OLEH :
RONALD BASTEN
NIM.113063J1.13.047
i
LEMBAR PENGESAHAN
OLEH :
CI Akademik, CI Lahan,
(…………………...………………..) (…………………...………………..)
ii
DAFTAR ISI
COVER ............................................................................................. i
LAPORAN PENDAHULUAN
iii
LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH KRONIS
1
LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH KRONIS
A. Masalah Utama
Harga Diri Rendah Kronis
2
3. Rentang respons
Respons Respon
Adaptif Maladaptif
4. Etiologi
a. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah kronis adalah penolakan
orangtua yang tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang
mempunyai tanggungjawab personal, ketergantungan pada orang lain,
ideal diri yang tidak realistis.
b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah kronis adalah hilangnya
sebagian anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh,
mengalami kegagalan serta menurunnya produktivitas. Gangguan konsep
diri: harga diri rendah kronis ini dapat terjadi secara situasional maupun
kronik.
Situasional. Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis yang
terjadi secara situasional bisa disebabkan oleh trauma yang muncul
secara tiba-tiba, misalnya harus dioperasi, mengalami kecelakaan,
menjadi korban pemerkosaan atau menjadi narapidana sehingga harus
masuk penjara. Selain itu, dirawat di rumah sakit juga bisa menyebabkan
rendanya harga diri seseorang di karenakan penyakit fisik, pemasangan
alat bantu yang membuat klien tidak nyaman, harapan yang tidak tercapai
akan struktur, bentuk dan fungsi tubuh, serta perlakuan petugas kesehatan
yang kurang menghargai klien dan keluarga.
3
Kronik. Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis biasanya
sudah berlangsung sejak lama yang dirasakan klien sebelum sakit atau
sebelum dirawat. Klien sudah memiliki pikiran negatif sebelum dirawat
dan menjadi semakin meningkat saat dirawat.
Baik faktor predisposisi maupun presipitasi diatas apabila telah
mempengaruhi seseorang baik dalam berfikir, bersikap maupun
bertindak, maka dianggap telah mempengaruhi koping individu tersebut
sehingga menjdai tidak efektif (mekanisme koping tidak efektif). Bila
kondisi klien dibiarkan tanpa adanya intervensi lebih lanjut dapat
menyebabkan kondisi dimana klien tidak memiliki kemauan untuk
bergaul dengan orang lain (isolaasi sosial). Klien yang mengalami isolasi
sosial dapat membuat klien asik dengan dunia dan pikirannya sendiri
sehingga dapat muncul resiko perilaku kekerasan.
4
C. Pohon Masalah
Resiko Tinggi (Resti) Perilaku Kekerasan
Isolasi Sosial
5
Objektif:
Mengkritik diri sendiri.
Perasaan tidak mampu.
Pandangan hidup yang pesimistis.
Tidak menerima pujian.
Penurunan produktivitas.
Penolakan terhadap kemampuan diri.
Kurang memperhatikan perawatan diri.
Berpakaian tidak rapi.
Selera makan berkurang.
Tidak berani menatap lawan bicara.
Lebih banyak menunduk.
Bicara lambat dengan nada suara lemah.
G. Diagnosis Keperawatan
Harga diri rendah kronis
Tindakan keperawatan
a. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki
klien.
Perawat dapat melakukan hal-hal berikut untuk membantu klien
mengungkapkan kemampuan dan aspek positif yang masih
dimilikinya.
6
1) Mendiskusikan bahwa klien masih memiliki sejumlah kemampuan
dan aspek positif seperti kegiatan klien di rumah, adanya keluarga
dan lingkungan terdekat
2) Beri pujian yang realistis atau nyata dan hindarkan penilaian yang
negatif setiap kali bertemu dengan klien
b. Membantu klien dalam menilai kemampuan yang dapat digunakan.
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Mendiskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat
digunakan saat ini setelah mengalami bencana.
2) Bantu klien menyebutkannya dan beri penguatan terhadap
kemampuan diri yang berhasil diungkapkan klien.
3) Perlihatkan respons yang kondusif dan jadilah pendengar yang
aktif.
c. Membantu klien agar dapat memilih atau menetapkan kegiatan sesuai
dengan kemampuan. Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan
adalah sebagai berikut:
1) Mendiskusikan dengan klien beberapa aktivitas yang dapat
dilakukan dan dipilih sebagai kegiatan yang akan klien lakukan
sehari-hari.
2) Bantu klien menetapkan aktivitas yang dapat dilakukan secara
mandiri. Tentukan aktivitas-aktivitas yang memerlukan bantuan
minimal dan bantuan penuh dari keluarga atau lingkungan terdekat
klien. Berikan contoh cara pelaksanaan aktivitas yang dapat
dilakukan klien dan buatlah daftar aktivitas atau kegiatan sehari-
hari.
d. Melatih kegiatan klien yang sudah dipilih sesuai kemampuan.
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Mendiskusikan dengan klien untuk menetapkan urutan kegiatan
(yang sudah dipilih klien) yang akan dilatihkan.
2) Berasama klien dan keluarga memperagakan beberapa kegiatan
yang akan dilakukan klien.
7
3) Berikan dukungan dan pujian yang nyata pada setiap kemajuan
yang diperlihatkan klien.
e. Membantu klien agar dapat merencanakan kegiatan sesuai
kemampuannya.
Untuk mencapai tujuan dari tindakan keperawatan tersebut, dapat
melakukan hal-hal berikut:
1) Memberi kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang
telah dilatihkan.
2) Beri pujian atas aktivitas atau kegiatan yang dapat dilakukan klien
setiap hari.
3) Tingkatkan kegiatan sesuai dengan tingkat toleransi dan perubahan
setiap aktivitas.
4) Menyusun daftar aktivitas yang sudah dilatihkan bersama klien dan
keluarga.
5) Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya
setelah melaksanankan kegiatan.
6) Yakinkan bahwa keluarga mendukung setiap aktivitas yang
dilakukan klien
8
d. Jelaskan cara-cara merawat klien dengan gangguan konsep diri: harga
diri rendah kronis.
e. Demonstrasikan cara merawat klien dengan gangguan konsep diri:
harga diri rendah.
f. Bantu keluarga menyusun rencana kegiatan klien di rumah.
9
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL
10
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL
A. Masalah Utama
Isolasi Sosial
11
tidak efektif. Klien yang mengalami kerusakan interaksi sosial
mengalami kesutitan dalam berinteraksi dengan orang lain salah satunya
mengarah pada menarik diri (Townsend, 1998).
Kerusakan interaksi sosial adalah satu gangguan kepribadian yang tidak
fleksibel, tingkah maladaptif, dan mergganggu fungsi individu dalam
hubungan sosialnya (Stuart dan Sundeen, 1998).
12
orang tersebut berperilaku tidak normal (koping individu tidak efektif).
Peranan keluarga cukup besar dalam mendorong klien agar mampu
menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, bila sistem pendukungnya tidak
baik (koping keluarga tidak efektif) maka akan mendukung seseorang
memiliki harga diri rendah.
3. Rentang Respons
Berikut ini akan dijelaskan tentang respons yang terjadi pada isolasi sosial
Respons adaptif
Respons adaptif adalah respons yang masih dapat diterima oleh norma-
norma sosial dan kebudayaan secara umum yang berlaku. Dengan kata
lain individu tersebut masih dalam batas normal ketika menyelesaikan
masalah. Berikut ini adalah sikap yang termasuk respons adaptif
a. Menyendiri, respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan
apa yang telah terjadi di lingkungan sosialnya.
b. Otonomi, kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan
ide, pikiran dan perasaan dalam hubungan sosial.
c. Bekerja sama, kemampuan individu yang saling membutuhkan satu
sama lain.
d. Interdependen, saling ketergantungan antara individu dengan orang
lain dalam membina hubungan interpersonal.
13
Respons maladaptif
Respons maladaptif adalah respon yang menyimpang dari norma sosial
dan kehidupan di suatu tempat. Berikut ini adalah perilaku yang termasuk
respons maladaptif
a. Menarik diri, seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina
hubungan secara terbuka dengan orang lain.
b. Ketergantungan, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri
sehingga tergantung dengan orang lain.
c. Manipilasi, seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek
individu sehingga tidak dapat membina hubungan sosial secara
mendalam.
d. Curiga, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya terhadap orang
lain.
4. Etiologi
a. Faktor Predisposisi
Faktor Tumbuh Kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas
perkembangan yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam
hubungan sosial.
Bila tugas-tugas dalam perkembangan ini tidak terpenuhi maka
akan menghambat fase perkembangan sosial yang nantinya akan dapat
menimbulkan masalah.
Table 2.1. Tugas perkembangan berhubungan dengan Pertumbuhan
Interpersonal
14
Masa Remaja Menjadi intim dengan teman lawan jenis atau
bergantung pada orang tua.
Masa Dewasa Muda Menjadi saling bergantung antara orang tua dan
teman, mencari pasangan , menikah dan
mempunyai anak.
Masa Tengah Baya Belajar menerima hasil kehidupan yang sudah
dilalui.
Masa Dewasa Tua Berduka karena kehilangan dan
mengembangkan perasaan keterikatan dengan
budaya.
15
atrofi otak, serta perubahan ukuran dan bentuk sel-sel dalam limbik
ddan daerah kortikal.
b. Faktor presipitasi
Terjadinya gangguan hubungan sosial juga dapat ditimbulkan oleh faktor
internal dan eksternal seseorang. Faktor steresorpresipitasi dapat
dikelompokan sebagai berikut:
Faktor eksternal
Contohnya adalah stresor sosial budaya, yaitu stres yang ditimbulkan
oleh faktor sosial budaya seperti keluarga.
Faktor internal
Contohnya adalah stresor psikologis, yaitu stres terjadi akibat ansietas
yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan keterbatasan
kemampuan individu untuk mengatasinya. Ansietas ini dapat terjadi
akibat tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat atau tidak
terpenuhinya kebutuhan individu.
C. Pohon Masalah
Resti Mencederai Diri, Orang Lain, dan Lingkungan
16
D. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul
1. Isolasi sosial.
2. Harga diri rendah kronis.
3. Perubahan persepsi sensori: halusinasi.
4. Koping individu tidak efektif.
5. Koping keluarga tidak efektif.
6. Intoleransi aktivitas.
7. Defisit perawatan diri.
8. Risiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan.
Objektif:
Kurang spontan.
Apatis (acuh terhadap lingkungan).
Ekspresi wajah kurang berseri.
Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan
kebersihan diri.
Tidak ada atau kurang komunikasi verbal.
Mengisolasi diri.
Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan
sekitar.
Asupan makanan dan minuman terganggu.
Retensi urine dan feses.
Aktivitas menurun.
Kurang energi (tenaga).
Rendah diri.
Postur tubuh berubah, misalnya sikap
fetus/janin (khususnya pada posisi tidur).
17
F. Diagnosis Keperawatan
Isolasi Sosial
18
LAPORAN PENDAHULUAN
HALUSINASI
19
LAPORAN PENDAHULUAN
HALUSINASI
F. Masalah Utama
Perubahan Persepsi Sensori: Halusinasi
20
yang tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat
dibuktikan (Wilson, 1983).
Table 3.1. Jenis Halusinasi serta Ciri Objektif dan Subjektif Klien yang
Mengalami Halusinasi
21
menyenangkan bagi klien.
4. Etiologi
a. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan
jumlah submber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi
stres itu. Diperoleh baik dari klien maupun keluarganya. Faktor
predisposisi dapat meliputi faktor perkembangan, sosiokultural, biokimia,
psikologis dan genetik.
Faktor Perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan
interpersonal terganggu, maka individu akan mengalami stres dan
kecemasan.
Faktor Sosiokultural
22
Berbagai faktor di masyarakat dapat menyebabkan seseorang merasa
disingkirkan, sehingga orang tersebut merasa kesepian di lingkungan
yang membesarkannya.
Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika
sesorang mengalami stres yang berlebihan, maka didalam tubuhnya
akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik
neurokimia seperti buffofenon dan dimethytransferase (DMP)
Faktor Psikologis
Adanya peran ganda bertentangan yang sering diterima sesorang akan
mengakibatkan stres dan kecemasan tinggi dan berakhir pada
gangguan orientasi realitas.
Faktor Genetik
Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui tetapi hasil
studi menunjukan bahwa faktor keluarga menunjukan hubungan yang
sanga berpengaruh pada penyakit ini.
b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu
sebagai tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memerlukan energi
ekstra untuk menghadapinya. Adanya rangsangan dari lingkungan seperti
partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama diajak berkomunikasi,
objek yang ada dilingkungan, dan juga suasana sepi atau terisolasi sering
menjadi pencetus terjdinya halusinasi. Hal tersebut dapat menigkatkan
stres dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat
halusinogenik.
c. Perilaku
Respons klien terhadap halusinasi dapat beruap rasa curiga, takut, tidak
aman, gelisah, dan bingung, berperilaku yang merusak diri, kurang
perhatian, tidak mampu mengambil keputusan, serta tidak dapat
membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Rawlins dan Heacock
23
(1993) mencoba memecakhkan masalah halusniasi berlandaskan atas
hakikat keberadaan seorang indivudu sebagai makhluk yangn dibangun
atas dasar unusr-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat
dilihat dari lima dimensi yaitu sebagai berikut:
1. Dimensi Fisik
Manusia dibangun oleh sistem indra untuk menanggapi rangsangan
eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat
ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar
biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, dan kesulitan
untuk tidur dalam waktu yang lama.
2. Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan karena problem atau masalah yang
tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari
halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien
tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga berbuat sesuatu
terhadap ketakutannya.
3. Dimensi Intelektual
Dimensi Intelektual menerangkan bahwa individu yang mengalami
halusinasi akan memperlaihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada
awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan
impuls yang menekan, tetapi pada saat tertentu menimbulkan
kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tidak
jarang akan mengontrol semua prilaku klien.
4. Dimensi Sosial
Dimensi sosial pada individu yang mengalami halusinasi menunjukan
kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik dengan
halusinasinya, seolah-olah ia nerupakan tempat untuk memenuhi
kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri, yang tidak didapatkan
dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol oleh
individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman,
maka hal tersebut dapat mengancam dirinya atau orang lain. Oleh
karena itu, aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperwatan
24
pada klien yang mengalami halusinasi adalah dengan mengupayakan
suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal
yang memuaskan, serta mengusahakan agar klien tidak menyendiri.
Jika klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya diharapkan
halusinasi tidak terjadi.
5. Dimensi Spiritual
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi
dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Klien
yang mengalami halusinasi cenderung menyendiri hingga proses di
atas tidak terjadi. Individu tidak sadar dengan keberadaannya dan
halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut. Saat
halusinasi menguasi dirinya, individu kehilangan kontrol terhadap
kehidupan nyata.
d. Sumber Koping
Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang. Individu
dapat mengatasi stress dan ansietas dengan menggunakan sumber koping
dilingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal untuk
menyelesaikan masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya, dapat
membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan
stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil.
e. Mekanisme Koping
Mekanisme koping merupakan tiap upaya yang diarahkan pada
pengendalian stres, termasuk upaya penyelesaian masalah secara
langsung dan mekanisme pertahanan lain yang digunakan untuk
melindungi diri.
5. Tahap Halusinasi
Tahap I (Non-psikotik)
Pada tahap ini, halusinasi mampu memberikan rasa nyaman pada klien,
tingkat orientasi sedang. Secara umum pada tahap ini halusinasi
merupakan hal yang menyenangkan bagi klien.
Karakteristik:
25
a. Mengalami kecemasan, kesepian, rasa bersalah, dan ketakutan.
b. Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan
kecemasan.
c. Pikiran dan pengalam masih ada dalam kontrol kesadaran.
Perilaku yang muncul:
a. Tersenyum atau teratawa sendiri.
b. Menggerakan bibir tanpa suara.
c. Pergerakan mata yang cepat.
d. Respon verbal lambat, diam, dan berkonsentrasi.
Tahap II (Non-psikotik)
Pada tahap ini biasanya klien bersikap menyalahkan dan mengalami
tingkat kecemasan berat. Secara umum halusinasi yang ada dapat
menyebabkan antipati.
Karakteristik:
a. Pengalaman sensori yang menakutkan atau dilecehkan oleh
pengalaman tersebut.
b. Mulai merasakan kehilangan control.
c. Menarik diri dari orang lain.
Perilaku yang muncul:
a. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan, dan tekanan darah
b. Perhatian terhadap lingkungan menurun
c. Konsentrasi terhadap pengalaman sensori pun menurun
d. Kehilangan kemampuan dalam membedakan antara halusinasi dengan
realita
26
c. Klien menjadi kesepian bila pengalaman sensori berakhir.
Perilaku yang muncul:
Tahap IV (Psikotik)
Klien sudah sangat disukai oleh halusinasi dan biasanya klien terlihat
panic.
Perliaku yang muncul:
a. Resiko tinggi menciderai.
b. Agitasi/kataton.
c. Tidak mampu merespon rangsangan yang ada.
Timbulnya perubahan persepsi sensori halusinasi biasanya diawali
dengan seorang yang menarik diri dari lingkungannya karena orang tersebut
menialai dirinya rendah. Bila klien mengalami halusinasi dengar dan lihat
atau salah satunya yang menyruh pada kejelekan, maka akan berisiko
terhadap perilaku kekerasan.
H. Pohon Masalah
27
Harga Diri Rendah Kronis
Objketif
K.Diagnosa Keperawatan
Peruabahan persepsi sensori: halusinasi.
28
1. Tindakan Keperawatan untuk Klien
Tujuan tidakan untuk klien adalah sebagai berikut.
a. Klien mengenali halusinasi yang dialaminya
b. Klien dapat mengontrol halusinasinya
c. Klien mengikuti program pengobatan secara optimal
Tindakan keperawatan
a. Membantu klien mengenali halusinasinya.
Diskusi adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membantu
klien mengenali halusinasinya. Perawat dapat berdiskusi dengan
klienb terkait isi halusinasinya (apa yang didengat atau dilihat), waktu
terjadi halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi situasi yang
menyebabkan halusinasi muncul dan perasaan klien saat halusinasi
muncul (komunikasinya sama dengan pengkajian diatas).
b. Melatih klien mengontrol halusinasi.
Perawat dapat melatih empat cara dalam mengendalikan halusinasi
pada klien. Keempat cara tersebut adalah menghadrik halusinasi,
bercakap-cakap dengan orang lain, melakukan aktifitas yang terjadwal
dan mengonsumsi obat secara teratur.
29
untuk memulihkannya kembali akan sangat sulit. Oleh karena itu,
perawat harus melatih keluarga agar mampu merawat klien gangguan
jiwa di rumah.
Pendidikan kesehatan kepada keluarga dapat dilakukan melalui tiga
tahap. Tahap pertama adalah menjelaskan tentang masalah yang dialami
oleh klien dan pentingnya peran keluarga untuk merawat klien. Tahap
kedua adalah melatih kelurga untuk merawat klien dan tahap yang ketiga
yaitu melatih keluarga untuk merawat klien langsung.
Informasi yang perlu disampaikan kepada keluarga meliputi
pengertian halusinasi, jenis halusinasi yang dialami oleh klien, tanda dan
gejala halusiansi, proses terjadinya halusinasi, cara merawat klien
halusinasi (cara berkomunikasi, pemberian obat dan pemberian aktivitas
kepada klien) serta sumber-sumber pelayanan kesehatan yang biasa
dijangkauan.
30
LAPORAN PENDAHULUAN
WAHAM
31
LAPORAN PENDAHULUAN
WAHAM
A. Masalah Utama
Perubahan Proses Pikir : Waham.
32
Berbicara kasar.
Menjalankankegiatan keagamaan secara berlebihan.
3. Rentang Respons
4. Faktor Predisposisi
Faktor Perkembangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal
seseorang. Hal ini dapat meningkatkan stres dan ansietas yang berakhir
dengan gangguan persepsi, klien menekan perasaannya sehingga
pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak efektif.
Faktor Sosial Budaya
Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan
timbulnya waham.
Faktor Psikologis
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda/bertentangan, dapat
menimbulkan ansietas dan berakhir dengan pengingkaran terhadap
kenyataan.
Faktor Biologis
Waham diyakini terjadi karena adanya atrofi otak, pembesaran ventrikel
di otak, atau perubahan pada sel kortikal dan limbik.
Faktor Genetik
33
5. Faktor Presipitasi
Faktor Sosial Budaya
Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan rang yang berarti
atau diasingkan dari kelompok.
Faktor Biokimia
Dopamin, norepineprin, dan zat halusinogen lainnya diduga dapat
menjadi penyebab waham pada seseorang.
Faktor Psikologis
Kecemasan yang memanjang dan terbatasnya kemampuan untuk
mengatasi masalah sehingga klien mengembangkan koping untuk
menghindari kenyaaan yang menyenangkan.
6. Macam-macam Waham
Waham Agama
Keyakiana terhadap suatu agama secara berlebihan, diucapkan
berulangulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh:
“Kalau saya mau masuk surga saya harus menggunakan pakaian putih
setiap hari,” atau klien mengatakan bahwa dirinya adalah Tuhan yang
dapat mengendalikan makhluknya.
Waham Kebesaran
Keyakinan secara berlebihan bahwa dirinya memiliki kekuatan khusus
atau kelebihan yang berbeda dengan orang lain, diucapkan berulang-
ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh:
“Saya ini pejabat di Departemen Kesehatan lho...”
“Saya punya tambang emas!”
Waham Curiga
Keyakinan bahwa seseorang atau sekelompok orang berusaha
merugikan atau mencederai dirinya, diucapkan berulang-ulang tetapi
tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh:
34
“Saya tahu... semua saudara saya ingin menghancurkan hidup saya
karena mereka semua iri dengan kesuksesan yang dialami saya.”
Waham Somatik
Keyakinan seseorang bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu
atau terserang penyakit, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai
dengan kenyataan.
Contoh:
Klien selalu mengatakan bahwa dirinya sakit kanker, namun setelah
dilakukan pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan adanya sel
kanker pada tubuhnya.
Waham Nihilistik
Keyakinan seseorang bahwa diriya sudah meninggal dunia, diucapkan
berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh:
“Ini kan alam kubur ya, semua yang ada di sini adalah roh-roh.”
Waham tersangkut
Penderita percaya bahwa setiap kejadian di sekelilingnya mempunyai
hubungan pribadi seperti perintah atau pesan khusus. Penderita
percaya bahwa orang asing disekitarnya memperhatikan dirinya,
penyiar televisi dan broadcasting mengirimkan pesan dengan bahasa
sandi.
Waham bizarre
Merupakan waham yang aneh. Termasuk dalam waham bizarre, antara
lain : waham sisip pikir/thought of insertion (percaya bahwa seseorang
telah menyisipkan pikirannya ke kepala penderita); waham siar
pikir/thought of broadcasting (percaya bahwa pikiran penderita dapat
diketahui orang lain, orang lain seakan-akan dapat membaca pikiran
penderita); waham sedot pikir/thought of withdrawal (percaya bahwa
seseorang telah mengambil keluar pikirannya), waham kendali pikir,
waham hipokondri.
35
Waham Hipokondri
Penderita percaya bahwa di dalam dirinya ada benda yang harus
dikeluarkan sebab dapat membahayakan dirinya.
Waham Cemburu
Cemburu disini adalah cemburu yang bersifat patologis, yaitu
cemburu yang sudah abnormal.
Waham Curiga
Curiga patologis sehingga curiganya sangat berlebihan.
Waham Diancam
Kepercayaan bahwa dirinya selalu diikuti, diancam, diganggu atau ada
sekelompok orang yang selalu mengusik hidupnya.
Waham Berdosa
Percaya bahwa dirinya berdosa sehingga selalu mengurung diri,
murung, menghindar dari lingkungan.
Waham Tak Berguna
Percaya bahwa dirinya tak berguna lagi sehingga sering berpikir lebih
baik mati (bunuh diri).
7. Status Mental
Berdandan dengan baik dan berpakaian rapi, mungkin terlihat eksentrik dan
aneh. Tidak jarang bersikap curiga atau bermusuhan terhadap orang lain.
Klien biasanya cerdik ketika dilakukan pemeriksaan sehingga dapat
memanipulasi data. Selain itu perasaan hatinya konsisten dengan isi waham.
36
Bisa dikarenakan terjatuh atau didapat ketika lahir. Hal ini mendukung
terjadinya perubahan emosional seseorang yang tidak stabil. Bila
berkepanjangan akan menimbulkan perasaan rendah diri, kemudian
mengisolasi diri dari orang lain dan lingkungan. Waham kebesaran akan
timbul sebagai manifestasi ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi
kebutuhannya. Bila respons lingkungan kurang mendukung terhadap
perilkunya dimungkinkan akan timbul risiko perilaku kekerasan pada orang
lain.
C. Pohon Masalah
37
E. Data yang Perlu Dikaji
Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji
Perubahan proses pikir : Subjektif :
Waham kebesaran Klien mengatakan bahwa dirinya adalah
orang yang paling hebat.
Klien mengatakan bahwa ia memiliki
kebesaran atau kekuasaan khusus.
Objektif :
Klien terus berbicara tentang kemampuan
yang dimilikinya.
Pembicaraan klien cenderung berulang-
ulang.
Isi pembicaraan tidak sesuai dengan
kenyataan.
F. Diagnosis Keperawatan
Perubahan proses pikir : waham kebesaran.
38
4) Membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali bertemu
klien).
b. Tidak mendukung atau membantah waham klien.
c. Yakinlah klien berada dalam keadaan aman.
d. Observasi pengaruh waham terhadap aktivitas sehari-hari.
e. Diskusikan kebutuhan psikologis/emosional yang tidak tepenuhi
karena dapat menimbulkan kecemasan, rasa takut dan marah.
f. Jika klien terus menerus membicarakan wahamnya, dengarkan tanpa
memberikan dukungan atau menyangkal sampai klien berhenti
membicarakannya.
g. Berikan pujian bila penampilan dan orientasi klien sesuai dengan
realitas.
h. Diskusikan dengan klien kemampuan realitas yang dimiliki pada saat
yang lalu dan saat ini.
i. Anjurkan klien untuk melakukan aktivitas sesuai kemampuan yang
dimilikinya.
j. Diskusikan kebutuhan psikologis/emosional yang tidak terpenuhi
sehingga menimbulkan kecemasan, rasa takut, dan marah.
k. Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan
emosional klien.
l. Berbicara dalam konteks realitas.
m. Bila klien mampu memperlihatkan kemampuan positifnya.
n. Berikan pujian yang sesuai.
o. Jelaskan pada klien tentang program pengobatannya (manfaat, dosis
obat, jenis, dan efek samping obat yang diminum serta cara meminum
obat yang benar).
p. Diskusikan akibat yang terjadi bila klien berhenti minum obat tanpa
konsultasi.
39
b. Keluarga mempu memfasilitasi klien untuk memenuhi kebutuhan
yang belum dipenuhi oleh wahamnya.
c. Keluarga mampu mempertahankan program pengobatan klien secara
oprimal.
Tindakan keperawatan
a. Diskusikan dengan keluarga tentang waham yang dialami klien.
b. Diskusikan dengan keluarga tentang cara merawat klien waham di
rumah, follow up dan keteraturan pengobatan, serta lingkungan yang
tepat untuk klien.
c. Diskusikan dengan keluarga tentang obat klien (nama obat, dosis,
frekuensi, efek samping dan akibat penghentian obat).
d. Diskusikan dengan keluarga kondisi klien yang memerlukan bantuan.
40
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI
41
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI
M. Masalah Utama
Defisit Perawatan Diri
42
dari wadah lalu memasukkannya ke mulut, melengkapi makan, mencerna
makanan menurut cara yang diterima masyarakat, mengambil cangkit
atau gelas, serta mencerna cukup makanan dengan aman.
BAB/BAK (toileting).
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan
jamban atau kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban, memanipulasi
pakaian untuk toileting, membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan
tepat dan menyiram toilet atau kamar kecil.
Keterbatasan keperawatan diri diatas biasanya diakibatkan karena
stressor yang cukup berat dan sulit ditangani oleh klien, sehingga drinya
tidak mau mengurus atau merawat dirinya sendiri baik dalam hal mandi,
nerpakaian, berhias, makan, maupun BAB dan BAK. Bila tidak
dilakukan intervensi oleh perawat, maka kemungkinan kliebn bisa
mengalami masalah resiko tinggi isolasi sosial.
O. Pohon Masalah
43
P. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul
1. Defisit perawatan diri.
2. Harga diri rendah.
3. Risiko tinggi isolasi sosial.
Objektif :
Ketidak mampuan mandi/membersihkan diri
ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit
berdaki dan berbau serta kuku panjang dan
kotor.
Ketidakmampuan berpakaian/berhias ditandai
dengan rambut acak-acakan, pakaian kotor dan
tidak rapi, pakaian tidak sesuai, tidak bercukur
(laki-laki) atau tidak berdandan (wanita).
Ketidakmampuan makan secara mandiri
ditandai dengan ketidakmampuan mengambil
makan sendiri, makan berceceran dan makan
tidak pada tempatnya.
Ketidakmampuan BAB/BAK secara mandiri
ditandai BAK/BAB tidak pada tempatnya,
tidak membersihkan diri dengan baik setelah
BAB/BAK.
R. Diagnosis Keperawatan
Defisit perawatan diri
44
S. Rencana Tindakan Keperawatan
1. Tujuan
Klien mampu melakukan aktivitas perawatan diri secara mandiri seperti
mandi/membersihkan diri, berpakaian/berhias, makan dan BAB/BAK.
2. Tindakan Keperawatan untuk Klien
Mengkaji kemampuan melakukan perawatan diri yang meliputi.
mandi/membersihkan diri, berpakaian/berhias, makan dan BAB/BAK
Memberikan latihan cara melakukan mandi/membersihkan diri,
berpakaian/berhias, makan dan BAB/BAK secara mandiri
Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami masalah
kurang perawatan diri.
3. Tindakan Keperawatan untuk Keluarga Klien
Keluarga dapat meneruskan melatih klien dan mendukung agar kemampuan
klien dalam merawat dirinya meningkat.
Diskusikan dengan keluarga tentangf fasilitas kebersihan diri yang
dibutuhkan oleh klien agar dapat menjaga kebersihan diri.
Anjurkan keluarga untuk terlibat dalam merawat dan membantu klien
dalam merawat diri (sesuai jadwal yang telah disepakati).
Anjurkan keluarga untuk memberikan pujian atas keberhasilan klien
dalam merawat diri.
45
LAPORAN PENDAHULUAN
RISIKO BUNUH DIRI
46
LAPORAN PENDAHULUAN
RISIKO BUNUH DIRI
T. Masalah Utama
Risiko Bunuh Diri
47
Penganguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan atau mengalami
kegagalan dalam karier).
Pekerjaan.
Konflik interpersonal.
Latar belakang keluarga.
Orientasi seksual.
Sumber-sumber personal.
Sumber-sumber sosial.
Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.
5. Rentang Respons
Peningkatan diri Beresiko destruktif Destruktif diri Pencederaan diri Bunuh diri
tidak langsung
48
Destruktif diri tidak langsung. Seseorang telah mengambil sikap yang
kurang tepat (maladaptif) terhadap situasi yang membutuhkan dirinya
untuk mempertahankan diri. Misalnya, karena pandangan pimpinan
terhadap kerjanya yang tidak loyal, maka seorang karyawan menjadi
tidak masuk kantor atau bekerja seenaknya dan tidak optimal.
Pencederaan diri. Seseorang melakukan perccobaan bunuh diri atau
pencederaan diri akibat hilangnya harapan terhadap situasi yang ada.
Bunuh diri. Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai
dengan nyawanya hilang.
Perilaku bunuh diri menurut Stuart dan Sundeen (1995) dibagi menjadi tiga
kategori yaitu sebagai berikut.
Upaya bunuh diri (Suicide attempt) yaitu sengaja melakukan kegiatan
menuju bunuh diri, dan bila kegiatan itu sampai tuntas akan
menyebabkan kematian. Kondisi ini terjadi setelah tanda peringatan
terlewatkan atau di abaikan. Orang yang hanya berniat melakukan upaya
bunuh diri dan tidak benar-benar ingi mati mungkin akan mati jika tanda-
tanda tersebut tidak diketahui tepat pada waktunya.
Isyarat bunuh diri (Suicide gesture) yaitu bunuh diri yang direncanakan
untuk usaha mempengaruhi perilaku orang lain.
Ancaman bunuh diri (Suicide threat) yaitu suatu peringatan baik secara
langsung atau tidak langsung, verbal atau nonverbal bahwa seseorang
sedang mengupayakan bunuh diri. Orang tersebut mungkin menunjukkan
secara verbal bahwa dia tidak aka nada di sekitar kita lagi atau juga
mengungkapkan secara nonverbal berupa pemberian hadiah, wasiat, dan
sebagainya. Kurangnya respons positif dari orang sekitar dapat
dipersepsikan sebagai dukungan untuk melakukan tindakan bunuh diri.
6. Etiologi
a. Faktor Predisposisi
Tidak ada teori tunggal yang mengungkapkan tentang bunuh diri dan
memberikan petunjuk mengenai cara melakukan intervensi yang
49
terapeutik. Teori Perilaku menyakini bahwa pencederaan diri
merupakan hal yang dipelajari dan diterima pada saat anak-anak dan
masa remaja. Teori psikologi memfokuskan pada masalah tahap awal
perkembangan ego, trauma interpersonal, dan kecemasan berkepanjangan
yang mungkin dapat memicu seseorang untuk mencederai diri. Teori
Interpersonal mengungkapkan bahwa mencederai diri sebagai
kegagalan dari interaksi dalam hidup, masa anak-anak mendapatkan
perlakuan kasar serta tidak mendapatkan kepuasan (Stuart dan Sundeen,
1995).
Riwayat abuse atau incest dapat juga menjadi factor predisposisi
atau presipitasi pencederaan diri. Faktor predisposisi yang lain adalah
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan komunikasi
(mengkomunikasikan perasaan), perasaan bersalah, depresi, dan perasaan
yang tidak stabil.
Lima faktor predisposisi yang menunjang pada pemahaman
perilaku destruktif-diri sepanjang siklus kehidupan adalah sebagai
berikut.
Diagnosis Psikiatrik
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan cara
bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan jiwa
yang dapat membuat individu berisiko untuk melakukan tindakan
bunuh diri adalah gangguan afektif, penyalahgunaan zat, dan
skizofrenia.
Sifat Kepribadian
Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan besarnya risiko
bunuh diri adalah antipati, impulsif, dan depresi.
Lingkungan Psikososial
Faktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri, di antaranya adalah
pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadian-
kejadian negatif dalam hidup, penyakit kronis, perpisahan, atau
bahkan perceraian. Kekuatan dukungan sosial sangat penting dalam
menciptakan intervensi yang terapeutik, dengan terlebih dahulu
50
mengetahui penyebab masalah, respons seseorang dalam menghadapi
masalah tersebut, dan lain-lain.
Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan
factor penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan
tindakan bunuh diri.
Faktor Biokimia
Data menujukkan bahwa pada klien dengan risiko bunuh diri terjadi
peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak seperti
serotonin, adrenalin, dan dopamine. Peningkatan zat tersebut dapat
dilihat melalui rekaman gelombang otak Electro Encephalo Graph
(EEG).
b. Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stres berlebihan yang
dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup
yang memalukan. Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah
melihat atau membaca melalui media mengenai orang yang melakukan
bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya
labil, hal tersebut menjadi sangat rentan.
c. Sumber Koping
Klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang mengancam kehidupan
dapat melakukan perilaku bunuh diri dan sering kali secara sadar
memilih untuk melakukan tindakan bunuh diri. Perilaku bunuh diri
berhubungan dengan banyak faktor bak faktor sosial maupun budaya.
Struktur sosial dan kehidupan sosial dapat menoling atau bahkan
mendorong klien melakukan perilaku bunuh diri. Isolasi sosial dapat
menyebabkan kesepian dan meningkatkan keinginan seseorang untuk
melakukan bunuh diri. Seseorang yang aktif dalam kegiatan masyarakat
lebih mampu menoleransi stres dan menurunkan angka bunuh diri. Aktif
51
dalam kegiatan keagamaan juga dapat mencegah seseorang melakukan
tindakan bunuh diri.
d. Mekanisme Koping
Seorang klien mungkin memakai beberapa variasimekanisme koping
yang berhubungan dengan perilaku bunuh diri, termasuk denial,
rasionalization, regression dan magical thinking. Mekanisme pertahanan
diri yang ada seharusnya tidak ditentang tanpa memberikan koping
alternatif.
Perilaku bunuh diri menunjukan kegagalan mekaisme koping.
Ancaman bunuh diri mungkin menunjukan upaya terakhir untuk
mendapatkan pertolongan agar dapat mengatasi masalah. Bunuh diri
yang terjadi merupakan kegagalan koping dan mekanisme adaptif pada
diri seseorang.
V. Pohon Masalah
52
W. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul
1. Risiko bunuh diri.
2. Bunuh diri.
3. Isolasi sosial.
4. Harga diri rendah kronis.
Objektif :
Impulsif
Menunjukan perilaku yang mencurigakan
(biasanya menjadi sangat patuh).
Ada riwayat penyakit mental (depresi, psikosis,
dan penyalahgunaan alkohol).
Ada riwayat penyakit fisik (penyakit kronis
atau penyakit terminal).
Umur 15 – 19 tahun atau di atas 45 tahun.
Status perkawinan yang tidak harmonis
(mengalami kegagalan dalam perkawinan).
Penganguran (tidak bekerja, kehilangan
pekerjaan atau mengalami kegagalan dalam
karier).
Y. Diagnosis Keperawatan
Risiko bunuh diri
53
Z. Rencana Tindakan Keperawatan
Ancaman/percobaan bunuh diri yang dengan diagnosis: risiko bunuh
diri.
1. Tindakan keperawatan klien yang mengancam atau mencoba bunuh diri
a. Tujuan : Klien tetap aman dan selamat.
b. Tindakan : Melindungi klien.
Perawat dapat melakukan hal-hal berikut untuk melindungi klien yang
mengancam atau mencoba bunuh diri
a. Tetap menemani klien sampai dipindahkan ke tempat yang lebih
aman.
b. Menjauhkan semua benda yang berbahaya (misalnya pisau, silet,
gelas, ikat pinggang dan lain-lain.
c. Memastikan bahwa klien benar-benar telah meminum obatnya, jika
mendapatkan obat.
d. Menjelaskan dengan lembut pada klien bahwa saudara akan
melindungi klien sampai klien melupakan keinginan untuk bunuh
diri.
2. Tindakan keperawatan untuk keluarga dengan klien percobaan bunuh
diri
Tujuan
Keluarga berperan serta melindungi anggota keluarga yang
mengancam atau mencoba bunuh diri.
Tindakan
a. Menganjurkan keluarga untuk ikut mengawasi klien serta jangan
pernah meninggalkan klien sendirian.
b. Menganjurkan keluarga untuk membantu perawat menjauhi
barang-barang berbahaya di sekitar klien.
c. Mendiskusikan dengan keluarga untuk menjaga klien agar tidak
sering melamun sendiri.
d. Menjelaskan kepada keluarga pentingnya klien minum obat
secara teratur.
54
Isyarat bunuh diri dengan diagnosis: harga diri rendah kronis.
3. Tindakan keperawatan untuk klien yang menunjukan isyarat bunuh diri.
Tujuan:
a. Klien mendapar perlindungan dari lingkungannya.
b. Klien dapat mengungkapkan perasaannya.
c. Klien dapat meningkatkan harga dirinya.
d. Klien dapat menggunakan cara penyelesaian masalah yang baik.
Tindakan keperawatan:
a. Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri,
yaitu dengan meminta bantuan dari keluarga atau teman.
b. Meningkatkan harga diri klien, dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut.
1) Member kesempatan pada klien untuk mengungkapkan
perasaannya.
2) Berikan pujian bila klien dapat mengungkapkan perasaan yang
positif.
3) Meyakinkan klien bahwa dirinya berarti untuk orang lain.
4) Mendiskusikan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri
oleh klien.
5) Merencanakan aktivitas yang dapat klien lakukan.
c. Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, dengan cara
sebagai berikut
1) Mendiskusikan dengan klien cara menyelesaikan
masalahnya.
2) Mendiskusikan dengan klien efektifitas masing-masing cara
penyelesaian masalah.
3) Mendiskusikan dengan klien cara menyelesaikan masalah
yang lebih baik.
4. Tindakan keperawatan untuk keluarga denga anggota keluarga yang
menunjukan isyarat bunuh diri.
Tujuan: keluarga mampu merawat klien dengan risiko bunuh diri.
Tindakan keperawatan:
55
a. Mengajarkan klien tentang tanda dan gejala bunuh diri.
1) Menanyakan keluarga tentang tanda dan gejala bunuh diri yang
pernah muncul pada klien.
2) Mendiskusikan tentang tanda dan gejala yang umumnya
muncul pada klien berisiko bunuh diri.
b. Mengajarkan keluarga cara melindungi klien dari perilaku bunuh
diri.
1) Mendiskusikan tentang cara yang dapat dilakukan keluarga
bila klien memperlihatkan tanda dan gejala bunuh diri.
2) Menjelaskan tentang cara-cara melindungi klien, seperti
berikut ini.
Memberikan tempat yang aman, menempatkan klien di
tempat yang mudah diawasi, jangan biarkan klien mengunci
diri di kamar, jangan meninggalkan klien sendirian di
rumah.
Menjauhkan barang-barang yang bias digunakan untuk
bunuh diri. Jauhkan klien dari barang-barang seperti tali,
bahan bakar minyak/bensin, api, pisau atau benda tajam
lainnya, zat yang berbahaya seperti obat nyamuk atau racun
serangga.
Selalu mengadakan pengawasan dan meningkatkan
pengawasa apabila tanda dan gejala bunuh diri meningkat.
Jangan pernah melonggarkan pengawasan, walaupun klien
tidak menunjukan tanda dan gejala untuk bunuh diri.
c. Mengajarkan keluarga tentang hal-hal yang dapat dilakukan
apabila klien melakukan percobaan bunuh diri, antara lain dengan
cara sebagai berikut
1) Mencari bantuan pada tetangga sekitar atau pemuka
masyarakat untuk menghentikan upaya bunuh diri tersebut.
2) Segera membawa klien ke rumah sakit atau Puskesmas untuk
mendapatkan bantuan medis.
56
d. Membantu keluarga mencari rujukan fasilitas kesehatan yang
tersedia bagi klien.
e. Memberikan informasi tentang nomor telepon gawat darurat.
f. Menganjurkan keluarga untuk mengatarkan klien berobat/kontrol
secara teratur untuk mengatasi masalah bunuh dirinya.
57
LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN
58
LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN
A. Masalah Utama
Perilaku kekerasan
59
Emosi: tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu,
dendam, jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin
berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
Intelektual: mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan dan
tidak jarang mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
Spiritual: merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak
bermoral, dan kreativitas terhambat.
Sosial: menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan
sindiran.
Perhatian: bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual
3. Rentang Respon
Keterangan:
1. Asertif: individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang
lain dan memberikan ketenangan.
2. Frustasi: individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak
dapat menemukan alternatif.
3. Pasif: individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya.
4. Agresif: perilaku yang menyertai marah.
5. Kekerasan: perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya
kontrol.
60
Tabel 6.1. Perbandingan antara perilaku asertif, pasif dan agresif/kekerasan
Pasif Asertif Agresif
Isi Negatif dan Positif dan Menyombongkan diri,
Pembicaraan merendahkan diri, menawarkan diri, merendahkan orang lain,
contohnya perkataan: contohnya contoh perkataan:
“Dapatkah saya?” perkataan: “Kamu selalu…”
“Dapatkah kamu?” “Saya dapat…” “Kamu tidak pernah…”
“Saya akan…”
Tekanan Cepat lambat, Sedang Keras dan ngotot
suara mengeluh
Posisi badan Menundukkan kepala Tegap dan santai Kaku, condong ke depan
Jarak Menjaga jarak Mempertahankan Siap dengan jarak akan
dengan sikap jarak yang aman menyerang orang lain
acuh/mengabaikan
Penampilan Loyo, tidak dapat Sikap tenang Mengancam, posisi
tenang menyerang
Kontak mata Sedikit/sama sekali Mempertahankan Mata melotot dan
tidak kontak mata dipertahankan
sesuai dengan
hubungan
4. Faktor Predisposisi
Menurut Townsend (1996) terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan
tentang factor predisposisi perilaku kekerasan, diantaranya adalah sebagai
berikut:
Teori Biologik
Berdasarkan teori biologik, ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi
seseorang melakukan perilaku kekerasan yaitu sebagai berikut:
a. Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen system neurologis
mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls
agresif. System limbik sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya
perilaku bermusuhan dan respons agresif.
b. Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam Townsend (1996)
menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter (epinefrin, norepinefrin,
dopamine, asetilkolin, dan serotonin) sangat berperan dalam
memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Peningkatan hormone
androgen dan norepinefrin serta penurunan serotonin dan GABA (6
61
dan 7) pada cairan serebrospinal merupakan faktor predisposisi
penting yang menyebabkan timbulnya perilaku agresif pada
seseorang.
c. Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat
kaitannya dengan genetik termasuk genetik tipe kariotipe XYY, yang
umumnya dimiliki oleh penghuni penjara pelaku tindak criminal
(narapidana)
d. Gangguan otak, sindrom otak organic berhubungan dengan berbagai
gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada limbik dan lobus
temporal), trauma otak, penyakit ensepalitis, epilepsi (epilepsi lobus
temporal) terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak
kekerasan.
Teori Psikologik
a. Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya
ego dan membuat konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan
dapat memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan
citra diri serta memberikan arti dalam kehidupannya. Teori lainnya
berasumsi bahwa perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan
pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaannya dan
rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan.
b. Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang
diperlajari, individu yang memiliki pengaruh biologic terhadap
perilaku kekerasan lebih cenderung untuk dipengaruhi oleh contoh
peran eksternal dibandingkan anak-anak tanpa faktor predisposisi
biologik.
Teori Sosiokultural
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku
kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat
merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan.
62
5. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat dibedakan menjadi faktor internal dan eksternal.
Internal adalah semua faktor yang dapat menimbulkan kelemahan,
menurunnya percaya diri, rasa takut sakit, hilang control, dan lain-lain.
Eksternal adalah penganiayaan fisik, kehilangan orang yang dicintai,
krisis, dan lain-lain.
6. Mekanisme Koping
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping klien, sehingga dapat
membantu klien untuk mengembangkan mekanisme koping yang
konstruktif dalam mengekspresikan kemarahannya. Mekanisme koping
yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti
displacement, sublimasi, proyeksi, represif, denial, dan reaksi formasi.
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk
melindungi diri antara lain : (Maramis, 1998, hal 83)
Sublimasi: Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata
masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan
penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah
63
melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan
kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
Proyeksi: Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau
keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang
menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan
sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba
merayu, mencumbunya.
Represi: Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan
masuk ke alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada
orang tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau
didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua
merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga
perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.
Reaksi formasi: Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan,
dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan
menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada
teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
Displacement: Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan,
pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang
membangkitkan emosi itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun marah
karena ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar
di dinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan dengan
temannya.
Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang
berkepanjangan dari seseorang karena ditinggal oleh orang yang dianggap
sangat berpengaruh dalam hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak teratasi,
maka dapat menyebabkan seseorang rendah diri (harga diri rendah),
sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila ketidakmampuan
bergaul dengan orang lain ini tidak diatasi akan memunculkan halunasi
berupa suara-suara atau bayangan yang meminta klien untuk melakukan
64
tindak kekerasan. Hal tersebut dapat berdampak pada keselamatan dirinya
dan orang lain (resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan).
Selain diakibatkan oleh berduka yang berkepanjangan, dukungan
keluarga yang kurang baik dalam menghadapi kondisi klien dapat
memengaruhi perkembangan klien (koping keluarga tidak efektif). Hal ini
tentunya menyebabkan klien sering keluar masuk RS atau menimbulkan
kekambuhan karena dukungan keluarga tidak maksimal (regimen terapeutik
inefektif).
C. Pohon Masalah
Regimen Terapeutik
Inefektif
65
4. Harga diri rendah kronis.
5. Isolasi sosial.
6. Berduka disfungsional.
7. Penatalaksanaan regimen teurapeutik inefektif.
8. Koping keluarga inefektif.
Objektif:
Mata melotot/pandangan tajam.
Tangan mengepal.
Rahang mengatup.
Wajah memerah dan tegang.
Postur tubuh kaku.
Suara keras.
F. Diagnosis Keperawatan
Perilaku kekerasan.
66
G. Rencana Tindakan Keperawatan
1. Tindakan keperawatan untuk klien
Tujuan
a. Klien dapat menidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
b. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
c. Klien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya
d. Klien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang
dilakukannya
e. Klien dapat menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasannya
f. Klien dapat mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik, spiritual,
sosial, dan dengan terapi psikofarmaka.
Tindakan
a. Bina hubungan saling percaya
Dalam membina hubungan saling percaya perlu dipertimbangkan agar
klien merasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengan saudara.
Tindakan yang harus kita lakukan dalam rangka membina hubungan
saling percaya adalah mengucapkan salam terapeutik, berjabat tangan,
menjelaskan tujuan interaksi, serta membuat kontrak topik, waktu, dan
tempat setiap kali bertemu klien.
b. Diskusikan bersama klien penyebab perilaku kekerasan yang terjadi
dimasa lalu dan saat ini.
c. Diskusikan perasaan klien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan.
Diskusikan bersama klien mengenai tanda dan gejala perilaku
kekerasan, baik kekerasan fisik, psikologis, sosial, spiritual amupun
intelektual.
d. Diskusikan bersama klien perilaku secara verbal yang biasa dilakukan
pada saat marah baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan.
e. Diskusikan bersama klien akibat yang ditimbulkan dari perilaku
marahnya.
67
Diskusikan bersama klien cara mengontrol perilaku kekerasan baik
secara fisik (pukul kasur atau bantal serta tarik napas dalam), obat-
obatan, sosial atau verbal (dengan mengungkapkan kemarahannya
secara asertif), ataupun spiritual (shalat atau berdoa sesuai keyakinan
klien).
68
DAFTAR PUSTAKA
Dermawan, Deden, & Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa Konsep & Kerangka
Kereja Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Gosyen Publishing
Fitria, Nita. 2012. Prinsip Dasar & Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
Dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Jakarta : Salemba
Medika
Keliat, Budi Anna, dkk. 2012. Manajemen Kasus Gangguan Jiwa CMHN
(Intermediate Course). Jakarta. EGC
69