Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Meningitis adalah inflamasi yang terjadi pada meninges, suatu
membran yang menyelimuti otak dan spinal cord (sumsum tulang belakang)
yang menyebabkan terjadinya gejala perangsangan meningen seperti sakit
kepala, kaku kuduk, fotofobia disertai peningkatan jumlah leukosit pada liquor
cerebrospinal (LCS). Berdasarkan durasi dari gejalanya, meningitis dapat
dibagi menjadi akut dan kronik. Meningitis akut memberikan manifestasi klinis
dalam rentang jam hingga beberapa hari, sedangkan meningitis kronik
memiliki onset dan durasi berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Pada
banyak kasus, gejala klinik meningitis saling tumpang tindih karena
etiologinya sangat bervariasi. Berdasarkan etiologinya, meningitis dapat dibagi
menjadi meningitis yang terjadi karena infeksi bakteri, virus, fungi, atau juga
dapat karena kejadian noninfeksi seperti inflamasi karena pengobatan, cochlear
implant, atau keganasan (Mehlhorn dan Sucher, 2005). Selain itu terdapat
faktor predisposisi terjadinya meningitis, antara lain infeksi saluran
pernapasan, otitis media, mastoiditis, trauma kepala, hemoglobinopathy,
infeksi HIV, keadaan defisiensi imun lainnya.
Penyakit ini diperkirakan mencapai 1,2 juta kasus tiap tahunnya
dengan tingkat mortalitas pasien berkisar antara 2% - 30% di seluruh dunia.
Kasus meningitis bakteri di Indonesia mencapai 158/100.000 kasus per tahun,
dengan etiologi Haemophilus influenza tipe b (Hib) 16/100.000 dan bakteri lain
67/100.000 (Gessner et al., 2005).
Pada referat ini akan dibahas lebih lanjut mengenai meningitis dengan
tujuan menambah pengetahuan tentang gejala yang ditimbulkan, kriteria
diagnosis, dan juga penatalaksanaan yang tepat.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Menginges


Otak dan sumsum tulang belakang dibungkus oleh selubung meninges.
Meninges terdiri daripada tiga jaringan ikat membran yang terletak di bagian
luar organ sistem saraf pusat. Fungsi dari lapisan selaput otak ini adalah:
1. Melapisi dan memberikan proteksi kepada struktur organ sistem saraf
pusat (otak dan medula spinalis).
2. Memberikan proteksi pembuluh darah yang terdapat di otak dan menutupi
sinus venosus.
3. Mengandungi likour serebrospinalis
4. Membentuk partisi/ bagian bagian dari otak.(3)
Struktur meninges dari luar adalah, dura mater, araknoid mater, dan
pia mater.

Gambar 1 (dipetik dari kepustakaan 3)

2
a. Piamater
Yang menyelipkan dirinya ke dalam celah pada otak dan sumsum tulang
belakang dan sebagai akibat dari kontak yang sangat erat akan menyediakan
darah untuk struktur-struktur ini.
b. Arachnoid
Merupakan selaput halus yang memisahkan piameter dan duramater.
c. Duramater
Merupakan lapisan paling luar yang padat dan keras berasal dari jaringan
ikat tebal dan kuat.(4)

LIQUOR CEREBROSPINALIS (LCS)


1. Fungsi
LCS memberikan dukungan mekanik pada otak dan bekerja seperti
jaket pelindung dari air. Cairan ini mengontrol eksitabilitas otak dengan
mengatur komposisi ion, membawa keluar metabolit-metabolit (otak tidak
mempunyai pumbuluh limfe), dan memberikan beberapa perlindungan
terhadap perubahan-perubahan tekanan (volume venosus volume cairan
cerebrospinal).

2. Komposisi dan Volume


Cairan cerebrospinal jernih, tidak berwarna dan tidak berbau. Nilai
normal rata-ratanya yang lebih penting diperlihatkan pada tabel:
Daerah Penampilan Tekanan Sel (per Protein Lain
(dalam ul)
mm air)
Lumbal Jernih dan 70-180 0-5 15-45 Glukosa 50-75
tanpa warna mg/dl mg/dl
Ventrikel Jernih dan 70-190 0-5 50-15 Nitrogen non
tanpa warna (limfosit) mg/dl protein 10-35
mg/dl. Tes khan
dan wasserman
(VDRL) negatif

3
LCS terdapat dalam suatu system yang terdiri dari spatium liquor
cerebrospinalis internum dan externum yang saling berhubungan. Hubungan
antara keduanya melalui dua apertura lateral dari ventrikel keempat (foramen
Luscka) dan apetura medial dari ventrikel keempat (foramen Magendie). Pada
orang dewasa, volume cairan cerebrospinal total dalam seluruh rongga secara
normal ± 150 ml; bagian internal (ventricular) dari system menjadi kira-kira
setengah jumlah ini. Antara 400-500 ml cairan cerebrospinal diproduksi dan
direabsorpsi setiap hari.

3. Tekanan
Tekanan rata-rata cairan cerebrospinal yang normal adalah 70-180
mm air; perubahan yang berkala terjadi menyertai denyutan jantung dan
pernapasan. Tekanan meningkat bila terdapat peningkatan pada volume
intracranial (misalnya, pada tumor), volume darah (pada perdarahan), atau
volume cairan cerebrospinal (pada hydrocephalus) karena tengkorak
dewasa merupakan suatu kotak yang kaku dari tulang yang tidak dapat
menyesuaikan diri terhadap penambahan volume tanpa kenaikan tekanan.

4. Sirkulasi LCS
LCS dihasilkan oleh pleksus choroideus dan mengalir dari ventriculus
lateralis ke dalam ventriculus tertius, dan dari sini melalui aquaductus sylvii
masuk ke ventriculus quartus. Di sana cairan ini memasuki spatium liquor
cerebrospinalis externum melalui foramen lateralis dan medialis dari
ventriculus quartus. Cairan meninggalkan system ventricular melalui
apertura garis tengah dan lateral dari ventrikel keempat dan memasuki
rongga subarachnoid. Dari sini cairan mungkin mengalir di atas konveksitas
otak ke dalam rongga subarachnoid spinal. Sejumlah kecil direabsorpsi
(melalui difusi) ke dalam pembuluh-pembuluh kecil di piamater atau
dinding ventricular, dan sisanya berjalan melalui jonjot arachnoid ke dalam
vena (dari sinus atau vena-vena) di berbagai daerah – kebanyakan di atas
konveksitas superior. Tekanan cairan cerebrospinal minimum harus ada
untuk mempertahankan reabsorpsi. Karena itu, terdapat suatu sirkulasi

4
cairan cerebrospinal yang terus menerus di dalam dan sekitar otak dengan
produksi dan reabsorpsi dalam keadaan yang seimbang.

2.2 Meningitis
2.2.1 Definisi
Meningitis adalah penyakit yang disebabkan oleh peradangan pada selaput
pelindung yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang yang dikenal sebagai
meninges (radang pada arachnoid dan piamater). Peradangan biasanya disebabkan
oleh infeksi dari cairan yang mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang.1
Meningitis secara anatomis dibagi menjadi inflamasi dura, kadang-kadang
disebut sebagai pachymeningitis (jarang) dan leptomeningitis yang lebih umum dan
didefinisikan sebagai peradangan pada jaringan arakhnoid dan ruang subaraknoid.9
Penyebab paling umum dari meningitis di Amerika Serikat adalah infeksi virus
yang biasanya dapat sembuh sepenuhnya tanpa pengobatan yang spesifik.5,6
Namun, meningitis juga dapat disebabkan oleh bakteri yang dapat menyebabkan
kematian atau kerusakan otak dan meningitis jamur merupakan bentuk yang jarang
dari meningitis dan umumnya hanya terjadi pada orang dengan sistem kekebalan
tubuh yang lemah.6
Berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak meningitis dibagi
menjadi dua golongan yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis
serosa ditandai dengan jumlah sel dan protein yang meninggi disertai cairan
serebrospinal yang jernih. Penyebab yang paling sering dijumpai adalah kuman
Tuberculosis dan virus. Meningitis purulenta atau meningitis bakteri adalah
meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus meningitis
Meningococcus merupakan meningitis purulenta yang paling sering terjadi.10

2.2.2 Epidemiologi
Insiden meningitis bervariasi sesuai dengan etiologi dan hubungannya
dengan sumber pelayanan medis. Insiden ini lebih tinggi di negara-negara
berkembang karena kurangnya akses pelayanan untuk pencegahan, seperti
vaksinasi. Di negara-negara berkembang, kejadian meningitis dilaporkan 10 kali
lebih tinggi daripada di negara-negara maju.

5
Meningitis mempengaruhi semua ras. Di Amerika Serikat, orang kulit hitam
memiliki resiko lebih tinggi dari orang kulit putih dan orang Hispanik. Hampir 4100
kasus dengan 500 kematian yang terjadi setiap tahun di Amerika Serikat, meningitis
bakteri terus menjadi sumber signifikan dari morbiditas dan mortalitas. Kejadian
tahunan di Amerika Serikat adalah 1,33 kasus per 100.000 penduduk.
Tingkat fatalitas kasus keseluruhan pada orang dewasa adalah 34 %. Di antara
agen bakteri yang menyebabkan meningitis, S pneumoniae dikaitkan dengan salah
satu kematian tertinggi 19-26 % .14
Insidens aseptic meningitis 10,9 kasus per 100.000 penduduk. Hal ini terjadi
pada segala usia, tetapi lebih sering terjadi pada anak-anak, terutama selama musim
panas. Tidak ada perbedaan ras dilaporkan. Aseptic meningitis cenderung terjadi 3
kali lebih sering pada laki-laki daripada perempuan.Virus adalah penyebab utama
meningitis aseptik. Enterovirus terdapat di seluruh dunia, kebanyakan infeksi
enterovirus terjadi pada individu yang lebih muda dari 15 tahun, dengan tingkat
serangan tertinggi pada anak-anak yang lebih muda dari 1 tahun.
Brucella dihubungkan dengan kejadian meningitis kronis dan memiliki
distribusi terutama di Timur Tengah, India, Meksiko, dan Amerika Tengah dan
Selatan. Meningitis Tb diperkirakan 62-411 kasus per 100.000 penduduk.15
Umur dan daya tahan tubuh sangat mempengaruhi terjadinya meningitis.
Penyakit ini lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan dan
distribusi terlihat lebih nyata pada bayi. Pada meningitis bakteri 3,3 kasus per
100.000 penduduk laki-laki dibandingkan 2,6 kasus per 100.000 penduduk
perempuan. Namun, untuk meningitis yang disebabkan oleh virus kejadian pria dan
wanita sama.
Risiko penularan meningitis umumnya terjadi pada keadaan sosio-ekonomi
rendah, lingkungan yang padat (seperti asrama, kamp-kamp tentara dan jemaah
haji), Penyakit meningitis banyak terjadi pada negara yang sedang berkembang
dibandingkan pada negara maju. Insidensi tertinggi terjadi didaerah yang disebut
dengan the African Meningitis belt, yang luas wilayahnya membentang dari Senegal
sampai ke Ethiopia meliputi 21 negara. Kejadian penyakit ini terjadi secara sporadis
dengan Insidens Rate 1-20 per 100.000 penduduk dan diselingi dengan KLB besar
secara periodik. Di daerah Malawi, Afrika pada tahun 2002 Insidens Rate

6
meningitis yang disebabkan oleh Haemophilus influenza 20-40 per 100.000
penduduk.
WHO (2005) melaporkan pada tahun 1996, Afrika mengalami wabah
meningitis yang tercatat sebagai epidemik terbesar dalam sejarah dengan lebih dari
250.000 kasus dan 25.000 kematian (CFR=10%) yang terdaftar. Dari masa krisis
tersebut hingga tahun 2002 terdapat 223.000 kasus baru, daerah yang telah terkena
dampak tersebut adalah Burkina Faso, Chad, Ethiopia dan Nigeria. Pada tahun
2002, terjadi wabah meningitis di Burkina Faso dan Ethiopia dengan Insidens Rate
65%.Hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor resiko seperti Infeksi Saluran
Pernafasan Atas (ISPA), infeksi HIV, kepadatan penduduk, dan status sosial
ekonomi yang rendah.
Tahun 2009, Afrika melaporkan 78.416 kasus meningitis dan 4.053 kematian
(CFR=5,2%). Menurut WHO, pada tahun 2005 terjadi 111 kasus meningitis di
Delhi-India dengan 15 kematian (CFR=13,5%).
Data South East Asian Medical Information Center (SEAMIC) Health
Statistic (2002) melaporkan bahwa pada tahun 2000 dan 2001 di Indonesia, terdapat
masing-masing 1.937 dan 1.667 kasus kematian karena meningitis dengan CSDR
9,4 dan 8 per 1000.000 penduduk.Penelitian yang dilakukan oleh Mesranti, di
RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2005 – 2008 terdapat 148 kasus
meningitis dan 71 kasus mengalami kematian (CFR=47,1%) dengan jumlah
penderita meningitis purulenta 63 orang (42,6%), sedangkan penderita meningitis
serosa 85 orang (57,4%).16
Di Indonesia, Meningitis merupakan penyebab kematian pada semua umur
dengan urutan ke 17 (0,8%) setelah malaria. Meningitismerupakan penyakit
menular pada semua umur dengan proporsi 3,2%. 17

2.2.3 Faktor Risiko


Beberapa keadaan, kelainan atau penyakit yang memudahkan terjadinya
meningitis yaitu
1. Kepadatan penduduk
Penyakit infeksi menyebar lebih cepat pada kelompok yang lebih besar dan
berkumpul bersama-sama.

7
2. Kondisi medis tertentu
Infeksi sistemik atau focal (septicemia, otitis media supurativa kronik,
tuberculosis paru-paru), trauma atau tindakan-tindakan tertentu (fraktur basis
kranii, pungsi atau anastesi lumbal, operasi/tindakan bedah saraf), kelainan
darah yaitu anemia sel sabit dan hemoglobinopati,kelainan yang berhubungan
dengan immunosupression misalnya alcoholism, diabetes mellitus.
3. Bekerja dengan penyebab patogen
Ahli mikrobiologi yang secara rutin terpapar patogen dan memiliki resiko lebih
tinggi.
4. Perjalanan wisatawan
Wisatawan yang berpergian ke daerah Sub-Sahara Afrika atau ke Mekah
selama musim Haji dan Umrah terutama saat musim kemarau juga beresiko
untuk meningitis meningokokus.6,18

2.2.4 Etiologi
Kebanyakan kasus meningitis disebabkan oleh mikroorganisme, seperti
virus, bakteri, jamur, atau parasit yang menyebar dalam darah ke cairan otak.
Penyebab infeksi ini dapat diklasifikasikan atas :
1. Meningitis bakteri:
a. Pneumococcus
b. Meningococcus
c. Haemophilus influenza
d. Staphylococcus
e. Escherichia coli
f. Salmonella
g. Mycobacterium tuberculosis

Age Group Causes


Neonatus Group B Streptococci, Escherichia coli, Listeria
monocytogenes
Bayi Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae,
Streptococcus pneumoniae

8
Anak anak N. meningitidis, S. Pneumoniae
Dewasa S. pneumoniae, N. meningitidis, Mycobacteria
(dipetik dari kepustakaan 5)

2. Virus :
a. Enterovirus
b. Mumps
c. Herpes virus
d. Arbovirus
e. Kasus yang sangat jarang: LMCV (lymphocytic choriomeningitis virus)

3. Jamur :
a. Cryptococcus neoformans
b. Coccidioides immitris
c. Candida (jarang)
d. Histoplasma (terutama pada kasus immunocompromise)

Meningitis juga bisa berlaku pada kasus non infeksi terutama pada kasus
seperti AIDS, kanker, diabetes, trauma fisik atau oleh karena obat obatan yang
bisa menurunkan sistem imunitas tubuh. (5)

2.2.5 Patofisiologi
Mikroorganisma menginvasi ke jaringan selaput otak hanya apabila telah
memasuki ruang subaraknoid. Biasanya, bakteri atau agen yang menginvasi ini
tersebar ke bagian otak melewati pembuluh darah setelah berlakunya proses
kolonisasi akibat infeksi di traktus respiratorius bagian atas. Selain dari adanya
invasi bakteri, virus, jamur maupun protozoa, point d’entry masuknya kuman juga
bisa melalui trauma tajam, prosedur operasi, dan abses otak yang pecah, penyebab
lainnya adalah adanya rhinorhea, otorhea pada fraktur basis cranii yang
memungkinkan kontaknya cairan cerebrospinal dengan lingkungan luar.(6)
Sebagian besar infeksi susunan saraf pusat terjadi akibat penyebaran
hematogen. Saluran napas merupakan port of entry utama bagi banyak penyebab

9
meningitis purulenta. Proses terjadinya meningitis bakterial melalui jalur
hematogen mempunyai tahap-tahap sebagai berikut :
1. Bakteri melekat pada sel epitel mukosa nasofaring (kolonisasi)
2. Bakteri menembus rintangan mukosa
3. Bakteri memperbanyak diri dalam aliran darah (menghindar dari sel fagosit
dan aktivitas bakteriolitik) dan menimbulkan bakteriemia.
4. Bakteri masuk ke dalam cairan serebrospinal
5. Bakteri memperbanyak diri dalam cairan serebrospinal
6. Bakteri menimbulkan peradangan pada selaput otak (meningen) dan otak.
Bakteri yang menimbulkan meningitis adalah bakteri yang mampu
melampaui semua tahap dan masing-masing bakteri mempunyai mekanisme
virulensi yang berbeda-beda, dan masing-masing mekanisme mempunyai peranan
yang khusus pada satu atau lebih dari tahap-tahap tersebut. Terjadinya meningitis
bakterial dipengaruhi oleh interaksi beberapa faktor, yaitu host yang rentan, bakteri
penyebab dan lingkungan yang menunjang.
Infeksi bakteri mencapai sistem saraf pusat melalui invasi langsung,
penyebaran hematogen, atau embolisasi trombus yang terinfeksi. Infeksi juga dapat
terjadi melalui perluasan langsung dari struktur yang terinfeksi melalui vv. diploica,
erosi fokus osteomyelitis, atau secara iatrogenik (pasca-ventriculoperitoneal shunt
atau prosedur bedah otak lainnya).
Transmisi bakteri patogen umumnya melalui droplet respirasi atau kontak
langsung dengan karier. Proses masuknya bakteri ke dalam sistem saraf pusat
merupakan mekanisme yang kompleks. Awalnya, bakteri melakukan kolonisasi
nasofaring dengan berikatan pada sel epitel menggunakan villi adhesive dan
membran protein. Risiko kolonisasi epitel nasofaring meningkat pada individu yang
mengalami infeksi virus pada sistem pernapasan atau pada perokok.1,2
Komponen polisakarida pada kapsul bakteri membantu bakteri tersebut
mengatasi mekanisme pertahanan immunoglobulin A (IgA) pada mukosa inang.
Bakteri kemudian melewati sel epitel ke dalam ruang intra-vaskuler di mana bakteri
relatif terlindungi dari respons humoral komplemen karena kapsul polisakarida
yang dimilikinya.1
Bakteri memasuki ruang subaraknoid dan cairan serebrospinal (CSS) melalui

10
pleksus koroid atau kapiler serebral. Perpindahan bakteri terjadi melalui kerusakan
endotel yang disebabkannya. Seluruh area ruang subaraknoid yang meliputi otak,
medula spinalis, dan nervus optikus dapat dimasuki oleh bakteri dan akan menyebar
dengan cepat. Hal ini menunjukkan meningitis hampir pasti selalu melibatkan
struktur serebrospinal. Infeksi juga mengenai ventrikel, baik secara langsung
melalui pleksus koroid maupun melalui refl uks lewat foramina Magendie dan
Luschka.1
Bakteri akan bermultiplikasi dengan mudah karena minimnya respons
humoral komplemen CSS. Komponen dinding bakteri atau toksin bakteri akan
menginduksi proses inflamasi di meningen dan parenkim otak. Akibatnya,
permeabilitas SDO meningkat dan menyebabkan kebocoran protein plasma ke
dalam CSS yang akan memicu inflamasi dan menghasilkan eksudat purulen di
dalam ruang subaraknoid. Eksudat akan menumpuk dengan cepat dan akan
terakumulasi di bagian basal otak serta meluas ke selubung saraf-saraf kranial dan
spinal. Selain itu, eksudat akan menginfi ltrasi dinding arteri dan menyebabkan
penebalan tunika intima serta vasokonstriksi, yang dapat mengakibatkan iskemia
serebral. Tunika adventisia arteriola dan venula subaraknoid sejatinya terbentuk
sebagai bagian dari membran araknoid. Dinding vasa bagian luar sebenarnya sejak
awal sudah mengalami proses inflamasi bersamaan dengan proses meningitis
(vaskulitis infeksius).1
Selanjutnya, dapat terjadi syok yang mereduksi tekanan darah sistemik,
sehingga dapat mengeksaserbasi iskemia serebral. Selain itu, MB dapat
menyebabkan trombosis sekunder pada sinus venosus mayor dan tromboflebitis
pada vena-vena kortikal. Eksudat purulen yang terbentuk dapat menyumbat
resorpsi CSS oleh villi araknoid atau menyumbat aliran pada sistem ventrikel yang
menyebabkan hidrosefalus obstruktif atau komunikans yang disertai edema serebral
interstisial. Eksudat tersebut juga dapat mengelilingi saraf-saraf kranial dan
menyebabkan neuropati kranial fokal.1
Akibat peningkatan tekanan intrakranial adalah penurunan aliran darah otak
yang juga disebabkan karena penyumbatan pembuluh darah otak oleh trombus dan
adanya penurunan autoregulasi, terutama pada pasien yang mengalami kejang.
Akibat lain adalah penurunan tekanan perfusi serebral yang juga dapat disebabkan

11
oleh karena penurunan tekanan darah sistemik 60 mmHg sistole. Dalam keadaan
ini otak mudah mengalami iskemia, penurunan autoregulasi serebral dan
vaskulopati. Kelainan – kelainan inilah yang menyebabkan kerusakan pada sel saraf
sehingga menimbulkan gejala sisa. Adanya gangguan aliran darah otak,
peningkatan tekanan intrakranial dan kandungan air di otak akan menyebabkan
gangguan fungsi metabolik yang menimbulkan ensefalopati toksik yaitu
peningkatan kadar asam laktat dan penurunan pH cairan srebrospinal dan asidosis
jaringan yang disebabkan metabolisme anaerob, keadaan ini menyebabkan
penggunaan glukosa meningkat dan berakibat timbulnya hipoglikorakia.
Ensefalopati pada meningitis bakterial dapat juga terjadii akibat hipoksia
sistemik dan demam. Kelainan utama yang terjadi pada meningitis bakterial adalah
peradangan pada selaput otak (meningen) yang disebabkan oleh bahan-bahan toksis
bakteri. Peradangan selaput otak akan menimbulkan rangsangan pada saraf
sensoris, akibatnya terjadi refleks kontraksi otot-otot tertentu untuk mengurangi
rasa sakit, sehingga timbul tanda Kernig dan Brudzinksi serta kaku kuduk.
Manifestasi klinis lain yang timbul akibat peradangan selaput otak adalah mual,
muntah, iritabel, nafsu makan menurun dan sakit kepala. Gejala-gejala tersebut
dapat juga disebabkan karena peningkatan tekanan intracranial, dan bila disertai
dnegan distorsi dari nerve roots, makan timbul hiperestasi dan fotofobia.
Pada fase akut, bahan toksis bakteri mula-mula menimbulkan hiperemia
pembuluh darah selaput otak disertai migrasi neutrofil ke ruang subaraknoid, dan
selanjutnya merangsang timbulnya kongesti dan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah hingga mempermudah adesi sel fagosit dan sel polimorfonuklear,
serta merangsang sel polimorfonuklear untuk menembus endotel pembuluh darah
melalui tight junction dan selanjutnya memfagosit bakteri bakteri, sehingga
terbentuk debris sel dan eksudat dalam ruang subaraknoid yang cepat meluas dan
cenderung terkumpul didaerah konveks otak tempat CSS diabsorpsi oleh vili
araknoid, di dasar sulkus dan fisura Sylvii serta sisterna basalis dan sekitar
serebelum.
Pada awal infeksi, eksudat hampir seluruhnya terisi sel PMN yang
memfagosit bakteri, secara berangsur-angsur sel PMN digantikan oleh sel limfosit,
monosit dan histiosit yang jumlahnya akan bertambah banyak dan pada saat ini

12
terjadi eksudasi fibrinogen. Dalam minggu ke-2 infeksi, mulai muncul sel fibroblas
yang berperan dalam proses organisasi eksudat, sehingga terbentuk jaringan
fibrosis pada selaput otak yang menyebabkan perlekatan – perlekatan. Bila
perlekatan terjadi didaerah sisterna basalis, maka akan menimbulkan hidrosefalus
komunikan dan bila terjadi di aquaductus Sylvii, foramen Luschka dan Magendi
maka terjadi hidrosefalus obstruktif. Dalam waktu 48-72 jam pertama arteri
subaraknoid juga mengalami pembengkakan, proliferasi sel endotel dan infiltrasi
neutrofil ke dalam lapisan adventisia, sehingga timbul fokus nekrosis pada dinding
arteri yang kadang-kadang menyebabkan trombosis arteri. Proses yang sama terjadi
di vena. Fokus nekrosis dan trombus dapat menyebabkan oklusi total atau parsial
pada lumen pembuluh darah, sehingga keadaan tersebut menyebabkan aliran darah
otak menurun, dan dapat menyebabkan terjadinya infark.
Infark vena dan arteri luas akan menyebabkan hemiplegia, dekortikasi atau
deserebrasi, buta kortikal, kejang dan koma. Kejang yang timbul selama beberapa
hari pertama dirawat tidak mempengaruhi prognosis, tetapi kejang yang sulit
dikontrol, kejang menetap lebih dari 4 hari dirawat dan kejang yang timbul pada
hari pertama dirawat dengan penyakit yang sudah berlangsung lama, serta kejang
fokal akan menyebakan manifestasi sisa yang menetap. Kejang fokal dan kejang
yang berkepanjangan merupakan petunjuk adanya gangguan pembuluh darah otak
yang serius dan infark serebri, sedangkan kejang yang timbul sebelum dirawat
sering menyebakna gangguan pendengaran atau tuli yang menetap.
Trombosis vena kecil di korteks akan menimbulkan nekrosis iskemik
korteks serebri. Kerusakan korteks serebri akibat oklusi pembuluh darah atau
karena hipoksia, invasi kuman akan mengakibatkan penurunan kesadaran, kejang
fokal dang gangguan fungsi motorik berupa paresis yang sering timbul pada hari ke
3-4, dan jarang timbul setelah minggu I-II; selain itu juga menimbulkan gangguan
sensorik dan fungsi intelek berupa retardasi mental dan gangguan tingkah laku;
gangguan fungsi intelek merupakan akibat kerusakan otak karena proses
infeksinya, syok dan hipoksia. Kerusakan langsung pada selaput otak dan vena di
duramater atau arakhnoid yang berupa trombophlebitis, robekan-robekan kecil dan
perluasan infeksi araknoid menyebabkan transudasi protein dengan berat molekul
kecil ke dalam ruang subaraknoid dan subdural sehingga timbul efusi subdural yang

13
menimbulkan manifestasi neurologis fokal, demam yang lama, kejang dan muntah.
Karena adanya vaskulitis maka permeabilitas sawar darah otak (blood brain
barrier) menyebabkan terjadinya edema sitotoksik, dan arena aliran CSS terganggu
atau hidrosefalus akan menyebabkan terjadinya edema interstitial. Meskipun
kuman jarang dapat dibiakkan dari jaringan otak, tetapi absorpsi dan penetrasi
toksin kuman dapat terjadi, sehingga menyebabkan edema otak dan vaskulitis;
kelainan saraf kranial pada meningitis bakterial disebabkan karena adanya
peradangan lokal pada perineurium dan menurunnya persediaan vaskular ke saraf
cranial, terutama saraf VI, III dan IV, sedang ataksia yang ringan, paralisis saraf
kranial VI dan VII merupakan akibat infiltasi kuman ke selaput otak di basal otak,
sehingga menimbulkan kelainan batang otak.
Gangguan pendengaran yang timbul akibat perluasan peradanga ke mastoid,
sehingga timbul mastoiditis yang menyebabkan gangguan pendengaran tipe
konduktif. Kelain saraf kranial II yang berupa papilitis dapat menyebabkan
kebutaan tetapi dapat juga disebabkan karena infark yang luas di korteks serebri,
sehingga terjadi buta kortikal. Manifestasi neurologis fokal yang timbul disebabkan
oleh trombosis arteri dan vena di korteks serebri akibat edema dan peradangan yang
menyebabkan infark serebri, dan adanya manifestasi ini merupakan petunjuk
prognosis buruk, karena meninggalakan manifestasi sisa dan retardasi mental.

2.2.6 Manifestasi Klinik


Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar ke tengkuk
dan punggung. Tengkuk menjadi kaku. Kaku kuduk disebabkan oleh mengejangnya
otot-otot ekstensor tengkuk. Bila hebat, terjadi opistotonus, yaitu tengkuk kaku
dalam sikap kepala tertengadah dan punggung dalam sikap hiperekstensi.
Kesadaran menurun.tanda Kernig’s dan Brudzinsky positif.

14
Gejala meningitis tidak selalu sama, tergantung dari usia si penderita serta
virus apa yang menyebabkannya. Gejala yang paling umum adalah demam yang
tinggi, sakit kepala, pilek, mual, muntah, kejang. Setelah itu biasanya penderita
merasa sangat lelah, leher terasa pegal dan kaku, gangguan kesadaran serta
penglihatan menjadi kurang jelas.
Gejala pada bayi yang terkena meningitis, biasanya menjadi sangat rewel,
muncul bercak pada kulit, tangisan lebih keras dan nadanya tinggi, demam ringan,
badan terasa kaku, dan terjadi gangguan kesadaran seperti tangannya membuat
gerakan tidak beraturan.(4)

Gejala meningitis meliputi :

 Gejala infeksi akut


 Panas
 Nafsu makan tidak ada
 Anak lesu
 Gejala kenaikan tekanan intracranial
 Kesadaran menurun
 Kejang-kejang
 Ubun-ubun besar menonjol
 Gejala rangsangan meningeal
 kaku kuduk
 Kernig

15
 Brudzinky I dan II positif (4)

2.2.7 Diagnosis
Diagnosis kerja ke arah meningitis dapat dipikirkan apabila menemukan
gejala dan tanda-tanda klinis meningitis. Gejala dan tanda dari infeksi akut,
peningkatan tekanan intrakranial dan rangsang meningeal perlu diperhatikan.
Untuk mengkonfirmasi diagnosis meningitis dilakukan tes laboratorium berupa tes
darah dan cairan sumsum tulang belakang. (4)

Pemeriksaan Rangsangan Meningeal

a. Pemeriksaan Kaku Kuduk


Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi dan
rotasi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan
pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot. Dagu tidak dapat
disentuhkan ke dada dan juga didapatkan tahanan pada hiperekstensi dan rotasi
kepala.

b. Pemeriksaan Tanda Kernig


Pasien berbaring terlentang, tangan diangkat dan dilakukan fleksi pada sendi
panggul kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin tanpa
rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut
135° (kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha
biasanya diikuti rasa nyeri.

c. Pemeriksaan Tanda Brudzinski I ( Brudzinski Leher)


Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinya dibawah
kepala dan tangan kanan diatas dada pasien kemudian dilakukan fleksi kepala
dengan cepat kearah dada sejauh mungkin. Tanda Brudzinski I positif (+) bilapada
pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada leher.

d. Pemeriksaan Tanda Brudzinski II ( Brudzinski Kontra Lateral Tungkai)


Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi panggul
(seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada
pemeriksaan terjadi fleksi pada sendi panggul dan lutut kontralateral.(7)

16
Pemeriksaan Penunjang Meningitis

a. Pemeriksaan Pungsi Lumbal


Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein

cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan

intrakranial.

a. Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan jernih, sel
darah putih meningkat, glukosa dan protein normal, kultur (-).
b. Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan keruh, jumlah
sel darah putih dan protein meningkat, glukosa menurun, kultur (+) beberapa
jenis bakteri.

b. Pemeriksaan darah
Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, Laju Endap

Darah (LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit dan kultur.

a. Pada Meningitis Serosa didapatkan peningkatan leukosit saja. Disamping itu,


pada Meningitis Tuberkulosa didapatkan juga peningkatan LED.
b. Pada Meningitis Purulenta didapatkan peningkatan leukosit.(7)

c. Pemeriksaan Radiologis
a. Pada Meningitis Serosa dilakukan foto dada, foto kepala, bila mungkin

dilakukan CT Scan.

b. Pada Meningitis Purulenta dilakukan foto kepala (periksa mastoid, sinus

paranasal, gigi geligi) dan foto dada.(7)

17
PERBANDINGAN GAMBARAN LCS ANTARA MENINGITIS PURULENTA,
TB, VIRAL, DAN JAMUR

PURULENTA TUBERKULOSA VIRUS JAMUR

Tekanan >180  Bila didiamkan  Pemeriksaan  Kultur


mm H20 terbentuk pelikula mikroskopik bakteri
 Mikroskopis :  Biakan cairan negatif
kuman TBC otak
 Pemeriksaan
serologik serum
dan cairan otak
Warna Keruh sampai Jernih atau Jernih Jernih
purulen xantokrom
Sel Leukosit Meningkat, Meningkat antara 10 -500
meningkat <500/mm3, MN 10-1000/mm3 sel/mm3
95 % PMN dominan dengan
dominasi
limfosit
Protein Meningkat, meningkat Normal / sedikit Meningkat
>75 mg% meningkat
Klorida Menurun, menurun Normal
<700 mg%
Glukosa Menurun, <40 menurun Normal Menurun,
mg %, atau < sekitar 15-35
40 % gula mg
darah

2.2.8 Tatalaksana
Jika berdasarkan pemeriksaan penderita didiagnosa sebagai meningitis,
maka pemberian antibiotik secara Infus (intravenous) adalah langkah yang baik

18
untuk menjamin kesembuhan serta mengurang atau menghindari resiko komplikasi.
Antibiotik yang diberikan kepada penderita tergantung dari jenis bakteri yang
ditemukan.(8)

Farmakologis
a. Obat anti inflamasi :
1) Meningitis tuberkulosa :
a) Isoniazid 10 – 20 mg/kg/24 jam oral, 2 kali sehari maksimal 500
gr selama 1 ½ tahun.
b) Rifamfisin 10 – 15 mg/kg/ 24 jam oral, 1 kali sehari selama 1
tahun.
c) Streptomisin sulfat 20 – 40 mg/kg/24 jam sampai 1 minggu, 1 – 2
kali sehari, selama 3 bulan.
2) Meningitis bacterial, umur < 2 bulan :
a) Sefalosporin generasi ke 3
b) ampisilina 150 – 200 mg (400 gr)/kg/24 jam IV, 4 – 6 kali sehari.
c) Koloramfenikol 50 mg/kg/24 jam IV 4 kali sehari.
3) Meningitis bacterial, umur > 2 bulan :
a) Ampisilina 150-200 mg (400 mg)/kg/24 jam IV 4-6 kali sehari.
b) Sefalosforin generasi ke 3.(9)
b. Pengobatan simtomatis :
1) Diazepam IV : 0.2 – 0.5 mg/kg/dosis, atau rectal 0.4 – 0.6/mg/kg/dosis
kemudian klien dilanjutkan dengan.
2) Fenitoin 5 mg/kg/24 jam, 3 kali sehari.
3) Turunkan panas :
a) Antipiretika : parasetamol atau salisilat 10 mg/kg/dosis.
b) Kompres air PAM atau es.
c. Pengobatan suportif :
1) Cairan intravena.
2) Zat asam, usahakan agar konsitrasi O2 berkisar antara 30 – 50%.(9)

Perawatan

19
a. Pada waktu kejang
1. Longgarkan pakaian, bila perlu dibuka.
2. Hisap lender.
3. Hindari dari mencoba untuk mameasuki sesuatu ke dalam mulut
penderita.
4. Kosongkan lambung untuk menghindari muntah dan aspirasi.
5. Hindarkan penderita dari rudapaksa (misalnya jatuh).(9)

b. Bila penderita tidak sadar lama.


1. Beri makanan melalui sonde.
2. Cegah dekubitus dan pnemunia ortostatik dengan merubah posisi
penderita sesering mungkin.
3. Cegah kekeringan kornea dengan boor water atau salep
antibiotika.(9)

c. Pada inkontinensia urine lakukan katerisasi dan pada inkontinensia alvi lakukan
lavement.
d. Pemantauan ketat:
1. Tekanan darah
2. Respirasi
3. Nadi
4. Produksi air kemih
5. Faal hemostasis untuk mengetahui secara dini adanya DC.(9)

Pencegahan
Langkah dalam mencegah meningitis antara lain:
1. Cuci tangan anda secara benar untuk menghindari terkena penyebab infeksi.
2. Tetap sehat. Jaga sistem imun anda berfungsi dengan baik dengan cukup
istirahat, olahraga teratur dan makan makanan sehat dan bergizi.
3. Tutup mulut dan hidung anda ketika bersin atau batuk.
4. Jika anda sedang hamil, berhati-hatilah dengan apa yang anda konsumsi.(10)

20
2.2.9 Komplikasi Meningitis
Kejang
Kejang merupakan komplikasi yang penting dan sering terjadi hampir
1 dari 5 pasien. Insidens lebih tinggi pada usia kurang dari 1 tahun, mencapai
40%. Pasien meninggal akibat dari iskemik yang difus pada susunan saraf
pusat atau dari komplikasi sistemik. Walaupun dengan terapi antibiotik yang
efektif, komplikasi neurologis tetap terjadi pada 30% pasien.

Edema Serebral
Beberapa derajat dari edema serebral sering terjadi pada meningitis
bakterial. Komplikasi ini merupakan penyebab penting kematian.

Gangguan cairan dan elektrolit


Pada pasien meningitis bacterial kadang disertai dengan hipervolemia
(edema), oliguria, gelisah, iritabel, dan kejang. Hal ini disebabkan oleh karena
SIADH, sekresi ADH berlebihan. Diagnosis ditegakkan dengan meninmbang
ulang pasien, memeriksa elektrolit serum, mengukur volume dan osmolaritas
urin dan mengukur berat jenis urin. Pengobatan dengan restriksi pemberian
cairan, pemberian diuretic (furosemid). Pada pasien berat dapat diberikan
sedikit natrium.

Tuli
Kira-kira 5-30% pasien meningitis bacterial mengalami komplikasi tuli
terutama apabila disebabkan oleh S.penumoniae. Tuli konduktif disebabkan
oleh karena infeksi telinga tengah yang menyertai meningitis. Yang terbanyak
tuli sensorineural. Tuli sensorineural lebih sering disebabkan oleh karena
sepsis koklear daripada kelainan N.VIII. Gangguan pendengaran dapat
dideteksi dalam waktu 48 jam sakit dengan BAEP. Biasanya penyembuhan
terjadi pada akhir minggu ke-2, tetapi yang berat menetap.
Pemberian deksametason dapat mengurangi komplikasi gangguan
pendengaran apabila diberikan sebelum pemberian antibiotic dengan dosis
0,6mg/kgBB/hari intravena diabgi 4 dosis selama 4 hari. Komplikasi lain

21
berupa hidrosefalus, kejang, hemiparesis, tetraparesis, dan retardasi mental.
Pada hidrosefalus dikonsulkan ke Bagian Bedah Saraf untung pemasangan
pirau ventrikulo-peritoneal.

2.2.10 Prognosis Meningitis Bakterialis


Prognosis pasien meningitis bakterial tergantung dari banyak faktor,
antara lain umur pasien, jenis mikroorganisme, berat ringannya infeksi,
lamanya sakit sebelum mendapat pengobatan, kepekaan bakteri terhadap
antibiotic yang diberikan.
Makin muda umur pasien makin jelek prognosisnya; pada bayi baru
lahir yang menderita meningitis angka kematian masih tinggi. Infeksi berat
disertai DIC mempunyai prognosis yang kurang baik. Apabila pengobatan
terlambat ataupun kurang adekuat dapat menyebabkan kematian atau cacat
yang permanen. Infeksi yang disebabkan bakteri yang resisten terhadap
antibiotik bersifat fatal.
Dengan deteksi bakteri penyebab yang baik pengobatan antibiotik yang
adekuat dan pengobatan suportif yang baik angka kematian dan kecacatan
dapat diturunkan. Walaupun kematian dan kecacatan yang disebabkan oleh
bakteri gram negatif masih sulit diturunkan, tetapi meningitis yang
disebabkan oleh bakteri-bakteri seperti H.influenzae, pneumokok dan
meningokok angka kematian dapat diturunkan dari 50-60% menjadi 20-25%.
Insidens sequele Meningitis bakterialis 9-38%, karena itu pemeriksaan uji
pendengaran harus segera dikerjakan setelah pulang, selain pemeriksaan
klinis neurologis. Pemeriksaan penunjang lain disesuaikan dengan temuan
klinis pada saat itu.1,9

BAB III

PENUTUP

22
3.1 Simpulan

Meningitis adalah penyakit yang disebabkan oleh peradangan pada selaput


pelindung yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang yang dikenal sebagai
meninges (radang pada arachnoid dan piamater). Peradangan biasanya disebabkan
oleh infeksi dari cairan yang mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang.
Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar ke tengkuk
dan punggung. Tengkuk menjadi kaku. Kaku kuduk disebabkan oleh mengejangnya
otot-otot ekstensor tengkuk. Bila hebat, terjadi opistotonus, yaitu tengkuk kaku
dalam sikap kepala tertengadah dan punggung dalam sikap hiperekstensi, demam,
kesadaran menurun, tanda Kernig’s dan Brudzinsky positif.

Jika berdasarkan pemeriksaan penderita didiagnosa sebagai meningitis, maka


pemberian antibiotik secara Infus (intravenous) adalah langkah yang baik untuk menjamin
kesembuhan serta mengurang atau menghindari resiko komplikasi.

23

Anda mungkin juga menyukai