Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Spondylosis Lumbalis

1. Definisi Spondylosis Lumbalis

Spondylosis lumbalis adalah suatu keadaan ditemukan degenerasi progresif diskus

intervertebra yang mengarah pada perubahan tulang vertebrae dan ligament, menyempitnya

foramen intervertebralis dari depan karena lipatan ligament longitudinal posterior atau

karena osteofit, sedangkan dari belakang karena lipatan ligament flavum, degenerasi diskus

akan merangsang pembentukan osteofit, yang bersama-sama dengan

pembengkakan/penebalan jaringan lunak menekan medula spinalis atau saraf spinal

(Satyanegara, 2010).

Spondylosis lumbalis seringkali merupakan hasil dari osteoarthritis atau spur tulang yang

terbentuk karena adanya proses penuaan atau degenerasi. Proses degenerasi umumnya

terjadi pada segmen L4 – L5 dan L5 – S1. Komponen-komponen vertebra yang seringkali

mengalami spondylosis adalah diskus intervertebralis, facet joint, corpus vertebrae dan

ligament (terutama ligament flavum) (Regan, 2010).

2. Anatomi dan Fisiologi Vertebrae

Vertebrae dibagi dalam dua bagian. Di bagian ventral terdiri atas corpus vertebrae yang

dibatasi satu sama lain oleh discus intervebralis dan ditahan satu sama lain oleh ligamen

longitudinal ventral dan dorsal. Bagian dorsal tidak begitu kokoh dan terdiri atas masing

masing arcus vertebrae dengan lamina dan pedikel yang diikat satu sama lain oleh berbagai

ligament di antaranya ligament interspinal, ligament intertransversa dan ligament flavum.

Pada processus spinosus dan transversus melekat otot-otot yang turut menunjang dan

melindungi kolum vertebrae (Halimah, 2011).


a. Struktur Tulang Vertebra Lumbal

Os.vertebrae lumbal tersusun 5 vetebrae yang bersendi satu sama lain yang

berperan penting dalam menjalankan fungsinya diantara lainnya yaitu untuk

menyangga tubuh dan alat gerak tubuh. Susunan tulang vertebrae secara umum terdiri

dari corpus,arcus, dan foramen vertebrae.(Basmajian & slonecker, 2010).

Gambar 2.1 Struktur Os.Vertebrae


( Putz R dan Pabst R 2008)

Gambar 2.2 Vertebrae Lumbalis IV dilihat dari Cranial


(Putz R dan Pabst R ,2008)

1) Corpus
Vertebrae lumbalis mempunyai corpus yang tebal, besar dan berbentuk lonjong

(oval) dengan garis poros yang terletak transversal. Ukurannya lebih besar dari

corpus pada cervical atau daerah torachal dan pada bagian anterior sedikit lebih

tinggi dibanding dengan bagian posterior. Corpus vertebrae lumbalis mempunyai

bentuk silinder, sehingga dapat berfungsi sebagai penyangga dan pelindung dari

bagian foramen intervertebralis. (Basmajian & slonecker . 2010)

2) Arcus

Arcus terletak pada bagian posterior dan dibentuk oleh dua pedikel dan dua

lamina. Pada bagian ini pedikelnya pendek tetapi lebih tebal dan laminanya lebih

besar yang mengarah ke belakang dan ke tengah. Antara corpus vertebrae dengan

arcus vertebrae lumbalis berfungsi untuk menyokong processus spinosus yang

arahnya ke belakang, processus transversus yang arahnya ke samping dan

processus artikularis superior dan inferior. (Basmajian & slonecker . 2010).

3) Foramen Vertebrae

Foramen vetebrae merupakan lubang yang cukup lebar dimana kedua belah

sisi ada lekukan yaitu recesus lateral . bila os.vertebrae tersusun panjang akan

membentuk kanal didalamnya dan nada saraf medulla spinalis (Basmajian &

slonecker . 2010)

4) Discus Inter vertebralis

Discus inter vetebralis merupakan struktur elastis diantara corpus vertebrae.

Struktur diskus bagian dalam disebut nucleus pulposus, sedangkan bagian tepi

disebut anulus fibrosus. Discus berfungsi sebagai bantalan sendi antara corpus
yang berdekatan sebagai shok breaker pada berbagai tekanan dalam menumpu

berat badan (Basmajian & slonecker . 2010)

b. Stabilisator Vertebra

Vertebrae lumbalis agar dapat stabil dibantu oleh ligament ligament yang berada di

lumbalis. Berikut adalah sistem ligament yang ada pada vertebrae lumbalis :

a) Ligament utama dari vertebrae lumbal (lumbar spine) adalah ligament longitudinal

anterior. Ligament ini berfungsi sebagai stabilisator pasif pada saat gerakan ekstensi

lumbal dan merupakan ligament yang tebal dan kuat

b) Ligament longitudinal posterior merupakan ligament yang berperan sebagai

stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal. Ligament ini mengandung serabut saraf

afferent nyeri sehingga bersifat sensitif dan banyak memiliki sirkulasi darah.

c) Ligament flavum merupakan ligament yang mengandung serabut elastin lebih

banyak daripada serabut kolagen jika dibandingkan dengan ligament lainnya di

vertebrae. Ligament flavum memiliki fungsi dalam mengontrol gerakan fleksi

lumbal.

d) Ligament supraspinosus dan interspinosus merupakan ligament yang berperan

dalam gerakan fleksi lumbal. Ligament intertransversal merupakan ligament yang

berfungsi untuk mengontrol gerakan lateral fleksi pada daerah lumbal kearah kontra

lateral (Anshar dan Sudaryanto, 2011).

Gambar 2.4 Ligament Columna Vertebralis dari lateral


(Putz R dan Pabst R . 2008)
c. Sistem Musculoskeletal

a) Erector spine

Merupakan kelompok otot yang luas dan terletak dalam facia lumbodorsal, serta

muncul dari suatu aponeurosis pada sacrum, crista illiaca dan procesus spinosus

thoraco lumbal. Kelompok otot ini terbagi atas beberapa otot yaitu: m.

Longissimmus, m. Iliocostalis, m. Spinalis. Kelompok otot ini merupakan

penggerak utama pada gerakan ekstensi lumbal dan sebagai stabilisator vertebrae

lumbal saat tubuh dalam keadaan tegak. Kerja otot tersebut dibantu oleh m.

transverso spinalis dan m. paravertebral (deep muscle) seperti m. intraspinalis

dan m. intrasversaris, m. trasversus abdominal, m. lumbal multifidus, m. diafragma,

m. pelvic floor. (Ansar dan Sudaryanto, 2011).

b) Abdominal

Abdominal Merupakan kelompok otot ekstrinsik yang membentuk dan

memperkuat dinding abdominal. Ada 4 otot abdominal yang penting dalam fungsi

spine, yaitu m. rectus abdominis, m. obliqus external, m. obliqusinternal dan m.

transversalis abdominis (global muscle). Kelompok otot ini merupakan fleksor

trunk yang sangat kuat dan berperan dalam mendatarkan kurva lumbal. Di samping

itu m. obliqus internal dan external berperan pada rotasi trunk (Ansar dan

Sudaryanto, 2011).

c) Deep lateral muscle

Merupakan kelompok otot intrinstik pada bagian lateral lumbal yang terdiri dari

m. quadratus lumborum dan m. psoas, kelompok otot ini berperan pada gerakan

lateral fleksi dan rotasi lumbal (Ansar dan Sudaryanto, 2011).


Gambar 2.5 Otot Punggung , Dilihat dari dorsal
( Putz R dan Pabst R , 2008)

d. Biomekanik Vertebra Lumbal

Ada beberapa gerakan dasar yang dapat dilakukan oleh semua columna vertebralis

yaknik fleksi, ekstensi, lateral fleksi, rotasi dan sirkumduksi. Fleksi adalah gerakan ke

depan, dan ekstensi adalah gerakan kebelakang, keduanya dapat dilakukan dengan

leluasa di daerah cervical dan lumbal, tetapi terbatas di daerah torachal. Lateral fleksi

adalah melengkungnya tubuh ke salah satu sisi, gerakan ini mudah dilakukan di daerah

cervical dan lumbal, tetapi terbatas di daerah torachal. Rotasi adalah gerakan memutar

columna vertebralis, gerakan ini sangat terbatas 32 di daerah lumbal. Dan sirkumduksi

adalah kombinasi dari seluruh gerakan tersebut (Johannes, 2010).

Pada daerah lumbal, fleksi dilakukan oleh m. rectus abdominis dan m.psoas.

Ekstensi dilakukan oleh m. postvertebralis. Lateral fleksi dilakukan oleh m.

postvertebralis, m. quardratus lumborum, dan m. anterolateral abdomen. m. psoas

mungkin ikut dalam gerakan ini. Rotasi dilakukan oleh otot-otot rotator dan otot-otot

serong dinding anterior lateral abdomen (Johannes, 2010).


3. Etiologi Spondilosis Lumbalis

Spondylosis lumbalis muncul karena adanya fenomena proses penuaan atau perubahan

degeneratif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi ini tidak berkaitan dengan

gaya hidup, tinggi-berat badan, massa tubuh, aktivitas fisik, merokok dan konsumsi alkohol

(Bruce M. Rothschild, 2009).

Perubahan degeneratif tulang belakang berhubungan dengan bertambahnya usia. Selain

itu pembebanan berlebihan atau berulang dapat menyebabkan cedera structural dan

berkembangnya nyeri. Faktor lain berhubungan dengan degenerasi diskus adalah jenis

kelamin dan trauma (Devlin, 2012).

4. Patofisiologi Spondilosis Lumbalis

Menjelang usia 30 tahun, mulailah terjadi berbagai perubahan, baik pada anulus

maupun pada nucleus. Pada beberapa tempat, serat-serat fibroelastik 3 terputus, sebagian

rusak diganti oleh jaringan ikat. Proses ini berkembang secara terus menerus kontinu

sehingga terbentuklah rongga-rongga dalam anulus. Sehingga nukleus pulposus akan

mengalami dehidrasi akibat menurunkan kemampuan mengikat air. Dengan demikian

nukleus pulposus akan mengalami penyusutan dan tekanan intradiskus menurun (Markam,

2009).

Spondylosis merupakan penyakit degeneratif yang sering mengenai lumbal. Proses

degenerasi diskus intervertebralis disertai perubahan struktur diskus menjadi rata. Tonjolan

tulang oleh permukaan osteofit tampak ditepi anterior dan posterior pada corpus vertebrae.

Tonjolan tulang yang muncul dibagian posterior dapat melewati batas 5 foramen

intervertebra sehingga menyebabkan radiks saraf yang keluar pada sisi sebelahnya

(Muttaqin, 2011).
5. Prognosis Spondylosis Lumbalis

Dalam kehidupan sehari-hari, Spondylosis Lumbalis yang lebih dikenal dengan sebutan

sakit pinggang atau punggung bawah merupakan keluhan yang sangat “umum”, sangat

sering terjadi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, terlebih lagi merupakan salah satu

penyebab ketidak hadiran di tempat kerja. Usia merupakan salah satu faktor yang sangat

diyakini pengaruhnya terhadap nyeri punggung bawah, sehingga biasanya penyakit ini

diderita oleh orang berusia lanjut karena penurunan fungsi-fungsi tubuhnya terutama

tulangnya sehingga tidak lagi elastis seperti diwaktu mudanya. Semakin tua usia seseorang,

maka semakin tinggi angka kejadian nyeri punggung bawah. Dalam segi penanganan,

sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa nyeri punggung bawah sembuh alamiah

dalam beberapa minggu, tetapi ada juga masyarakat yang kritis sehingga sebelum gejala

semakin parah, langsung mendatangi Dokter Spesialis Orthopedi ataupun Fisioterapi

bahkan sampai pada tindak lanjut bedah (operasi).

6. Tanda dan Gejala

Tanda dan gelaja spondylosis lumbalis yang menetap sebagian besar mengalami nyeri

punggung,nyeri punggung bawah adalah keluhan yang paling umum muncul dalam waktu

yang lama sebelum munculnya penekanan radikuler. Keluhan saat berdiri dalam waktu yang

cukup lama atau berjalan, jarak saat berjalan akan bertambah pendek (Maliawan, 2009).

Pasien biasanya berusia di atas 40 tahun dan memiliki tubuh yang sehat. Nyeri sering

timbul di daerah punggung dan pantat. Hal ini akan menimbulkan keterbatasan gerak pada

regio lumbal dan dapat menimbulkan nyeri pada area ini. Pemeriksaan neurologis dapat

memperlihatkan tanda – tanda sisa dari prolaps diskus yang lama (misalnya tiadanya reflek

fisiologis). Pada tahap sangat lanjut, gejala dan tanda – tanda stenosis spinal atau stenosis

saluran akar unilateral dapat timbul (Appley, 2013).


7. Diagnosis Banding

Diagnosis banding lain untuk menegakkan diagnosis nyeri punggung bawah akibat

spondylosis yaitu Hernia Nucleus Pulposus (HNP). HNP adalah suatu keadaan dimana

terjadi pengeluaran isi nucleus dari dalam discus intervertebralis. Selain HNP untuk

menegakkan diagnosis nyeri punggung akibat spondylosis yaitu spondilolisthesis.

Spondilolisthesis adalah pergeseran segmen vertebrae lumbal.

B. Deskripsi Problematika Fisioterapi

Spondylosis lumbalis menggambarkan adanya osteofit yang timbul dari vertebra lumbalis.

Osteofit biasanya terlihat pada sisi anterior, superior, dan sisi lateral vertebrae. Pembentukan

osteofit timbul karena terdapat tekanan pada ligament. Apabila hal ini mengenai saraf, maka akan

terjadi kompresi pada saraf tersebut, dan dari hal itu dapat menimbulkan rasa nyeri, baik lokal

maupun menjalar, dan parastesia dan Penurunan kekuatan otot trunk, core yang mengakibatkan

gangguan fungsional lumbal seperti tidak bisa berjongkok, berduduk lama dan berjalan jauh

sehingga mengganggu aktivitas sehari hari dalam melakukan pekerjaan .(Woolfson, 2008).

C. Tinjauan Tentang Nyeri

1. Definisi Nyeri

Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan yang tidak menyenangkan, bersifat sangat

subjektif. Perasaan nyeri pada setiap orang berbeda dalam hal skala ataupun tingkatannya, dan

hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya

(Tetty, 2015).

Nyeri adalah gejala paling umum yang paling tampak pada populasi umum dan dunia

kedokteran. Di Amerika Serikat, keluhan nyeri merupakan penyebab 40% kunjungan pasien

berobat jalan terkait gejala setiap tahunnya. Hasil survei Word Health Organization / WHO
memperlihatkan bahwa dari 26.000 rawat primer di lima benua, 22% melaporkan adanya nyeri

persisten lebih dari setahun (Kuntono, 2011).

2. Mekanisme Nyeri

a. Mekanisme Nosisepsi

1. Proses transduksi adalah rangsang noksius dapat berasal dari bahan kimia, seperti yang

terjadi pada proses inflamasi menimbulkan sensitisasi dan mengaktifasi reseptor nyeri.

Bisa juga diartikan sebagai pengubahan berbagai stimuli oleh reseptor menjadi impuls

listrik yang mampu menimbulkan potensial aksi akhiran saraf 6 .

2. Proses transmisi adalah penyaluran impuls saraf sensorik dilakukan oleh serabut A

delta bermyelin dan serabut C tak bermyelin sebagai neuron pertama, kemudian

dilanjutkan traktus spinothalamikus sebagai neuron kedua dan selanjutnya di daerah

thalamus disalurkan sebagai neuron ketiga sensorik pada area somatik primer di korteks

serebri.

3. Proses modulasi terjadi pada sistem saraf sentral ketika aktivasi nyeri dapat dihambat

oleh analgesik endogen seperti endorphine, sistem inhibisi sentral serotonin dan

noradrenalin, dan aktivitas serabut A beta.

4. Proses persepsi merupakan hasil akhir proses interaksi yang kompleks, dimulai dari

proses transduksi, transmisi, dan modulasi sepanjang aktivasi sensorik yang sampai

pada area primer sensorik korteks serebri dan masukan lain bagian otak yang pada

gilirannya menghasilkan suatu perasaan subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri

atau disebut dengan kesadaran akan adanya nyeri.

Mekanisme nosisepsi dalam tubuh ditampilkan dalam gambar 1 berikut:


Gambar 2.6. Mekanisme nosisepsi
Dominic Wu, Pain management, 2012.

a. Perilaku Nyeri (Neuromatrik Melzack)

Neuromatrik adalah sistem yang kompleks, meliputi jaras-jaras yang

melibatkan medulla spinalis, thalamus, jaringan abu-abu periaaqueductal, korteks

somatosensorik, dan sistem limbik. Faktor yang mempengaruhi neuromatrik

termasuk faktor genetik, keadaan fisiologik, faktor psikososial, termasuk masukan

aferen primer yang dianggap dari kerusakan jaringan, sistem imunoendokrin, sistem

inhibisi nyeri, tekanan emosi, dan status penyakit. Neuromatrik dianggap

bertanggung jawab terhadap pembentukan persepsi kita terhadap nyeri dan

menentukan perilaku nyeri.

b. Mekanisme Adaftif Menjadi Maladaptif

Mekanisme adaptif mendasari konsep nyeri sebagai alat proteksi tubuh,

merujuk kerusakan jaringan pada proses inflamasi dan trauma pada nyeri akut. Pada

nyeri fisiologik, nyeri memiliki tendensi untuk sembuh dan berlangsung terbatas

selama nosisepsi masih ada, serta dianggap sebagai gejala penyakit. Pada nyeri

kronik, fenomena allodinia, hiperalgesia, nyeri spontan bukan saja menjadi gejala

tetapi merupakan penyakit tersendiri. Keadaan nyeri patologik terjadi ketika

nosisepsi tetap timbul setelah penyembuhan usai dan tidak proporsional dengan

kelainan fisik yang ada. Mekanisme maladaptif terjadi karena plastisitas saraf di

tingkat perifer maupun sentral. Tingkat perifer, mekanisme ditimbulkan oleh

sensitisasi nosiseptor, aktivitas ektopik termasuk timbulnya tunas-tunas baru di


bagian distal lesi dan di ganglion radiks dorsalis saraf lesi, interaksi antara serabut

saraf dan timbulnya reseptor adrenergik alfa-2. Pada tingkat sentral, mekanisme

ditimbulkan oleh sensitasi sentral berhubungan dengan reseptor glutamat paska

sinaps, reorganisasi sentral dari serabut A beta, dan hilangnya kontrol inhibisi nyeri.

D. Tinjauan Tentang Aktivitas Fungsional Lumbal

a. Mekanisme Penurunan Aktivitas Fungsional Lumbal akibat Spondylosis Lumbal

Aktivitas fungsional adalah suatu gambaran kemampuan pasien low back pain

spondylosis dalam melakukan aktivitas fungsional sehari-hari seperti perawatan diri,

aktivitas mengangkat, berjalan, duduk, berdiri, tidur dan jongkok. Adapun aktivitas

fungsional yang berhubungan dengan mobilitas lumbal yaitu aktivitas yang menimbulkan

terjadinya gerakan pada daerah lumbal, misal gerakan mengangkat, mambungkuk, memutar,

dan jongkok (Pramita, 2015).

Dalam hal ini otot yang berperan penting saat berkontraksi terbagi menjadi dua tipe

otot yaitu tipe I (slow twich) atau otot tonik disebut juga dengan red muscle karena berwarna

lebih gelap dari otot lainnya, lebih banyak mengandung hemoglobin dan mitokondria

sehingga lebih tahan lama terhadap tahanan yang berfungsi untuk mempertahankan sikap

atau posisi. Kelainan otot ini cenderung mengalami spasme atau tightness hingga

mengakibatkan kelemahan dan kontraktur dalam jangka waktu yang lama khususnya terjadi

pada otot-otot postural seperti m. quadratus lumborum, m. ekstensor trunk diantaranya

m.erector spine, m. longissimus, m rotator, m. multifidus , group fleksor hip meliputi m.

illiopsoas muscle,m. tensor fascia latae, m. rectus femoris, group eksorotasi hip meliputi

piriformis. Tipe II (fast twitch) atau otot phasic disebut juga white muscle karena berwarna

lebih pucat banyak mengandung myofibril sehingga tidak tahan lama terhadap tekanan,

durasi kontraksi lebih pendek yang berfungsi untuk gerakan cepat dan kuat yang berasal dari
dua macam serabut otot yaitu serabut otot tipe 2A yang kelelahannya rata-rata intermediate

atau sedang dan serabut otot tipe 2B yang kelelahannya sangat cepat diantaranya m.

abdominal, m. gluteus minimus, m. gluteus maximus (phil 2010).

Aktivitas fungsional yang menggunakan otot yang berlebihan dapat terjadi pada saat

tubuh mempertahankan posisi dalam jangka waktu yang lama, di mana pada saat itu otot-

otot daerah punggung bawah akan berkontraksi secara terus menerus untuk

mempertahankan postur yang normal. Keadaan tersebut dapat terjadi pada saat melakukan

gerakan yang menimbulkan beban berlebihan di daerah punggung bawah, misalnya

mengangkat berat dengan posisi yang salah atau gerakan pada saat aktivitas atau olahraga

yang menimbulkan cidera seperti spasme, tightness, strain atau sprain lumbal. Penggunaan

otot-otot punggung bawah secara berlebihan dapat menimbulkan nyeri. Adanya nyeri dan

spasme otot akan membuat seseorang takut menggunakan otot punggungnya untuk

melakukan aktivitas fisik secara normal, selanjutnya akan mengakibatkan perubahan

fisiologis pada otot-otot tersebut, yaitu berkurangnya massa otot (atropi) dan menurunnya

kekuatan otot (weakness), akhirnya individu tersebut akan mengalami penurunan tingkat

aktivitas fungsional (Hills,2008).

E. Tinjauan Alat Ukur

1. Reliability Oswestry disability index (ODI)

Davidson and Keating (2011) dalam penelitiannya Comparison Of Five Low Back

Disability Questionnaires: Reliability And Responsiveness menyatakan keterbatasan

aktivitas fungsional pada pasien low back pain sering sulit dilakukan, oleh karena itu

dikembangkan metode kuisioner untuk menilai dampak low back pain terhadap aktivitas

sehari-hari. Ada beberapa alat ukur untuk menilai keterbatasan fungsional pada pasien low

back pain, diantaranya: Oswestry disability index (ODI), Rolland Morris dissability
questionnaire (RMDQ), Disability rating index (DRI), dan sebagainya. Kuisioner tersebut

di isi berdasarkan penilaian pasien terhadap kondisinya (subjektif).

Pada penelitian ini, untuk menilai aktivitas fungsional hanya menggunakan kuisioner

Oswestry disability index (ODI), karena berdasarkan uji reliability analysis. Nishant,et al.

(2014) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa pengukuruan aktivitas fungsional

lumbal dengan menggunakan Oswestry disability index (ODI) yang dikembangkan oleh

Fairbank, terdiri dari sepuluh item yang menilai tingkat rasa sakit dan gangguan dengan

beberapa aktivitas fisik seperti tidur, perawatan diri, kehidupan seks, kehidupan sosial, dan

perjalanan. Sebuah studi baru-baru ini oleh Deyo bahwa penggunaan oswestry disability

index lebih efektif dan lebih mudah diaplikasikan karena berhubungan dengan tingkat

kemampuan atau gangguan aktivitas fungsional lumbal berbeda Roland dan Morris yang

tidak memberikan deskripsi tentang berbagai tingkat kecacatan seperti pada ODI (Nishant,

et al. 2014).

2. Validitas Oswestry Disability Indeks (ODI)

Kuisioner ODI pada dasarnya sudah dianggap baku dan valid. Pada penelitian

Muhimatul Khafidhoh (2016) berjudul “hubungan nyeri pinggang dengan tingkat

kemampuan aktivitas ibu hamil trimester II dan III” di penelitian ini dijelaskan bahwa ODI

(oswestry disability indeks) memang terbukti valid dan efektif untuk mengukur gangguan

penrunan fungsional lumbal.

F. Tinjauan Tentang Modalitas

1. TENS (Transcutaneus Electrical Nervus Stimulation)

a. Definisi TENS (Transcutaneus Electrical Nervus Stimulation)

Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) merupakan salah satu intervensi

keperawatan yang dapat diberikan kepada pasien yang dirawat di rumah sakit. Intervensi ini

menggunakan alat yang dilengkapi elektroda dan diletakkan dikulit untuk menghantarkan
impuls listrik. Impuls listrik tersebut berfungsi sebagai pemblok impuls nyeri yang

dirasakan oleh pasien. Impuls nyeri yang diblok akan mengakibatkan nyeri berkurang.

Pemberian intervensi TENS dengan frekuensi rendah mampu merangsang tubuh

mengeluarkan endorphin, endorphin yang keluar akan meningkatkan relaksasi kemudian

diikuti oleh penurunan nyeri. (Brunner & Suddarth, 2001; Johnson, 2009).

Menurut Hall (2015) Tens dibagi menjadi Tiga yaitu :

a. TENS konvensional dengan spesifikasi sebagai berikut : target arus adalah

mengaktivasi syaraf berdiameter besar, frekuensi sampai dengan 200Hz, intensitas

rendah pada kontinyu, durasi stimulus 100-200m detik, sensasi yang timbul parestesi

yang kuat dengan sedikit kontraksi, durasi terapi secara terus menerus, mekanisme

analgetik tingkat segmental, posisi elektroda titik nyeri atau area dan dermatom yang

sama.

b. Al TENS (Acupunture-Like Tens) dengan spesifikasi sebagai berikut: terget arus adalah

mengaktivasi motorik, sensasi yang di inginkan kontraksi otot fasik yang kuat tapi

nyaman, karekteristik fisika frekuensi rendah, intensitas tinggi dan durasi 100-200m

detik, penempatan elektroda pada motor point atau miotom yang sama, profil analgesik

terjadi setelah 30 menit terapi dan menghilang > 1 jam setelah alat di matikan. Durasi

terapi 30 menit setiap kali terapi, mekanisme analgesik ekstra segmental atau

segmental.

c. Tipe INTENSE TENS dengan ciri: target arus mengaktivasi saraf berdiameter kecil,

jaringan yang teraktivasi adalah nosiseptor, sensasi yang terjadi terasa tak nyaman yang

masih dapat ditoleransi pasien, fisika dasar frekuensi 200Hz, durasi stimulus > 100m

detik dan intensitas tertinggi yang masih dapat ditoleransi. Penempatan elektroda di

area yang nyeri atau sebelah proksimal titik nyeri atau pada cabang utama saraf yang

bersangkutan, profil analgesik < 30 menit tetapi sudah bisa terjadi sedang pengaruh
analgesiknya > 1 jam kadang dijumpai hiposentesia, durasi terapi < 15 menit,

mekanisme analgesik periferal, ekstra segmental, maupun segmental.

Gambar 2.7. Alat Transcutaneus Electrical Nervus Stimulation


(Agen Modalitas 2016)

b. Tujuan dan Efek

Pemberian TENS memelihara fisiologi otot dan mencegah atropi otot, re- edukasi

fungsi otot, memperlancar perdedaran darah, memberikan efek rilleksasi pada otot dan

resorbsi oedema.

c. Indikasi

Indikasi dari penggunaan TENS antara lain: (a) pada kondisi akut: nyeri pasca operasi,

nyeri sewaktu melahirkan, nyeri haid (dysmenorrhea), nyeri musculosceletal, dan nyeri

akibat patah tulang, (b) nyeri yang berhubungan dengan penanganan kasus gigi, (c) pada

kondisi kronik: nyeri punggung bawah, arthritis, nyeri punting dan nyeri phantom, neuralgia

pasca herpetic, neuralgia trigeminal, (d) injuri saraf tepi, (e) angina pectoris, (f) nyeri fascial,

(g) nyeri tulang akibat metastase (Amelia, 2014).


d. Kontraindikasi

kontraindikasi dari penggunaan TENS antara lain: (a) penyakit vaskuler, (b) adanya

kecenderungan perdarahan, (c) keganasan pada area yang diterapi, (d) pasien beralat pacu

jantung, (e) kehamilan, apabila terapi diberikan pada area pungggung dan abdomen, (f) luka

terbuka yang sangat lebar, (g) kondisi infeksi, (h) pasien yang mengalami gangguan

hambatan komunikasi, (i) kondisi dermatologi (Amelia, 2014).

e. Aplikasi TENS

Menurut Parjoto (2008) metode penempatan electrode TENS sebagai berikut :

1. Disekitar lokasi nyeri

Metode ini dapat langsung diterapkan pada daerah nyeri yang merupakan letak

paling optimal dalam hubungannya dengan jaringan penyebab nyeri ( Parjoto 2008).

2. Dermatom

Dasar metode ini ialah daerah kulit tertutup akan mempunyai persyarafan yang

sama dengan struktur / jaringan yang tepat dibawahnya.

3. Area Trigger Finger dan Motor Point

f. Dosis

Tens yang digunakan adalah TENS konvensional dengan pulsa pendek sekitar 50 ms

pada 40-150Hz,dengan frekuensi tinggi dan intensitas rendah berdurasi 200 mesc. Tipe

konvensional dapat mengurangi nyeri dalam waktu 10-15 menit dengan lama pemberian 30

menit . intensitas rendah akan menstimulasi serabut Ab untuk inhibisi nyeri dengan pain

gate mechanism.

2. William Flexion Exercise

a. Definisi William Flexion Exercise


William Flexion Exercise adalah terapi latihan yang diperkenalkan oleh Dr. Paul

Williams pada tahun 1937. Latihan William Flexion Exercise ini dirancang untuk

mengurangi nyeri pinggang degan memperkuat otot-otot yang memfleksikan lumbo sacral

spine, terutama m. abdominal dan m. gluteus maksimus dan meregangkan kelompok

ekstensor punggung bawah (Luklukaningsih, 2014).

William Flexion Exercise banyak ditujukan pada pasien-pasien kronik LBP dengan

kondisi degenerasi corpus vertebrae sampai pada degenerasi discus. Program latihan ini

telah berkembang dan banyak ditujukan pada laki-laki dibawah usia 50-an & wanita

dibawah usia 40- an yang mengalami lordosis lumbal yang berlebihan, penurunan space

diskus antara segmen lumbal & gejala-gejala kronik LBP. William flexion exercise telah

menjadi dasar dalam manajemen nyeri pinggang bawah selama beberapa tahun untuk

mengobati beragam problem nyeri pinggang bawah berdasarkan temuan diagnosis. Dalam

beberapa kasus, program latihan ini digunakan ketika penyebab gangguan berasal dari facet

joint (kapsul-ligamen), otot, serta degenerasi corpus dan discus (Suma, 2013).

William flexion exercise ini juga dapat meningkatkan stabilitas lumbal karena secara

aktif melatih m. abdominal, m. gluteus maksimus dan m. hamstring. Disamping itu William

flexion exercise dapat meningkatkan tekanan intra abdominal yang mendorong kolumna

vertebralis ke arah belakang, dengan demikian akan membantu mengurangi hiperlordosis

lumbal dan mengurangi tekanan pada diskus intervertebralis. Secara teoritis, William flexion

exercise ini dapat membantu mengurangi nyeri dengan cara mengurangi gaya kompresi

pada facet joint, dan meregangkan fleksor hip dan ektensor lumbal (Pramita, 2014).

b. Tujuan dan efek

Tujuan dari William Flexion Exercise adalah untuk mengurangi nyeri, memberikan

stabilitas lower trunk melalui perkembangan secara aktif pada m. abdominal, m. gluteus

maximus, dan m. hamstring, untuk meningkatkan fleksibilitas atau elastisitas pada group
otot fleksor hip dan lower back (sacrospinalis), serta untuk mengembalikan atau

menyempurnakan keseimbangan kerja antara group otot postural fleksor & ekstensor. Selain

itu juga meningkatkan kekuatan otot abdominal dan lumbosacral serta mengulur back

ekstensor (Ristoari, 2011).

William Flexion Exercise ini juga tidak berbeda jauh dengan senam, yang dapat

meningkatkan oksigenasi dan peredaran nutrisi dalam sel organ reproduksi serta

merangsang aliran system kelenjar getah bening, sehingga dapat meningkatkan kelenturan

otot dengan cara mengembalikan elastisitas dan fleksibilitas jaringan tubuh dan mengurangi

kram atau nyeri pada otot (Ningsih, 2011).

c. Indikasi

William Flexion Exercise adalah spondylosis, spondyloarthrosis, dan disfungsi sendi

facet yang menyebabkan nyeri pinggang bawah.

d. Kontraindikasi

William Flexion Exercise adalah gangguan pada diskus seperti discus. bulging, herniasi

discus, atau protrusi discus.

e. Dosis

Terapi latihan adalah gerak dari tubuh atau bagian dari tubuh untuk mengurangi gejala-

gejala atau meningkatkan fungsi (Shidarta,2010).

Oleh karena letak gangguan mekanik dan nyeri pada punggung bawah terdapat di

daerah lumbosacral, maka latihan yang diberikan adalah terutama ditujukan untuk daerah

ini. Tujuan dari latihan ini adalah untuk memperkuat otot-otot fleksor pada sendi

lumbosacral dan untuk meregangkan otot ekstensor punggung (Basmajian, 2010).

Pada saat latihan ini otot-otot ekstensor trunk bergerak memanjang dan otot-otot flexi

trunk memendek berulang-ulang sehingga elastisitas otot akan bertambah. Dengan


peningkatan elastisitas otot tersebut maka LGS akan semakin bertambah. Dosis latihan

untuk tiap gerakan William flexion exercise ditahan selama 5-10 detik dan diulang 10 kali (

Basmajian, 2010 ).

Menurut kasem (2010) jenis gerakan terapi dilakukan 6 jenis gerakan yaitu:

a) William Flexion I ( Pelvic Tilting )

Pasien terlentang diatas matras dengan kedua lutut ditekuk. Pasien diminta

untuk meratakan pinggang dengan menekan pinggang kebawah melawan

matras dengan cara mengkontraksikan otot perut dan otot pantat. Setiap

kontraksi ditahan 5 detik kemudian lemas, ulangi 10 kali. Usahakan pada waktu

lemas punggung tetap rata.

Gambar 2.8 William Flexion Exercise I

(Intan Ariska 2014)

b) William Flexion II ( Partial Sit Up )

Posisi awal Pasien terlentang diatas matras dengan lutut ditekuk. Kemudian

Pasien diminta mengkontraksikan otot perut dan menfleksikan kepala, sehingga

dagu menyentuh dada dan bahu terangkat dari matras. Setiap kontraksi tahan 5

detik, kemudian lemas, ulangi sebanyak 10 kali.

Gambar 2.9 William Flexion Exercise II


(Intan Ariska 2014)

c) William Flexion III ( Hamstring Stretch )

Posisi awal Pasien terlentang diatas matras dengan kedua lutut ditekuk.

Kemudian Pasien diminta menfleksikan satu lutut kearah dada sejauh mungkin,

kemudian kedua tangan mencapai paha belakang dan menarik lututnya ke dada.

Pada waktu yang bersamaan angkat kepala hingga dagu menyentuh dada dan

bahu lepas dari matras, tahan 5 detik. Latihan diulangi pada tungkai yang lain,

ulang latihan sebanyak 10 kali. Kedua tungkai lurus naik harus dihindari,

karena akan mempercepat problem pinggangnya.

Gambar 2.10. William Flexion Exercise III

(Intan Ariska 2014)

d) William Flexion IV ( Double knee to chest )

Posisi awal pasien tidur terlentang dengan kedua tungkai bersamaan ditarik

kearah dinding perut sejauh mungkin, kedua tangan memfiksasi pada lutut.

Bersamaan dengan itu angkat kepala dan bahu, aba-aba 1-5 hitungan 10 kali

pengulangan.
Gambar 2.11. William Flexion Exercise IV

(Intan Ariska 2014)

e) William Flexion V ( Fleksor stretch)

Latihan ini dimulai dengan posisi awal seperti seorang pelari cepat pada

titik startnya yaitu satu tungkai dengan fleksi maksimal pada sendi lutut dan

paha, sedang yang lain dalam keadaan lurus ke belakang. Kemudian pada posisi

tersebut tekanlah badan ke depan dan kebawah. Ulangi bergantian dengan

kedua tungkai berlawanan. Tahan 1-5 detik kemudian ulangi 10 kali.

Gambar 2.12. William Flexion Exercise V

(Intan Ariska 2014)

f) William Flexion VI ( Squat)


Posisi awal pasien pada latihan ini adalah berdiri tegak dengan punggung

menekan ke sebuah dinding dan tumit pada jarak 10-15 cm dari dinding.

Kemudian pasien diminta menekan punggung kearah dinding sampai benar-

benar rata dan pasien diminta untuk berjalan beberapa meter kedepan dengan

mempertahankan posisi punggung tahan 1-5 detik kemudian ulangi 10 kali .

Gambar 2.13. William Flexion Exercise VI

(Intan Ariska 2014)

Anda mungkin juga menyukai