PENDAHULUAN
No. 32/ 2004 tentang pemerintah daerah dan UU No.33/ 2004 tentang perimbangan
pengelolaan keuangan yaitu terbitnya tiga paket peraturan keuangan Negara yang
meliputi; UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No.1 Tahun 2004
tradisional menjadi berbasis kinerja, dan sistem akuntabilitas yang vertikal menjadi
semakin efisien dan efektif dalam mengatur proses pembagunannya karena daerah
Fenomena yang terjadi dalam akuntansi sektor publik adalah tingginya upaya
1
akuntabilitas publik. Upaya tersebut mendapat dukungan BPKP dengan keluarnya
juga sejalan dengan Inpres No. 4 Tahun 2011, tentang Percepatan Peningkatan
kelola.
2
dalam Pasal 4 menyelenggarakan fungsi : 1) Perencanaan program pengawasan 2)
akuntansi pemerintah yang digunakan adalah basis kas menuju akrual (cash toward
untuk pengakuan aset, kewajiban, dan ekuitas dalam Neraca. Dalam rangka
3
Akuntansi Pemerintah (SAP) yang berbasis akrual. Penerapan akuntansi berbasis
akrual diperlukan untuk menghasilkan pengukuran kinerja yang lebih baik, serta
akrual bukan sekedar masalah teknis pencatatan transaksi dan menyajikan laporan
(accounting choice), serta mendesain atau menganalisis sistem akuntansi yang ada.
Oleh karenanya, proses pelaporan keuangan pemerintah harus dikerjakan oleh SDM
yang memiliki kompetensi agar mampu menyusun dan menyajikan LKPD yang
berkualitas.
merupakan salah satu elemen penting dalam penegakan kepemerintahan yang baik.
Namun demikian, praktiknya sering jauh dari yang diharapkan. Mardiasmo (2000)
daerah dan hal tersebut umum dilakukan oleh organisasi publik karena output yang
dihasilkan yang berupa pelayanan publik tidak mudah diukur. Dengan kata lain,
ukuran kualitas audit masih menjadi perdebatan. Hasil audit pemerintah saat ini
memiliki kualitas yang kurang baik, dilihat dari fenomenafenomena yang terjadi
4
belakangan ini. Kualitas audit sebagai proses dimana seorang auditor harus
Deis dan Groux dalam Dwiyanti 2010) probabilitas untuk menemukan pelanggaran
tergantung pada independensi yang dimiliki auditor. Standar umum pertama PSA
Nomor 04 dalam IAI (2011) menegaskan seorang auditor dalam melakukan audit
harus senantiasa bertindak sebagai seorang ahli dalam bidang akuntansi dan
menjalani pelatihan teknis yang mencakup aspek teknis maupun pendidikan umum,
5
terhadap kualitas audit. Penelitian yang dilakukan ardini (2010) dalam pamungkas
audit. Hal ini menunjukkan dengan tingkat kemampuan yang dimiliki oleh auditor
akan menunjang kualitas audit yang dihasilkan. Penelitian serupa juga dilakukan
oleh Suraida (2005), Rai (2008), dan Sukriah, dkk (2009) bahwa kompetensi
berpengaruh signifikan terhadap kualitas hasil audit. Auditor harus memiliki dan
meningkatkan pengetahuan mengenai metode dan teknik audit serta segala hal
SDM berpengaruh signifikan terhadap kualitas LKPD. Selain itu hasil penelitian
Irwan (2011), Wansyah (2012) dan Yosefrinaldi (2013) juga menyatakan, bahwa
SPIP berpengaruh signifikan terhadap kualitas LKPD. Penelitian yang dilakukan Sari
(2014) bertujuan untuk mengetahui kualitas audit pada BPK RI Perwakilan Provinsi
Bali yang diukur melalui sikap skeptisme, pengalaman audit, kompetensi, dan
pada kualitas audit di BPK RI Perwakilan Provinsi Bali, sedangkan pengalaman audit
tidak berpengaruh pada kualitas audit di BPK RI Perwakilan Provinsi Bali. Hal ini
6
dan Akbar (2014) menunjukkan bahwa kompetensi dan skeptisme professional
tugas para auditor Inspektorat tidak ada pengaruhnya terhadap kualitas audit
dipenuhi oleh seorang auditor untuk dapat melaksanakan audit dengan baik.
independensi yangdimiliki oleh auditor, maka kualitas audit yang dihasilkan akan
audit aparat inspektorat dalam pengawasan keuangan daerah (studi empiris pada
Penelitian yang dilakukan oleh lestari (2013) menunjukkan bahwa kompetensi dan
motivasi tidak mempunyai pengaruh terhadap kualitas audit. Motivasi yang terdapat
di dalam maupun di luar diri seorang auditor tersebut tidak berpengaruh terhadap
kualitas audit yang dihasilkan. Penelitian yang dilakukanoleh Futri dan Juliarsa
dikarenakan persaingan antar Kantor Akuntan Publik bisa jadi pemicu kurangnya
independensi auditor, sehingga auditor rentan mengikuti kemauan dari klien agar
7
Mabruri dan Winarna (2010), Wardoyodkk., (2011), Ayuningtyas dan Pamudji
(2012), Carolita dan Rahardjo (2012),Tjun dkk., (2012), Yusdy (2012), dan
karakteristik individu yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Berikut ini.
mencakup usia, jenis kelamin, masa kerja, tingkat pendidikan, suku bangsa, dan
mudah didefinisikan dan tersedia, data yang dapat diperoleh sebagian besar dari
tanggungan dan masa kerja dalam organisasi. Siagian (2008) menyatakan bahwa,
Karakteristik biografikal (individu) dapat dilihat dari umur, jenis kelamin, status
Dalam penelitian ini ada lima faktor pembentuk karakteristik individu yang
mempengaruhi kualitas audit, yaitu: jenis kelamin, usia, status perkawinan, masa
kerja. jenis kelamin yang telah membedakan individu sebagai sifat dasar pada
struktural dan kelembagaan. Keadaan ini sesuai dengan penelitian Walkup dan
Fenzau (1980) dalam Tahar (2012) ditemukan bahwa 41% responden yang mereka
teliti, yaitu para akuntan publik wanita meninggalkan karir mereka karena adanya
8
bentuk-bentuk diskriminasi yang mereka rasakan. Salsabila dan Prayudiawan (2011)
juga menyatakan bahwa komposisi antara auditor laki-laki dan perempuan sangat
jauh berbeda. Walaupun kompetensi yang dibutuhkan untuk profesi ini tidak ada
kaitannya dengan gender, tetapi menurut fakta dan data yang ada, keberadaan
perempuan dalam profesi ini sangat minim sekali. Berbeda dengan hasil penelitian
menangani konflik dibandingkan auditor laki-laki. Menurut Ati (2010) kualitas audit
yang baik akan menghasilkan laporan auditan yang mampu menyajikan temuan dan
(2003) menyatakan bahwa, Tidak ada perbedaan yang konsisten antara pria dan
psikologi telah menemukan bahwa wanita lebih bersedia untuk mematuhi wewenang
dan pria lebih agresif dan lebih besar kemungkinannya daripada wanita dalam
memiliki pengharapan untuk sukses. Bukti yang konsisten juga menyatakan bahwa
wanita mempunyai tingkat kemangkiran yang lebih tinggi dari pada pria. Dyne dan
lebih besar dalam mencapai karirnya, sehingga komitmennya lebih tinggi. Hal ini
disebabkan pegawai wanita merasa bahwa tanggung jawab rumah tangganya ada di
tangan suami mereka, sehingga gaji atau upah yang diberikan oleh organisasi
9
bukanlah sesuatu yang sangat penting bagi dirinya. Mowday (1982) menyatakan
lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Wanita pada umumnya harus mengatasi lebih
Dyne dan Graham (2005) menyatakan bahwa, Pegawai yang berusia lebih
tua cenderung lebih mempunyai rasa keterikatan atau komitmen pada organisasi
pada organisasi. Robbins (2003) menyatakan bahwa, Semakin tua usia pegawai,
pekerjaan atau jabatan. Kreitner dan Kinicki (2004) menyatakan bahwa, Masa kerja
yang lama akan cenderung membuat seorang pegawai lebih merasa betah dalam
suatu organisasi, hal ini disebabkan diantaranya karena telah beradaptasi dengan
lingkungannya yang cukup lama sehingga seorang pegawai akan merasa nyaman
dengan pekerjaannya.
Wanita pada umumnya harus mengatasi lebih banyak rintangan dalam mencapai
Dyne dan Graham (2005) menyatakan bahwa, seseorang yang telah menikah
cenderung memiliki prestasi kerja yang baik karena akan menerima berbagai bentuk
10
imbalan, baik finansial maupun non finansial yang semuanya menunjukkan adanya
tanggung jawab yang lebih besar pada keluarganya. Mereka yang menikah lebih
terikat dengan organisasi, sehingga dapat membentuk suatu komitmen yang kuat
Masa kerja dalam penelitian ini diartikan sebagai lamanya pegawai bekerja
dalam organisasi atau perusahaan saat ini, tidak termasuk lamanya bekerja pada
perusahaan lain sebelumnya bagi pegawai yang telah pernah bekerja di perusahaan
lain. Robbins (2003) mengemukakan, Semakin lama karyawan bekerja pada suatu
organisasi semakin memberi dia peluang untuk menerima tugas-tugas yang lebih
menantang, otonomi yang lebih besar, keleluasan bekerja, tingkat imbalan ekstrinsik
yang lebih tinggi dan peluang menduduki jabatan atau posisi yang lebih tinggis
keuangan. Dengan terbitnya PP No.60 tahun 2008, pengawas intern memiliki peran
penyelenggaraan SPIP, dan reviu laporan keuangan pemerintah pusat dan daerah.
Dengan paradigma baru ini, tugas pengawas tidak sekedar mengawasi pengelolaan
keuangan tetapi bersinergi dengan mitra kerja dalam rangka meningkatkan kualitas
control dalam SPIP tetapi lebih sering merancang SPIP dengan memperkuat
11
dilingkungan pemerintah daerah selain BPKP adalah Aparat Inspektorat Daerah.
Pemda dan yang meraih Opini WTP 12 Pemda. Kemudian tahun 2010, BPKP
dan kuantitas auditor intern masih menjadi kendala besar dalam melaksanakan
tugasnya.
Keuangan Daerah sebagai dasar pengambilan keputusan BPK dalam LPJ keuangan
Tabel 1.1. Opini BPK Terhadap Lap. Keuangan Pemerintah Daerah Kota Ternate
12
Tabel 1 menunjukkan bahwa opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
terhadap laporan keuangan pemerintah daerah kota Ternate tahun anggaran 2010
s/d 2013 adalah wajar dengan pengecualian sedangkan pada tahun 2014 dengan
tentang rendahnya kualitas audit yang dilakukan oleh auditor pemerintah akibat
keuangan?
keuangan?
C. Tujuan Penelitian
13
1. Mengetahui dan membuktikan pengaruh kompetensi terhadap kualitas
laporan keuangan.
D. Kegunaan Penelitian
auditing.
14