Anda di halaman 1dari 15

Nama: Verdy Cendana

NIM: 04011181722012
Kelas: Alpha 2017
LEARNING ISSUES
1. Thalassemia
a. Definisi
Thalassemia, atau secara komprehensif dikenal dengan sindrom thalassemia adalah grup heterogen anemia hemolitik yang diwariskan
dengan ciri-ciri defisiensi atau tidak adanya produksi 1 rantai globin dari hemoglobin. Hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan sintesis rantai
globin yang merupakan tanda dari semua sindrom thalassemia.
b. Epidemiologi
Thalassemia adalah penyakit gen tunggal yang paling umum di seluruh populasi dunia, dengan estimasi jumlah carrier lebih dari 270 juta,
dan lebih dari 300.000 anak yang lahir setiap tahun dengan 1 sindrom thalassemia atau 1 dari variasi struktur hemoglobin. Frekuensi yang sangat
tinggi dari gangguan hemoglobin dibandingkan dengan penyakit monogenik lain merefleksikan seleksi alamiah dimediasi oleh resistensi relatif
carrier melawan malaria Plasmodium falciparum. Faktor lain yang mungkin terlibat meliputi perkawinan consanguineous (sedarah), peningkatan
usia ibu pada negara lebih miskin, dan gene drift dan efek founder. Untuk alasan ini, thalassemia paling banyak ditemukan pada Asia Tenggara
dan Asia Selatan, Timur Tengah, negara Mediterranea, dan Afrika Utara dan Afrika Tengah. Bagaimanapun, sebagai hasil dari migrasi besar
populasi Afrika dari area yang tinggi angka prevalensinya, thalassemia sekarang ditemukan di seluruh dunia.
c. Patobiologi
Sel darah merah normal mengandung 97% hemoglobin dewasa (HbA: α 2 β 2 ), dengan 2.5% komponen minor HbA2 (α 2 δ 2 ) dan sejumlah
kecil hemoglobin fetal (HbF: α 2 γ 2 ). Karena tetramer stabil α2 β 2 adalah komponen utama hemoglobin setelah lahir, ada 2 bentuk utama
thalassemia: α-thalassemia dan β-thalassemia. Karena sintesis rantai β diaktivasi secara penuh hanya setelah lahir, ini menunjukkan bahwa β-
thalassemia tidak diekspresikan sebagai penyakit pada kehidupan intrauterina; mereka bermanifestasi sebagai sintesis rantai γ menurun selama
tahun pertama kehidupan. Pada kebalikannya, karena rantai α terbagi dalam hemoglobin fetal dan dewasa, thalassemia α bermanifestasi pada
kehidupan fetus dan dewasa.
d. Klasifikasi
Sebagai pengetahuan mengenai basis genetika dan mekanisme patofisiologi thalassemia telah berkembang, sindrom thalassemia sekarang
dapat diklasifikasi pada tingkat genetik dan klinis.
Klasifikasi Genetik Klinis
α-thalassemia α0 α-Minor
α+ Penyakit HbH
Delesi (−α) Hidrops fetalis
Nondelesi (α Τ )
β-thalassemia β0 β-Minor
β+ Thalassemia intermedia
Variasi dengan HbA 2 tinggi Thalassemia mayor
HbA2 normal
Silent
Dominan
Tidak terhubung dengan kluster β
δβ-Thalassemia (δβ) 0 δβ-Minor
(δβ) + Thalassemia intermedia
( A γδβ) 0
HPHF Delesi Peningkatan secara diam-diam HbF
Nondelesi
Tidak terhubung dengan kluster β
Hb A: Hemoglobin dewasa, Hb F: Hemoglobin fetal, HPHF: hereditary persistence of fetal hemoglobin
e. Genetik
6 tipe rantai globin berbeda (α,β,γ,δ,ε,ζ) ditemukan pada hemoglobin manusia normal pada tahap perkembangan berbeda. Pada awal embrio,
sintesis hemoglobin oleh yolk sac dan terjadi produksi hemoglobin Gower 1 (ζ 2 ε 2 ), Gower 2 (α 2 ε 2 ), dan Portland (ζ 2 γ 2 ). Secara berurutan,
sekitar minggu ke 8 gestasi, hati fetus mengambil alih, mensitesis secara dominan HbF (α 2 γ 2 ) dan HbA dalam jumlah sedikit (<10%). Diantara
sekitar minggu ke-18 dan kelahiran, hati secara progresif digantikan oleh sumsum tulang sebagai situs utama produksi sel darah merah; hal ini
ditemani pada tahap lanjut gestasi dengan pertukaran resiprokal dalam produksi HbF dan HbA, dimana berlanjut sampai, akhir tahun pertama,
produksi HbF menurun kurang dari 2%. Gen globin mengkode kluster gen terpisah. Kluster α (ζ,α 2 ,α 1 ) berada pada telomer kromosom 16;
kluster β (ε, G γ dan A γ,δ,β) berada pada kromosom 11p15.5. Pada kedua kluster, gen berarah 5’ ke 3’ agar mereka berekspresi selama
perkembangan. Kedua set gen dibawah regulasi echancer-like elements (situs hipersensitif [HS]-40 untuk kluster α dan daerah kontrol lokus untuk
kluster β) yang terletak jauh pada ujung 5’ kluster. Delesi elemen enhancer ini mengakibatkan inaktivasi gen globin terkait. Ada 2 gen/alel α
(α 2 dan α 1 ) yang membedakan dengan beberapa nukleotida pada intron 2 dan 3 daerah tak diterjemahkan tetapi menghasilkan produk protein
yang identik. Kelebihan gen α 2 dari gen α 1 sekitar 2-3x lipat. Kluster α juga mengandung gen pseudo-ζ dan pseudo-α yang tidak ditranslasi
menjadi protein. Daerah sekitar DNase1 situs hipersensitif pada 40 kilobasa ke hulu dari gen ζ-globin (HS-40) adalah regulator utama ekspresi
gen α-globin. Kluster β mengandung gen tunggal pseudo-β; enhancer kluster β terdiri dari 5 elemen ditandai oleh erythroid-specific DNase1 situs
hipersensitivitas berada pada 6-20 kb ke hulu gen ε-globin, setiapnya dimana mengandung beberapa situs pengikatan untuk erythroid spesifik dan
faktor transkripsi lain. Semuanya, elemen ini diketahui sebagai daerah kontrol lokus, dan setiap elemen berkontribusi ke semua aktivitas daerah
kontrol lokus. Sebagai tambahan, ada erythorid-spesific situs hipersensitivitas sekitar 20 kb ke arah hilir gen β-globin; ketika kluster diaktivasi,
situs hipersensitivitas hulu dan hilir dibawa menuju promoter gen untuk mengaktivasi transkripsi mereka.
Gen individu globin berbagi banyak sifat umum; mereka terdiri dari 3 sekuens kode ekson dipisahkan oleh 2 intron pada posisi identik tetapi
variasi panjang untuk total panjang sekitar 1500 nukleotida. Struktur ini sudah dikonservasi sepanjang evolusi. Daerah hulu mengapit ekson
pertama yang mengandung sekuens motif yang penting untuk pembenaran spesifik inisiasi transkripsi. Kotak TATA ditemukan pada 30 bp hulu
dari situs inisiasi bersamaan dengan 1 atau lebih situs CCAAT pada 70 bp hulu. Promoter gen juga mengandung kotak CACCC atau CCGCCC
yang mengikat erythroid Krüppel-like factor (EKLF) 1, dan beberapa memiliki situs pengikatan untuk faktor transkripsi erythroid GATA-1. Pada
sistem model, mutasi dikenalkan dalam sekuens mengakibatkan reduksi pada tingkatan transkripsi.
Semua thalassemia memiliki pola pewarisan yang sama; pada kebanyakan kasus, defek gen ditrasnmisikan pada cara autosomal Mendelian. Juga,
variasi simptom biasanya hasil dari interaksi lebih dari 1 determinan genetik. Pewarisan α-thalassemia lebih rumit karena melibatkan hasil dari
gen yang berpasangan (αα).
f. Basis molekuler thalassemia
α- dan β-thalassemia dibagi menjadi penyakit dimana tidak ada rantai dihasilkan dari kromosom yang terkena (α 0 and β 0 ) dan mereka yang
keluaran rantainya berkurang (α + and β + ). Untuk α-thalassemia, defek molekuler yang paling sering adalah delesi 1 atau kedua gen α, dimana
didesain –α dan --, masing-masing. Gen tunggal α dipercaya muncul sebagai persilangan antara 2 gen α yang tak selaras pada kromosom
homolog yang bisa memberikan peningkatan ke kromosom baik tunggal (-α) atau triplikasi (ααα) gen α-globin. Tergantung titik penyilangan,
delesi mungkin membuang sekuens antara sekuens 2.5 dan 5.3 kb, dengan kehilangan 3.7 (−α 3.7 ) atau 4.2 (−α 4.2 ) kb paling prevalen. Duplikasi
penuh lokus gen α-globin, meliputi hulu elemen regulator, juga dilaporkan pada subjek beda leluhur, memastikan bahwa tipe rekombinasi
homolog genetik terjadi secara relatif pada loci globin. Sekarang, lebih dari 20 delesi berbeda yang terlibat kedua gen α, menghasilkan dari
rekombinasi illegitimate atau nonhomolog, dilaporkan. Panjang delesi bervariasi dari 5.2 sampai lebih dari 40 kb; paling sering terjadi pada Asia
Tenggara, Mediterranea, dan Filipina. Tipe nondelesi α-thalassemia (α α ) lebih jarang daripada bentuk delesi; pada kebanyakan kasus, mereka
merupakan hasil dari mutasi tunggal oligonukleotida pada daerah sekuens gen α yang penting untuk ekspresi normal. Karena ekspresi dari gen α2
2-3x lebih besar daripada gen α1, ini tidak mengejutkan bahwa kebanyakan mutan nondelesi lebih mengenai ekspresi gen α 2. Mutasi mungkin
mempengaruhi kodon inisiasi atau sinyal splicing, menyebabkan pergeseran kerangka, atau mengenalkan kodon stop prematur. Setidaknya 5
variasi nukleotida tunggal mempengaruhi terminasi alami kodon (TAA) dari gen α 2 –globin. Diantara ini, konstanta hemoglobin Spring (α cs α)
adalah yang paling umum dan secara ekstensif dipelajari. Terakhir, ada beberapa varian α-globin yang sangat tidak stabil yang mengalami
degradasi cepat postsintetik. Pada situasi tersebut, rantai β tetap berlebihan di dalam sel darah merah, dan pasien carrier variasi rantai α ini, secara
definitif, memiliki α-thalassemia. Sekarang, 17 varian α tak stabil telah terlihat untuk menghasilkan fenotip α-thalassemia ke tingkatan lebih besar
atau lebih kecil.
Seperti α-thalassemia, β-thalassemia diklasifikasikan sebagai β 0 (dimana tidak ada β-globin dihasilkan) dan β + (dimana beberapa β-globin
dihasilkan tetapi kurang dari normal). Pada beberapa kasus, defek dalam produksi rantai β sangat ringan jadi mereka didesain sebagai β ++. Sejauh
ini, lebih dari 200 mutasi thalassemia dari gen β-globin yang dilaporkan, kebanyakan adalah mutasi titik di dalam gen atau sekuens pengapit awal.
Sedikit mutasi β-thalassemia yang berpisah secara independen kluster gen β-globin digambarkan, melibatkan trans-acting regulatory factor.
Distribusi alel sangat bervariasi dari 1 populasi ke lain, tetapi di dalam setiap populasi, hanya ada beberapa alel yang umum. Tipe nondelesi β-
thalassemia terhitung alel terbanyak untuk β-thalassemia. Mereka meliputi mutasi transkripsi, mutasi memproses RNA, dan mutasi yang
mengenai translasi.
Delesi sederhana gen β-globin jarang, berkisar ukuran 290 pasang basa sampai lebih dari 60 kb. Delesi 619 pasang basa pada ujung 3’ gen β
secara relatif umum pada populasi Sind dan Punjabi di India dan Pakistan. Delesi tersisa terbatas untuk keluarga tunggai, dibutuhkan β 0-
thalassemia dan menariknya terkait dengan kadar HbA2 tinggi yang tak biasa pada heterozigot. Delesi besar yang mempengaruhi seluruh kluster
gen β-globin (εγγδβ) 0 jarang dan terbatas untuk keluarga tunggal. Terakhir, beberapa varian rantai β tidak stabil mungkin bermanifestasi sebagai
bentuk dominan β-thalassemia.
δβ-thalassemia dan hereditary persistence of fetal hemoglobin (HPHF) adalah hasil dari delesi berbagai bagian locus β-globin. Delesi ini
secara parsial dikompensasi dengan peningkatan ekspresi gen γ yang meningkatkan kadar HbF. Panjang delesi terhitung dari bentuk berbeda dari
δβ-thalassemia, meliputi kedua gen G γ dan A γ atau hanya A γ, dan bervariasi dari 9-100 kb. Hemoglobin Lepore adalah hibrid dari rantai δ dan β
diakibatkan penyilangan antara 2 gen tak selaras; hemoglobin ini disintesis secara inefisien dan peningkatan pembentukan δβ-thalassemia. Delesi
dari gen δ dan β juga basis molekuler untuk banyak bentuk HPHF, bagaimanapun, biasanya memiliki kompensasi tingkat lebih tinggi produksi
HbF daripada δβ-thalassemia. HPHF lain dikarenakan mutasi titik pada daerah promoter hulu dari situs mulai transkripsi pada gen G γ atau A γ
yang merubah pengikatan 1 atau lebih faktor transkripsi; mereka dikenal sebagai nondelesi HPHF. Penelitian genetik telah mengidentifikasi 3 trait
loci kuantitatif utama yang terhitung 20-50% variasi umum pada kadar HbF di pasien β-thalassemia dan penyakit sel bulan sabit sebagaimana
pada dewasa sehat.

g. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis (ekspresi fenotip) dari sindrom thalassemia sangat bervariasi dan tergantung pada derajat ketidakseimbangan rantai globin.
1) α-Thalassemia
Sebagaimana disebutkan, terdapat 2 kelas utama α-Thalassemia: α 0, dimana kedua gen α terinaktivasi (− −/); dan α +, dimana
hanya 1 pasang yang defektif karena delesi gen α atau mutasi (−α atau αα T ). Spektrum klinis α-thalassemia berkorelasi dengan jumlah gen
α yang terkena, dari normal hingga kehilangan 4 gen. Pewarisan alel normal (αα) dengan 1 dari alel α + atau α 0 paling sering dalam α-
thalassemia minor (− −/αα; −α/αα; −α Τ /αα; α Τ α/−α;−α/−α). Secara umum carrier dari genotip teresebut memiliki kadar hemoglobin total
rendah, mean corpuscular volume, dan mean cell hemoglobin tetapi sel darah merah terhitung dari normal. Perbedaan terbesar terlihat pada
mean cell hemoglobin, dimana biasanya < 26 pg. Pengecatan darah perifer bervariasi, menunjukkan berbagai derajat hipokromia dengan
beberapa sel target dan terkadang pokilosit. Pada carrier α 0 -thalassemia (− −/αα), memungkinkan untuk menghasilkan sedikit inklusi HbH
sel darah merah (β 4 ). Carrier dari bentuk nondelesi (αα Τ /αα) ditandai dengan perubahan hematologi lebih daripada bentuk delesi.
Konstitusi hemoglobin carrier dewasa α + - atau α 0 –thalassemia tidak dapat dibedakan dari normal tetapi memiliki kadar HbA2 lebih
rendah. Jejak hemoglobin Bart (γ 4 ) pada periode neonatal dapat terdeteksi pada proporsi besar neonatus dengan α-thalassemia, dan mereka
menurun selama 6 bulan pertama setelah melahirkan. α-thalassemia umum di area dimana β-thalassemia ditemukan pada frekuensi tinggi.
Juga, coinheritance α- dan β-thalassemia trait mungkin terjadi dan bahkan mempertajam parameter hematologi. Pada beberapa kasus, untuk
konseling genetika pada keluarga dimana α- dan β-thalassemia ada, penentuan genotip sangat esensial. Mutan tak stabil Hb CT menyebabkan
reduksi parah ekspresi α 2 –globin dari kromosom yang terkena; dengan demikian, carrier dan homozigot akan memiliki fenotip lebih parah
dibandingkan α-thalassemia minor tetapi tidak separah pada kasus penyakit HbH.
Penyakit HbH paling sering sebagai hasil dari interaksi α + - and α 0 –thalassemia, dan tidak mengejutkan kebanyakan pasien
berasal dari populasi Asia Tenggara, Mediterranea, dan Timur Tengah. Penyakit HbH adalah diagnosis terhadap subjek > tua dari 6 bulan
mengalami ketidakseimbangan globin untuk menghasilkan kadar HbH detektabel (>1-2%) di permbuluh darah tepi bersama dengan badan
inklusi (tetramer β 4 ) dalam sel darah merah. Fenotip klinis mencakup spektrum luas dari manifestasi klinis ringan hingga thalassemia
intermedia dan mencakup non-transfusion-dependent thalassemia. Sifat khas dominan penyakit HbH adalah anemia hipokrom, mikrositer
dengan jaundice dan hepatosplenomegali. Karena mekanisme utama dari anemia adalah hemolisis dibandingkan diseritropoiesis, hanya
beberapa pasien memiliki bukti klinis dari erythron yang mengembang. Komplikasi paling sering penyakit HbH adalah perkembangan
hipersplenisme karena splenomegali yang parah. Komplikasi lain meliputi batu empedu, ulserasi kaki, peningkatan risiko infeksi, defisiensi
asam folat, dan peningkatan risiko trombosis vena setelah splenektomi. Kadar hemoglobin bervariasi dari 3-12 g/dL, dengan fluktuasi yang
mungkin terjadi setelah paparan obat oksidan, infeksi, atau aplasia transien karena infeksi virus intercurrent. Jarang, pasien dengan penyakit
HbH membutuhkan transfusi darah biasa. Anemia terhubung dengan retikulositosis dan perubahan tipikal sel darah merah thalassemia.
Jumlah HbH bervariasi dari 1-40%. Jumlah HbA2 selalu berkurang. Pengecatan darah tepi selalu menunjukkan hipokromia dengan
anisopoikilositosis, sel target, dan basophilic stippling. Ciri khas penyakit HbH selalu memungkinkan untuk menghasilkan inklusi multipel
sel darah merah setelah inkubasi dengan brilliant cresyl blue. Sumsum tulang juga menandakan adanya hiperplasia erythroid.
Bentuk paling parah α-thalassemia adalah hidrops fetalis, dimana semua gen α-globin terdelesi (genotip - -/- -). Tidak cocok
dengan kehidupan. Sebagai fakta, karena rantai α-globin tidak ada selama gestasi, hemoglobin Bart (γ 4 ) menjadi hemoglobin dominan.
Karena afinitas oksigennya tinggi, hemoglobin Bart tidak mampu mengantarkan oksigen ke jaringan, dan konsekuensi intrauterina adalah
anemia berat progresif, eritropoiesis inefektif parah dengan ditandai eritropoiesis ekstramedullar, organomegali masif, gagal jantung,
hipoalbuminemia parah, dan edema. Bayi dengan sindrom hidrops fetalis meninggal dalam uterus (30-40 minggu gestasi) atau sebentar
setelah melahirkan. Kadar hemoglobin bervariasi dari 3-20 g/dL; pada pengecatan darah tepi berkarakteristik dengan anidopoikilositosis,
makrosit hipokromik besar, dan banyak sel darah merah berinti. Hemoglobin terdiri hampir semuanya hemoglobin Bart (80-90%), dengan
sisanya HbH dan Portland. Ibu dari bayi memiliki riwayat kematian neonatus sebalumnya. Tanpa perawatan medis, wanita membawa fetus
mungkin mengalami keguguran dan komplikasi postpartum (retained plasenta, eklamsia, sepsis).
Terdapat beberapa laporan yang menggambarkan α-thalassemia yang terkait dengan retardasi mental (juga disebut sindrom ATR-
16). Kondisi ini dikarenakan delesi besar (1 atau 2 megabasa) dari ujung kromosom 16 meliputi kluster gen α-globin. Akan tetapi, beberapa
kasus tidak ada delesi atau abnormalitas lain kluster gen α-globin. Telah dilihat bahwa pasien dengan fenotip ini memiliki karakteristik
retardasi mental parah, facies dismorfik, abnormalitas genital, dan α-thalassemia memiliki kelainan yang memetakan pada kromosom X
(sindrom ATR-X).
2) β−Thalassemia
β−Thalassemia meliputi grup heterogen kelainan sintesis hemoglobin, dimana berkarakteristik kurangnya rantai β hemoglobin
dewasa. Klasifikasi klinis meliputi thalassemia mayor (TM, tergantung transfusi), thalassemia intermedia (TI, keparahan intermediet, tidak
tergantung transfusi), dan thalassemia minor (asimptomatik). Keparahan manifestasi klinis berkorelasi dengan derajat ketidakseimbangan
rantai globin; tergantung pada defek gen β-globin dan interaksinya, produksi rantai β-globin secara kuantitatif dikurangi untuk perbedaan
derajat, dimana sintesis α-globin lanjut seperti normal, menghasilkan akumulasi kelebihan rantai α-globin tidak cocok dalam prekursor
erythroid. Rantai α-globin bebas tidak mampu membentuk tetramer stabil; mereka kemudian mengendap di prekursor erythroid, membentuk
badan inklusi yang merusak membran sel darah merah, dengan demikian menyebabkan destruksi prematur prekursor erythroid di sumsum
tulang (eritropoiesis inefektif). Eritropoiesis inefektif menyebabkan urutan kejadian yang bertanggung jawab untuk ekspansi sumsum tulang,
anemia hemolitik, splenomegali, dan peningkatan absorpsi besi. Berbagai faktor yang mengurangi derajat ketidakseimbangan rantai dan
magnitudo kelebihan rantai α, seperti coinheritance α-thalassemia atau kemampuan bawaan untuk mengurangi hemoglobin fetal, akan
memperbaiki ekspresi klinis penyakit.

A, Klasifikasi klinis β-thalassemia, dari β-thalassemia minor sampai β-thalassemia mayor, berdasarkan keparahan penyakit. β-thalassemia
minor subjeknya asimptomatik, dimana pada keparahan ekstrim, pasien β-thalassemia mayor tergantung transfusi. Di antara spektrum luas
fenotip klinis ada thalassemia intermedia menyebabkan interaksi berbeda genetik yang berciri anemia tidak tergantung transfusi dari sedang
sampai parah. B, Kriteria tentatif untuk membedakan thalassemia mayor dari presentasi thalassemia intermedia. HbA= hemoglobin dewasa;
HbF= hemoglobin fetal; RBC= sel darah merah

Patofisiologi β-thalassemia dan pemodifikasi ketidakseimbangan rantai globin. Keparahan eritropoiesis inefektif tergantung pada
derajat kelebihan rantai α yang diakibatkan dari 3 mekanisme berbeda: (1) warisan mutasi rantai β parah, ringan atau silent; (2)
coinheritance penentu terkait dengan peningkatan produksi rantai γ; dan (3) coinheritance α-thalassemia. Sebuah fenotip thalassemia
intermedia mungkin berasal dari peningkatan produksi rantai α-globin oleh triplikasi (ααα) atau kuadruplikasi (αααα) genotip α terkait
dengan heterozigositas β. Pewarisan polimorfisme atau mutasi gen yang terlibat pada tulang, besi, dan metabolisme bilirubin sebagaimana
juga infeksi mungkin berkontribusi untuk memodifikasi klinis penyakit. ESR1 = estrogen receptor 1; HbF = fetal hemoglobin; HFE =
hereditary hemochromatosis gene; HLA = human leukocyte antigen; ICAM1 = intercellular adhesion molecule 1; TNF = tumor necrosis
factor; UGT1 = UDP-glucose : glycoprotein glucosyltransferase 1; VDR = vitamin D receptor
Bentuk utama β-thalassemia (terkadang disebut Cooley anemia) adalah kelainan dimana hidup dapat dijaga dengan transfusi
darah berkala. Kondisi ini biasanya hasil dari keadaan homozigot atau dari senyawa keadaan heterozigot untuk mutasi gen β (β 0 ). Bentuk
tipikal TM menjadi bermanifestasi selama tahun pertama kehidupan, dimana rantai γ dimatikan tetapi tidak diganti dengan sintesis rantai β.
Bayi ini, dibiarkan tak dirawat, tidak mampu menjaga kadar hemoglobin di atas 5 g/dL dan menunjukkan deformitas tulang dan retardasi
pertumbuhan. Mereka memiliki facies cooley/thalassemia karena os frontale bossing dan protrusi rahang dan tulang pipi. Magnitudo
peningkatan dalam eritropoiesis mungkin mengakibatkan peningkatan massa ekstramedullar biasanya dari sternum sampai iga.
Hepatosplenomegali progresif adalah temuan yang menuju kepada pansitopenia. Masa anak awal jika tidak dirawat atau tidak cukup dirawat
akan terjadi komplikasi bervariasi meliputi infeksi berulang, fraktur spontan, batu empedu, dan ulserasi kaki. Angka mortalitas pada pasien
seperti itu sangat tinggi sekitar masa pubertas. Untungnya, ini bukan kasus pada anak yang dirawat dengan baik. Anak yang ditransfusi
dengan baik menjaga kadar hemoglobin di atas 8 g/dL memiliki pertumbuhan normal dan perkembangan, dan masa depan mereka
tergantung pada jika mereka menerima iron chelation yang adekuat. Kebanyakan anak yang cukup ditransfusi dan komplian sepenuhnya
dengan terapi iron chelation mungkin berkembang normal, masuk pubertas, dan menjadi matur secara seksual. Pada awalnya, populasi
pasien TM dewasa dilihat yang memiliki efek samping jangka panjang treatment, yang dinamai, infeksi terkait transfusi (hepatitis B dan C,
di beberapa populasi, infeksi HIV) dan kerusakan organ (hati, jantung, kelenjar endokrin) karena ketidakpuasan jangka panjang iron
chelation. Penyebab kematian pada pasien TM masih tetap pada komplikasi jantung, walaupun sirosis hati juga meningkat karena
perpanjangan kehidupan.
Gagal jantung pada pasien ini adalah multifaktorial, meliputi anemia kronis, kelebihan sisa besi, miokarditis, perikarditis, dan
kemungkinan mekanisme lain. Lebih lanjut, selain derajat ketidakseimbangan rantai globin yang tergantung faktor genetik terkait gen globin
(coinheritance α-thalassemia, peningkatan alami sintesis HbF), juga ada pemodifikasi genetik lain pada tingkat sekunder yang mungkin
mempengaruhi keluaran komplikasi pada cara berbeda. Sebagai contoh, adanya varian polimorfisme pada promoter UGT1A1 bertanggung
jawab untuk sindrom Gilbert mungkin meningkatkan predisposisi terhadap cholelitiasis. Dimana sudah menjadi komplikasi umum
thalassemia. Polimorfisme gen terlibat dalam homeostasis besi atau metabolisme tulang mungkin berpengaruh negatif/positif terhadap
derajat kelebihan besi atau osteopenia dan osteoporosis, masing-masing. Faktor lingkungan, meliputi kondisi sosial, nutrisi, dan kesediaan
pelayanan kesehatan, juga menjadi implikasi variasi keparahan manifestasi klinis TM.
TI tergolong grup kelainan non-transfusi-dependen; secara klinis digunakan untuk menggambarkan pasien dengan anemia,
spelomegali tanpa spektrum luas keparahan klinis ditemukan pada TM. Fenotip klinis Ti berada di antara thalassemia minor dan mayor.
Secara ringan mengenai pasien hampir asmptomatik sampai kehidupan dewasa, hanya mengalami anemia ringan dan secara spontan
menjaga Hb pada kadar 7-10 g/dL. Pasien dengan TI lebih parah ada pada usia 2-6 tahun, dan walaupun mereka mampu bertahan tanpa
terapi transfusi berkala, pertumbuhan dan perkembangan mungkin retardasi. Kebanyakan pasien TI adalah homozigot atau heterozigot untuk
mutasi gen β ringan sampai sedang (β + /β + ;β 0 /β + ); agak jarang, hanya 1 gen β-globin yang terkena. Karena keparahan klinis penyakit
didiktat oleh perbedaan ketidakseimbangan rantai globin, setidaknya 3 mekanisme berbeda mungkin merangsang karakteristik klinis TI
dibandingkan TM: pewarisan mutasi gen β ringan atau silent; coinheritance penentu terkait peningkatan produksi rantai γ, dimana
berkontribusi untuk menetralisir proporsi besar rantai α yang tak terikat; dan coinheritance α –thalassemia, dimana mengurangi sintesis
rantai α, dengan demikian mengurangi ketidakseimbangan rantai α/non α.
3 faktor utama yang bertanggung jawab untuk sequelae klinis pada pasien TI: kecepatan eritropoiesis inefektif, anemia kronis,
dan kelebihan Fe. Eritropoiesis inefektif tergantung pada defek molekuler yang mendasar sebagaimana telah dijelaskan dan dikarenakan
presipitasi rantai α bebas pada prekursor erythroid di sumsum tulang, menyebabkan kerusakan membran dan kematian prematur sel di
sumsum. Derajat eritropoiesis inefektif adalah penentu primer anemia pada TI; hemolisis perifer dari sel darah merah matur yang
bersirkulasi dan reduksi keseluruhan dalam sintesis hemoglobin adalah sekunder. Hemolisis dan kerusakan sel darah merah yang
memperlihatkan membran bermuatan negatif residu fosfatidyl-serine sudah dihubungkan dengan perkembangan keadaan hiperkoagulasi dan
peningkatan risiko hipertensi pulmonal pada populasi pasien TI.
Anemia kronis dan eritropoiesis inefektif kronis menyebabkan peningkatan absorpsi besi yang tidak diperlukan menyebabkan
kelebihan besi. Kebalikan, pada TM, kelebihan besi disebabkan oleh transfusi infusi besi. Telah dilihat bahwa anemia kronis dan
eritropoiesis inefektif, dimana karakteristik TI, terkait dengan pengurangan ekspresi hepcidin, peptida hepatik yang memainkan peran
penting dalam homeostasis besi. Lebih lanjut, pertumbuhan dan diferensiasi faktor 15 (GDF15) disekresi oleh prekursor erythroid dan
overekspresi pada keadaan eritropoiesis inefektif mungkin menekan sintesis hepcidin. Lebih lanjut molekul bernama erythroferrone,
disekresi oleh erythroblast, juga sudah diidentifikasi dan mungkin juga memainkan peran dalam regulasi hepcidin di TI. Bersamaan,
eritropoiesis inefektif (menyebabkan peningkatan GDF15) dan anemia kronis/hipoksia mengakibatkan supresi hepcidin, peningkatan
absorpsi besi makanan dari usus, dan peningkatan pelepasan besi daur ulang dari sistem retikuloendothelial, mengakibatkan kelebihan besi
sama dengan pasien sindrom hemokromatosis herediter (dimana berkarakteristik dengan gangguan produksi hepcidin).
Sebagai konsekuensi dari proses patofisiologi, beberapa komplikasi diidentifikasi sebagai ciri khas pasien TI dibandingkan
pasien TM, terutama pada pasien yang telah displenektomi. Kolelitiasis lebih sering pada pasien TI daripada TM karena eritropoiesis
inefektif dan hemolisis perifer. Hematopoiesis ekstramedullar, sebagai mekanisme kompensatori, menyebabkan formasi jaringan massa
eritropoietik yang mempengaruhi lien, hati, limfonodus, dan massa intrathoraks. Ulser kaki yang jarang pada pasien TM well-transfused
sering pada pasien dewasa TI; juga tetap tidak jelas mengapa pada tingkat hemoglobin dan tingkat HbF sama beberapa pasien mengalami
ulserasi kaki dan yang lain tidak. Risiko trombosis meningkat pada pasien TI. Beberapa kasus secara kolektif menunjukkan bahwa insiden
kejadian thromboembolik lebih tinggi pada pasien TI yang telah displenektomi. Walaupun stroke jarang pada TI, kerusakan asimptomatik
otak meliputi iskemia telah didokumentasi dengan magnetic resonance imaging (MRI) dan computed tomography pada pasien TI.
Hipertensi pulmonal prevalen pada pasien TI (Sekitar 60%) dan dipikirkan penyebab gagal jantung pada populasi pasien ini. Penyakit hati
karena infeksi virus juga kurang frekuentif pada TM; akan tetapi enzim hati abnormal ditemukan sering pada pasien TI, karena kerusakan
hepatosit menyebabkan kelebihan besi. Di beberapa pasien tertua dengan TI (>40 tahun), terjadi hepatocellular carcinoma karena akumulasi
besi jangka panjang yang tidak dirawat terdeteksi dengan resultan sirosis hati sebagai hematokromatosis herediter.
Hipogonadisme, hipotiroidisme, dan diabetes mellitus jarang. Walaupun pasien dengan TI secara umum mengalami pada pubertas akhir,
mereka juga memiliki perkembangan seksual normal dan biasanya subur. Wanita dengan TI mungkin memiliki keberhasilan kehamilan,
walaupun komplikasi selama kehamilan mungkin terjadi.
Thalassemia minor adalah keadaan heterozigot β-thalassemia. Subjek dengan thalassemia minor adalah “carrier” defek gen
tunggal β-globin, dan biasanya asimptomatik kecuali untuk anemia ringan kehamilan. Carrier biasanya diidentifikasi sebagai studi keluarga,
secara tidak sengaja selama sakit, atau bagian dari survei populasi. Anemia ringan, mikrositik dan hipokromik, dan terkait dengan
peningkatan kadar HbA2. Apusan darah menunjukkan karakteristik mikrositosis dan hipokromia, dengan beberapa variasi pada ukuran dan
bentuk sel darah merah. Adanya sel target bervariasi. Sifat hematologi hampir mirip pada etnis grup berbeda. Carrier β-thalassemia dengan
HbA2 normal telah diamati pada individu dengan TI ringan ditemukan memiliki 1 orang tua dengan β-thalassemia minor tipikal dengan
elevasi HbA2, dimana yang lain menunjukkan sedikit atau tidak ada kelainan hematologis dan HbA2 normal. Subjek dengan HbA2 normal
biasanya carrier mutasi silent β ++ (β ++ ). Secara tak sengaja defisiensi besi bisa menurunkan kadar HbA2 ke rentang normal.
3) δβ-Thalassemia dan HPHF
Manifestasi klinis (δβ) 0 –thalassemia mirip dengan TI, dimana heterozigot dibedakan dengan heterozigot β-thalassemiadengan
kadar normal HbA2 bersamaan dengan peningkatan kadar HbF 5-20%. Homozigot untuk Hb Lepore mungkin memiliki fenotip sama baik TM
atau TI. Subjek terkena dengan delesi atau bentuk nondelesi HPHF biasanya asimptomatik.
Berbagai defek β-thalassemia mungkin coinherited dengan varian rantai β (HbS, HbC, HbE) dan menyebabkan fenotip β-
thalassemia dengan perbedaan keparahan. Varian ini mengilustrasikan lebih jauh bahwa sindrom β-thalassemia memiliki spektrum klinis
luas dan pendekatan therapeutik mungkin merubah penilaian klinis dan sejarah alami penyakit ini.
A, loadingTransfusi kelebihan besi dan beban organ spesifik. B, Keberlangsungan hidup pasien Italia thalassemia mayor dengan cohort of birth. NTBI
= non–transferrin-bound iron.
4) Hemoglobin E dan Thalassemia Hemoglobin E
Hemoglobin E (HbE) disebabkan oleh substitusi asam glutamat oleh lisin pada kodon 26 gen β-globin. Ini adalah mutasi umum,
biasanya pada subkontinen India dan Asia Tenggara dan di antara orang yang bermigrasi dari daerah itu. Frekuensi HbE mendekati 60% di
berbagai regio Thailand, Laos, dan Kamboja. HbE hasil dari pengurangan sintesis rantai β-E dan kemudian memiliki fenotip dari bentu
ringan β-thalassemia. HbE trait memiliki signifikansi klinis; mungkin terkait dengan mikrositosis sedikit tanpa anemia, tetapi dapat disalah
artikan untuk defisiensi besi tanpa tes laboratorium yang diperlukan. HbE homozigot memiliki anemia ringan dan mikrositosis, terkadang
splenomegali, dan apusan darah tepi menunjukkan sel darah merah berubah mirip dengan pola thalassemia, meliputi sel target.
Hb E berinteraksi dengan bentuk lain α-thalassemia untuk menghasilkan variasi luas kelainan klinis. Coinheritance dengan β-
thalassemia, sebuah kondisi dikenal HbE/ β-thalassemia, adalah bentuk paling umum dan parah dari β-thalassemia di Asia dan global
merepresentasi 50% secara klinis β-thalassemia parah.
h. Diagnosis
Diagnosis thalassemia mungkin membutuhkan pasien dengan gambaran klinis sugestif, perlu atau untuk identifikasi subjek heterozigot
sebagai studi keluarga atau program skrining populasi. Pendekatan umum adalah umum untuk berbagai bentuk thalassemia, tidak terkecuali
presentasi. Evaluasi primer berdasarkan perubahan hematologi; sel darah merah indices dengan electronic cell counter dan morfologi sel darah
merah diamati pada apusan darah cukup untuk mengarahkan investigasi lebih lanjut. Individu dengan mean corpuscular volume di bawah 80 fL
dan mean corpuscular hemoglobin dibawah 27 pg dengan parameter besi normal mungkin perlu diinvestigasi lebih lanjut. Jumlah sel darah merah
biasanya lebih banyak dari normal. Adanya anemia degnan perubahan sel darah merah thalassemia, tahap berikutnya evaluasi fraksi hemoglobin
(HbA, HbA2, HbF atau varian hemoglobin) dengan elektroforesis pada asetat selulosa pada pH alkali atau mungkin lebih baik, dengan
kromatografi high-performance liquid yang mampu memberikan ukuran tepat HbA2, HbF, dan HbA dan indentifikasi provisional jumlah besar
varian hemoglobin, meliputi HbE. Kadar HbA2 di atas 3.5% berkaitan dengan sel darah merah hipokrom mikrositik adalah diagnostik β-
thalassemia minor. Nilai HbA2 antara 3.2-3.5% (borderline) harus diinterpretasi dengan hati-hati karena mereka mungkin bisa terjadi karena lebih
dari 1 defek thalassemia (α and β), mutasi silent β, atau defisiensi besi konkomitan. Jika defisiensi besi ada, harus dikoreksi dan estimasi HbA2
diulang. Kebanyakan individu dengan thalassemic red cell indices dengan HbA2 normal atau rendah dan HbF normal akan menjadi carrier α 0 –
thalassemia atau α + -thalassemia homozigot. Carrier α 0 –thalassemia mungkin memiliki sedikit sel darah merah dengan inklusi HbH. Mikrositosis
dengan kadar HbA2 rendah atau normal dengan peningkatan HbF (2-20%) mengindikasikan heterozigositas untuk δβ-thalassemia. Pasien dengan
HPHF biasanya memiliki sel darah merah normal indices tetapi peningkatan kadar HbF dengan distribusi interseluler berbeda (homogen atau
panseluler dengan pengecualian dari heteroseluler HPHF) dibandingkan dengan δβ-thalassemia (uneven atau heteroseluler)
Metode radioaktif untuk pengukuran sintesis rasio α/β-globin dikenalkan pada pertengahan hingga akhir tahun 1960an, dan diarahkan untuk
diagnosis prenatal pada era pre-DNA. Walaupun memberikan penilaian kuantitatif untuk produksi globin, sekarang kegunaannya sangat terbatas
untuk kasus berat karena interaksi defek rantai globin berbeda. Diagnosis definitif sindrom thalassemia melibatkan identifikasi meliputi mutasi
yang mendasari melalui analisis DNA. Terdapat beberapa metode yang tersedia untuk diagnosis mutasi tertentu, seperti polymerase chain reaction
(PCR) restriction enzyme analysis, PCR allele-specific oligonucleotides, gap PCR, dan direct sequencing yang ada dan mungkin metode paling
mudah dan paling terpercaya. Untuk bentuk delesi α-thalassemia, amplifikasi multiplex ligation-dependent probe baru-baru ini dikenalkan,
metode yang berguna.
Selama penilaian klinis, pasien terkena dengan bentuk berbeda thalassemia mungkin dengan komplikasi karena kelebihan besi, dimana
dibutuhkan untuk mengawasi terapi chelasi besi. Prinsip metode menentukan kadar besi tubuh dengan mengukur kadar serum ferritin dan
penilaian konsentrasi besi hati dari jaringan biopsi hati atau sebagai alternatif metode noninvasif, dengan R2 MRI. Kadar serum ferritin tinggi
(>2500 µg/L) dan kadar besi hati (>15 g/berat kering) mengindikasi risiko tinggi signifikan morbiditas dan mortalitas. Besi jantung bisa diukur
dengan prosedur T2* MRI yang memperbolehkan estimasi beban besi jantung. Nilai MRI T2* di bawah 10 ms selalu terkait dengan kelebihan
besi parah dan risiko tinggi gagal jantung dalam 1 tahun. Nilai MRI T2* di atas 20 ms dikategorikan normal, tidak ada besi di jantung.
Echokardiografi mungkin membantu mengevaluasi perubahan fungsional. Untuk komplikasi lain, meliputi endokrinopati, penyakit hati, penyakit
paru, thrombofilia, dan penyakit tulang, pendekatan diagnostik sama untuk mereka yang digunakan dalam praktik klinis; ini dikerjakan dengan
pertimbangan harga, karakteristik performance, dan preferensi pasien, seperti dijelaskan dalam bab koresponden.
i. Treatment
Conventional treatment
Tidak ada treatment spesifik yang dibutuhkan untuk heterozigot α- atau β-thalassemia (carrier, thalassemia minor), akan tetapi mereka harus
menerima konseling genetika. Selama kehamilan, thalassemia, wanita pembawa mungkin lebih anemia, jadi mereka harus diamati hati-hato,
terutama selama trisemester 2 dan 3, dan didukung dengan asam folat. Ketika defisiensi besi terkait pola thalassemia, suplementasi besi harus
diadakan, mengawasi saturasi transferrin dan ferritin. Beberapa kasus transfusi darah in utero telah dilaporkan dengan sindrom hemoglobin Bart
hydrops fetalis; kebanyakan bayi dilahirkan prematur dengan seksio sesar, perkembangan abnormal dan keberlangsungan hidup membutuhkan
transfusi darah setelah lahir. Pasien HbH pada umumnya memiliki kadar hemoglobin tinggi (8-9 g/dL) dan tidak membutuhkan transfusi darah
berkala. Suplementasi dengan asam folat (2-5 mg/hari) secara umum direkomendasi, terutama pasien pediatrik. Komplikasi utama pada penyakit
HbH adalah krisis hemolitik yang mungkin terjadi selama atau setelah infeksi akut; pada kasus, intervensi dini, meliputi transfusi darah dan
treatment untuk infeksi, harus segera dilakukan.
Pengaturan klinis TM dan TI tetap dalam jaringan utama. Kualitas dan durasi kehidupan pasien TM dan TI bertransformasi di abad ini,
dengan ekspektansi kehidupan meningkat menjadi 3-4 dekade. Kehidupan yang berkepanjangan ditemani dengan beberapa komplikasi,
dikarenakan kelainan yang mendasari sebagai bagian konsekuensi treatment dengan transfusi darah dan kelebihan darah. Terlebih lagi, bermula
dengan komplikasi terkait usia dalam konteks penyakit multiorgan yang membutuhkan manajemen oleh tim klinis yang memiliki pengetahuan
pasien thalassemia dewasa, bekerja sama dengan spesialis yang berbeda dan perawat yang terlatih. Treatment konvensional pasien TM meliputi
terapi transfusi berkala dan iron chelation. Definisi optimal transfusi dan regimen iron chelation menjadi paling penting dalam menyelesaikan
pasien TM, dengan objektif primer menjadi kontrol eritropoiesis inefektif, konsekuensinya, beban besi tubuh. Transfusi optimal meliputi transfusi
darah, biasanya diberi setiap 2-5 minggu, untuk menjaga kadar hemoglobin di atas 9-10.5 g/dL. Penentuan inisiasi terapi transfusi jangka panjang
harus berdasarkan diagnosis definitif thalassemia parah, menjadi defek molekuler, keparahan anemia berdasarkan pengukuran berulang, tingkat
eritropoiesis inefektif, dan kriteria klinis (seperti gagal jantung untuk perubahan tulang). Pasien TM yang menerima leukoreduced packed red
cells akan mengurangi reaksi transfusi dan transmisi patogen. Reaksi terhadap transfusi sel darah merah mungkin terjadi atau setelah transfusi dan
bisa hemolitik dan nonhemolitik. Transfusi terkait acute lung injury jarang tetapi parah dan harus segera tatalaksana.
Banyak pasien dengan TM memerlukan splenektomi karena hipersplenisme. Bagaimanapun, pengaturan klinis optimal mungkin terlambat
atau bahkan membutuhkan splenektomi yang umum pada masa lalu. Splenektomi harus dipertimbangkan untuk pasien yang konsumsi darah
tahunan meningkat progresif dan mengalami deposit simpanan besi dengan terapi chelasi baik atau adanya tanda pembesaran lien. Masalah klinis
terkait leukopenia atau trombositopenia karena hipersplenisme bisa menjadi alasan untuk splenektomi. Komplikasi utama splenektomi parah dan
terkadang infeksi yang berlebihan. Karena pembuangan lien mungkin mengurangi respon imun primer organisme berkapsul, ini disarankan untuk
menunda splenektomi sampai pasien kurang lebih 5 tahun. Kecepatan mortalitas untuk infeksi berlebihan postsplenektomi pada pasien
thalassemia sekitar 50% memerlukan perawatan supportif intensif. Dengan demikian, diperlukan untuk mengadopsi pencegahan meliputi
immunoprofilaksis (vaksinasi melawan Streptococcus pneumoniae, pneumococcus, dan meningococcus), kemoprofilaksis, dan edukasi orang tua
dan pasien untuk mengenali dan melaporkan penyakit demam.
Kelebihan besi tidak dapat dihindari dan komplikasi serius dari transfusi jangka panjang dan hiperabsorpsi besi dari makanan yang
memerlukan treatment adekuat untuk mencegah kematian awal, terutama dari penyakit jantung yang diinduksi besi. Terapi optimal chelasi terjadi
komplikasi. Terapi standar chelasi lebih dari 40 tahun deferoxamine (DFO), diberi 10-24 jam sebagai infusi subkutaneus berlanjut 5-7 hari per
minggu. Efikasi jangka panjang DFO telah didokumentasi pada studi kohort pasien di Itali dan tempat lain. Sayangnya, pengembangan dengan
regimen infusi yang teliti subkutan harian adalah faktor penghambat serius, dan kehidupan pasien noncompliant tidak jauh berbeda dengan jaman
pre-DFO. Ini adalah rasionalitas di belakang usaha intensif untuk mengidentifikasi alternatif, iron chelator secara oral efektif. Pada awalnya, 2
iron chelator oral ada di pasar: deferiprone (DFP) dan deferasirox (DFX). DFP ada di Eropa dan lebih baru lagi di US. Dengan panduan negara
EMEA (Eropa, Middle East dan Afrika), treatment dengan DFP pada dosis 75-100 mg/kg/hari dilarang untuk pasien yang tidak mampu
menggunakanDFO atau pasien dengan respon tidak memuaskan terhadap DFO dinilai dengan kadar serum ferritin dan konsentrasi besi hati. Studi
mengindikasikan bahwa DFP mungkin lebih efektif daripada DFO dalam melindungi jantung dari akumulasi besi. Keuntungan potensial
kombinasi terapi (DFO dan DFP) harus dipertimbangkan untuk pasien dengan kadar tinggi besi atau disfungsi jantung. Iron chelator oral yang
baru DFX terlihat bahwa efektif dan aman untuk membuang kelebihan besi dari organ berbeda meliputi jantung. DFX sekarang tersedia di banyak
negara sebagai obat lini pertama. Kegunaanya sudah didemonstrasikan bahwa iron chelation bukanlah treatment standar, tetapi harus
diindividualisasi tergantung usia, sejarah compliance dengan chelasi sebalumnya, dan faktor lain. Pengawasan dan penyesuaian iron chelation
dengan pengukuran berulang ferritin, perhitungan intake besi dengan transfusi dan lebih memungkinkan, pengukuran besi jantung dan hati sekali-
kali dengan MRI dibutuhkan.
Manajemen pasien TI lebih komplikatif karena heterogenitas luas fenotip TI. Opsi treatment diadopsi untuk pasien TI, meliputi terapi
transfusi, splenektomi, modulasi produksi HbF, dan hematopoietic stem cell transplantation (HSCT). Bagaimanapun, peningkatan bukti mencatat
keuntungan transfusi menurunkan insiden komplikasi. Inisiasi terapi iron chelation dalam pasien dengan TI tergantung tidak hanya pada jumlah
kelebihan besi tetapi juga kecepatan akumulasi besi, durasi terpapar kelebihan besi, dan berbagai faktor lain pasien.
Transplantasi sumsum tulang dan Terapi eksperimental
Allogeneic HSCT pada sindrom thalassemia telah berhasil mengatasi selama 2 dekade, terutama β-thalassemia mayor. Prediktor
transplantasi buruk adalah hepatomegali, riwayat chelasi tak teratur, dan fibrosis hepar. Pasien dikategorikan menjadi 3 kelas risiko. Pasien kelas
1 tidak memiliki faktor risiko, pasien kelas 2 memiliki 1 atau 2 faktor risiko, dan pasien kelas 3 memiliki ketiganya. Pada pembaruan terbaru
pengalaman grup Pesaro, kemungkinan thalassemia-free survival untuk pasien lebih muda dari 17 tahun pada waktu menerima HSCT allograf
dari HLA-identical relatif sekitar 87% dan 85%, pada pasien kelas 1 dan kelas 2 pasien yang lebih muda dari pasien kelas 3 muda. Penilaian
progresif regimen kondisi pada pasien kelas 3 dan dewasa (>17 tahun) telah mengurangi secara signifikan insiden kematian akibat transplantasi
pada pasien kelas 3. Hanya 25-30% pasien dengan penyakit secara potensial disembuhkan oleh HSCT memiliki sepupu cocok HLA-compatible.
Transplantasi sumsum tulang dari donor tak berhubungan meningkatkan secara signifikan insiden penyakit akut dan kronis graft vs host, pada
thalassemia. Penelitian dari Eurokord grup kooperatif dilaporkan keluaran 33 pasien dengan thalassemia milik pasien kelas 1 dan kelas 2
(klasifikasi Pesaro) yang menerima cord blood hematopoietic stem cell dari sepupu HLA-identical; tidak ada pasien meninggal terkait komplikasi
transplantasi, menyarankan bahwa cord blood HSCT adalah prosedur aman untuk pasien thalassemia.
Treatment alternatif untuk β-thalassemia terdiri dari stimulasi farmakologi sintesis HbF. Pada manusia, hemoglobin bertukar dari HbF ke
HbA terjadi selama sekitar kelahiran sebagai hasi pertukaran gen γ- ke β. Inhibitor deasetilase histon, dan hidroksiurea. Efek treatment
farmakologi (terutama hidroksiurea) pada pasien sel bulan sabit jelas, keuntungannya pada penilaian klinis β-thalassemia terbatas. Perbedaan
antara 2 kondisi dalam merespon HbF mungkin terkait dengan respon klinis terbatas terhadap γ-globin inducer diamati pada pasien β-thalassemia
mungkin juga refleksi efek tak diinginkan dari agen ini dan gen globin lain (contohnya meningkatnya sintesis α-globin). Molekul baru sotatercept
(ACE-011), sebuah aktivin tipe IIA reseptor protein fusi, telah menunjukkan peningkatan pelepasan eritrosit matur menuju sirkulasi dengan
bekerja pada tahap akhir eritropoiesis. Data klinis pada pasien sukarela telah menunjukkan bahwa treatment dengan sotatercept menghasilkan
peningkatan parameter sel darah merah. Fase Iia, multisenter, penemuan open-label, dose finding untuk menentukan level dosis aktif dan aman
sotatercept pada pasien dewasa dengan β-thalassemia intermedia.
Terapi gen adalah pendekatan untuk sindrom thalassemia, bagaimanapun, strategi ini menjadi tantangan utama dalam mengontrol ekspresi
transgenik, dimana haruslah erythroid spesifik dan dijaga dari waktu ke waktu. Treatment β-thalassemia, penyakit bulan sabit, dan kelainan lain
melalui transfer gen dimediasi lentivirus telah dilaporkan pada model murin dan primata, tetapi sampai sekarang sangat sedikit pasien sehat.

2. G6PD Deficiency
Kelainan HMP Shunt dan Pathway terkait
Kelainan HMP shunt atau jalur metabolisme glutation mengkompromisasi kemampuan RBC untuk merespon secara adekuat terhadap stress
oksidatif. Pada eritrosit normal, GSH mendetoksifikasi oksidan yang dihasilkan oleh agen bervariasi dan infeksi. Pada eritrosit defisiensi G6PD, karena
ketidakmampuan untuk menghasilkan NADPH, kadar GSH menjadi inadekuat, meninggalkan sel rentan terhadap stress oksidan. Oksidasi Hb grup
sulfhydryl menyebabkan produksi methemoglobin dan Hb intraseluler mengendap disebut Badan Heinz. Badan Heinz, biasanya tervisualisasi pada
apusan darah tepi dengan pengecatan supravital seperti metil violet, melekat dan merusak membran eritrosit. Mereka menginduksi klustering
immunoglobulin dan protein pita 3, menandai eritrosit untuk opsonisasi oleh fagosit dan kemudian membuangnya dari sirkulasi. Badan Heinz “pitted”
dari sel sirkulasi oleh spleen dan lebih sering dijumpai pada pasien setelah splenektomi. “Sel menggigit”, eritrosit dengan invaginasi lokal,
kemungkinan Badan Heinz pada situs luka atau pembuangan, terlihat pada episode acute hemolitik. Sebagai tambahan terhadap kerusakan dari
pembentukan Badan Heinz, Defisiensi GSH eritrosit mengalami peroksidasi membran fosfolipid dan oksidatif cross-linking spektrin, menurunnya
deformabilitas membran dan merangsang splenic trapping lebih lanjut.

a) Glukosa-6-fosfat dehidrogenase defisiensi


G6PD defisiensi adalah penyakit keturunan paling umum dari metabolisme eritrosis, mempengaruhi lebih dari 400 juta orang di seluruh dunia.
Prevalensi tinggi dari defisiensi G6PD dipikirkan ikut serta terhadap seleksi genetik dikarenakan G6PD defisiensi eritrosit memiliki keuntungan
melawan invasi parasit malaria Plasmodium falciparum.

b) Epidemiologi dan Patobiologi


G6PD adalah tahap pembatasan inisiasi HMP shunt, dimana mengubah NADP menjadi NADPH. NADPH dibutuhkan untuk menghasilkan
glutation, sebuah kontituen penting dalam pencegahan kerusakan oksidatif terhadap sel. Defisiensi G6PD mungkin mengalami anemia hemolitik
akut setelah paparan stress oksidatif. Walaupun G6PD adalah enzim ubiquitous, sel erythroid rentan terhadap stress oksidatif karena HMP shunt
hanyalah sumber untuk mendapat NADPH.
Ratusan varian G6PD telah dijelaskan, tetapi hanya beberapa yang sering. Varian diklasifikasi berdasarkan karakteristik biokimia; mobilitas
elektroforesis; kemampuan untuk menggunakan analog substrat, Km untuk NADP dan G6PD; profil aktivitas pH; dan stabilitas thermal. Enzim
normal, Gd B , ada sekitar 99% orang Amerika putih dan 70% orang Amerika Afrika. Varian normal, Gd A+ , ditemukan pada 20% orang Amerika
Afrika, memiliki mobilitas elektroforesis lebih cepat daripada Gd B. Gd A–, varian paling sering terkait hemolisis, ditemukan pada 10% orang
Amerika Afrika dan banyak di Afrika. Gd A– telah menurunkan kemampuan katalitik dibandingkan dengan GdA+. India dan di Asia Tengggara,
dengan prevalensi sekitar 5-50%. Gd Med mengekshibisi penurunan aktivitas katalitik. Gd Canton , varian umum pada populasi Asia, menghasilkan
sindrom klinis mirip GdA–. Aktivitas Gd B menurun sebagaimana sel normal menua, dengan separuh hidup sekitar 60 hari. Selain kadar sangat
rendah atau tidak ada G6PD aktif, eritrosit tua menjaga kemampuan untuk menghasilkan NADPH dan menjaga respon GSH terhadap stress
oksidatif. Varian Gd A– hanya memiliki separuh kehidupan hanya 13 hari, jadi sel muda memiliki jumlah normal aktivitas enzim, tetapi RBC tua
mengalami defisiensi. Karena heterogenitas kadar G6PD, individu dengan varian Gd A–mengalami hanya hemolitis terbatas setalah paparan
oksidan.
Lebih dari 100 mutasi pada gen G6PD, terlokalisasi Xq28, telah dijelaskan. Kebanyakan mutasi adalah substitusi asam amino yang
mempengaruhi enzim kinetik, stabilitas, atau keduanya, dengan beberapa delesi jarang dan mutasi splicing dijelaskan. Karena ini X-linked, G6PD
defisiensi mempengaruhi pria. Pria hanya memiliki 1 alel G6PD dan hanya mengekspresikan 1 tipe G6PD. Wanita dapat mengekspresikan 1 atau
2 tipe G6PD. Hipotesis Lyon menyatakan bahwa hanya 1 kromosom X aktif pada setiap sel; juga, setiap sel pada wanita heterozigot dapat normal
atau defisiensi. Pada wanita yang heterozigoit untuk defisiensi G6PD, rata-rata aktivitas G6PD mungkin normal atau ringan, sedang, atau
terkurang secara parah, tergantung derajat lyonisasi. Eritrosit defisiensi G6PD pada wanita heterozigot rentan terhadap stress oksidan seperti
defisiensi G6PD pada pria, tetapi secara tipikal, keseluruhan derajat hemolisis kurang dari pria karena populasi lebih kecil sel vulnerable.

c) Manifestasi Klinis
Defisiensi G6PD dibagi menjadi 5 kelas tergantung keparahan klinis dan derajat defisiensi enzim. Kelas 1 berciri dengan CNSHA tanpa
penyebab presipitasi dan defisiensi parah G6PD. Kelas II memiliki ciri hemolisis intermiten dan defisiensi G6PD parah. Kelas III memiliki ciri
hemolisis setelah stress oksidan dan defisiensi G6PD ringan. Kelas II dan III bersama merepresentasikan lebih dari 90% varian G6PD. Kelas IV
dan V secara klinis asimptomatik. Sindrom yang paling signifikan adalah defisiensi G6PD adalah anemia hemolitik akut (AHA); jaundice
neonatus (NNJ); dan jarang, CNSHA.
Anemia hemolitik akut adalah presentasi klinis defisiensi G6PD dengan hemolisis intravaskuler akut setelah terpapar stress oksidan. Stress
oksidatif meliputi ingesti beberapa obat seperti primakuin atau senyawa mengandung sulfa, terpapar naftalena (mothball), ingesti kacang fava,
atau infeksi, merupakan penyebab paling sering hemolisis. Tabel menunjukkan list obat yang harus dihindari pada pasien G6PD. Meliputi
simptom yaitu irritabilitas, demam, mual, nyeri abdomen, dan diare selama 48 jam terpapar oksidan. Hemoglobinuria, jaundice, dan anemia
ensue. Lien dan hati mungkin membesar dan lunak. Kasus dengan anemia parah mungkin menyebabkan gagal jantung kongestif. Penemuan
laboratorium meliputi anemia normokromik, normositik dengan anisositosis dan retikulositosis. Poikilosit dan bite cell mungkin terlihat. Badan
Heinz, penemuan klasik pada defisiensi G6PD, mungkin terlihat tetapi penemuannya inkosisten karena sel yang rusak secara cepat dibersihkan
dari sirkulasi oleh lien. Penemuan laboratorium lain meliputi hemoglobinuria dan adanya Hb bebas dalam darah.

*Obat yang ditebalkan harus dihindari oleh orang dengan segala bentuk G6PD defisiensi. Obat pada cetakan normal harus dicegah, sebagai tambahan,
defisiensi G6PD orang Mediterranea, Timur Tengah, dan asal Asia. Item pada cetakan normal dan di dalam kotak diaplikasikan pada orang Afrika.
† Obat ini atau kimia mungkin menyebabkan hemolisis pada orang normal jika diberikan dalam dosis besar. Banyak obat lain mungkin menyebabkan
hemolisis pada beberapa individu.
Signifikansi sindrom defisiensi G6PD adalah NNJ. Jaundice jarang pada saat baru lahir, dengan puncak insiden onset antara hari ke 2 dan 3
kehidupan. Keparahan hiperbilirubinemia bervariasi. Mungkin parah, menyebabkan kernikterus atau bahkan kematian. Pada kebanyakan kasus,
bagaimanapun, hiperbilirubinemia secara adekuat diterapi dengan fototerapi. Pada NNJ, ini penting untuk mencatat bahwa anemia adalah kerparahan
yang sangatjarang. Etiologi NNJ tetap kontroversial. NNJ meningkat pada bayi defisiensi G6PD yang juga membawa polimorfisme gen uridin
difosfoglukoronil transferase (UDPGT1) terkait Sindrom Glibert.
Anemia hemolitik kronis nonsferotik terkait dengan varian yang jarang defisiensi G6PD, biasanya enzim mutan tidak mampu menjaga
produksi basal NADPH. Presentasi mungkin terjadi pada periode neonatus ketika NNJ ditemani anemia pada pria. Derajat anemia kronis pada CNSHA
disebabkan oleh defisiensi G6PD bervariasi. Beberapa pasien sudah mengkompensasi hemolisis, tetapi yang lain membutuhkan transfusi intermitten.
Ketergantungan transfusi terjadi pada kebanyakan kasus paling berat.
Diagnosis
Reaksi G6PD (glukosa-6-fosfat + NADP + → 6-fosfoglukonolakton + NADPH + H + ) mereduksi NADP + menjadi NADPH. Pembentukan
NADPH dan NADH dapat diamati secara langsung karena mereka berfluorosensi pada spektrum tampak ketika diiluminasi dengan gelombang panjang
sinar UV. Berdasarkan observasi ini, beberapa tes skrining dilakukan menggunakan sinar gelombang panjang UV tidak mahal telah dilakukan. Tes ini
semikuantitatif, mengkategorikan sampel sebagai normal atau defisiensi. Mereka kurang terpercaya setelah episode akut hemoltik dan tidak terdeteksi
wanita heterozigot. Tes skrining positif haris dikonfirmasi dengan spectrophotometric assay atau studi DNA.
Definitive assay enzim tergantung pengukuran langsung spektrofotometri produksi NADPH. Walaupun lebih senstif daripada tes skrining,
ini masih membutuhkan 20-30% sel defisiensi G6PD untuk mendapatkan hasil abnormal. Sensitivitas dapat meningkat dengan membandingkan kadar
defisiensi G6PD dengan kadar enzim eritrosit tergantung usia. Tes sianida-askorbat mengukur kemampuan eritrosit mencefah oksidasi Hb oleh
askorbat. Menggunakan eritrosit intact, sekiat 10-15% sel defisiensi dapat dideteksi, menggunakan tes ini berguna untuk mendeteksi heterozigot wanita
dan pria setelah episode hemolitik. Tes ini dapat mendeteksi perturbasi HMP shunt atau metabolisme glutation.
3. Pre-marital screening
4. Konseling genetik
5. Mutasi gen (single gene)
6. Pola pewarisan sifat
7. Pemeriksaan penunjang (molekuler dan laboratorium thalassemia)
Hemoglobin

Nilai normal :

Pria : 13 - 18 g/dL SI unit : 8,1 - 11,2 mmol/L

Wanita : 12 - 16 g/dL SI unit : 7,4 – 9,9 mmol/L

Kira-kira telah diidentifikasi 300 jenis hemoglobin yang berbeda dalam kode genetik dan urutan asam amino. Walaupun demikian, hanya beberapa jenis
hemoglobin yang dapat menyebabkan morbilitas dan mortalitas yang bermakna. Abnormalitas pada hemoglobin dapat diidentifikasi dengan elektroforensis.
Berbagai jenis hemoglobin bergerak dangan kecepatan berbeda melintasi kertas atau jeli padi, berdasarkan muatan listriknya. Hemoglobin dapat diidentifikasi
dengan huruf atau letak atau tempat ditemukannya (Anderson,2014).

Hb dewasa (Hb A) = 2 α and 2 β

HbA1 adalah bentuk utama dari Hb pada orang dewasa dan anak di atau 7 bln

HbA2 (2 α, 2 δ) adalah bentuk minor dari Hb pada dewasa. Ia hanya membentuk 2-3% dari total HbA.

Hb Fetal (Hb F) = 2 α and 2 γ

Pada fetus dan bayi HbF berikatan dengan O2 pada tekanan rendah daripada Hb A -> HbF memiliki afinitas tinggi ke O2.

Setelah lahir, HbF diganti HbA selama beberapa bulan kehidupan.

Hb S, pada rantai β-globin Glu digantikan Val = Hb abnormal untuk anemia bulan sabit
Nilai normal Hemoglobin:

Hb A1c 0%-5% total

Hb A2, berdasarkan kolom 2%-3% total

Hb F <1% total

Hb Plasma 0%-5% total

Hb Serum 2-3 mg/ml

(Anderson, 2014)

Hematokrit (Hct)

Nilai normal:

Pria : 40% - 50 % SI unit : 0,4 - 0,5


Wanita : 35% - 45% SI unit : 0.35 - 0,45

Deskripsi:

Hematokrit menunjukan persentase sel darah merah tehadap volume darah total.

Implikasi klinik:

 Penurunan nilai Hct merupakan indikator anemia (karena berbagai sebab), reaksi hemolitik, leukemia, sirosis, kehilangan banyak darah dan hipertiroid.
Penurunan Hct sebesar 30% menunjukkan pasien mengalami anemia sedang hingga parah.
 Peningkatan nilai Hct dapat terjadi pada eritrositosis, dehidrasi, kerusakan paru-paru kronik, polisitemia dan syok.
 Nilai Hct biasanya sebanding dengan jumlah sel darah merah pada ukuran eritrosit normal, kecuali pada kasus anemia makrositik atau mikrositik.
 Pada pasien anemia karena kekurangan besi (ukuran sel darah merah lebih kecil), nilai Hct akan terukur lebih rendah karena sel mikrositik terkumpul pada
volume yang lebih kecil, walaupun jumlah sel darah merah terlihat normal.
 Nilai normal Hct adalah sekitar 3 kali nilai hemoglobin.
 Satu unit darah akan meningkatkan Hct 2% - 4%.

Mean Corpuscular Volume(MCV) (Volume eritrosit rata – rata)

Perhitungan : MCV (femtoliter) = Hematokrit (vol % x 10) / jumlah eritrosit (juta/mm3)

Nilai normal : 80 – 100 (fL)

Deskripsi :

MCV adalah indeks untuk menentukan ukuran sel darah merah. MCV menunjukkan ukuran sel darah merah tunggal apakah sebagai Normositik (ukuran normal),
Mikrositik (ukuran kecil < 80 fL), atau Makrositik (ukuran kecil >100 fL).

Implikasi klinik :

 Penurunan nilai MCV terlihat pada pasien anemia kekurangan besi, anemia pernisiosa dan talasemia, disebut juga anemia mikrositik.
 Peningkatan nilai MCV terlihat pada penyakit hati, alcoholism, terapi antimetabolik, kekurangan folat/vitamin B12, dan terapi valproat, disebut juga anemia
makrositik.
 Pada anemia sel sabit, nilai MCV diragukan karena bentuk eritrosit yang abnormal.
 MCV adalah nilai yang terukur karenanya memungkinkan adanya variasi berupa mikrositik dan makrositik walaupun nilai MCV tetap normal.
 MCV pada umumnya meningkat pada pengobatan Zidovudin (AZT) dan sering digunakan sebagi pengukur kepatuhan secara tidak langsung.

Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration(MCHC) (Konsentrasi Hemoglobin ertirosit rata – rata)

Perhitungan : MCHC = hemoglobin (g/dl x 100) /hematokrit (vol %)

Nilai normal : 32 – 36 g/dL

Deskripsi:

Indeks MCHC mengukur konsentrasi Hb rata-rata dalam sel darah merah; semakin kecil sel, semakin tinggi konsentrasinya. Perhitungan MCHC tergantung pada
Hb dan Hct. Indeks ini adalah indeks Hb darah yang lebih baik, karena ukuran sel akan mempengaruhi nilai MCHC, hal ini tidak berlaku pada MCH.

Implikasi Klinik:

 MCHC menurun pada pasien kekurangan besi, anemia mikrositik, anemia karena piridoksin, talasemia dan anemia hipokromik.
 MCHC meningkat pada sferositosis, bukan anemia pernisiosa.

Mean Corpuscular Hemoglobin(MCH) (Hemoglobin eritrosit rata – rata)

Perhitungan : MCH (picogram/sel) = hemoglobin (g/dl x 10) /jumlah eritrosit (juta/mm3)

Nilai normal : 28– 34 pg/ sel

Deskripsi:
Indeks MCH adalah nilai yang mengindikasikan berat Hb rata-rata di dalam sel darah merah, dan oleh karenanya menentukan kuantitas warna (normokromik,
hipokromik, hiperkromik) sel darah merah. MCH dapat digunakan untuk mendiagnosa anemia.

Implikasi Klinik:

 Peningkatan MCH mengindikasikan anemia makrositik


 Penurunan MCH mengindikasikan anemia mikrositik.
(Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, 2011)

Apusan darah tepi pada enzimopati eritrosit. A, Pyruvate kinase deficiency. B, Pyrimidine 5′-nucleotidase deficiency; C, Glucose-6-phosphate dehydrogenase
(G6PD) deficiency. D, Heinz bodies in G6PD deficiency.
Pemeriksaan Molekuler: PCR
DEFINISI
Polymerase Chain Reacton (PCR) adalah suatu teknik sintesis dan amplifikasi DNA secara in vitro. Teknik ini pertama kali dikembangkan oleh Karry Mullis pada
tahun 1985. Teknik PCR dapat digunakan untuk mengamplifikasi segmen DNA dalam jumlah jutaan kali hanya dalam beberapa jam. Dengan diketemukannya
teknik PCR di samping juga teknik-teknik lain seperti sekuensing DNA, telah merevolusi bidang sains dan teknologi khususnya di bidang diagnosa penyakit
genetik, kedokteran forensik dan evolusi molekular.
PRINSIP-PRINSIP UMUM PCR
Komponen- komponen yang diperlukan pada proses PCR adalah templat DNA; sepasang primer, yaitu suatu oligonukleotida pendek yang mempunyai urutan
nukleotida yang komplementer dengan urutan nukleotida DNA templat; dNTPs (Deoxynucleotide triphosphates); buffer PCR; magnesium klorida (MgCl2) dan
enzim polimerase DNA. Proses PCR melibatkan beberapa tahap yaitu: (1) pra-denaturasi DNA templat; (2) denaturasi DNA templat; (3) penempelan primer pada
templat (annealing); (4) pemanjangan primer (extension) dan (5) pemantapan (postextension). Tahap (2) sampai dengan (4) merupakan tahapan berulang (siklus),
di mana pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah DNA. Tahapan proses PCR dapat dilihat pada gambar 1.

PCR adalah suatu teknik yang melibatkan beberapa tahap yang berulang (siklus) dan pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah target DNA untai ganda. Untai
ganda DNA templat (unamplified DNA) dipisahkan dengan denaturasi termal dan kemudian didinginkan hingga mencapai suatu suhu tertentu untuk memberi
waktu pada primer menempel (anneal primers) pada daerah tertentu dari target DNA. Polimerase DNA digunakan untuk memperpanjang primer (extend primers)
dengan adanya dNTPs (dATP, dCTP, dGTP dan dTTP) dan buffer yang sesuai. Umumnya keadaan ini dilakukan antara 20 – 40 siklus. Target DNA yang
diinginkan (short ”target” product) akan meningkat secara eksponensial setelah siklus keempat dan DNA non-target (long product) akan meningkat secara linier
seperti tampak pada bagan di atas (Newton and Graham, 1994). Jumlah kopi fragmen DNA target (amplicon) yang dihasilkan pada akhir siklus PCR dapat
dihitung secara teoritis menurut rumus:
Y = (2n – 2n)X
Y : jumlah amplicon
n : jumlah siklus
X : jumlah molekul DNA templat semula
Jika X = 1 dan jumlah siklus yang digunakan adalah 30, maka jumlah amplicon yang diperoleh pada akhir proses PCR adalah 1.074 x 109 . Dari fenomena ini
dapat terlihat bahwa dengan menggunakan teknik PCR dimungkinkan untuk mendapatkan fragmen DNA yang diinginkan (amplicon) secara eksponensial dalam
waktu relatif singkat. Umumnya jumlah siklus yang digunakan pada proses PCR adalah 30 siklus. Penggunaan jumlah siklus lebih dari 30 siklus tidak akan
meningkatkan jumlah amplicon secara bermakna dan memungkinkan peningkatan jumlah produk yang non-target. Perlu diingat bahwa di dalam proses PCR
effisiensi amplifikasi tidak terjadi 100 %, hal ini disebabkan oleh target templat terlampau banyak, jumlah polimerase DNA terbatas dan kemungkinan terjadinya
reannealing untai target.
PELAKSANAAN PCR
Untuk melakukan proses PCR diperlukan komponen-komponen seperti yang telah disebutkan di atas. Pada bagian ini akan dijelaskan secara rinci kegunaan dari
masing-masing komponen tersebut.
1. Templat DNA
Fungsi DNA templat di dalam proses PCR adalah sebagai cetakan untuk pembentukan molekul DNA baru yang sama. Templat DNA ini dapat berupa 2
DNA plasmid ataupun fragmen DNA apapun asal di dalam DNA templat tersebut mengandung fragmen DNA target yang dituju. Penyiapan DNA
templat untuk proses PCR dapat dilakukan dengan menggunakan metode lisis sel ataupun dengan cara melakukan isolasi DNA kromosom atau DNA
plasmid dengan menggunakan metode standar yang ada. Pemilihan metode yang digunakan di dalam penyiapan DNA templat tergantung dari tujuan
eksperimen. Pembuatan DNA templat dengan menggunakan metode lisis dapat digunakan secara umum, dan metode ini merupakan cara yang cepat
dan sederhana untuk pendedahan DNA kromosom ataupun DNA plasmid. Prinsip metode lisis adalah perusakan dinding sel tanpa harus merusak DNA
yang diinginkan. Oleh karena itu perusakan dinding sel umumnya dilakukan dengan cara memecahkan dinding sel menggunakan buffer lisis.
Komposisi buffer lisis yang digunakan tergantung dari jenis sampel. Beberapa contoh buffer lisis yang biasa digunakan mempunyai komposisi sebagai
berikut: 5 mM Tris-Cl pH8,5; 0,1 mM EDTA pH 8,5; 0,5 % Tween-20 dan 100 ug/mL Proteinase-K (ditambahkan dalam keadaan segar). Buffer lisis
ini umumnya digunakan untuk jenis sampel yang berasal dari biakan, sel-sel epitel dan sel akar rambut. Contoh lain dari buffer lisis adalah buffer lisis
K yang mempunyai komposisi sebagai berikut: buffer PCR (50mM KCl, 10-20mM Tris-Cl dan 2,5mM MgCl2 ); 0,5 % Tween-20 dan 100 ug/mL
Proteinase-K (ditambahkan dalam keadaan segar). Buffer lisis K ini biasanya digunakan untuk melisis sampel yang berasal dari sel darah dan virus.
Selain dengan cara lisis, penyiapan DNA templat dapat dilakukan dengan cara mengisolasi DNA kromosom ataupun DNA plasmid menurut metode
standar yang tergantung dari jenis sampel asal DNA tersebut diisolasi. Metode isolasi DNA kromosom atau DNA plasmid memerlukan tahapan yang
lebih kompleks dibandingkan dengan penyiapan DNA dengan menggunakan metode lisis. Prinsip isolasi DNA kromosom atau DNA plasmid adalah
pemecahan dinding sel, yang diikuti dengan pemisahan DNA kromosom / DNA plasmid dari komponen-komponen lain. Dengan demikian akan
diperoleh kualitas DNA yang lebih baik dan murni.
2. Primer
Keberhasilan suatu proses PCR sangat tergantung dari primer yang digunakan. Di dalam proses PCR, primer berfungsi sebagai pembatas fragmen DNA
target yang akan diamplifikasi dan sekaligus menyediakan gugus hidroksi (-OH) pada ujung 3’ yang diperlukan untuk proses eksistensi DNA.
Perancangan primer dapat dilakukan berdasarkan urutan DNA yang telah diketahui ataupun dari urutan protein yang dituju. Data urutan DNA atau
protein bisa didapatkan dari database GenBank. Apabila urutan DNA maupun urutan protein yang dituju belum diketahui maka perancangan primer
dapat didasarkan pada hasil analisis homologi dari urutan DNA atau protein yang telah diketahui mempunyai hubungan kekerabatan yang terdekat.
Dalam melakukan perancangan primer harus dipenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
a. Panjang primer
Di dalam merancang primer perlu diperhatikan panjang primer yang akan dipilih. Umumnya panjang primer berkisar antara 18 –
30 basa. Primer dengan panjang kurang dari 18 basa akan menjadikan spesifisitas primer rendah. Untuk ukuran primer yang
pendek kemungkinan terjadinya mispriming (penempelan primer di tempat lain yang tidak diinginkan) tinggi, ini akan
menyebabkan berkurangnya spesifisitas dari primer tersebut yang nantinya akan berpengaruh pada efektifitas dan efisiensi proses
PCR. Sedangkan untuk panjang primer lebih dari 30 basa tidak akan meningkatkan spesifisitas primer secara bermakna dan ini
akan menyebabkan lebih mahal
b. Komposisi primer.
Dalam merancang suatu primer perlu diperhatikan komposisinya. Rentetan nukleotida yang sama perlu dihindari, hal ini dapat
menurunkan spesifisitas primer yang dapat memungkinkan terjadinya mispriming di tempat lain. Kandungan (G+C)) (% jumlah
G dan C) sebaiknya sama atau lebih besar dari kandungan (G+C) DNA target. Sebab primer dengan % (G+C) rendah
diperkirakan tidak akan mampu berkompetisi untuk menempel secara efektif pada tempat yang dituju dengan demikian akan
menurunkan efisiensi proses PCR. Selain itu, urutan nukleotitda pada ujung 3’ sebaiknya G atau C. Nukleotida A atau T lebih
toleran terhadap mismatch dari pada G atau C, dengan demikian akan dapat menurunkan spesifisitas primer.
c. Melting temperature (Tm)
Melting temperatur (Tm) adalah temperatur di mana 50 % untai ganda DNA terpisah. Pemilihan Tm suatu primer sangat penting
karena Tm primer akan berpengaruh sekali di dalam pemilihan suhu annealing proses PCR. Tm berkaitan dengan komposisi
primer dan panjang primer. Secara teoritis Tm primer dapat dihitung dengan menggunakan rumus [2(A+T) + 4(C+G)].
Sebaiknya Tm primer berkisar antara 50 – 65oC.
d. Interaksi primer-prime
Interaksi primer-primer seperti self-homology dan cross-homology harus dihindari. Demikian juga dengan terjadinya mispriming
pada daerah lain yang tidak dikehendaki, ini semua dapat menyebabkan spesifisitas primer menjadi rendah dan di samping itu
konsentrasi primer yang digunakan menjadi berkurang selama proses karena terjadinya mispriming. Keadaan ini akan
berpengaruh pada efisiensi proses PCR.
3. dNTPs (deoxynucleotide triphosphates) dNTPs merupakan suatu campuran yang terdiri atas dATP (deoksiadenosin trifosfat), dTTP (deoksitimidin
trifosfat) , dCTP (deoksisitidin trifosfat) dan dGTP (deoksiguanosin trifosfat). Dalam proses PCR dNTPs bertindak sebagai building block DNA yang
diperlukan dalam proses ekstensi DNA. dNTP akan menempel pada gugus –OH pada ujung 3’ dari primer membentuk untai baru yang komplementer
dengan untai DNA templat. Konsentrasi optimal dNTPs untuk proses PCR harus ditentukan.
4. Buffer PCR dan MgCl2 Reaksi PCR hanya akan berlangsung pada kondisi pH tertentu. Oleh karena itu untuk melakukan proses PCR diperlukan
buffer PCR. Fungsi buffer di sini adalah untuk menjamin pH medium. Selain buffer PCR diperlukan juga adanya ion Mg2+, ion tersebut berasal dari
berasal MgCl2 . MgCl2 bertindak sebagai kofaktor yang berfungsi menstimulasi aktivitas DNA polimerase. Dengan adanya MgCl2 ini akan
meningkatkan interaksi primer dengan templat yang membentuk komplek larut dengan dNTP (senyawa antara). Dalam proses PCR konsentrasi MgCl2
berpengaruh pada spesifisitas dan perolehan proses. Umumnya buffer PCR sudah mengandung senyawa MgCl2 yang diperlukan. Tetapi disarankan
sebaiknya antara MgCl2 dan buffer PCR dipisahkan supaya dapat dengan mudah dilakukan variasi konsentrasi MgCl2 sesuai yang diperlukan.
5. Enzim Polimerase DNA Enzim polimerase DNA berfungsi sebagai katalisis untuk reaksi polimerisasi DNA. Pada proses PCR enzim ini diperlukan
untuk tahap ekstensi DNA. Enzim polimerase DNA yang digunakan untuk proses PCR diisolasi dari bakteri termofilik atau hipertermofilik oleh karena
itu enzim ini bersifat termostabil sampai temperatur 95oC. Aktivitas polimerase DNA bergantung dari jenisnya dan dari mana bakteri tersebut diisolasi .
Sebagai contoh adalah enzim Pfu polimerase (diisolasi dari bakteri Pyrococcus furiosus) mempunyai aktivitas spesifik 10x lebih kuat dibandingkan
aktivitas spesifik enzim Taq polimerase (diisolasi dari bakteri Thermus aquaticus). Penggunaan jenis polimerase DNA berkaitan erat dengan buffer
PCR yang dipakai. Dengan menggunakan teknik PCR, panjang fragmen DNA yang dapat diamplifikasi mencapai 35 kilo basa. Amplifikasi fragmen
DNA pendek (kurang dari tiga kilo basa) relatif lebih mudah dilakukan. Untuk mengamplifikasi fragmen DNA panjang (lebih besar dari tiga kilo basa)
memerlukan beberapa kondisi khusus, di antaranya adalah diperlukan polimerase DNA dengan aktivitas yang kuat dan juga buffer PCR dengan pH dan
kapasitas tinggi (High-salt buffer).
OPTIMASI PCR
Untuk mendapatkan hasil PCR yang optimal perlu dilakukan optimasi proses PCR. Secara umum optimasi proses PCR dapat dilakukan dengan cara
memvariasikan kondisi yang digunakan pada proses PCR tersebut. Optimasi kondisi berkaitan erat dengan faktor-faktor seperti jenis polimerase DNA;
suhu; konsentrasi, dalam hal ini berkaitan dengan dNTPs, MgCl2 dan DNA polimerase; buffer PCR dan waktu.
1. Jenis polimerase DNA
Kemampuan mengkatalisis reaksi polimerasi DNA pada proses PCR yang terjadi pada tahap ekstensi untuk DNA rantai panjang akan berbeda
dengan untuk DNA rantai pendek. Penggunaan jenis DNA polimerase tergantung pada panjang DNA target yang akan diamplifikasi. Untuk
panjang fragmen DNA lebih besar dari tiga kilobasa akan memerlukan jenis polimerase dengan aktivitas tinggi.
2. Konsentrasi dNTPs, MgCl2; polimerase DNA
Konsentrasi optimal dNTPs ditentukan oleh panjang target DNA yang diamplifikasi. Untuk panjang target DNA kurang dari satu kilobasa
biasanya digunakan konsentrasi dNTPs sebanyak 100 uM, sedangkan untuk panjang target DNA lebih besar dari satu kilobasa diperlukan
konsentrasi dNTPs sebanyak 200 uM. Umumnya konsentrasi optimal MgCl2 berkisar antara 1,0 – 1,5 mM. Konsentrasi MgCl2 yang terlalu
rendah akan menurunkan perolehan PCR. Sedangkan konsentrasi yang terlalu tinggi akan menyebabkan akumulasi produk non target yang
disebabkan oleh terjadinya mispriming. Jumlah polimerase DNA yang digunakan tergantung pada panjang fragmen DNA yang akan
diamplifikasi. Untuk panjang fragmen DNA kurang dari dua kilobasa diperlukan 1,25 – 2 unit per 50 uL campuran reaksi, sedangkan untuk
panjang fragmen DNA lebih besar dari dua kilobasa diperlukan 3 – unit per 50 uL campuran reaksi.
3. Suhu Pemilihan
suhu pada proses PCR sangat penting karena suhu merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan suatu PCR. Dalam hal ini suhu
berkaitan dengan proses denaturasi DNA templat, annealing dan ekstensi primer. Suhu denaturasi DNA templat berkisar antara 93 – 95oC, ini
semua tergantung pada panjang DNA templat yang digunakan dan juga pada panjang fragmen DNA target. Suhu denaturasi yang terlalu tinggi
akan menurunkan aktivitas polimerase DNA yang akan berdampak pada efisiensi PCR. Selain itu juga dapat merusak DNA templat, sedangkan
suhu yang terlalu rendah dapat menyebabkan proses denaturasi DNA templat tidak sempurna. Pada umumnya suhu denaturasi yang digunakan
adalah 94oC. Secara umum suhu annealing yang digunakan berkisar antara 37 - 60o C. Pemilihan suhu annealing berkaitan dengan Tm primer
yang digunakan untuk proses PCR. Suhu annealing yang digunakan dapat dihitung berdasarkan (Tm – 5)oC sampai dengan (Tm + 5)o C. Dalam
menentukan suhu annealing yang digunakan perlu diperhatikan adanya mispriming pada daerah target dan nontarget, dan keberhasilan suatu
proses PCR akan ditentukan oleh eksperimen. Proses ekstensi primer pada proses PCR selalu dilakukan pada suhu 72 oC karena suhu tersebut
merupakan suhu optimum polimerase DNA yang biasa digunakan untuk proses PCR.
4. Buffer PCR
Buffer PCR yang digunakan berkaitan dengan pH dan kapasitas buffer nya. Dalam perdagangan ada dua jenis buffer PCR yaitu “Low-salt buffer”
(pH 8,75 dan kapasitas buffer rendah) dan “High-salt buffer” (pH 9,2 dan kapasitas buffer tinggi). Umumnya buffer PCR tersedia sesuai dengan
jenis polimerase DNA nya. Penggunaan jenis buffer ini tergantung pada DNA target yang akan diamplifikasi. Untuk panjang DNA target antara 0
– 5 kilobasa biasanya diperlukan “low-salt buffer” sedangkan untuk panjang DNA target lebih besar dari lima kilobasa digunakan “high-salt
buffer”.
5. Waktu Pemilihan
waktu yang digunakan berkaitan dengan proses denaturasi DNA templat, annealing dan ekstensi primer. Untuk denaturasi DNA templat
umumnya dilakukan selama 30 – 90 detik, ini semua tergantung pada DNA templat yang digunakan. Waktu denaturasi yang terlalu lama akan
merusak templat DNA dan sekaligus dapat menurunkan aktivitas polimerase DNA. Sedangkan waktu denaturasi yang terlalu pendek akan
menyebabkan proses denaturasi tidak sempurna. Penentuan waktu untuk proses annealing berkaitan dengan panjang primer. Untuk panjang
primer 18 – 22 basa cukup dengan 30 detik, sedangkan untuk panjang primer lebih besar dari 22 basa diperlukan waktu annealing 60 detik waktu
ekstensi primer tergantung pada panjang fragmen DNA yang akan diamplifikasi. Secara umum untuk mengamplifikasi setiap satu kilo basa DNA
diperlukan waktu 30 – 60 detik. Pada setiap melakukan PCR harus dilakukan juga kontrol positif, ini diperlukan untuk memudahkan pemecahan
masalah apabila terjadi hal yang tidak diinginkan. Selain itu juga harus dilakukan terhadap kontrol negatif untuk menghindari kesalahan positif
semu.
ANALISIS MASALAH
1. Adik Ayahnya menderita Thalassemia. Sementara kakak Ayahnya menderita G6PD.
a. Bagaimana klasifikasi thalassemia?
b. Bagaimana etiologi thalassemia?
c. Bagaimana epidemiologi thalassemia?
d. Bagaimana patogenesis thalassemia?
e. Bagaimana manifestasi klinis thalassemia?
f. Bagaimana pola pewarisan thalassemia?
g. Bagaimana etiologi G6PD deficiency?
h. Bagaimana epidemiologi G6PD deficiency?
i. Bagaimana patogenesis G6PD deficiency?
j. Bagaimana manifestasi klinis G6PD deficiency?
k. Bagaimana pola pewarisan G6PD deficiency?
l. Apakah ada hubungan thalassemia dengan G6PD deficiency?
2. Dongsaeng melakukan pre-marital screening dan counselling sebelum menikah
a. Apa tujuan pre-marital screening?
b. Apa tujuan counselling sebelum menikah?
c. Bagaimana cara melakukan pre-marital screening?
d. Bagaimana cara counselling sebelum menikah?
e. Bagaimana prinsip counselling genetika bagi pasien Thalassemia?
3. Berikut adalah hasil pemeriksaan hematologi khusus Dongsaeng dan juga Noona.
Hasil elektroforesa Hb Dongsaeng
Hb A 96.7
Hb A2 2.5
Hb F 0.8
Hb S 0.0
Hb E 0.0
Hasil elektroforesa Hb Noona
Hb A 97.3
Hb A2 2.1
Hb F 0.6
Hb S 0.0
Hb E 0.0
a. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan elektroforesa Hb Dongsaeng dan Noona?
b. Bagaimana alur pemeriksaan untuk mendiagnosis thalassemia?
c. Bagaimana pemeriksaan molekuler lain yang harus dilakukan untuk diagnosis thalassemia?
d. Bagaimana permeriksaan laboratorium untuk diagnosis thalassemia?
e. Apakah sewaktu-waktu orang yang normal dapat terkena thalassemia?
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai