Anda di halaman 1dari 4

Teknik analisis data folklor

Teknik analisis data folklor cukup terbuka. Artinya, banyak cara yang dapat dimanfaatkan untuk
menemukan makna; paling tidak, jika digolongkan teknik analisis data meliputi dua hal:

1. Teknik mandiri, artinya menganalisis data folklore tanpa memerhatikan unsur lain
2. Teknik interdisiplin, artinya menganalisis sebuah folklore dengan mengaitkannya dengan
unsur kebudayaan atau bentuk (gendre) folklor lainnya, dapat membantu merekontruksi
watak bangsa. Dan memang watak bangsa dipengaruhi oleh budaya koletif yang
bersangkutan. (Endaswara, 2009).

Analisi Induktif

Data-data yang telah terkumpul kemudian dianalisis secara induktif, yaitu analisis data yang
spesifik dari lapangan menjadi unit-unit dilanjutkan dengan kategorisasi. (Muhadjir 2000: 149)
analisis induktif digunakan untuk menilai dan menganaliasis data yang telah difokuskan pada
folklor upacara adat. Data tersebut adalah asal usul upacara adat, prosesi upacara adat, dan makna
simbolis yang terkandung didalam upacara adat, serta fungsi folklor upacara adat

Analisis ini dimulai dengan menelaah data sesuai dengan fokus penelitian yang tersedia dari
berbagai sumber. Misalnya dari observasi berpartisipasi, wawancara mendalam yang sudah
dituliskan dalam catatan lapangan, gambar, dan foto. Setelah data-data tersebut dibaca, dipelajari,
dan ditelaah selanjutnya membuat abstraksi. Abstraksi merupakan usah membuat rangkuman inti,
proses, dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya. Langkah
selanjutnya adalah menentukan satuan-satuan data yang kemudian satuan-satuan tersebut
dikategorisasikan. Kategori-kategori itu dilakukan sambil mengadakan perbandingan
berkelanjutan untuk menentukan kategori selanjutnya. Setelah selesai tahap ini kemudian
mulai dengan menafsirkan data dan membuat kesimpulan akhir.

Analis Strutural

Analisis struktural berusaha mengidentifikasikan dan mendeskripsikan unsur-unsur


struktural seperti tokoh, alur, latar, dan sudut pandang serta keterkaitan antar unsur sebagai
satu keutuhan makna. Data-data diperoleh melalui pencatatan, kemudian data dianalisis
maknanya berdasarkan kriteria unsur struktural seperti tokoh, alur, latar, dan sudut pandang. Hasil
penelitian dideskripsikan menjadi kesimpulan penalitian. (Bella 2013: 33)
Pendekatan struktural pertama kali dikembangkan oleh kaum Formalis Rusia antara 1915-1930
(Teeuw, 1988: 128). Wiyatmi (2006: 89) menambahkan bahwa latar belakang munculnya
pendekatan struktural adalah untuk membebaskan ilmu sastra dari kekangan ilmu-ilmu lain, seperti
psikologi, sejarah, dan penelitian kebudayaan. Endraswara (2003: 50) mengatakan bahwa
strukturalisme merupakan cabang penelitian sastra yang tidak terlepas dari aspek-aspek linguistik
seperti halnya Aristoteles yang telah mengenalkan strukturalisme dengan konsep: wholeness,
unity, complexity, dan coherensi. Hal ini menganggap bahwa keutuhan makna bergantung pada
koherensi keseluruhan unsur sastra karena masing-masing unsur memiliki pertautan yang
membentuk sistem makna.

Lévi-Strauss (dalam Shri, 2001: 71) beranggapan bahwa dengan paradigma struktural, dia tidak
hanya akan dapat mengungkapkan makna-makna (dalam pengertian simbolis dan semiotis) mitos-
mitos tersebut, tetapi juga akan mampu mengungkapkan logika yang ada di balik mitos-mitos itu.
Shri membagi beberapa asumsi-asumsi dasar yang harus dipahami dalam strukturalisme Lévi-
Strauss. Asumsi-asumsi dasar tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pertama, dalam strukturalisme ada anggapan bahwa berbagai aktivitas sosial dan hasilnya
seperti dongeng, upacara-upacara, sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat
tinggal, pakaian dan sebagainya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-
bahasa atau lebih tepatnya merupakan perangkat tanda dan simbol yang menyampaikan
pesan-pesan tertentu.
2. Kedua, penganut strukturalisme beranggapan bahwa dalam diri manusia terdapat
kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis sehingga kemampuan ini ada pada
semua manusia yang normal, yaitu kemampuan untuk structuring, untuk menstruktur,
menyusun suatu struktur atau menempelkan suatu srtuktur tertentu pada gejala-gejala yang
dihadapinya.
3. Ketiga, mengikuti pandangan dari Saussure yang berpendapat bahwa suatu istilah
ditentukan maknanya oleh relasi-relasinya pada suatu titik waktu tertentu, yaitu secara
sinkronis, dengan istilah-istilah yang lain, para penganut strukturalisme berpendapat
bahwa relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena-fenomena yang lain pada
titik waktu tertentu inilah yang menentukan makna fenomena tersebut.
4. Keempat, relasirelasi yang berada pada struktur dalam dapat diperas atau disederhanakan
lagi menjadi oposisi berpasangan (binary opposition) yang paling tidak punya dua
pengertian (oposisi binair yang bersifat eksklusif seperti misalnya pada p dan –p seperti:
menikah dan tidak menikah; oposisi binair yang tidak eksklusif, yang kita temukan dalam
berbagai macam kebudayaan, seperti misalnya oposisi-posisi: air-api, gagak-elang, siang-
malam, matahari-rembulan dan sebagainya (Shri, 2001: 67-70).

Sebagai serangkaian tanda-tanda dan simbol-simbol, fenomena budaya pada dasarnya juga dapat
ditanggapi dengan cara seperti yang diasumsikan oleh kaum strukturalis di atas. Dengan metode
analisis struktural makna-makna yang dapat ditampilkan dari berbagai fenomena budaya dianggap
akan dapat menjadi lebih utuh (Shri, 2001: 71).

Levi-Strauss (dalam Shri, 2001: 61) mengatakan bahwa struktur adalah model yang dibuat oleh
ahli antropologi untuk memahami atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya, yang
tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan itu sendiri. Model ini merupakan
relasirelasi yang berhubungan antara satu dengan yang lain atau saling memengaruhi satu sama
lain.

Jean Peaget (dalam Endraswara, 2003: 50) menyatakan bahwa strukturalisme mengandung tiga
hal pokok. Pertama, gagasan keseluruhan (wholness) yang berarti bahwa bagian-bagian atau
unsurnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan baik
keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya. Kedua, gagasan transformasi (transformation),
struktur ini menyanggupi prosedur transformasi yang terus menerus memungkinkan pembentukan
bahan-bahan baru. Ketiga, gagasan keteraturan yang mandiri (self regulations) yaitu tidak
memerlukan hal-hal di luar dirinya untuk mempertahankan prosedur transformasinya, struktur
otonom terhadap rujukan sistem lain.

Burhan Nurgiyantoro, Pradopo (2005: 118) mengemukakan bahwa struktur merupakan susunan
unsur-unsur yang bersistem di mana antara unsur yang satu dengan yang lainnya itu menunjukkan
hubungan/kaitan timbal balik dan saling menentukan. Nurgiyantoro (2005: 37) menyatakan bahwa
analisis struktur karya sastra (fiksi) dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan
mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Hal-hal yang
diidentifikasi dan dideskripsikan misalnya adalah bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, tokoh
dan penokohan, plot/alur, sudut pandang, dan lain-lain.
Setelah kegiatan identifikasi dan deskripsi dilakukan, dijelaskan bagaimana fungsi masing-masing
unsur itu dalam menunjang makna keseluruhannya dan bagaimana hubungan antar unsur itu secara
bersama-sama membentuk sebuah totalitas kemaknaan yang padu. Teeuw (1988: 135-136)
berpendapat bahwa analisis struktural bukanlah penjumlahan semua anasir dan aspek karya sastra
melainkan membongkar seberapa penting sumbangan yang diberikan oleh semua gejala pada
keseluruhan makna dalam keterkaitan dan keterjalinannya.

Daftar Pustaka

Endaswara Swardi. 2009. Metode Penelitian Folklor. Yogyakarta. Medpress

Sulistyono Edi. 2013. Kajian Folklor Upacara Adat Mertitani Di Dusun Mandang Desa
Sucen Kecamatan Gemawang Kabupaten Temanggung. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta.

Bella Gitta. 2013. Analisis Struktural Roman Das Austauschkind Karya Christine
Nöstlinger. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai