Anda di halaman 1dari 6

Harus diakui, pelayanan kesehatan pada dasarnya adalah untuk menyelamatkan pasien

sesuai dengan yang diucapkan Hipocrates kira-kira 2400 tahun yang lalu yaitu “Primum, non
nocere” (First, do no harm). Namun diakui dengan semakin berkembangnya ilmu dan teknologi
pelayanan kesehatan khususnya di rumah sakit menjadi kompleks dan berpotensi terjadinya
Kejadian Tidak Diharapkan - KTD (Adverse Event) apabila tidak dilakukan dengan hati-hati.

Di rumah sakit terdapat ratusan macam obat, ratusan tes dan prosedur, banyak alat dengan
teknologinya, bermacam jenis tenaga profesi dan non profesi yang siap memberikan pelayanan
24 jam terus-menerus. Keberagaman dan kerutinan pelayanan tersebut apabila tidak dikelola
dengan baik dapat terjadi KTD.

Pada Tahun 2000 Institute of Medicine (IMO) di Amerika Serikat menerbitkan laporan yang
mengagetkan banyak pihak: “To err is human, building a safer health system”. Angka kematian
akibat KTD pada pasien rawat inap di seluruh Amerika berjumlah 33,6% juta per tahun berkisar
44.000 – 98.000 per tahun. Publikasi WHO pada Tahun 2004, mengumpulkan angka-angka
penelitian rumah sakit di berbagai negara Amerika, Inggris, Denmark dan Australia, ditemukan
KTD dengan rentang 3,2 – 16,6%

Laporan IOM menyimpulkan 4 hal pokok:

a) Masalah accidental injury adalah serius,

b). Penyebabnya bukan kecerobohan individu, tetapi kesalahan sistem,

c) Perlu redesign sistem pelayanan,

d) Patient Safety harus menjadi prioritas nasional

(Depkes, 2008; Kohn, C dkk, 2000).

Pelayanan keperawatan merupakan pelayanan 24 jam dan terus-menerus dengan jumlah


tenaga keperawatan yang cukup banyak, berada di berbagai unit kerja rumah sakit. Dalam
memberikan pelayanan keperawatan kepada pasien, perawat melakukan prosedur / tindakan
keperawatan yang banyak dan menimbulkan resiko salah begitu besar. Perawat dalam
melaksanakan praktik keperawatan berkolaborasi dengan tim kesehatan lain, dalam pemberian
terapi berpotensi melakukan suatu kesalahan jika tidak mempunyai tingkat pengetahuan dan
kesadaran yang tinggi bahwa tindakan yang dilakukan akan memberikan efek negatif pada
pasien.

Manajemen resiko klinik merupakan bagian integral dari proses asuhan keperawatan. Saat ini
sudah ada pelaporan kejadian di berbagai rumah sakit, tetapi belum dilakukan analisis untuk
perbaikan sistem (redesign) pelayanan.
Keselamatan pasien (patient safety) adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan
pasien lebih aman, mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. Sistem
tersebut meliputi pengenalan resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan
dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden, tindak
lanjut dan implementasi solusi untuk meminimalkan resiko (Depkes 2008).

Upaya keselamatan pasien merupakan bagian tak terpisahkan dari proses asuhan
keperawatan. Area praktek keperawatan yang berbasis pada keselamatan pasien meliputi :

A. Standar Praktik (Asuhan keperawatan)

Setiap perawat mempunyai tanggung jawab melakukan :

1. Assesment (Pengkajian) : Status kesehatan pasien saat ini dan masa lalu serta potensi resiko
(keselamatan pasien)

2. Diagnosa : menetapkan diagnosa/ masalah keperawatan

3. Planning : Rencana asuhan keperawatan

4. Implementation : Pelaksanaan asuhan sesuai rencana

5. Evaluation : evaluasi terhadap respon pasien dan outcome

B. Standars Of Care : Safety

Setiap perawat menerapkan prinsip Sasaran Keselamatan Pasien (International Patient Safety
Goals) :

1. Ketepatan Identifikasi Pasien

Kesalahan karena keliru pasien sebenarnya terjadi di semua aspek diagnosis dan pengobatan.
Keadaan yang dapat mengarahkan terjadinya error / kesalahan dalam mengidentifikasi pasien
adalah pasien yang dalam keadaan terbius / tersedasi, mengalami dis-orientasi, atau tidak sadar
sepenuhnya; mungkin bertukar tempat tidur, kamar, lokasi di dalam rumah sakit atau akibat
situasi lain.

Perawat harus mengidentifikasi seluruh pasien yang dirawat di RS dengan benar :

a. Memastikan identitas pasien sebagai individu yang akan menerima pelayanan atau
pengobatan
b. Memastikan kesesuaian pelayanan atau pengobatan terhadap individu tersebut

c. Proses identifikasi dilakukan untuk mengidentifikasi pasien pada saat :

o Pemberian obat, darah atau produk darah

o Pengambilan darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis; atau

o Tindakan lain (pembedahan, non pembedahan, pemeriksaan klinis dan penunjang)

d. Identifikasi pasien mencakup 3 detail wajib yaitu Nama pasien, Tanggal lahir / umur, Nomor
rekam medis pasien.

2. Peningkatan Komunikasi Efektif

Komunikasi yang efektif, tepat waktu, akurat, lengkap dan jelas dan dipahami oleh penerima
pesan akan mengurangi kesalahan dan menghasilkan peningkatan keselamatan pasien.
Komunikasi dapat secara elektronik, lisan atau tertulis. Komunikasi yang paling mudah
mengalami kesalahan adalah perintah diberikan secara lisan dan melalui telepon.

a. Komunikasi secaran lisan dan atau melalui telepon dilakukan dengan metode T B K :

§ Penerima perintah menulis perintah ( T )

§ Penerima perintah membacakan kembali perintah yang ditulis dan menanyakan kebenaran
isi perintah ( B )

§ Pemberi perintah memberikan konfirmasi kebenaran perintah yang telah ditulis dan telah
dibacakan kembali tersebut ( K )

§ Pemberi perintah harus sudah memberikan konfirmasi langsung dengan cara


membubuhkan tanda tangan dalam waktu 24 jam sejak pemberian perintah

b. Komunikasi pelaporan pelayanan dilakukan dengan metode S B A R

§ S (SITUATION) : Kondisi terkini yang terjadi pada pasien

§ B (BACKGROUND) : Informasi penting apa yang berhubungan dengan kondisi pasien

§ A (ASSESMENT) : Hasil pengkajian / penilaian kondisi pasien terkini

§ R (RECOMMENDATION) : Apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah pasien saat ini
3. Peningkatan Keamanan Obat Yang Perlu Diwaspadai

a. Obat yang harus diwaspadai adalah obat yang sering menyebabkan terjadi kesalahan /
kesalahan serius (sentinel event) serta obat yang beresiko tinggi menyebabkan dampak yang
tidak diinginkan (adverse outcome) yaitu elektrolit konsentrat + obat-obat yang terlihat mirip
dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip/ NORUM, atau Look Alike Sound
Alike / LASA)

b. Semua obat High Alert Medication harus memiliki identifikasi dan penandaan khusus dan
dikelola oleh petugas yang kompeten terhadap obat-obat yang dimaksud (apoteker / tenaga
kefarmasian)

c. Tempat penyimpanan obat-obat dalam kelompok ini khususnya elektrolit konsetrat di


Instalasi Farmasi, IRIN, IBS, IRJ, Kamar Bersalin (khususnya magnesium sulfat). Dimana obat-
obat dimaksud diberi tempat tersendiri / khusus.

d. Verifikasi ulang sebelum obat diberikan kepada pasien harus dilakukan meliputi ketepatan
pasien, obat, dosis, waktu serta cara pemberian

e. Syarat pemberian obat-obat yang perlu diwaspadai adalah mampu melakukan monitoring
efek samping, tersedia protokol pengelolaan efek samping dan tersedia antidotumnya.

4. Kepastian Tepat Lokasi, Tepat Prosedur, Tepat Pasien Operasi

a. Proses Verifikasi

1) Merupakan proses untuk mengidentifikasi hal-hal yang harus tersedia pada saat tindakan
pembedahan, terdiri dari :

§ Dokumen-dokumen yang terkait dengan tindakan pembedahan :

ü Assesmen pra operasi, diagnosis pra operasi, rencana operasi dan rencana anesthesi

ü Infomed Consent yang sudah ditanda tangani oleh pasien/ keluarganya, dokter operator
dan dokter anesthesi.

§ Hasil pemeriksaan penunjang (radiologi, laboratorium, dll)

§ Alat-alat atau bahan khusus yang perlu disiapkan pada saat tindakan seperti implan, tranfusi
darah, dll
2) Mencocokkan hal-hal tersebut diatas dengan pasien

3) Proses verifikasi sedapat mungkin dilakukan dengan melibatkan pasien

4) Proses verifikasi dicatat dalam lembar verifikasi

5) Proses verifikasi dilakukan sebelum pasien masuk kamar operasi

b. Penandaan Lokasi Prosedur (Marking)

Semua pasien yang akan dioperasi dimana lokasi operasi memiliki lateralisasi (sisi kanan dan
kiri), struktur ganda (jari-jari tangan, kaki, lesi) atau tingkatan berlapis (tulang belakang, tulang
iga) harus dilakukan pemberian “Surgical Site Marking”.

c. Time Out

* RS melaksanakan Time Out dalam rangkaian prosedur keselamatan pasien bedah terstandar
yang diadaptasi dari WHO – surgical Safety Checklyst berupa :

- Sign In

- Time Out

- Sign In

* Proses Time Out harus diikuti oleh seluruh anggota tim yang terlibat dalam prosedur bedah
atau prosedur invasif

* Check list keselamatan bedah harus dilakukan dan dilengkapi untuk seluruh pasien yang
menerima tindakan bedah atau prosedur invasif lainnya.

* Tindakan Time Out dilakukan sebelum prosedur invasif atau sebelum dilakukan insisi.

5. Pengurangan Resiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan

Infeksi umumnya dijumpai dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi
saluran kemih – terkait kateter, infeksi aliran darah (blood stream infections) dan pneumonia
(seringkali dihubungkan dengan ventilasi mekanis).

Pokok dari eliminasi infeksi adalah cuci tangan (hand hygiene) yang tepat.
a. Kebersihan tangan merupakan proses membersihkan tangan dengan menggunakan sabun
dan air yang menghalir (hand wash) atau dengan menggunakan antiseptik berbasis alkohol
(hand rub)

b. Semua orang yang berada di RS wajib menjaga dan melaksanakan kebersihan tangan

c. Rumah Sakit memfasilitasi sarana prasarana kebersihan tangan yang dibutuhkan.

6. Pengurangan Resiko Pasien Jatuh

a. Perawat wajib melakukan pengkajian resiko jatuh untuk setiap pasien yang dirawat, guna
meminimalkan resiko jatuh dengan metode “Morse Fall” untuk pasien dewasa dan metode
“Humpty Dumpty” untuk pasien anak.

b. Pengurangan resiko jatuh dilakukan dengan memberikan identifikasi jatuh pada setiap
pasien, memberikan intervensi pada pasien yang beresiko serta memberikan lingkungan yang
aman.

Kesimpulan

Pelayanan keperawatan adalah bagian integral dari pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Keselamatan pasien dalam keperawatan merupakan bagian integral dari program


keselamatan pasien rumah sakit.

Peran perawat dalam pelaksanaan Sasaran Keselamatan Pasien perlu dioptimalkan dalam
rangka peningkatan mutu dan keselamatan pasien.

Perawat di semua level harus disamakan dulu persepsinya khususnya dalam pemahaman
Sasaran Keselamatan Pasien agar memberikan konstribusi yang optimal dan proses
membangun “budaya” keselamatan pasien.

Kompetensi perawat dan sistem pelayanan perlu dibangun untuk mencegah medical error
oleh perawat

Anda mungkin juga menyukai