Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Reformasi sektor publik dewasa ini adalah menguatnya tuntutan keterbukaan

dan akuntabilitas publik dalam proses pembangunan manajemen pemerintahan.

Sejalan dengan tuntutan reformasi, Pemerintah dan DPR-RI telah mengeluarkan UU

No. 32/ 2004 tentang pemerintah daerah dan UU No.33/ 2004 tentang perimbangan

keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Berdasarkan UndangUndang

tersebut sistem pemerintahan sentralisasi menjadi desentralisasi, yaitu adanya

pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah. Reformasi di bidang

pengelolaan keuangan yaitu terbitnya tiga paket peraturan keuangan Negara yang

meliputi; UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No.1 Tahun 2004

tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No.15 Tahun 2005 tentang Pemeriksaan

Keuangan Negara. Penetapan UU tersebut telah merubah sistem anggaran

tradisional menjadi berbasis kinerja, dan sistem akuntabilitas yang vertikal menjadi

horizontal. Dengan adanya pelaksanaan desentralisasi diharapkan setiap daerah

semakin efisien dan efektif dalam mengatur proses pembagunannya karena daerah

mendapat pelimpahan wewenang dan kebebasan yang luas untuk mengatur

kebijakan-kebijakan penting demi kemajuan daerahnya.

Fenomena yang terjadi dalam akuntansi sektor publik adalah tingginya upaya

pemerintah pusat maupun daerah untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan

sebagai bentuk pertanggungjawaban dalam rangka mewujudkan keterbukaan dan

1
akuntabilitas publik. Upaya tersebut mendapat dukungan BPKP dengan keluarnya

Keputusan Kepala BPKP Nomor: Kep-1025/K/SU/2011 Tentang Kebijakan

Pengawasan dan Pembinaan. Selain itu Kepala BPKP juga mengeluarkan

keputusan No : PER247/K/D4/2012 Tentang Pedoman Peningkatan Kualitas

Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Upaya peningkatan kualitas LKPD

juga sejalan dengan Inpres No. 4 Tahun 2011, tentang Percepatan Peningkatan

Kualitas Akuntabilitas Keuangan Negara. Dimana salah satu instruksinya, BPKP

diberi tugas melakukan asistensi kepada kementerian/ lembaga/ pemerintah daerah

untuk meningkatkan pemahaman bagi pejabat pemerintah pusat/ daerah dalam

pengelolaan keuangan Negara, meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan

perundang-undangan, serta meningkatkan kualitas laporan keuangan dan tata

kelola.

Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 64 Tahun 2007 menyebutkan

Inspektorat Kabupaten/Kota adalah aparat pengawas fungsional yang berada di

bawah dan bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota (Pasal 1). Kedudukan,

tugas, fungsi, dan susunan organisasi menyebutkan Inspektorat Kabupaten/Kota

berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota dan secara

teknis administratif mendapat pembinaan dari sekretaris daerah Kabupaten/Kota

(Pasal 2). Inspektorat Kabupten/Kota mempunyai tugas melakukan pengawasan

terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah Kabupaten/Kota,

pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan desa dan

pelaksanaan urusan pemerintahan desa (Pasal 3). Inspektorat provinsi dan

inspektorat kabupaten/kota dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud

2
dalam Pasal 4 menyelenggarakan fungsi : 1) Perencanaan program pengawasan 2)

Perumusan kebijakan dan fasilitasi pengawasan 3) Pemeriksaan, pengusutan,

pengujian dan penilaian tugas pengawasan. Susuanan organisasi Inspektorat

kabupaten/kota dalam Pasal 6 disebutkan, terdiri atas: a) Inspektur; b) Sekretariat;

mempunyai tugas menyiapkan bahan koordinasi pengawasan dan memberikan

pelayanan administrative dan fungsional kepada semua unsur di lingkungan

inspektorat kabupaten/kota. c) Inspektur Pembantu; mempunyai tugas

melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan daerah

dan kasus pengaduan. d) Kelompok Jabatan Fungsional; mempunyai tugas

melakukan kegiatan sesuai dengan bidang tenaga fungsional masing-masing sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sebagai pelaksana otonomi dan pengelola keuangan, Pemerintah Daerah

harus menyampaikan laporan keuangan atas pelaksanaan APBN/APBD sesuai

Standar Akuntansi Pemerintahan (UU No. 17/ 2003). Standar Akuntansi

Pemerintahan (SAP) merupakan prinsipprinsip akuntansi yang ditetapkan dalam

menyusun dan menyajikan laporan keuangan pemerintah. Ketentuan SAP yang

pertama diatur dalam PP No.24 Tahun 2005. Berdasarkan PP tersebut, sistem

akuntansi pemerintah yang digunakan adalah basis kas menuju akrual (cash toward

acrual). Basis kas digunakan untuk pengakuan pendapatan, belanja, dan

pembiayaan dalam Laporan Realisasi Anggaran, sedangkan basis akrual digunakan

untuk pengakuan aset, kewajiban, dan ekuitas dalam Neraca. Dalam rangka

peningkatan kualitas informasi pelaporan keuangan pemerintah merevisi PP No.24

Tahun 2005 dengan mengeluarkan PP no. 71 Tahun 2010 tentang Standar

3
Akuntansi Pemerintah (SAP) yang berbasis akrual. Penerapan akuntansi berbasis

akrual diperlukan untuk menghasilkan pengukuran kinerja yang lebih baik, serta

untuk memfasilitasi manajemen keuangan/ aset yang lebih transparan dan

akuntabel. Karakteristik kualitas informasi keuangan menurut SAP yaitu:

dibandingkan, dan mudah dipahami. Perubahan akuntansi berbasis kas menjadi

akrual bukan sekedar masalah teknis pencatatan transaksi dan menyajikan laporan

keuangan, tetapi membutuhkan kebijakan akuntansi (accounting policy), perlakuan

akuntansi untuk suatu transaksi (accounting treatment), pilihan akuntansi

(accounting choice), serta mendesain atau menganalisis sistem akuntansi yang ada.

Oleh karenanya, proses pelaporan keuangan pemerintah harus dikerjakan oleh SDM

yang memiliki kompetensi agar mampu menyusun dan menyajikan LKPD yang

berkualitas.

Tiga aspek utama yang mendukung terciptanya pemerintahaan yang baik

yaitu pengawasan, pengendalian, dan pemeriksaan atau audit. Audit pemerintah

merupakan salah satu elemen penting dalam penegakan kepemerintahan yang baik.

Namun demikian, praktiknya sering jauh dari yang diharapkan. Mardiasmo (2000)

menjelaskan bahwa terdapat beberapa kelemahan dalam audit pemerintah di

Indonesia, di antaranya tidak tersedianya indikator kinerja yang memadai sebagai

dasar pengukuran kinerja pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah

daerah dan hal tersebut umum dilakukan oleh organisasi publik karena output yang

dihasilkan yang berupa pelayanan publik tidak mudah diukur. Dengan kata lain,

ukuran kualitas audit masih menjadi perdebatan. Hasil audit pemerintah saat ini

memiliki kualitas yang kurang baik, dilihat dari fenomenafenomena yang terjadi

4
belakangan ini. Kualitas audit sebagai proses dimana seorang auditor harus

menemukan dan melaporkan pelanggaran dalam sistem akuntansi dengan

pengentahuan dan keahlian yang dimiliki.

Mengacu pada Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara

No.PER/05/M.PAN/03/2008, untuk dapat melakukan audit dengan baik, seorang

auditor harus mempunyai pengetahuan, keterampilan dan kompetensi lainnya yang

diperlukan dalam melaksankan tanggungjawabnya. Faktor-faktor lain yang juga

mempengaruhi kualitas audit yaitu kompetensi dan independensi auditor. Menurut

Deis dan Groux dalam Dwiyanti 2010) probabilitas untuk menemukan pelanggaran

tergantung pada kemampuan teknis atau kompetensi yang dimiliki auditor,

sedangkan probabilitas untuk melaporkan pelanggaran yang telah ditemukan

tergantung pada independensi yang dimiliki auditor. Standar umum pertama PSA

Nomor 04 dalam IAI (2011) menegaskan seorang auditor dalam melakukan audit

harus senantiasa bertindak sebagai seorang ahli dalam bidang akuntansi dan

auditing. Pencapaian keahlian dimulai dengan pendidikan formalnya, yang diperluas

melalui pengalaman-pengalaman selanjutnya dalam praktik audit. Auditor selain

menjalani pelatihan teknis yang mencakup aspek teknis maupun pendidikan umum,

juga harus memiliki kesadaran secara terus-menerus untuk mengikuti

perkembangan yang terjadi dalam bisnis dan profesinya.

Penelitian yang dilakukan oleh Septiari (2013) menunjukkan bahwa

kompetensi yang ditinjau dari pengetahuan berpengaruh signifikan terhadap kualitas

audit, kompetensi yang ditinjau dari pengalaman tidak berpengaruh signifikan

terhadap kualitas audit, sedangkan independensi auditor berpengaruh signifikan

5
terhadap kualitas audit. Penelitian yang dilakukan ardini (2010) dalam pamungkas

(2012) menyatakan bahwa kompetensi berpengaruh signifikan terhadap kualitas

audit. Hal ini menunjukkan dengan tingkat kemampuan yang dimiliki oleh auditor

akan menunjang kualitas audit yang dihasilkan. Penelitian serupa juga dilakukan

oleh Suraida (2005), Rai (2008), dan Sukriah, dkk (2009) bahwa kompetensi

berpengaruh signifikan terhadap kualitas hasil audit. Auditor harus memiliki dan

meningkatkan pengetahuan mengenai metode dan teknik audit serta segala hal

yang menyangkut pemerintahan seperti organisasi, fungsi, program, dan kegiatan

pemerintah untuk menunjang terciptanya hasil audit yang berkualitas (BPKP,1998).

Selain itu, Penelitian yang dilakukan oleh Indriasari (2008), Winindyaningrun

dan Rahmawati (2010) menyatakan, bahwa kapasitas SDM tidak berpengaruh

signifikan terhadap keterandalan LKPD. Namun menurut penelitian Irwan (2011),

Wansyah (2012), dan Yosefrinaldi (2013) hasilnya menyatakan, bahwa kompetensi

SDM berpengaruh signifikan terhadap kualitas LKPD. Selain itu hasil penelitian

Irwan (2011), Wansyah (2012) dan Yosefrinaldi (2013) juga menyatakan, bahwa

SPIP berpengaruh signifikan terhadap kualitas LKPD. Penelitian yang dilakukan Sari

(2014) bertujuan untuk mengetahui kualitas audit pada BPK RI Perwakilan Provinsi

Bali yang diukur melalui sikap skeptisme, pengalaman audit, kompetensi, dan

independensi seorang auditor. Berdasarkan hasil analisis diperoleh hasil bahwa,

sikap skeptisme, kompetensi, dan independensi berpengaruh positif dan signifikan

pada kualitas audit di BPK RI Perwakilan Provinsi Bali, sedangkan pengalaman audit

tidak berpengaruh pada kualitas audit di BPK RI Perwakilan Provinsi Bali. Hal ini

dikarenakan pengalaman yang dimiliki auditor berbeda-beda. Penelitian Anugerah

6
dan Akbar (2014) menunjukkan bahwa kompetensi dan skeptisme professional

auditor Inspektorat berpengaruh terhadap kualitas auditnya, sementara kompleksitas

tugas para auditor Inspektorat tidak ada pengaruhnya terhadap kualitas audit

mereka. Kompetensi dan skeptisme profesional merupakan standar yang harus

dipenuhi oleh seorang auditor untuk dapat melaksanakan audit dengan baik.

Sedangkan hasil4penelitian yang dilakukan oleh Wisnantiasri (2009), Dwiyanti

(2010), Tamara(2012), dan Nirmala dan Cahyonowati (2013) menunjukkan bahwa

independensiauditor berpengaruh terhadap kualitas audit. Semakin tinggi

independensi yangdimiliki oleh auditor, maka kualitas audit yang dihasilkan akan

semakin baik.Menurut Salsabila dan Prayudiawan (2011) kualitas hasil kerja

auditorsangat dipengaruhi oleh karakteristik individu masing-masing akuntan.

Lebih lanjut, Lestari (2013) dalam penelitiannya yang berjudul pengaruh

independensi, kompetensi, motivasi, objektivitas, dan integritas terhadap kualitas

audit aparat inspektorat dalam pengawasan keuangan daerah (studi empiris pada

pemerintah provinsi jawa tengah) bertentangan dengan penelitian sebelumnya.

Penelitian yang dilakukan oleh lestari (2013) menunjukkan bahwa kompetensi dan

motivasi tidak mempunyai pengaruh terhadap kualitas audit. Motivasi yang terdapat

di dalam maupun di luar diri seorang auditor tersebut tidak berpengaruh terhadap

kualitas audit yang dihasilkan. Penelitian yang dilakukanoleh Futri dan Juliarsa

(2014) menunjukkan bahwa independensi auditor tidakmempengaruhi kualitas audit

dikarenakan persaingan antar Kantor Akuntan Publik bisa jadi pemicu kurangnya

independensi auditor, sehingga auditor rentan mengikuti kemauan dari klien agar

tidak kehilangan pendapatannya. Sejalandengan penelitian yang dilakukan oleh

7
Mabruri dan Winarna (2010), Wardoyodkk., (2011), Ayuningtyas dan Pamudji

(2012), Carolita dan Rahardjo (2012),Tjun dkk., (2012), Yusdy (2012), dan

Butarbutar (2012) yang menemukan bahwa independensi tidak berpengaruh

terhadap kualitas audit.

Faktor lain yang diprediksi mempengaruhi kualitas audit laporan keuangan

pemerintah daerak kab/kota adalah karakteristik individu. Setiap manusia memiliki

karakteristik individu yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Berikut ini.

Mathiue & Zajac, (1990) menyatakan bahwa, Karakteristik personal (individu)

mencakup usia, jenis kelamin, masa kerja, tingkat pendidikan, suku bangsa, dan

kepribadian. Selanjutnya, Robbins (2006) menyatakan bahwa, Faktor-faktor yang

mudah didefinisikan dan tersedia, data yang dapat diperoleh sebagian besar dari

informasi yang tersedia dalam berkas personalia seorang pegawai mengemukakan

karakteristik individu meliputi usia, jenis kelamin, status perkawinan, banyaknya

tanggungan dan masa kerja dalam organisasi. Siagian (2008) menyatakan bahwa,

Karakteristik biografikal (individu) dapat dilihat dari umur, jenis kelamin, status

perkawinan, jumlah tanggungan dan masa kerja.

Dalam penelitian ini ada lima faktor pembentuk karakteristik individu yang

mempengaruhi kualitas audit, yaitu: jenis kelamin, usia, status perkawinan, masa

kerja. jenis kelamin yang telah membedakan individu sebagai sifat dasar pada

kodrat manusia. Adanya ketidaksetaraan gender disebabkan oleh diskriminasi

struktural dan kelembagaan. Keadaan ini sesuai dengan penelitian Walkup dan

Fenzau (1980) dalam Tahar (2012) ditemukan bahwa 41% responden yang mereka

teliti, yaitu para akuntan publik wanita meninggalkan karir mereka karena adanya

8
bentuk-bentuk diskriminasi yang mereka rasakan. Salsabila dan Prayudiawan (2011)

juga menyatakan bahwa komposisi antara auditor laki-laki dan perempuan sangat

jauh berbeda. Walaupun kompetensi yang dibutuhkan untuk profesi ini tidak ada

kaitannya dengan gender, tetapi menurut fakta dan data yang ada, keberadaan

perempuan dalam profesi ini sangat minim sekali. Berbeda dengan hasil penelitian

Kris et al., (2011) bahwa dalam menghasilkan pelaporan audit, perbedaan

(perempuan dan laki-laki) dapat mempengaruhi kualitas audit. Salah satu

penyebabnya adalah auditor perempuan lebih baik dan berpengalaman dalam

menangani konflik dibandingkan auditor laki-laki. Menurut Ati (2010) kualitas audit

yang baik akan menghasilkan laporan auditan yang mampu menyajikan temuan dan

melaporkan dengan sesungguhnya tentang kondisi keuangan kliennya, termasuk

apabila di dalamnya terjadi pelanggaran pada sistem akuntansi klien. Robbins

(2003) menyatakan bahwa, Tidak ada perbedaan yang konsisten antara pria dan

wanita dalam kemampuan memecahkan masalah, ketrampilan analisis, dorongan

kompetitif, motivasi, sosiabilitas atau kemampuan belajar. Namun studi-studi

psikologi telah menemukan bahwa wanita lebih bersedia untuk mematuhi wewenang

dan pria lebih agresif dan lebih besar kemungkinannya daripada wanita dalam

memiliki pengharapan untuk sukses. Bukti yang konsisten juga menyatakan bahwa

wanita mempunyai tingkat kemangkiran yang lebih tinggi dari pada pria. Dyne dan

Graham (2005) menyatakan bahwa Pada umumnya wanita menghadapi tantangan

lebih besar dalam mencapai karirnya, sehingga komitmennya lebih tinggi. Hal ini

disebabkan pegawai wanita merasa bahwa tanggung jawab rumah tangganya ada di

tangan suami mereka, sehingga gaji atau upah yang diberikan oleh organisasi

9
bukanlah sesuatu yang sangat penting bagi dirinya. Mowday (1982) menyatakan

bahwa, Wanita sebagai kelompok cenderung memiliki komitmen terhadap organisasi

lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Wanita pada umumnya harus mengatasi lebih

banyak rintangan dalam mencapai posisi mereka dalam organisasi sehingga

keanggotaan dalam organisasi menjadi lebih penting bagi mereka.

Dyne dan Graham (2005) menyatakan bahwa, Pegawai yang berusia lebih

tua cenderung lebih mempunyai rasa keterikatan atau komitmen pada organisasi

dibandingkan dengan yang berusia muda sehingga meningkatkan loyalitas mereka

pada organisasi. Robbins (2003) menyatakan bahwa, Semakin tua usia pegawai,

makin tinggi komitmennya terhadap organisasi, Siagian (2008) menyatakan bahwa,

Masa kerja menunjukkan berapa lama seseorang bekerja pada masing-masing

pekerjaan atau jabatan. Kreitner dan Kinicki (2004) menyatakan bahwa, Masa kerja

yang lama akan cenderung membuat seorang pegawai lebih merasa betah dalam

suatu organisasi, hal ini disebabkan diantaranya karena telah beradaptasi dengan

lingkungannya yang cukup lama sehingga seorang pegawai akan merasa nyaman

dengan pekerjaannya.

Mowday (1982) menyatakan bahwa, Wanita sebagai kelompok cenderung

memiliki komitmen terhadap organisasi lebih tinggi dibandingkan dengan pria.

Wanita pada umumnya harus mengatasi lebih banyak rintangan dalam mencapai

posisi mereka dalam organisasi sehingga keanggotaan dalam organisasi menjadi

lebih penting bagi merekaBerkaitan dengan antara status perkawinan seseorang.

Dyne dan Graham (2005) menyatakan bahwa, seseorang yang telah menikah

cenderung memiliki prestasi kerja yang baik karena akan menerima berbagai bentuk

10
imbalan, baik finansial maupun non finansial yang semuanya menunjukkan adanya

tanggung jawab yang lebih besar pada keluarganya. Mereka yang menikah lebih

terikat dengan organisasi, sehingga dapat membentuk suatu komitmen yang kuat

terhadap organisasi tempat mereka berada.

Masa kerja dalam penelitian ini diartikan sebagai lamanya pegawai bekerja

dalam organisasi atau perusahaan saat ini, tidak termasuk lamanya bekerja pada

perusahaan lain sebelumnya bagi pegawai yang telah pernah bekerja di perusahaan

lain. Robbins (2003) mengemukakan, Semakin lama karyawan bekerja pada suatu

organisasi semakin memberi dia peluang untuk menerima tugas-tugas yang lebih

menantang, otonomi yang lebih besar, keleluasan bekerja, tingkat imbalan ekstrinsik

yang lebih tinggi dan peluang menduduki jabatan atau posisi yang lebih tinggis

Terkait masalah pengendalian, pemerintah telah mengeluarkan PP No. 60

tahun 2008, tentang Sistem Pengendalian Internal Pemerintahan (SPIP

mengoptimalkan SPIP diharapkan pengendalian intern semakin efektif sehingga

dapat memediasi dalam mengatasi permasalahan rendahnya kualitas informasi

keuangan. Dengan terbitnya PP No.60 tahun 2008, pengawas intern memiliki peran

baru yaitu: Pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan Negara, pembinaan

penyelenggaraan SPIP, dan reviu laporan keuangan pemerintah pusat dan daerah.

Dengan paradigma baru ini, tugas pengawas tidak sekedar mengawasi pengelolaan

keuangan tetapi bersinergi dengan mitra kerja dalam rangka meningkatkan kualitas

laporan keuangan. Selama ini pemerintah kurang memperhatikan pendekatan soft

control dalam SPIP tetapi lebih sering merancang SPIP dengan memperkuat

pendekatan hard control. Pengawas intern yang melakukan pengawasan keuangan

11
dilingkungan pemerintah daerah selain BPKP adalah Aparat Inspektorat Daerah.

Berdasarkan PP No. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan

Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan, Inspektorat Kabupaten/ Kota

melakukan pengawasan terhadap;1). Pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah;

2). Pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan desa; 3).

Pelaksanaan urusan pemerintahan desa. Pada tahun 2009 BPKP mendampingi 15

Pemda dan yang meraih Opini WTP 12 Pemda. Kemudian tahun 2010, BPKP

mendampingi 22 Pemda yang meraih Opini WTP 19 Pemda. Prestasi ini

menunjukan efektifitas peran pengawas intern dalam melakukan pemeriksaan dan

pembinaan terhadap proses akuntansi pemerintahan dan penyusunan laporan

keuangan dalam rangka peningkatan kualitas LKPD. Namun, keterbatasan kualitas

dan kuantitas auditor intern masih menjadi kendala besar dalam melaksanakan

tugasnya.

Badan pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Maluku Utara dalam

pemeriksanaannya memberikan opini/pendapat tentang kewajaran Laporan

Keuangan Daerah sebagai dasar pengambilan keputusan BPK dalam LPJ keuangan

daerah kota Ternate tahun 2010 – 2014 sbb:

Tabel 1.1. Opini BPK Terhadap Lap. Keuangan Pemerintah Daerah Kota Ternate

NO Tahun Opini LKPD


1 2010 Wajar Dengan Pengecualian
2 2011 Wajar Dengan Pengecualian
3 2012 Wajar Dengan Pengecualian
4 2013 Wajar Dengan Pengecualian
5 2014 Wajar Tanpa Pengecualian
s Sumber : DP Tahun 2015

12
Tabel 1 menunjukkan bahwa opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

terhadap laporan keuangan pemerintah daerah kota Ternate tahun anggaran 2010

s/d 2013 adalah wajar dengan pengecualian sedangkan pada tahun 2014 dengan

opini wajar tanpa pengecualian.

Berdasarkan pertimbangan tersebut dan banyaknya opini masyarakat

tentang rendahnya kualitas audit yang dilakukan oleh auditor pemerintah akibat

fenomena-fenomena yang terjadi, maka penulis akan meneliti pengaruh kompetensi,

independensi auditor dan karakteristik individu terhadap kualitas audit kantor

inspektorat kota Ternate.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, maka dapat

dirumuskan masalah pokok sebagai berikut:

1. Apakah kompetensi berpengaruh terhadap kualitas laporan keuangan?

2. Apakah independensi auditor berpnegaruh terhadap kualitas laporan

keuangan?

3. Apakah karakteristik individu nerpengaruh terhadap kualitas laporan

keuangan?

4. Apakah kompetensi, independensi auditor dan karakterik individu secara

simultan berpegaruh terhadap kualitas laporan keuangan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan diatas, maka tujuan dari penelitian ini


adalah:

13
1. Mengetahui dan membuktikan pengaruh kompetensi terhadap kualitas

laporan keuangan.

2. Mengetahui dan membuktikan pengaruh indepenensi auditor terhadap

kualitas laporan keuangan.

3. Mengetahui dan membuktikan pengaruh karakteristik individu terhadap

kualitas laporan keuangan.

4. Mengetahui dan membuktikan pengaruh komppetensi, independensi auditor

dan karakteristik individu terhadap kualitas laporan keuangan.

D. Kegunaan Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan dan wawasan

mahasiswa serta memberikan kontribusi dalam bidang akuntansi khususnya

dalam ruang lingkup audit yang membahas mengenai kompetensi,

independensi auditor,karakteristik individu dan kualitas laporan keuangan.

2. Hasil penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas laporan

keuangan bagi kantor Inspektorat di Kota Ternate dalam mengaudit

laporan keuangan pemerintah daerah.

3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan dalam

melakukanpenelitian selanjutny dan memperkaya khasanah literatur dalam

duniapenelitian maupun akademik, khususnya di dunia akuntansi dan

auditing.

14

Anda mungkin juga menyukai