kesadaran/awareness.
Perubahan kognitif (misalnya defisit memori, disorientasi, gangguan berbahasa, atau gangguan
persepsi) yang tidak disebabkan demensia sebelumnya atau perkembangan demensia.
Gangguan biasanya berkembang dalam periode singkat (beberapa jam hingga hari) dan cenderung
berfluktuasi dalam satu hari.
Ditemukan bukti dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang bahwa gejala
disebabkan respons fisiologis akibat kondisi medis, intoksikasi zat, penggunaan obat-obatan, atau
lebih dari satu penyebab. [3]
Berikut adalah beberapa instrumen diagnostik yang dapat digunakan untuk pasien delirium:
Diagnosis delirium
Dua tujuan utama dalam tata laksana kasus delirium adalah menangani gejala delirium dan
mencari serta mengobati etiologinya. Keduanya harus dilakukan secara bersamaan. Pendekatan
non-farmakologis untuk mengatasi delirium adalah:
Hingga saat ini, patofisiologi terjadinya delirium masih belum diketahui dengan jelas. Setidaknya
ada enam mekanisme yang diperkirakan terlibat.[5]
Neuroinflamasi
Inflamasi perifer (akibat infeksi, operasi, atau trauma) dapat menginduksi sel parenkim otak untuk
melepaskan sitokin inflamasi. Akibatnya, terjadi disfungsi neuron dan sinaps. Pada pasien
delirium, ditemukan peningkatan kadar CRP, IL-6, TNF-α, IL-1RA, IL-10, dan IL-8.[5,6]
Neuronal Aging
Proses penuaan menyebabkan berbagai perubahan pada otak, yaitu penurunan aliran darah dan
densitas vaskular; berkurangnya neuron; perubahan pada sistem transduksi sinyal; serta perubahan
neurotransmiter pengatur stres (stress-regulating neurotransmitters). Perubahan ini dapat
menyebabkan defisit kognitif, termasuk delirium. Hipotesis ini juga menjelaskan kerentanan
kelompok lansia mengalami delirium saat mengalami distres.[5]
Stres Oksidatif
Distres pada tubuh (misalnya: infeksi, sakit berat, atau kerusakan jaringan) akan meningkatkan
konsumsi oksigen sehingga ketersediaan oksigen dalam darah menurun. Tubuh melakukan
kompensasi dengan menurunkan metabolisme oksidatif di otak. Akibatnya, terjadi disfungsi otak
yang menimbulkan gejala delirium. Kondisi ini juga memicu terbentuknya oksigen dan nitrogen
reaktif yang memperparah kerusakan jaringan otak. Kerusakan ini bersifat menetap dan
menyebabkan komplikasi berupa penurunan kognitif permanen.[5]
Perubahan Neurotransmiter
Asetilkolin
Kadar asetilkolin ditemukan menurun pada pasien delirium. Kadar ini kembali normal setelah
pasien tidak lagi delirium. Selain itu, obat-obatan antikolinergik (penghambat asetilkolin) terbukti
dapat menyebabkan delirium.[2,5]
Dopamin
Dopamin dan asetilkolin memiliki hubungan resiprokal (berlawanan). Terjadi peningkatan kadar
dopamin pada delirium. Pemberian obat golongan penghambat dopamin juga dapat mengurangi
gejala delirium.[2,5]
Neurotransmiter Lain
Serotonin meningkat pada ensefalopati hepatik dan delirium septik. Agonis serotonin (obat
golongan halusinogen) juga dapat menyebabkan delirium.[2,5]
Glutamat dalam kadar tinggi berhubungan dengan kejadian delirium. Pada beberapa kondisi,
misalnya hipoksia dan gagal hati, terjadi peningkatan Ca2+. Akibatnya, terjadi pelepasan glutamat
berlebihan yang merusak neuron.[5]
Pada delirium, terjadi perubahan kadar gamma-aminobutyric acid (GABA) dan histamin.
Perubahan dapat berupa peningkatan atau penurunan, tergantung penyebab delirium.[5]
Neuroendokrin
Hipotesis ini menyatakan bahwa delirium merupakan reaksi stres akut akibat kadar kortisol yang
tinggi. Hormon ini berhubungan dengan peningkatan sitokin proinflamasi di otak dan kerusakan
neuron. Hipotesis neuroendokrin juga menjelaskan timbulnya delirium pada pasien yang
mendapat glukokortikoid eksogen.[5]
Disregulasi Diurnal
Gangguan siklus sirkadian dapat memengaruhi kualitas dan fisiologi tidur. Kekurangan tidur dapat
memicu munculnya delirium, defisit memori, dan psikosis.[5]
Melatonin adalah hormon pengatur siklus sirkadian. Suatu studi menunjukkan adanya hubungan
antara kadar melatonin yang rendah dan kejadian delirium. Studi lain mengatakan bahwa
pemberian melatonin eksogen pada pasien rawat inap mengurangi insiden delirium.[1,5]
Patofisiologi delirium. Sumber: anonim, Openi, 2012. Patofisiologi delirium. Sumber: anonim,
Openi, 2012.
Etiologi Delirium
Oleh dr. Paulina Livia
Delirium biasanya memiliki lebih dari satu etiologi sehingga dokter harus mencari setiap kelainan
yang dapat menyebabkan delirium. Etiologi delirium adalah sebagai berikut:
Hipoperfusi
Hipoksia
Hipoglikemia atau hiperglikemia
Keadaan hipoosmolar atau hiperosmolar
Dehidrasi
Ketidakseimbangan elektrolit
Gangguan asam-basa
Defisiensi vitamin (terutama tiamin dan sianokobalamin)
Gagal hati
Gagal ginjal
Gangguan hormon yang dihasilkan kelenjar tiroid, paratiroid, pankreas, pituitari, dan adrenal
Kerusakan Struktur di Otak
Delirium dapat juga disebabkan oleh kerusakan struktur otak, misalnya pada :
Antikolinergik
Narkotika
Sedatif (benzodiazepin)
Penghambat histamin
Kortikosteroid
Antiparkinson (levodopa)
Antihipertensi sentral (misalnya metildopa dan reserpin)
Penyebab Lainnya
Alkohol
Pascaoperasi
Hipotensi
Hipertermia atau hipotermia
Keracunan gas (karbon monoksida, sianida, atau hidrogen sulfida)
Luka bakar
Kurang tidur
Polifarmasi (>3 obat) [1,2,6]
Insidensi delirium paska CABG di Peking, Cina. Sumber: anonim, Openi, 2010. Insidensi
delirium paska operasi CABG di Peking, Cina. Sumber: anonim, Openi, 2010.
Faktor Risiko
Epidemiologi Delirium
Oleh dr. Paulina Livia
Epidemiologi delirium secara nasional di Indonesia belum diketahui. Secara global diperkirakan
prevalensi delirium pada pasien rawat inap adalah 10-40%.
Global
Delirium sering terjadi setelah penyakit akut, operasi, atau rawat inap. Prevalensi delirium pada
pasien rawat inap adalah 10–40%. Pada pasien lansia pasca operasi, prevalensinya adalah 30–
50%. Sementara itu, sekitar 80% pasien ICU yang memakai ventilator mengalami delirium.[8]
Hampir 20% pasien yang menjalani perawatan jangka panjang mengalami delirium.[9] Namun,
prevalensi delirium di luar rumah sakit cukup rendah, hanya 1–2%.[1]
Diagnosis Delirium
Oleh dr. Paulina Livia
Delirium sering kali tidak terdiagnosis (underdiagnosis). Suatu review menyatakan bahwa pada
tahun 2015, sekitar 60% delirium tidak terdiagnosis.[7] Berdasarkan DSM-5 kriteria diagnosis
delirium adalah:
Perubahan kognitif (misalnya defisit memori, disorientasi, gangguan berbahasa, atau gangguan
persepsi) yang tidak disebabkan demensia sebelumnya atau perkembangan demensia.
Gangguan biasanya berkembang dalam periode singkat (beberapa jam hingga hari) dan cenderung
berfluktuasi dalam satu hari.
Ditemukan bukti dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang bahwa gejala
disebabkan respons fisiologis akibat kondisi medis, intoksikasi zat, penggunaan obat-obatan, atau
lebih dari satu penyebab. [3]
WHO juga mengeluarkan kriteria diagnosis, yaitu International Statistical Classification of
Diseases and Related Health Problems.[7]
Penatalaksanaan Delirium
Oleh dr. Paulina Livia
Dua tujuan utama penatalaksanaan kasus delirium adalah menangani gejala delirium dan mencari
serta mengobati etiologinya. Keduanya harus dilakukan secara bersamaan.[6]
Referensi
1. S. K. Inouye, R. G. J. Westendorp, J. S. Saczynski, Lancet, 2014, 383 (9920) 911-922.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4120864/
7. S. Esther, G. Tamara, Fong, T. T. Hshieh, S. H. Inouye, JAMA, 2017, 318 (12) 1161-1171.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28973626
17.J. Francis, G.B. Young, Patient education: Delirium (Beyond the Basics), , 2014.