Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

MYCOBACTERIUM OTHER THAN TUBERCULOSIS (MOTT)

DISUSUN OLEH:

ADITYO KUMORO JATI G99171001


AGUMILAR BAGUS BAGASKARA G99162075
AFIFAH SYIFA KHAIRUNNISA G99162154
YUYUN SUCI MEGAWATI G99172016

PEMBIMBING :

dr. Ismiranti Andarini, Sp.A, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

1
BAB I

PENDAHULUAN

Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT) merupakan bakteri yang ada di


berbagai habitat. Manusia sering kontak dengan MOTT, karena bakteri hidup di tanah dan
sistem perairan, baik yang alami maupun buatan. Sebagian besar spesies MOTT tidak
patogenik, tetapi beberapa dapat menyebabkan penyakit manusia. Manifestasi terbanyak di
paru-paru sekitar 80-90% dari semua penyakit terkait MOTT. Factor host dan faktor patogen
yang mengarah ke MOTT paru belum banyak diketahui, terapi serta pencegahannya juga
masih kurang. Berbeda dengan tuberculosis paru (TB), transmisi antar manusia langsung dari
MOTT jarang dilaporkan (Wassilew dkk, 2016).

Mycobacterium abscessus, M. avium complex, M. kansasii, M. malmoense, dan M.


xenopi adalah spesies yang secara klinis sering menginfeksi manusia. Tergantung pada
spesies penyebab MOTT, perjalanan klinis dan respon pengobatan penyakit paru MOTT bisa
sangat bervariasi (Salzer dkk, 2016). Selama tiga dekade terakhir, peningkatan insidensi
isolasi MOTT paru telah terjadi di Eropa dan beberapa wilayah lain di seluruh dunia. Tingkat
insiden MOTT paru di Eropa berkisar 0,2 hingga 2,9 / 100.000 orang. Faktor risiko utama
adalah gangguan pernapasan yang sudah ada sebelumnya seperti kistik fibrosis, penyakit paru
obstruktif kronik, asma dan bronkiektasis. Namun, MOTT juga terjadi dipasien
imunokompeten tanpa gangguan pernapasan yang mendasari (Salzer dkk, 2016).

Peningkatan tampaknya terkait dengan penurunan insiden TB di negara-negara


dengan standar sosial ekonomi yang lebih tinggi. Beberapa faktor dapat berkontribusi dalam
munculnya MOTT paru, anatara lain kemajuan diagnostik radiologi yang telah meningkatkan
identifikasi kelainan paru. Studi berbasis populasi yang berfokus pada perubahan demografi
di MOTT paru masih langka. Pengobatan penyakit MOTT paru saat ini masih sulit, lama, dan
mahal. Korelasi antara hasil pengujian kerentanan antibiotik in vitro dan hasil pengobatan
secara klinik hanya terbukti untuk Mycobacterium avium complex, M. kansasii, dan beberapa
mycobacteria yang tumbuh dengan cepat (Wassilew dkk, 2016).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Genus Mycobacterium termasuk family Mycbactericeae dan merupakan ordo
Actynomycetales, serta memiliki lebih dari 125 spesies kecuali M. tuberculosis dan
M. leprae. Anggota genus yang lain hidup di alam bebas dan ditemukan terutama
di tanah, air, debu, susu, ikan, binatang, dan burung (Restiawati et al.,2011).
Mycobacteria other than tuberculosis (MOTT) adalah sekelompok organism
dengan genus Mycobacteria selain Mycobacterium tuberculosis yang menimbulkan
penyakit seperti infeksi pada paru-paru, limfadnitis, serta kelainan kulit dan infeksi
pada jaringan lunak (Johnson et al.,2014). Berbagai istilah lain untuk MOTT antara
lain adalah non tuberculosis mycobacterium (NTM), atypical mycobacterium
(AM), opportunistic mycobacterium, unclassified mycobacterium, annonymus
mycobacterium, dan environmental mycobacterium (Restiawati et al., 2014).

II. ETIOLOGI
Insidensi infeksi paru-paru yang diakibatkan oleh MOTT ditemukan
meningkat di seluruh dunia. Sudah ditemukan adanya lebih dari 150 spesies MOTT
yang berbeda, namun yang paling sering menyebabkan infeksi pada paru-paru
adalah Mycobacterium avium complex (MAC), Mycobacterium kansasii, dan
Mycobacterium abcessus (Johnson et al., 2014).
Namun, hingga saat ini organisme yang paling sering dikaitkan dengan
penyakit paru adalah Mycobacterium avium complex (MAC), salah satu MOTT
dengan pertumbuhan yang lambat yang meliputi berbagai subspecies seperti avium,
sivaticum, hominissuis, dan paratuberculosis. Mycobacterium kansassii, yang juga
termasuk dalam kelompok MOTT dengan pertumbuhan yang lambat, adalah
penyebab kedua terbanyak infeksi paru-paru di Amerika Serikat dan Inggris.
Sedangkan M. abcessus, adalah MOTT dengan pertumbuhan yang cepat dan
merupakan penyebab ketiga terbanyak pada penyakit paru. Meskipun kebanyakan
infeksi paru yang disebabkan MOTT berasal dari ketiga spesies tersebut, penting
untuk kita mengetahui bahwa ada banyak spesies MOTT lain yang juga berpotensi

3
untuk menjadi penyebab, baik pada individu yang immunocompetent maupun pada
individu yang immunocompromised (Johnson et al.,2014).

III. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi infeksi MOTT masih belum diketahui. Data survey nasional di
Amerika Serikat terhadap isolate kuman Mycobaterium antara tahun 1970-1980
diperkirakan 1,8 kasus per 100.000 penduduk. Center for Disease Control and
Prevention (CDC) menemukan peningkatan jumlah isolate MOTT antara tahun
1990-1992 dibandingkan tahun 1980 sekitar 74% (Restiawati et al., 2014). Hal ini
dapat disebabkan karena kombinasi antara meningkatnya kewaspadaan, semakin
canggihnya alat diagnostic standar dan pencitraan, serta meningkatnya populasi
yang beresiko terkena infeksi MOTT (Arend et al., 2009).

Gambar 1.Jumlah kultur pasien dengan positif Mycobacterium tuberculosis


atau MOTT di Belanda (Arend et al., 2009)

IV. PATOGENESIS
Mode transmisi kuman MOTT pada manusia masih belum dapat dijelaskan.
Penularan dari binatang reservoir ke manusia juga dirasa tidak memungkinkan.
Namun, apabila manusia minum dari sumber air yang sama dengan binatang
tersebut, maka penularan dapat terjadi. Selain itu berdasarkan distribusi
lingkungan dari MOTT, sangat mungkin manusia bisa terinfeksi dikarenakan
menelan, menghirup, maupun tertempel kuman MOTT. Limfadenitis servikal
yang diakibatkan oleh MOTT sering terjadi pada anak-anak, dimana secara

4
kebetulan mereka sedang bermain diluar dan terdapat trauma pada gusi akibat
gigi yang tumbuh. Hal inilah yang menjadi dasar asumsi bahwa MOTT dapat
masuk ke jaringan melalui mulut (Johnson et al.,2014).
Sedangkan penyakit paru akibat MOTT sendiri diperkirakan akibat adanya
droplet yang masuk ke alveoli. Tanah yang berada di dalam pot, terutama yang
berisi tanah gambut, memiliki konsentrasi kuman MOTT yang cukup tinggi, dan
debu yang dihasilkan dari tempat tersebut sangatlah kecil sehingga dapat masuk
ke alveoli manusia (Johnson et al.,2014). Patogenesis infeksi paru oleh kuman
MOTT belum dimengerti sepenuhnya. Studi perbandingan tuberculosis paru pada
era sebelum HIV menyatakan bahwa lesi granulomatous yang disebabkan oleh
spesies Mycobacterium yang berbeda sangatlah sulit dibedakan secara patologi
anatomi, bahkan oleh para ahli sekalipun. Oleh karena itu, diasumsikan bahwa
terdapat persamaan antara pathogenesis infeksi paru oleh kuman MOTT dengan
pathogenesis M. tuberculosis (Restiawati et al.,2011).
Tiga observasi penting pada pathogenesis infeksi MOTT meliputi:
a. Penyakit diseminata pada pasien HIV yang disebabkan oleh kuman MOTT
terjadi setelah jumah limfosit T kurang dari 50/ul atau diperkirakan produksi
spesifik sel T atau aktivitasnya memerlukan resistensi Mycobacterium.
b. Penyakit diseminata pada pasien tanpa infeksi HIV berhubungan dengan
mutasi spesifik sintesis interferon (IFN-γ) dan interleukin 2 (IL-2) dan respon
terhadap reseptor (IFN-γ), rseptor 1 (IFNγR1), reseptor 2 IFN-γ (IFNγR2),
reseptor β1 subunit IL-12 (IL12Rβ1) subunit IL-12 p40 (IL12p40), signal
tranducer and activator of transcription 1 (STAT1), dan the nuclear factor Kβ
essential modulator (NEMO).
Infeksi MOTT pada nodul paru berhubungan dengan bronkiektasis dan
kebiasaan khusus terutama pada perempuan pasca menopause (pektus
ekscavatum, scoliosis, prolapse katup mitral). (Restiawati et al.,2011)

V. ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK


Gejala dan tanda infeksi MOTT pada penyakit paru seringkali bervariasi
dan tidak spesifik. Gambaran klinisnya mirip tuberculosis paru seperti batuk
kronik dengan produksi sputum, penurunan berat badan dan rasa lemah. Infeksi
MOTT di paru seringkali terjadi dengan faktor predisposisi penyakit paru kronik.
Faktor predisposisi ini merupakan hal penting bagi kuman untuk melakukan

5
invasi dan menimbulkan penyakit paru dasar dan keadaan imunodefisiensi
mempunyai resiko lebih besar terkena infeksi kuman ini. Faktor predisposisi
penyebab infeksi kuman MOTT adalah keadaan imunodefisiensi seperti pada
infeksi HIV serta beberapa riwayat penyakit paru dasar sebelumnya seperti
tuberculosis, penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), bronkiektasis, fibrosis
kistik, pneumoconiosis dan keganasan. (Griffith,2007)
Manifestasi klinis infeksi MOTT seringkali mirip dengan penyakit paru
yang mendasarinya sehingga seringkali sulit untuk dibedakan apakah gejala yang
ditimbulkan disebabkan oleh penyakit paru yang mendasari sebelumnya.
Pemeriksaan fisis dapat ditemukan demam, limfadenopati dan
hepatosplenomegali. Gambaran laboratorium tidak spesifik meskipun dapat
dijumpai kelainan hematologi. Pasien asimtomatik dapat menetap atau kemudian
berkembang menjadi penyakit. Perkembangannya bersifat progresif dan dapat
berakibat fatal bila tidak mendapatkan terapi yang adekuat. Penyebaran kuman
dapat menyebabkan infeksi pada organ lain seperti susunan saraf pusat, saluran
kemih, tulang, gastrointestinal, kulit dan organ lainnya. (Koh WJ, 2005)

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Radiologis
Gambaran radiologi infeksi MOTT pada penyakit paru yang
disebabkan oleh kuman MAC atau M. kansasii hampir mirip dengan
tuberculosis post primer. Pada umumnya sering ditemukan gambaran linear
dan nodul dengan peningkatan opacity di daerah lobus atas segmen apical dan
posterior. Gambaran opacity dapat bersifat progresif atau stabil dalam
beberapa tahun, kavitas dapat terjadi pada beberapa kasus dan sering dijumpai
penebalan pleura. Gambaran kavitas biasanya berukuran kecil (diameter 2,5
cm) dengan dinding tipis dan ditemukan di lobus atas. Manifestasi radiologi
infeksi MOTT di paru dibagi menjadi 5 kelompok diantaranya adalah: infeksi
klasik, infeksi non klasik, pasien tanpa gejala dengan terdapatnya nodul,
infeksi pada pasien imunodefisiensi (Griffith, 2007).
New Zealand guidelines membagi gambaran radiologis menjadi 2 tipe
yaitu:
A. Tipe 1
Gambaran radiologis dapat dilihat dari foto toraks diantaranya:

6
a. Kavitas (biasanya dindingnya lebih tipis dibandingkan dengan infeksi
tuberculosis paru)
b. Nodul dengan ukuran besar (diameter >0,5 cm)
c. Konsolidasi
B. Tipe 2
Gambaran radiologis pada CT scan toraks diantaranya
a. Bronkiektasis
b. Nodul dengan ukuran kecil (diameter <0,5 cm)

2. Mikrobiologi
Spesimen klinis untuk analisis mikrobiologis berasal dari cairan tubuh
dan sampel jaringan dikumpulkan dalam tempat steril sekali pakai, anti bocor,
diberi label dengan tepat dan dikirim segera ke laboratorium. Sputum yang
digunakan sebaiknya diperoleh pada pagi hari, pada pasien yang tidak dapat
mengeluarkan sputum sebaiknya diinduksi. Jika sampel sputum tidak
didapatkan juga, bronkoskopi dengan atau tanpa biopsy paru diperlukan.

7
Metode pewarnaan basil tahan asam (BTA) yang direkomendasikan
untuk specimen klinis termasuk M. tuberculosis dan MOTT adalah teknik
fluokrom, metode Ziehl-Neelsen atau pewarnaaan Kinyoun dapat diterima
namun kurang sensitive. Pewarnaan gram tidak adekuat untuk mendeteksi
Mycobacterium. Nilai hapusan fluokrom dari +1(1-9 organisme per 10
lapangan pandang) sampai +4 (> 90 organisme per 10 lapangan pandang).
Biakan MOTT penting untuk mendiagnosis MOTT pada penyakit paru. Satu
biakan sputum yang positif, terutama dengan jumlah organism sedikit
membuat diagnosis MOTT menjadi tidak pasti. Interpretasi hasil biakan dapat
berupa kontaminasi atau koloniasasi pada biakan yang positif satu kali saja
(Katoch, 2004).

VII. DIAGNOSIS
Gejala klinis penyakit paru yang disebabkan oleh kuman MOTT mirip
dengan tuberculosis paru. Infeksi paru yang disebabkan oleh kuman MOTT
dicurigai pada kasus-kasus yang tidak memberikan respons terhadap
pengobatan obat anti tuberculosis (OAT). Diagnosis infeksi MOTT pada
penyakit paru memerlukan konfirmasi mikrobiologi, apabila tidak ditemukan
diagnosis spesifik pada manifestasi klinis dan gambaran radiologis. Biakan
sputum positif dalam satu biakan pada infeksi MOTT harus diinterpretasikan
dengan sangat hati-hati. Penemuan MOTT pada sputum tidak menjadi bukti
infeksi MOTT terutama ketika hapusan BTA negative dan biakan sputum
ditemukan dalam jumlah kecil. Diagnosis infeksi MOTT di paru dapat
ditegakkan dengan kombinasi antara manifestasi klinis, radiologis,
bakteriologis dan kriteria histologist sesuai dengan yang diusulkan oleh
American Thoracic Society (ATS) dan infectious Disease Society of America
(IDSA). Pedoman ini dapat diterapkan pada pasien HIV positif dan
immunokompeten (Griffith, 2007)
Identifikasi dan karakteristik kuman MOTT dengan metode molecular
mulai dikembangkan. Identifikasi beberapa kuman MOTT dengan gene
probes telah dikembangkan dan tersedia secara komersial, dengan bantuan
beberapa probes, pertumbuhan dari media padat/ biakan cair contohnya becton

8
dickinson nucleic acid probe (BACTEC NAP) dapat secara cepat dan
dipercaya untuk identifikasi MOTT. Teknik seperti pulsed field gel
electrophoresis, random amplified polymorphic DNA (RAPD), polymerase
chain reaction (PCR), ribonucleic acid (rRNA) gene polymorphism, plasmid
typing dan single gen polymorphism telah sukses digunakan untuk identifikasi
MOTT secara molecular.(Neonakis, 2008).
Metode PCR telah dikembangkan untuk mendeteksi kuman
Mycobacterium. Sputum BTA pertama yang positif dari pasien yang
sebelumnya tidak terdiagnosis penyakit yang disebabkan kuman MOTT
seharusnya diperiksakan PCR. Nilai PCR positif merupakan indikator yang
dapat dipercaya untuk M. tuberculosis dan sebaliknya jika nilai PCR negative
menandakan MOTT. Pemeriksaan PCR untuk MAC kadang dapat diambil dari
bahan darah terutama pada pasien AIDS. Pemeriksaan histopatologi pada
bahan biopsy sangat membantu diagnosis penyakit yang disebabkan oleh
kuman MOTT (Sandra, 2009)
Uji kulit dengan purified protein derivate sensitin (PPD-S/uji
tuberkulin) merupakan metode tradisional untuk mendeteksi tuberkulosis. Uji
kulit seringkali terjadi reaksi silang antar spesies Mycobacterium dan reaksi
silang yang kuat terhadap PPD-S/uji tuberkulin. Uji kulit terhadap MAC
mempunyai tingkat spesifisitas yang cukup baik namun antigen uji kulit untuk
antigen spesifik MOTT lainnya belum terdapat standarisasi dan belum
dilakukan uji klinis saat ini. Uji tuberkulin dan M. avium sensitin dapat
membantu membedakan antara biakan positif pada penyakit paru yang
disebabkan oleh MAC atau M. tuberculosis akan tetapi M. avium sensitin tidak
dikembangkan secara komersial untuk digunakan sebagai uji kulit intradermal.
Uji kulit dapat membantu untuk memperkirakan kemungkinan infeksi MOTT
bila kuman ditemukan sprofit (Ravikiran, 2016)

VIII. TERAPI
Dalam praktek klinis, pasien dengan MOTT paru berat dan / atau
progresif dianggap kandidat untuk terapi multi drug antibiotik. Diagnostik
menurut kriteria ATS / IDSA membantu membedakan antara pasien yang

9
membutuhkan dan pasien tidak memerlukan pengobatan, tetapi mungkin lebih
baik diterapkan untuk pasien dengan penyakit bronkiektatik nodular
dibandingkan pasien dengan penyakit fibrocavitary. Khususnya di USA, di
mana bronkiektatik nodular merupakan penyakit MOTT paru yang dominan,
sebagian besar dari lebih dari 40% pasien dengan MOTT mungkin
memerlukan pengobatan anti mikobakteri berdasarkan penilaian individu dari
dokter yang bertanggung jawab (Wassilew dkk, 2016).
Rekomendasi perawatan sebagian besar didasarkan pada pendapat dan
tradisi ahli. Bukti ilmiah dasar untuk sebagian besar rekomendasi sedikit dan
sebagian besarberasal dari studi kohort retrospektif, survei kerentanan obat,
atau percobaan pada hewan. Hanya satu uji klinis prospektif, terkontrol
plasebo pada infeksi paru yang disebabkan oleh MAC tersedia, yang
membandingkan hasil pengobatan infeksi MAC paru dengan dan tanpa
tambahan aminoglikosida di rejimen pengobatan standar. Percobaan ini sangat
menarik untuk negara-negara Eropa, karena setengah dari pasien datang
dengan penyakit fibrocavitary. Peningkatan klinis lebih baik pada kelompok
streptomisin sehubungan dengan temuan mikrobiologi, penyakit pernapasan
yang mendasari, dan temuan radiologi, tetapi perbedaannya tidak signifikan
(Wassilew dkk, 2016).
Pembedahan merupakan pilihan penting bagi pasien dengan MOTT
paru berat yang memiliki respon buruk terhadap terapi medis, kavitasi
terlokalisir, atau penyakit bronkiektatik nodular berat; Namun, tingkat
komplikasi bisa tinggi. Dua analisis retrospektif yang berbeda menunjukkan
perubahan kultur sputum persisten setelah operasi dan perawatan medis pasca
operasi pada 81 dan 88% pasien. Jika operasi layak, itu harus dipertimbangkan
untuk pasien dengan kultur persisten positif setelah 6 bulan perawatan medis
(Wassilew dkk, 2016).
Kelemahan penting dari manajemen pasien dengan MOTT paru adalah
bahwa standar titik akhir untuk hasil pengobatan kurang. Tujuan hasil dapat
bervariasi dari konversi kultur sputum hingga perbaikan sederhana dari tanda-
tanda klinis dan radiologis (Wassilew dkk, 2016).
Dasar dari sebagian besar regimen obat anti-MOTT adalah macrolides,
tetapi ada pengecualian seperti M. kansasii-PD.Klaritromisin dan amikasin
adalah satu-satunya obat yang telah diteliti dan menunjukkan adanya

10
hubungan antara kerentanan obat in vitro dan efikasi in vivo pada MAC-PD.
Clarithromycin biasanya dikombinasikan dengan beberapa rifamycindan
etambutol. Tidak ada data yang tersedia yang menunjukkan keunggulan dari
klaritromisin atau azitromisin dalam pengobatan penyakit MAC paru.Untuk
MAC-PD, jauh lebih banyak data tersedia untuk klaritromisin daripada
azitromisin, tetapi dalam praktek klinisazitromisin sering digunakan karena
jadwal pemberian dosis yang lebih baik dan toleransi gastrointestinal yang
lebih baik.Azitromisin juga dianggap kurang menimbulkan terhadap
interaksidengan rifampycin (Wassilew dkk, 2016)
Induksi sitokrom P450 oleh rifampicin dapat menurunkan tingkat
makrolida darah di bawah konsentrasi inhibitor. Namun tidak dipahami
dengan baik mengapa pasien dengan MOTT-PD mungkin masih merespon
secara klinis. Apakah pemantauan obat terapeutik meningkatkan hasil
pengobatan di MAC-PD saat ini sedang diselidiki (Wassilew dkk, 2016).
Pada orang HIV-seropositif, rifabutin sering lebih disukai daripada
rifampicin karena lebih jarang interaksi obat-obat dengan terapi antiretroviral.
Dalam kasus pengobatan dengan rifabutin, azitromisin harus menjadi makrolid
pilihan (Wassilew dkk, 2016).
Pada nodular bronkiektatik MAC-PD, terapi intermittent (3 kali-
mingguan) dengan macrolide, rifamycin, dan ethambutol telah disarankan
sebagai rejimen pengobatan awal yang wajar. Perawatan ini umum di AS
tetapi kurang populer di Eropa. Dalam kasus resistensi obat in vitro MAC atau
efek samping, obat alternatifnya adalah amikacin, streptomisin, atau, dengan
sedikit bukti klinis, clofazimine. Pasien dengan penyakit MAC-PD atau
fibrocavitary yang parah secara khusus mungkin mendapat keuntungan dari
pengobatan aminoglikosida di samping rejimen standar dalam fase perawatan
intensif (Wassilew dkk, 2016).
Hasil dari uji coba terbaru mendukung inhalasi aerosolized amikacin,
terutama liposomal amikacin. Aktivitas sinergis in vitro terhadap MOTT
dilaporkan untuk clofazimine dan amikacin. Dampak darilinezolid pada hasil
pengobatan di MOTT-PD masih belum jelas. Frekuensi tinggi dari efek
samping obat dalam terapi jangka panjang membatasi penggunaan linezolid
sebagai bagian dari rejimen pengobatan untuk pasien dengan penyakit berat

11
dan pola resistensi antibiotik yang berbeda atau intoleransi terhadap obat lain
(Wassilew dkk, 2016).
Rifampicin adalah pengobatan utama untuk M. kansasii -PD
(Wassilew dkk, 2016). Mitra kombinasi yang lebih disukai untuk regimen
multidrug adalah etambutol plus isoniazid atau macrolide. Beberapa penulis
telah mengusulkan untuk mempersingkat masa pengobatan untuk M. kansasii -
PD menjadi 12 atau bahkan 9 bulan dibandingkan dengan 12 bulan setelah
konversi kultur sputum yang direkomendasikan oleh ATS / IDSA. Pasien
dengan M. kansasii -PD resisten-rifampisin mungkin memerlukan rejimen 3 -
4 obat berdasarkan kerentanan in vitro, termasuk isoniazid, moksifloksasin,
etambutol plus makrolida atau aminoglikosida. Beberapa ahli menyarankan
memperpanjang durasi perawatan hingga 18 bulan dalam situasi ini (Wassilew
dkk, 2016).
Hasil berbagai rejimen rejimen pengobatan untuk M. malmoense-PD
tidak dapat disimpulkan dalam 2 percobaan yang dilakukan oleh British
Thoracic Society. Rekomendasi saat ini untuk pengobatan M. malmoense-PD
adalah terapi kombinasi termasuk rifampycin, etambutol, dan macrolide,
dengan moxifloxacin menjadi alternatif untuk macrolide jika terjadi efek
samping atau gagal respon terapeutik (Wassilew dkk, 2016).
Dengan tidak adanya data yang cukup pada hasil klinis infeksi M.
xenopi pada terapi antimikobakteri, rekomendasi harus dirumuskan dengan
hati-hati. Terapi kombinasi dengan rifamycin dan etambutol bersama dengan
macrolide (mungkin juga menambahkan moxifloxacin) selama 12 bulan
setelah tanggal konversi kultur telah diusulkan. Sebuah uji klinis acak yang
sedang berlangsung di Prancis membandingkan efektivitas dan toleransi
rejimen yang mengandung moksifloksasin dan klaritromisin (Wassilew dkk,
2016).
Infeksi M. simiae relatif sering mengarah ke PD di beberapa bagian
Amerika Serikat, tetapi jauh lebih jarang terjadi di Eropa. Seperti banyak
mycobacteria lain yang menyebabkan NTM-PD, rejimen pengobatan yang
optimal untuk M. simiae PD tidak diketahui. DST in vitro mengungkapkan
resistensi obat antibiotik terhadap banyak senyawa yang berbeda. Pilihan obat
untuk pengobatan harus didasarkan pada hasil DST. Kombinasi rejimen obat
sering termasuk amikacin dengan 2-3 obat lain. Kombinasi amikacin dan

12
clofazimine memiliki sinergi in vitro terhadap M. simiae isolat, mengusulkan
penggunaan 2 obat ini sebagai bagian dari rejimen. Trimetoprim /
sulfametoksazol kadang-kadang bagian dari rejimen pengobatan di M. simiae -
PD (Wassilew dkk, 2016).

13
14
15
16
Pada M. abscessus-PD, konversi kultur berkelanjutan dan perbaikan
klinis sering tidak dapat dicapai dengan obat yang tersedia saat ini secara
independen dari rejimen yang dipilih. Kontrol gejala dan penekanan mikroba
mungkin merupakan tujuan terapi yang terbaik (Wassilew dkk, 2016).

Resistansi obat in vitro terhadap antibiotik antimikobakteri multipel


sering terjadi pada M. abscessus. Mekanisme yang mengarah ke resistansi
intrinsik atau didapat sangat kompleks dan tidak selalu disebabkan oleh
paparan sebelumnya terhadap antibiotik. Karena variabilitas dalam kerentanan
dan potensinya untuk menginduksi ketahanan macrolide, AST umumnya
direkomendasikan. Namun, korelasi in vitro-in vivo antara tes resistansi obat
dan hasil klinis pada M. abscessus -PD buruk, dan peran AST dalam mencapai
pengobatan yang berhasil masih belum pasti. Beberapa penelitian menerapkan
alat molekuler untuk membedakan M. abscessus subsp. abscessus dari M.
abscessus subsp. massiliense telah menunjukkan hasil yang lebih baik untuk
pasien yang terinfeksi M. abscessus subsp. Massiliense yang diobati dengan
macrolide. Pengukuranresistensi macrolide yang bisa diinduksi telah menjadi
uji laboratorium standar, berdasarkan analisis urutan gen erm41 atau pengujian
fenotipik dengan inkubasi yang panjang. Saat ini, tidak ada konsensus pada
pengobatan kompleks M. absesus, kecuali untuk penggunaan macrolide jika
tidak adanya resistensi, misalnya karena gen erm41. Rekomendasi yang
mungkin untuk pengobatan M. abscessus-PD terdiri dari dua fase. Yang
pertama adalah fase intensif, dengan setidaknya dua agen injeksi (amikacin
plus cefoxitin, imipenem, atau tigecycline) ditambah tiga obat yang diberikan
secara oral (misalnya ciprofloxacin, doxycycline, dan linezolid). Setelah
konversi budaya, pengobatan biasanya dilanjutkan dengan obat-obatan yang
tersedia secara oral. Clofazimine harus dipertimbangkan sebagai obat alternatif
dalam pengobatan penyakit kompleks M. abcessus. Studi in vitro telah
menunjukkan efek sinergis yang menjanjikan ketika digunakan bersamaan
dengan amikacin. Dalam serangkaian kasus kecil, bedaquiline memiliki efek
pengobatan non-berkelanjutan terhadap M. abscessus. Jika hasil DST
berkepanjangan menunjukkan kerentanan spesies M. abscessus terhadap
makrolida, salah satu makrolida, azitromisin, harus selalu menjadi bagian dari
rejimen obat. Clarithromycin mungkin menginduksi resistensi macrolide di

17
kompleks M. abscessus lebih sering daripada azitromisin, tetapi temuan ini
tidak konsisten. Pilihan obat pendamping yang akan melindungi macrolide
dari resistensi masih kontroversial. Jika layak, operasi harus selalu
dipertimbangkan untuk M. abscessus-PD (Wassilew dkk, 2016).

Durasi pengobatan 12 bulan setelah konversi kultur sputum umumnya


dianjurkan untuk sebagian besar MOTT-PD, tetapi sangat mungkin bahwa
rekomendasi pengobatan standar tidak memadai dalam sebagian besar kasus.
Individualisasi berbasis bukti dari durasi pengobatan tidak tersedia, terutama
karena kurangnya biomarker yang akan menunjukkan keberhasilan pengobatan
dan dapat memandu dokter untuk menghentikan antibiotik pada waktu yang
lebih tepat. Hal ini ditunjukkan pada TB yang resistan terhadap banyak obat
dan resistansi yang memperpendek jangka waktu terapi 9-12 bulan dapat,
dalam keadaan tertentu, sama efektifnya dengan durasi pengobatan 20 bulan
yang direkomendasikan, dan ini bisa diterapkan pada penyakit yang

18
disebabkan oleh mycobacteria lainnya juga. Karena kompleksitas terapi pasien
dengan infeksi NTM, pengobatan harus dikoordinasikan oleh dokter dengan
pengalaman yang cukup dan dalam konsultasi konstan dengan pusat rujukan
masing-masing (Wassilew dkk, 2016).

19
DAFTAR PUSTAKA

Arend, SM, Soolingen DV, dan Tom HM Ottenhoff (2009). Diagnosis and treatment of lung
infection with nontuberculous mycobacteria. CurrOpinPulm Med 15: 201-208

Griffith DE et al (2007). Pathogenesis of non tuberculous mycobacterial infections.


American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine Vol 175

Johnson, Margaret M dan John A. Odell (2014). Nontuberculous mycobacterial pulmonary


infections. J Thorac Dis. 6 (3): 210-220

Ravikiran et al (2016). Leveraging Advances in Tuberculosis Diagnosis and Treatment to


Address Nontuberculous Mycobacterial Diseases. Emerging Infectious Diseases. Vol
22:3.

Restiawati, Ni Made dan Erlina Burhan (2011). Diagnosis dan Penatalaksanaan


Mycobacterium Other Than Tuberculosis (MOTT). J Respir Indo.31 (3): 154-164

Salzer HJF, Wassilew N, Kohler N, et al. 2016. Personalized Medicine for Chronic
Respiratory Infectious Diseases: Tuberculosis, Nontuberculous Mycobacterial
Pulmonary Diseases, and Chronic Pulmonary Aspergillosis. R espiration 2016;
92:199–214

Sandra M. Arend, Dick Van Sooligen, Tom HM Ottenholf (2009). Diagnosis and
Treatment of Lung Infection with Non Tuberculosis Mycobacteria. Wolter
Kulwers Health.

Wassilew N, Hoffman H, Andrejak C, Lange C. 2016. Pulmonary Disease Caused by Non


Tuberculous Mycobacteria. Respiration 2016;91:386–402

Yong Soo Kwon, Won-Jung Koh (2014). Diagnosis of Pulmonary Tuberculosis and
Nontuberculous Mycobacterial Lung Disease in Korea. Tubec Respir Dis 77:1-5.

20

Anda mungkin juga menyukai