Anda di halaman 1dari 16

TUGAS TERSTRUKTUR DOSEN PENGAMPU

FIQIH ZAINAL MUTTAQIN, S.Ag. M.Ag

HALANGAN MENERIMA WARIS

LOKAL D

Oleh :

A. Fahmi Arif (180102010227)

Irfan Dhoni Kurniawan (180102010251)

FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI BANJARMASIN
2019
DAFTAR ISI

Daftar Isi ............................................................................................................ i


Kata Pengantar ................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 1
C. Tujuan .................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 2
A. Pengertian Penghalang Warisan ......................................................... 2
B. Halangan Mendapat Warisan .............................................................. 2
C. Orang-Orang Yang Mendapatkan Harta Waris Dari Golongan
Laki-Laki dan Prempuan ..................................................................... 11
BAB III PENUTUP ........................................................................................... 13
A. Kesimpulan ............................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 14
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt., hanya dengan izin-Nya terlaksana segala macam
kebajikan dan diraihnya segala macam kesuksesan.Syukur atas rahmat dan hidayah-Nya
penulis haturkan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “HALANGAN
MENERIMA WARISAN”.Makalah ini disusun untukmemenuhi salah satu tugas dari mata
kuliah Fiqh Mawaris. Shalawat, rahmat, dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi
Muhammad Saw, kepada beliau diturunkan wahyu Ilahi yaitu Al-Quran sebagai pedoman
bagi seluruh manusia. Semoga tercurah pula kepada keluarga dan sahabat-sahabat beliau serta
seluruh umat-Nya yang setia. Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari akan
kenyataan bahwasanya masih banyak terdapat kekeliruan, maupun kejanggalan dalam
makalah ini, namun hal ini bukanlah disengaja, melainkan keterbatasan kemampuan penulis
dalam beberapa hal. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dalam usaha menuju perbaikan.Akhir kata semoga makalah ini dapat memenuhi
syarat dan bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Banjarmasin, 31 Maret 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum Kewarisan Islam di dasarkan kepada beberapa ayat Al-quran.Sebagian
dari ayat-ayat kewarisan ini sudah begitu jelas dan pasti.Di antara ayat-ayat tersebut
ada yang masih memerlukan penjelasan dari Nabi, baik dalam penjelasan arti,
pembatasan maksud dan perluasan makna.Penjelasan Nabi ini terdapat dalam Sunah
Nabi atau Hadis.Hukum kewarisan Islam yang didasarkan kepada wahyu Allah dan
Sunah Nabi adalah ajaran agama atau fiqh tentang kewarisan harus dijadikan
pedoman bagi umat Islam dalam menyelesaikan masalah harta peninggalan orang
yang telah meninggal.
Hukum kewarisan Islam merupakan bagian dari hukum keluarga yang
memegang peranan sangat penting, bahkan menentukan dan mencerminkan sistem
dan bentuk hukum yang berlaku dalam masyarakat. Himpunan aturan-aturan hukum
yang mengatur tentang siapa ahli waris atau badan hukum mana yang berhak
mewarisi harta peninggalan.Bagaimana kedudukan masing-masing ahli waris serta
berapa perolehan masing-masing secara adil dan sempurna.Tetapi dalam makalah ini
lebih spesifik membahas tentang penghalang dalam mewarisi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian penghalang warisan?
2. Apa saja halangan mendapat warisan?
3. Siapa saja orang yang berhak menerima waris dari pihak laki laki?
4. Siapa saja orang yang berhak menerima waris dari pihak perempuan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian penghalang warisan.
2. Untuk mengetahui halangan mendapat warisan.
3. Untuk mengetahui orang yang berhak menerima waris pihak laki laki.
4. Unruk mengetahui orang yang berhak menerima waris pihak perempuan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Penghalang Warisan


Penghalang kewarisan adalah keadaan atau pekerjaan yang menyebabkan
seseorang yang seharusnya mendapat bagian warisan menjadi tidak mendapatkan
haknya. Penghalang pewarisan tersebut adalah pembunuhan, berlainan agama,
perbudakan, dan berlainan agama.1

B. Halangan Untuk Mendapatkan Warisan


Halangan untuk menerima warisan atau disebut mawani ‘al-irs adalah hal-hal
yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan dari harta
peninggalan al-muwarris. Adapun hal-hal yang dapat menghalangi tersebut, yang
disepakati Ulama ada tiga, yaitu: 1. Pembunuhan, 2. Perbudakan, 3. Berbeda negara,
dan yang tidak disepakati adalah 4. Berlainan negara.

1. Pembunuhan
Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap al-muwarris
menyebabkannya tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang diwarisinya.
Demikian kesepakatan mayoritas (Jumhur) Ulama. Golongan Khawarij yang
memisahkan diri dari Ali ibn Abi Thalib dan Muawiyah menentang pendapat ini.
Alasan mereka, ayat-ayat al-Qur’an tidak mengecualikan si pembunuh. Ayat-ayat
mawaris hanya memberi petunjuk umum. Oleh karena itu keumuman ayat-ayat
tersebut harus diamalkan.2
Dasar hukum yang melarang si pembunuh mewarisi harta peninggalan si mati
adalah sabda Rasulullah saw, di antaranya:
a. Riwayat Ahmad dari ibn Abbas:
‫قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم من قتل قتيال فإ نه الير ثه وإن لم يكن له وارث غيره وإن‬
‫كان له والده اوولده فليس لقاتل ميراث‬

1
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Eds. Pertama, Cet ke-4, Hlm. 194.Jakarta:Kencana,
2012.
2
Muhammad Abd al-Rahim, al-Muhadarat fi al-Miras al-Muqaran, Kairo: tt, hlm. 48.
“Rasulullah saw, bersabda: “Barangsiapa membunuh seorang korban, maka ia tidak
dapat mewarisinya, walaupun korban tidak mempunyai ahli waris selain dirinya
sendiri. (Begitu juga) walaupun korban itu adalah orang tuanya atau anaknya sendiri.
Maka bagi pembunuh tidak berhak menerima warisan.” (Riwayat Ahmad).
b. Riwayat al-Nasa’i:
‫ليس للقا تل من الميراث شيء‬
“Tidak ada hak bagi pembunuh sedikitpun untuk mewarisi”.
Persoalannya, mengingat banyak jenis dan macam pembunuhan yang mana
yang menghalangi si pembunuh untuk mewarisi korban. Para ulama berbeda
penda`pat dalam masalah ini.
Ulama madzhab Hanafiah menjelaskan bahwa pembunuhan yang menjadi
penghalang mewarisi adalah:
1. Pembunuhan yang dapat diqisas, yaitu pembunuhan yang dilakukan secara
sengaja, direncanakan dan menggunakan peralatan yang dapat menghilangkan
nyawa orang lain, seperti pedang, golok, atau bendak tajam lainnya.
2. Pembunuhan yang hukumannya berupa kafarat, yaitu:
Pembunuhan mirip sengaja (syibh al-‘amd), seseorang sengaja memukul
atau menganiaya orang lain tanpa disertai niat membunuhnya. Tetapi tiba-tiba
orang yang dipukul meninggal dunia. Pembunuhannya dikenakan kafarat.
Menurut Imam Abu Yusuf dan Muhammad al-Syaibani, pembunuhan
mirip sengaja dikategorikan sengaja, dengan menitikberatkan pada kematian
korban, jadi bukan teknis memukul atau menganiaya yang dilihat. Pemahaman ini
membawa implikasi terhadap jenis hukumannya, karena tidak lagi kafarat tetapi
berubah menjadi qisas.
3. Pembunuhan khilaf (qatl al-khata’). Ini dapat dibedakan pada dua, pertama,
khilaf maksud. Misalnya seseorang menembakkan peluru pada sasaran yang
dikira binatang dan mengenai sasaran, lalu mati. Ternyata yang terkena sasaran
adalah manusia. Kedua, khilaf tindakan, seperti seseorang menebang pohon, tiba-
tiba mengenai yang melihatnya dari bawah hingga tewas.
Abd al-Qadir Audah dalam buku al-Tasyri’ al-Jina’I al-Islamy memberi
contoh, seseorang melepaskan tembakan pada suatu sasaran dengan maksud
latihan, tetapi mengenai keluarganya. Kekeliruan ini terletak pada tindakannya
yaitu tidak mengenai sasaran yang dimaksud dan justru mengenai sasaran lain
yang berakibat keluarganya meninggal dunia.3
4. Pembunuhan dianggap khilaf (al-jar majra al-khata’)
Contohnya, seseorang membawa beban, tanpa disengaja beban tersebut menimpa
saudaranya hingga tewas. Dalam hal ini si pembawa beban tadi dikenakan
hukuman kafarat.
Lebih lanjut Ulama Hanafiah mengatakan bahwa pembunuhan yang tidak
mengahalangi hak seseorang untuk mewarisi ada empat, yaitu:

1. Pembunuhan tidak langsung (tasabbub.


2. Pembunuhan karena hak, seperti algojo yang diserahi tugas membunuh si
terhukum.
3. Pembunuhan oleh orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
4. Pembunuhan karena uzur, seperti pembelaan diri.4

Ulama madzhab Malikiyah menyatakan bahwa pembunuhan yang menjadi


pengahalang mewarisi adalah:

1. Pembunuhan sengaja.
2. Pembunuhan mirip sengaja.
3. Pembunuhan tidak langsung yang disengaja.

Sementara pembunuhan yang tidak menjadi penghalang mewarisi adalah:

1. Pembunuhan karena khilaf.


2. Pembunuhan oleh orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
3. Pembunuhan yang dilakukan karena hak, seperti algojo melkasanakan hukuman
qisas, dan
4. Pembunuhan karena uzur.

Ulama madzhab Syafi’iyah menyatakan secara mutlak bahwa semua jenis


pembunuhan merupakan pengahalang mewarisi.Di sini mereka tidak membedakan
pembunuhan, apakah yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung,

3
Abd al-Qadir Audah, al-Tasyri’ al-Jina’I al-Islamy, Mesir: Dar al-Fikr al-Araby, tanpa tahun, hlm. 84.
4
Fatchur Rahman, op. cit,.,hlm. 89.
beralasan atau tidak beralasan. Jadi seorang algojo misalnya, yang melakukan
tembakan terhadap terhukum yang masih ada hubungan keluarga, maka ia tidak
berhak mewarisi harta peninggalan si terhukum, kendatipun tidak ahli waris lainnya.
Dasar hukum yang digunakan adalah keumuman sabda rasulullah saw, riwayat
al-Nasa’i seperti dikutip terdahulu. Selain itu diperkuat lagi, bahwa tindakan maker
pembunuhan dengan segala macam tipenya itu memutuskan tali perwalian.Di mana
justru perwalian itu sendiri menjadi dasar saling mewarisi. Dengan demikian,
tindakan pembunuhan itulah yang mewujudkan adanya pengahalang (mawani’) untuk
dapat mewarisi.5
Ulama Hanabilah mengemukakan pendapat yang lebih realistis.Yaitu
pembunuhan yang diancam hukuman qisas, kafarat dan diyatlah yang dapat menjadi
penghalang mewarisi bagi ahli waris. Rinciannya adalah:
1. Pembunuhan sengaja.
2. Pembunuhan mirip sengaja.
3. Pembunuhan yang dianggap khilaf.
4. Pembunuhan khilaf.
5. Pembunuhan tidak langsung, dan
6. Pembunuhan oleh orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa mayoritas ulama berpendapat
bahwa jenis pembunuhan adalah menjadi penghalang mewarisi, kecuali pembunuhan
yang hak yang dibenarkan oleh syariat Islam.Seperti algojo yang melaksanakan
hukuman qisas, atau hukuman bunuh lainnya.
Persoalan lain yang muncul sehubungan dengan masalah ini perlu kiranya
dipertimbangkan. Banyak cara ditempuh si pembunuh untuk merealisasikan niat
jahatnya. Seseorang bias saja melakuakan pembunuhan dengan meminjam tangan
orang lain, atau menggunakan racun misalnya. Dalam kasus seperti ini, tentu tidak
mudah menentukan siapa pelaku pembunhan itu.Oleh karena itu, peran hakim dalam
menemukan kebenaran materril menjadi tumpuan terakhir untuk menentukan jenis
pembunuhan.Apakah berakibat menjadi penghalang mewarisi atau tidak.
2. Berlainan Agama

5
Ibid.,hlm. 91.
Berlainan agama yang menjadi pengahalang mewarisi adalah apabila antara
ahli waris dan al-muwarris salah satunya beragama Islam, yang lain bukan
Islam.Misalnya ahli waris beragama Islam, muwarrisnya beragama Kristen atau
sebalinya.Demikian kesepakatan mayoritas ulama.Jadi, apabila ada orang meninggal
yang beragama Budha, ahli warisnya beragama Hindu di antara mereka tidak ada
halangan untuk mewarisi.Begitu juga tidak termasuk dalam pengertian berbeda
agama, orang-orang Islam yang berbeda madzhab, satu bermadzhab Sunny dan
lainnya Syi’ah.
Dasar hukumnya adalah hadits Rasulullah saw, riwayat Imam Bukhari dan
Muslim:
‫ال يرث المسلم الكافروالالكافر المسلم‬
“Orang Islam tidak mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi
harta orang Islam”.
Hadits riwayat Ashab al-Sunan (penulis kitab-kitab al-sunan)6 berikut:
‫اليتوارث اهل الملتين شتى‬
“Tidak dapat saling mewarisi antara dua orang pemeluk agama yang berbeda-
beda”.
Ini diperkuat dengan keumuman ayat 141 surah al-Nisa’ sebagai berikut:
‫ولن يجعل هللا للكفرين على المؤ منين سبيال‬
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan suatu jalan bagi orang-orang kafir
(untuk menguasai orang mukmin)”.
Nabi saw, sendiri mempraktekkan pembagian warisan, di mana perbedaan
agama menjadi penghalang mewarisi, ketika paman beliau, Abu Thalib orang yang
cukup berjasa dalam perjuangan Nabi swa, meninggal sebelum masuk Islam, oleh
Nabi harta warisannya hanya dibagikan kepada anak-anaknya yang masih kafir, yaitu,
‘Ugail dan Thalib. Sementara anaknya-anaknya yang telah masuk Islam, Ali dan
Ja’far, tidak diberi bagian.
Penjelasan di atas dapat dipahami bahwa yang menjadi pertimbangan apakah
antara ahli waris dan muwarris berbeda agama adalah pada saat muwarris
meninggal.Karena pada saat itu hak warisan itu mulai berlaku. Jadi misalnya ada
seorang muslim meninggal dunia, terdapat ahli waris anak laki-laki kafir, kemudian

6
Yaitu Imam Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’I, dan Ibn Majah
seminggu setelah masuk Islam, meski warisan belum dibagi, anak tersebut tidak
berhak mewarisi peninggalan si mati. Dan bukan saat pembagian warisan dijadikan
pedoman.Demikian kesepakatan mayoritas Ulama.
Imam Ahmad ibn Hanbal dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa
apabila seorang ahli waris masuk Islam sebelum pembagian warisan, maka ia tidak
terhalang untuk mewarisi. Alasannya, karena status berlainan agama sudah hilang
sebelum harta warisan dibagi.
Pendapat Imam Ahmad di atas sejalan dengan pendapat golongan madzhab
Syi’ah Imamiyah.Pertimbangannya sebelum harta dibagi, harta-harta tersebut belum
menjadi hak ahli waris yang saat-saat kematian muwarris telah memeluk Islam.
Namun pendapat terakhir ini, agaknya sulit diikuti, karena besar kemungkinan,
kecenderungan seseorang untuk menguasai harta warisan akan dengan mudah
mengalahkan agama yang dipeluknya, dan menyalahgunakan agama Islam sebagai
upaya memperoleh harta warisan. Walaupun pada saat kematian muwarris, ia masih
berstatus kafir, sebelum harta dibagi, ia memeluk Islam untuk tujuan mendapatkan
warisan.
Mayoritas Ulama mengajukan alasan apabila yang menjadi ketentuan hak
mewarisi adalah saat pembagian warisan, tentu akan muncul perbedaan pendapat
tentang mengawalkan atau mengakhirkan pembagian warisan.7
Pemahaman yang dapat diambil dari kasus pembagian warisan Abu Thalib,
adalah bahwa perbedaan agama yang sama-sama bukan Islam tidak menjadi
penghalang.Hakikatnya antara agama-agama selain Islam adalah satu, yaitu agama
yang sesat.Demikian pendapat Ulama-ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Abu Dawus
al-Zahiry. Dasar hukumnya firman Allah Swt:
‫فما ذابعدالحق اال الضلل‬
“…maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan…” (QS. Yunus:32)
Imam Malik dan Ahmad mengemukakan pendapat bahwa perbedaan agama
yang sama-sama bukan Islam tetap menjadi penghalang mewarisi. Dasarnya adalah,
masing-masing agama mereka mempunyai syariat sendiri-sendiri, seperti diisyaratkan
firman Allah Swt:
‫لكل جعلنامنكم شرعة ومنهاجا‬

7
Fatchur Rahman, op, cit., hlm. 98.
“Bagi setiap umat di antara kamu, Kami jadikan suatu peraturan dan tata cara
(sendiri-sendiri)…” (QS. al-MAidah: 48).
Mengenai orang murtad orang yang keluar dari agama Islam para Ulama
memandang mereka mempunyai kedudukan hukum sendiri.Hal ini karena orang
murtad dipandang telah memutuskan tali (silah) syari’ah dan melakukan kejahatan
agama.8Karena itu, meskipun dalam isyarat al-Qur’an mereka dikategorikan sebagai
orang kafir, para Ulama menyatakan bahwa harta warisan orang murtad tidak diwarisi
oleh siapapun, termasuk ahli warisnya yang sama-sama murtad. Harta peninggalannya
dimasukkan ke Baiat al-mal sebagai harta fai’ (rampasan) dan digunakan untuk
kepentingan umum.
Imam Hanafi member ketentuan, apabila si murtad memiliki harta yang
diperoleh ketika masih memeluk Islam, dapat diwarisi oleh ahli-ahli warisnya yang
muslim. Selebihnya, dimasukkan ke baiat al-mal.Sudah barang tentu hal ini dapat
dilakukan jika dapat dipisah-pisahkan harta mana yang diperoleh ketika Muslim dan
mana yang diperoleh setelah murtad.Apabila tidak bias dipisah-pisahkan, maka
sebaiknya semua kekayaannya dimasukkan ke baiat al-mal.
3. Perbudakan
Perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena status
kemanusiaannya, tetapi semata-mata karena status formalnya sebagai hamba sahaya
(budak). Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang untuk menerima
warisan karena ia dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Firman Allah
menunjukkan:
‫ضرب هللا مثال عبدا مملو كااليقدر على شىء‬
“Allah telah membuat perumpamaan (yakni) seorang budak (hamba sahaya) yang
dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu apapun…” (QS. al-Nahl: 75).
Islam sangat tegas tidak menyetujui adanya perbudakan, sebaliknya sangat
menganjurkan agar setiap budak hendaknya dimerdekakan.Pada hakikatnya
perbudakan tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan (humanisme) dan rahmat
yang menjadi ide dasar ajaran Islam.Melalui sanksi-sanksi hukum pelaku pelanggaran
atau kejahatan, memerdekakan budak merupakan salah satu alternative hukum.Ini
dimaksud agar secepatnya perbudakan dihapuskan dari muka bumi.

8
Muslich Maruzi, Pokok-pokok Ilmu Waris, Semarang: Mujahidin, 1981, hlm. 16.
Seorang hamba sahaya secara yuridis dipandang tidak cakap melakukan
perbuatan hukum.Hak-hak keberadaannya berada pada tuannya. Oleh karena itu ia
tidak bias menerima warisan dari tuannya. Lebih dari itu, hubungan kekerabatan
dengan saudara atau keluarganya sendiri terputus.Ahmad Muhammad al-Jurjawy
mengemukakan bahwa budak itu tidak dapat mewarisi harta peninggalan tuannya
apabila tuannya meninggal.Karena budak itu sendiri statusnya sebagai “harta” milik
tuannya.Sebagai “harta” tentu tidak bias memiliki, tetapi dimiliki, dan yang memiliki
hanyalah yang berstatus sebagai tuannya.
Begitu pula apabila ia sebagai muwarris, tidak bias mewariskan hartanya
sebelum ia merdeka. Misalnya ada seorang budak mukatab yaitu budak yang berusaha
membebaskan dirinya sendiri dengan kesanggupan membayar angsuran sejumlah
uang, atau melalui pekerjaan, menurut pejanjian yang telah disepakati antara ia
dengan tuannya, meskipun statusnya sebagai budak tidak penuh, tidak bias
mewariskan kekayaan yang ditinggalkannya.
4. Berlainan Negara
Pengertian Negara adalah suatu wilayah yang ditempati suatu bangsa yang
memiliki angkatan bersenjata sendiri, kepala Negara tersendiri, dan memiliki
kedaulatan sendiri dan tidak ada ikatan kekuasaan dengan Negara asing. Maka dalam
konteks ini, Negara bagian, tidak dapat dikatakan sebagai Negara yang berdiri sendiri,
karena kekuasaan penuh berada di Negara federal.
Adapun berlainan Negara yang menjadi penghalang mewarisi adalah apabila
di antara ahli waris dan muwarrisnya berdomisili di duan Negara yang berbeda
kriterianya seperti tersebut di atas. Apabila dua Negara sama-sama muslim, menurut
para Ulama, tidak menjadi pengahalang mewarisi. Malahan, mayoritas Ulama
mengatakan, meskipun Negara berbeda, apabila antara ahli waris dan muwarrisnya
non muslim, tidak berhalangan bagi mereka untuk saling mewarisi. Dalam pada itu
Imam Abu Hanifah dan sebagian madzhab Hanbilah menyatakan bahwa antara
mereka yang berlainan Negara dan sama non muslim terhalang untuk saling mewarisi.
Dasar hukum yang dijadikan landasan mayoritas Ulama, antara muwarris dan
ahli waris yang berbeda Negara yang sama-sama muslim tidak terhalang haknya
mewarisi adalah sabda Nabi saw:
‫اذالمسلمان جعل احدهماعلى اخيه السالح فهما على حرق جهنم فإذاقتل احدهماصاحبه دخالهاجميعا‬
‫فقلنايارسول هللا هذاالقاتل فمابال لقتول؟ قال انه قدارادقتل صاحبه‬
“Apabila dua orang muslim seorang (mengajak perang saudaranya) dengan
membawa pedang, maka keduanya telah beradu di tepi Jahanam.Apabila salah
seorang membunuh kawannya, kedua-duanya sama-sama masuk neraka. Kami
bertanya, “Ya RAsulullah saw ini adalah untuk si pembunuh, lalu bagaimana si
terbunuh? Beliau menjawab: “Sesungguhnya ia juga menginginkan membunuh
kawannya.””(Riwayat Imam Bukhari).
Antara Negara yang sama-sama muslim pada hakikatnya adalah satu,
meskipun kedaulatan, angkatan bersenjata dan kepala negaranya sendiri-sendiri.
Negara hanya semata-mata sebagai wadah perjuangan, yang masing-masing di antara
mereka terikat oleh satu persaudaraan, yaitu ukhuwah Islamiyah.
Jadi yang lebih prinsip tampaknya adalah soal beda agama anatar ahli waris
dan muwarrisnya. Meskipun berbeda Negara, jika tidak ada perbedaan agama, tidak
ada halangan.
C. Orang-Orang Yang Mendapatkan Harta Waris Dari Golongan Laki-Laki dan
Prempuan
Secara ringkas, jumlah orang-rang yang mendapatkan bagian harta
peninggalan baik laki laki maupun perempuaan itu, ada tujuh belas orang. Sedangkan
jumlah hitungan secara rinci, semuanya ada dua puluh lima orang yaitu sebagai
berikut:
1. Anak laki-laki.
2. Cucu laki-laki dari laki-laki kebawah, selama dari jalur laki-laki.
3. Ayah.
4. Kakek (ayahnya ayah) keatas, selama dari jalur laki-laki.
5. Saudara laki-laki secara umum, yaitu :
a. Sekandung.
b. Se-ayah.
c. Se-ibu.
6. Anak laki-lakinya saudara laki-laki, terdiri dari:
a. Sekandung.
b. Se-Ayah.
7. Saudara laki-lakinya ayah terdiri dari:
a. Sekandung.
b. Se-Ayah.
8. Anak laki-lakinya saudara laki-laki ayah, terdiri dari:
a. Sekandung.
b. Se-Ayah.
9. Suami.
10. Nenek/ (ibu ayah atau ibunya ibu) keataas, dengan syarat tidak diselingi seorang laki-
laki diantara dua orang perempuan, misalnya:
a. Ibu Ibunya Ibu.
b. Ibu Ibunya anak laki-lakinya ayah.
11. Anak Perempuannya anak laki-laki kebawah, selama dari jalur laki-laki secara murni.
12. Ibu.
13. Anak perempuaan.
14. Istri.
15. Budak laki-laki yang telah dimerdekakan.
16. Budak perempuaan yang telah dimerdekakan.
17. Saudara perempuaan secara mutlak dan umum,yaitu:
a. Sekandung.
b. Se-Ayah.
c. Se-Ibu.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Penghalang warisan adalah keadaan atau pekerjaan yang menyebabkan seseorang
yang seharusnya mendapat bagian warisan menjadi tidak mendapatkan haknya.
2. Penghalang warisan ada empat:
 Pembunuhan: Pembunuhan yang dialkukan ahli waris terhadap al-muwarris
menyebabkannya tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang
diwarisinya.
 Berlainan agama: Berlainan agama yang menjadi pengahalang mewarisi
adalah apabila antara ahli waris dan al-muwarris salah satunya beragama
Islam, yang lain bukan Islam.
 Perbudakan: Perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena
status kemanusiaannya, tetapi semata-mata karena status formalnya sebagai
hamba sahaya (budak). Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak
terhalang untuk menerima warisan karena ia dianggap tidak cakap melakukan
perbuatan hukum.
 Berlainan agama: Pengertian Negara adalah suatu wilayah yang ditempati
suatu bangsa yang memiliki angkatan bersenjata sendiri, kepala Negara
tersendiri, dan memiliki kedaulatan sendiri dan tidak ada ikatan kekuasaan
dengan Negara asing. Maka dalam konteks ini, Negara bagian, tidak dapat
dikatakan sebagai Negara yang berdiri sendiri, karena kekuasaan penuh berada
di Negara federal.
DAFTAR PUSTAKA
Maruzi, Muslich, 1981, Pokok-Pokok Ilmu Waris, Semarang: Mujahidin
Prodjodikoro, Wiryono, 1991, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung
Rofiq, Ahmad. 1998. Fiqh Mawaris, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Salman, Otje. Mustofa Haffas, 2002, Hukum Waris Islam, Bandung: PT Refika Aditama
Usman, Suparman. Yusuf Somawinata, 1997, Fiqh Mawaris, Jakarta: Gaya Media.

Anda mungkin juga menyukai