Anda di halaman 1dari 6

Peroneal Palsy

A. DEFINISI
Peroneal palsy adalah keadaan yang ditandai dengan penurunan fungsi
sensorik dan motorik pada tungkai bawah, akibat lesi pada nervus peroneal. Nama
lain dari peroneal palsy adalah peroneal neuropati atau peroneal nerve
injury.Peroneal neuropati adalah mononeuropathy yang paling sering ditemui dalam
ekstremitas bawah dan neuropati fokal ketiga yang paling umum ditemui secara
keseluruhan, setelah median dan ulnar neuropati.2 Peroneal nerve injury paling
sering diakibatkan oleh duduk bersilang kaki yang mana menyebabkan saraf peroneal
terjepit antara caput fibula dan condylus femur externa serta patella pada tungkai
yang berlawanan.

B. EPIDEMIOLOGI
Pada suatu penelitian memperkirakan bahwa prevalensi neuropati perifer pada
tingkat kedokteran keluarga sebesar 8 persen pada usia 55 tahun atau lebih.prevalensi
pada populasi dapat sekitar 2.4 persen. Penelitian lain mengatakan prevalensi
neuropati pada pasien diabetes millitus tipe 2 sebesar 26.4 %.

C. ETIOLOGI
Peroneal nerve palsy paling sering diakibatkan oleh duduk bersilang kaki yang
mana menyebabkan saraf peroneal terjepit antara caput fibula dan condylus femur
externa serta patella pada tungkai yang berlawanan. Kondisi ini lebih sering terjadi
pada mereka dengan penurunan berat badan yang sangat atau pada masa konvalesen
dari suatu penyakit atau tindakan operasi. Hilangnya lemak (fat) yang sangat akan
mengurangi proteksi terhadap saraf tersebut, sedangkan penurunan berat badan
memungkinkan pasen merasa enak (comfortable) dengan duduk bersilang kaki.
Kebiasaan duduk bersilang kaki dapat menimbulkan dimple sign yang terdiri dari
daerah pressure atropi berbentuk oval yang mengenai jaringan sampai ke saraf
peroneal di caput fibula. Selain itu beberapa pekerjaan yang memerlukan berjongkok
atau bersujud, seperti bertani, penambang akan meningkatkan tekanan pada saraf
terhadap collum fibula sehingga menyebabkan terjadinya occupational peroneal palsy
juga gangguan fungsi saraf peroneal dapat terjadi setalah mengalami keseleo atau
terkilir pada pergelangan kaki. Mekanisme lain yang diketahui sebagai penyebab
peroneal nerve palsy adalah trauma langsung, dislokasi lutut, fraktur tibia dan fibula,
myxedema pretibial, intoksikasi ergot dan malposisi diatas meja operasi. Lokalisasi
lesi sebagian besar ditemukan pada collum fibula tempat saraf tersebut bercabang
menjadi N.Peroneal superficial dan profunda. Pada daerah ini tampaknya saraf
tersebut paling mudah mengalami kompresi atau stretching.

D. PATOFISIOLOGI
N.Peroneus tersusun oleh serabut-serabut fasikel dan dipisahkan oleh jaringan
ikat, ruang interfasikular dan jaringan ikat yang elastis, keadaan ini memberikan
bantalan sebagai proteksi terhadap tekanan. Serabut-serabut saraf yang terletak
superfisial terahdap tekanan. Serabut-serabut saraf yang terletak superfisial agaknya
melindungi serabut-serabut saraf yang letaknya lebihdalam. Di lain pihak jika tenaga
mekanik externa terjadi secara tangensial atau jika ada cedera terbatas yang
disebabkan oleh pergerakan saraf tubuh terhadap permukaan tulang yang keras,
beberapa fasikel dapat terkena, sedangkan lainnya selamat. Saraf-saraf yang
mempersarafi otot adalah lebih rentan dari pada saraf kulit terhadap efek kompresi.
Perbedaan ini mungkin karena adanya perbedaan sifat biokimiawi dan
komposisi serabut yang terdapat di antara otot dan saraf kulit. Kepentingan komposisi
serabut saraf dikatakan bahwa serabut-serabut tebal yang bermyelin kurang tahan
terhadap tekanan daripada serabut yang tipis dan serabut bermyelin lebih mudah rusak
dari pada serabut saraf yang tidak bermyelin dan 75% serabut saraf kulit adalah tidak
bermyelin. Perbedaan dalam komposisi dan kerentanan terhadap tekanan dapat
menpengaruhi efek tekanan secara keseluruhan pada saraf otot dan saraf kulit. -
Meningkatnya kerentanan saraf terhadap cedera tekanan Sekali saraf tepi itu rusak
oleh karena penyakit, maka saraf tersebut menjadi lebih sensitif terhadap efek
tekanan. Jadi pada pasen yang menderita malnutrisi, alkoholisme, diabetes, gagal
ginjal, atau Guillain-Barre Syndrome sering terjadi komplikasi pressure neuropathy.
Kelainan tersebut biasanya tampak pada saraf yang lazim berpeluang terkena tekanan.
Penyebab meningkatnya kerentanan tetap tidak diketahui. Disamping itu faktor
genetik juga berperan sebagai predisposisi timbulnya pressure neuropati.
E. KRITERIA DIAGNOSIS
 Anamnesa dan pemeriksaan fisik
Ketika pasien datang dengan gejala mati rasa pada daerah distal, gringgingan
dan nyeri, atau kelemahan, langkah pertama adalah menentukan apakah gejala
merupakan neuropati perifer atau lesi pada CNS dan apakah yang terlibat satu akar
saraf, multipel atau pleksus perifer terlibat. Lesi CNS biasanya diikuti oleh gejala lain
seperti gangguan bicara, pandangan doble, ataksia, keterlibatan saraf cranialis, pada
kasus mielopati didapatkan gangguan pencernaan dan fungsi kandung kemih. Reflek
tendon dalam biasanya meningkatdan tonus otot spastik. Lesi pda serabut saraf perifer
biasanya asimetris, sesuai dermatom sensorik dan dapat berhubungan dengan nyeri
leher dan nyeri punggung belakang.
Setelah ditentukan bahwa lesi terjadi pada saraf perifer, langkah berikutnya
mencari etiologi dan mengekslusi penyabab lainnya yang mungkin terjadi karena
keracunan, gangguan nutrisi, gangguan demielinisasi yang berupa inflamasi ataupun
yang berhubungan dengan imunologi.selanjudnya perlu ditentukan karakteristik dari
neuropati apakah suatu gejala yang kronis, bagaimana pola dan ekstremitas mana
yang terlibat, tipe serabut fiber yang terlibat (sensoris, motorik, atau automom)

 Gejala
Pada tingkatan neuropati yang dini, pasien biasanya mengalami gejala yang
progresif termasuk hilangnya sensorik, mati rasa, nyeri atau rasa terbakar pada
tungkai distal dengan distribusi yang disebut stocking dan glove. Seiring
bertambahnya waktu mati rasa dapat meluas pada progsimal dan didapatkan
kelemahan ototdistal dan atrofi. Pada gangguan yang menyebabkan perifer neuropati
yang akut, seperti pada kasur terpapar bahan toksin, pasien mungkin akan mengalami
gejala mirip dengan gejala yang lebih fulminan, ras nyeri lebih dominan, dengan
progresifitas gejala yang lebih cepat dibandingkan penyebab lainya. Pada jenis
gangguan lain, seperti pada akut dan demyelinating polyneuropathy,kelemahan
motorik lebih dominan dari pada hilangnya sensasi sensorik dan dapat menjadi tanda
yang muncul pertama kali pada kasus ini.
 Elektromiografi
 Yang terpenting yaitu adanya perubahan amplitudo
 Adanya blok konduksi dan kegagalan konduksi saraf
 Menurunnya kecepatan hantaran saraf
 Meningkatnya distal latency
 Memperlihatkan tanda-tanda denervasi

 Imaging dan pengujian elektrodiagnostik
Radiografi polos dari lutut dan pergelangan kaki harus diperoleh untuk
mengevaluasi fraktur bersamaan, lesi massa, atau arthritis jika sejarah menunjukkan
salah satu etiologi tersebut. Lumbar MRI dapat memberikan bukti radikulopati L5 jika
radiografi negatif. Lutut dan pergelangan kaki MRI dapat lebih menjelaskan lesi
tulang atau menunjukkan ganglia intraneural. Dalam rangka untuk melihat anatomi
dari saraf yang sebenarnya, 3-tesla MRI diperlukan. Mesin ini sekarang menjadi
tersedia di pusat-pusat besar. Kim dan kelompoknya menunjukkan bahwa lutut MRI
harus dilakukan dalam semua kasus non-traumatik kelumpuhan saraf peroneal sejak
ganglia intraneural mungkin etiologi yang paling umum. Teknik lain yang lebih baru
untuk menilai daerah sekitar kepala fibula adalah sonografi resolusi tinggi. Visser
menunjukkan bahwa USG merupakan cara yang mudah dan mudah untuk
mengevaluasi saraf peroneal umum di lokasi yang dangkal .
Studi Electrodiagnostic membantu mengkonfirmasikan diagnosis neuropati
peroneal, termasuk diagnosis alternatif, dan menentukan prognosis. Pemeriksaan yang
disarankan termasuk bermotor studi konduksi saraf dari saraf peroneal dan saraf
tibialis dan studi konduksi saraf sensorik dari sural dan dangkal saraf peroneal. Secara
umum, jika lesi melibatkan demielinasi, perlambatan fokal atau konduksi blok (rugi
amplitudo pada situs stimulasi yang lebih proksimal) dapat dilihat. Jika lesi akibat
hilangnya akson, senyawa otot aksi amplitudo potensial akan menurun pada semua
situs stimulasi. Jarum ujian elektromiografi lanjut dapat melokalisasi lesi. Otot rutin
diperiksa untuk penelitian ini meliputi dua otot dipersarafi oleh saraf peroneal dalam,
satu otot diinervasi oleh saraf peroneal dangkal, tibialis posterior, otot lain dipersarafi
oleh saraf tibialis (yaitu, gastrocnemius medial), dan kepala pendek biseps femoris.
Jika salah satu otot disuplai oleh saraf peroneal tidak normal, otot lebih lanjut
diberikan oleh akar saraf L5 tetapi tidak saraf peroneal (yaitu, tibialis posterior) harus
dievaluasi untuk mengecualikan radiculopathy, plexopathy lumbosakral, atau sciatic
neuropati.

F. DIAGNOSA BANDING
 Radikulopati L5
 Post operasi pinggul
 High aciatic mononeuropathy yang mengenai serabut peroneus kommunis.

G. TATALAKSANA
Konservatif yaitu dengan mengistirahatkan kaki dan menghindari faktorfaktor
kompresi seperti menyilangkan kaki. Tindakan bedah diperlukan jika terdapat lesi
akibat terdapat suatu masa yang mengkrompresi saraf, membebaskan saraf yang
tertambat atau terjepit, dan jika terjadi trauma terbuka dan tumpul yang berat dan
mengkompresi saraf.

H. PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI


Dekompresi saraf peroneal komunis adalah prosedur yang berguna untuk
memperbaiki sensasi dan kekuatan serta mengurangi nyeri. Sebuah studi retrospektif
mengevaluasi faktor prognostik elektrodiagnostik setelah cedera saraf peroneal pada
39 sunjek penelitian. Hasil ini dikaitkan dengan potensial aksi respon otot ekstensor
digitorum brevis dan tibialis anterior: 81% subyek dengan respon tibialis anterior dan
94% dengan ekstensor digitorum brevis memiliki respon yang baik (setidaknya 4 dari
5 pergelangan kekuatan dorsofleksi) dibandingkan dengan mereka yang tidak
berespon baik. Selain itu, semua pasien dengan kompresi nontraumatik memiliki hasil
yang baik. Komplikasi dari penyakit ini yaitu berkurangnya kemapuan berjalan dan
sensasi serta kelemahan atau paralisis pada tungkai bawah dan kaki secara permanen.
DAFTAR PUSTAKA

1. Preston DC, Shapiro BE. Neuropati peroneal. Dalam: Elektromiografi dan


neuromuskuler gangguan. Philadelphia: Elsevier; 2005. hlm 343-54.
2. Agarwal, P. 2012. Peroneal Mononeuropathy. http://emedicine.medscape.com
3. dr.Sri Budhi Rianawati Sp. Buku Ajar Neurologi. Edisi Pertama 2017. ISBN 978-602-
271-082-0. Hal 139-152.

Anda mungkin juga menyukai