Anda di halaman 1dari 4

PELANGI DI HARI PETANG

Awal dari sebuah kisah nyata yang akan kuceritakan, tentang dua orang yang sangat
bersahabat dan orang bersahabat ini namanya Unhi dan Anha, mereka tinggal dengan
kampung yang sama dan rumahnya pun berdekatan. Dari kecil sampai mereka beranjak
dewasa mereka selalu bersama-sama. Namun di beranjak dewasanya mereka telah terpisah.
Di sore hari dengan cuaca yang tidak bersahabat, awan hitam menyelimuti langit biru
yang cerah di sertai dengan rintik hujan. Unhi datang ke rumah Anha dan Anha tepat ada di
teras rumahnya sambil menulis.

Unhi : “Hai anha, ke bengkel yuk” (belum juga ia turun dari motornya ia langsung menegur
anha yang duduk di teras sambil menulis).
Anha : “Ngapain?” (dengan penuh tanya).
Unhi : “Tempel ban motor aku”.
Anha : “Oh.... Ntar yah aku nyimpan ini dulu” (sambil mengangkat bukunya untuk di
perlihatkan pada unhi yang gak mau turun dari motornya).
Unhi : “Siippp... gak pake lama yah”!!!.

Setelah menyimpan bukunya, anha pun menghampiri unhi. Seketika itu, unhi
termenung dengan matanya yang berkaca-kaca. Hal itu membuat anha tertegun dan
penasaran menyapa sahabatnya yang selalu ceria tiba-tiba seperti itu, ia pun mencoba
menanyakan apa yang sudah terjadi.

Anha : “Hei, kamu kenapa?” (sambil menepuk pundak unhi yang sedang termenung).
Unhi : “Anha, jauh dari ibu itu sangat berat buat aku. Aku kangen sama ibuku” (sambil
mencoba tersenyum, saat itu air matanya tiba-tiba menetes).
Anha : “Kangen sama ibu? Loh, ibu kamu ke mana?” (tanya anha penuh penasaran).
Unhi : “Entahlah, katanya pergi kerja di tempat jauh” (jawabnya kurang serius).
Anha : “Oh.. gitu yah... Aku kira sih ibumu gak ke mana-mana?
Unhi : “Dia tidak di rumah. Yuk kita jalan” (sambil menyuruh anha naik motor).

Mereka berdua pun bergegas meninggalkan rumah anha. Mereka melewati jalan
yang di samping kiri-kanannya terbentang hamparan sawah yang luas. Sore itu memang
terasa berbeda perasaan anha selalu gusar entah kenapa, ia tak merasakan ketenangan saat
itu. Berbeda dengan hari-hari lain yang ia lalui bersama unhi sang penyemangat yang selalu
berusaha tersenyum walau ia sedang terluka.
(Tak lama kemudian mereka tiba di tempat tujuan (bengkel))
Anha : “Duh... gimana nih unhi di sini antri banget kita pasti lama” (melihat banyak orang
yang sedang antri untuk memperbaiki motornya).
Unhi : “Gak apa-apa, kita tunggu saja sampai motor mereka sudah selesai di kerjakan”
Anha : “Oh... Baiklah”.
Beberapa saat kemudian sang tukang bengkel pun telah menyelesaikan beberapa
motor yang telah ada sebelum anha dan unhi datang. Sudah saatnya motor unhi di kerjakan
dan tak lama kemudian salah satu tukang bengkel pergi mengambil pepaya untuk di
suguhkan kepada anha dan unhi.

Tukang bengkel : “Ade, daripada nungguin sambil duduk ajha nih kakak ada pepaya buat
ade, kalo ade mau sih?”
Unhi : “Mau sih kak tapi ngupasnya pake apa?”
Anha : “Gak usah kak Gak apa-apa!” makasih.
Tukang bengkel : “Oh... yaudah” (tukang bengkel meninggalkan keduanya menuju tempat
kerjanya).
Anha : “Unhi, coba kamu lihat ke atas sana” (sambil menunjuk ke arah langit yang saatitu
tampak berbeda, langit terlihat indah, dengan hiasan awan yang kala itu memiliki
warna yang menakjubkan).
Unhi : “Woww... indah sekali awan itu!” (jawabnya terkejut) “aku foto yah” (sambil
mengeluarkan Hpnya dan memotret awan itu).
Anha : (anha hanya terdiam memandangi langit yang tak biasanya ia lihat).

Tak terasa sore sudah berlalu adzan magrib pun di kumandangkan dan akhirnya
motor unhi pun telah selesai di perbaiki. Mereka pun pergi mencari kios untuk membeli air
minum. Sehabis itu mereka berdua pun beranjak untuk pulang.

Unhi : “Ugghhh...perih...” (keluh unhi akibat ada sesuatu yang mengenai matanya).
Anha : “Ada apa?”... (tanya anha yang kaget mendengar keluhan temannya).
Unhi : “Entahlah, ada sesuatu di mataku... em perih” (jawabnya pelan).

Mereka berdua ngobrol di atas motor. Sampai akhirnya mereka berhenti untuk
bertukaran posisi yang tadinya unhi yang mengemudi motor berubah menjadi anha yang
mengemudi.

Unhi : “anha stop!.. kita isi bensin dulu” (berhenti dan mengajak anha turun dari motor).
Anha : “siipp... kamu duduk di belakang yah... kita tukaran...” (sahut anha, sok memerintah).
Unhi : “tunggu dulu, sebelum kita pulang mampir ajha dulu di penjual gorengan itung-itung
buat nyenengin orang rumah, biar gak pada marah kita pulang malam”
Anha : “Setuju. Aku mau tuh... (jawabnya sambil menyalakan mesin motor dan bergegas
pergi).

Setibanya mereka di sana (penjual gorengan) mereka pun memesan beberapa


gorengan untuk di bawa pulang. Seusai itu mereka meninggalkan penjual gorengan menuju
pulang.
Malam itu merupakan malam tragedi yang sangat memilukan, tenyata kebersamaan
mereka berdua saat itu merupakan perpisahan untuk selama-lamanya. Tak pernah anha
sadari bahwa ia akan kehilangan seorang sahabat yang sangat dekat dengannya. Di jalan
perjalanan pulang mereka mengalami kecelakaan yang merenggut nyawa unhi, kejadian
yang begitu tragis, akibat kelalaian para pengendara mobil truk di depan mereka tiba-tiba
berbelok tanpa lampu weser mereka pun menghindari mobil itu tapi apa daya takdir tak
dapat di elakkan menghindari mobil itu malah membuat mereka menabrak mobil lain yang
tiba-tiba muncul dari depan, anha masih bisa di selamatkan tapi unhi ia di temukan
tergeletak tak bernyawa akibat benturan di kepalanya yang membuat wajahnya tak
berbentuk sempurna lagi. Anha yang saat itu terbaring di jalanan akhirnya di bawa ke
puskesmas terdekat. Namun di sana ia belum bisa di tolong karena lukanya cukup parah,
kemudian pihak puskesmas mengeluarkan surat rujukan agar anha bisa di bawa ke rumah
sakit secepat mungkin. Dalam keadaan sakit anha terus menanyakan keadaan sahabatnya
tapi tak seorang pun yang memberitahunya bahwa unhi telah meninggal. Mereka hanya
mengatakan bahwa unhi berada di rumah sakit, keesokan harinya anha menjalani operasi di
bagian kepalanya. Setelah 3 hari ia di rumah sakit anha bermimpi tentang unhi. Dalam
mimpinya ia melihat unhi datang ke rumahnya, ia duduk di atas tempat tidur anha dan
menceritakan bahwa seakan-akan ia tahu apa yang terjadi pada dirinya.

Unhi : “Anha sebenarnya kaki ini sudah putus, kepala ini sudah hancur” (ucapannya sambil
nangis).
Anha : “Ssstt... kamu ngomong apa sih?”... (jawab anha heran, ia pun terbangun dan
menceritakan hal tersebut kepada ibunya).

Selama 13 hari anha di rawat di rumah sakit setelah itu ia di bawa ke rumah
neneknya yang tidak jauh dari rumah sakit. Ia di sana selama 7 hari kemudian ia pulang ke
rumahnya. Sebelum pulang neneknya pun hendak menceritakan hal sebenarnya kepada
anha.

Nenek : “Anha, sekarang sudah saatnya kamu tahu hal yang sebenarnya?” (ucapnya
terbata-bata seakan ia ragu).
Anha : “Apa maksud nenek dengan hal yang sebenarnya?” (tanya anha kebingunan).
Nenek : “Sebenarnya teman kamu unhi telah meninggal”. (jawabnya iba).
Anha : “Nenek ngomong apa? Kenapa selama ini kalian membohongiku? (anha berbicara
dengan sedikit membentak).

Hal tersebut membuat anha sangat terluka, ia sadar bahwa ia betul telah kehilangan
sahabatnya. Kembali ia menyadari bahwa itulah takdirnya ia harus rela melepas sahabatnya
walau sukar untuk ia mengikhlaskan. Setiap hari yang ia lalui tak lepas dari penyesalan.
Mengapa saat itu ia menuruti kemauan sahabatnya, seandainya ia tak turuti ajakan
sahabatnya mungkin saja hal itu tak terjadi atau unhi tak akan meninggal. Namun percuma
ia merasa penyesalan itu hanya sia-sia belaka. Iapun mulai menerima kenyataan bahwa
setiap manusia telah di tentukan garis kehidupannya.

Anda mungkin juga menyukai