SKD 3B - Saraf - Meningitis Bakterial
SKD 3B - Saraf - Meningitis Bakterial
Meningitis juga dapat dibagi berdasarkan etiologinya. Meningitis bakterial akut merujuk
kepada bakteri sebagai penyebabnya. Meningitis jenis ini memiliki onset gejala meningeal
dan pleositosis yang bersifat akut. Penyebabnya antara lain Streptococcus pneumoniae,
Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae. Jamur dan parasit juga dapat menyebabkan
meningitis seperti Cryptococcus, Histoplasma, dan amoeba.
Meningitis aseptik merupakan sebutan umum yang menunjukkan respon selular nonpiogenik
yang disebabkan oleh agen etiologi yang berbeda-beda. Penderita biasanya menunjukkan
gejala meningeal akut, demam, pleositosis LCS yang didominasi oleh limfosit. Setelah
beberapa pemeriksaan laboratorium, didapatkan peyebab dari meningitis aseptik ini
kebanyakan berasal dari virus, di antaranya Enterovirus, Herpes Simplex Virus (HSV).
Pada referat ini akan dibahas mengenai meningitis bakterialis. Meningitis bakterialis
merupakan penyakit yang mengancam jiwa disebabkan oleh infeksi lapisan meningen oleh
bakteri. Insidensi meningitis bakterialis di Amerika Serikat sudah menurun sejak
diterapkannya penggunaan rutin vaksin Haemophilus influenzae tipe B (HIB). Umumnya
penderita berusia di bawah 5 tahun dan pada 70% kasus terjadi pada anak-anak usia 2 tahun.
FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor predisposisinya antara lain: infeksi saluran pernapasan, otitis media, mastoiditis,
trauma kepala, hemoglobinopathy, infeksi HIV, keadaan defisiensi imun lainnya.
PATOFISIOLOGI MENINGITIS BAKTERIALIS
Pertama-tama bakteri berkolonisasi dan menyebabkan infeksi lokal pada inang. Kolonisasi
dapat terbentuk pada kulit, nasofaring, saluran pernapasan, saluran pencernaan, atau saluran
kemih dan genital. Dari tempat ini, bakteri akan menginvasi submukosa dengan menghindari
pertahanan inang (seperti barier fisik, imunitas lokal, fagosit/makrofag) dan mempermudah
akses menuju sistem syaraf pusat (SSP) dengan beberapa mekanisme:
Sesampainya di aliran darah, bakteri akan berusaha menghindar dari pertahanan imun
( misalnya: antibodi, fagositosis neutrofil, sistem komplemen). Kemudian terjadi penyebaran
hematogen ke perifer dan organ yang letaknya jauh termasuk SSP.
Paparan sel (endotel, leukosit, mikroglia, astrosit, makrophag) terhadap produk yang
dihasilkan bakteri selama replikasi dan kematian bakteri merangsang sintesis sitokin dan
mediator proinflamasi. Data-data terbaru memberi petunjuk bahwa proses ini dimulai oleh
ligasi komponen bakteri (seperti peptidoglikan, lipopolisakarida) untuk mengenali reseptor
(Toll-like receptor)
Mediator sekunder seperti IL-6, IL-8, Nitric Oxide (NO), prostaglandin (PGE2) dan platelet
activation factor (PAF) diduga memperberat proses inflamasi. IL-6 menginduksi reaktan fase
akut sebagai respon dari infeksi bakteri. IL-8 membantu reaksi chemotaktik neutrofil. NO
merupakan molekul radikal bebas yang menyebabkan sitotoksisitas saat diproduksi dalam
jumlah banyak. PGE-2 akan meningkatkan permeabelitas blood-brain barrier (BBB). PAF
dianggap memicu pembentukan trombi dan aktivasi faktor pembekuan di intravaskular.
Pada akhirnya akan terjadi jejas pada endotel vaskular dan terjadi peningkatan permeabelitas
BBB sehingga terjadi perpindahan berbagai komponen darah ke dalam ruang subarachnoid.
Hal ini menyebabkan terjadinya edema vasogenik dan peningkatan protein LCS. Sebagai
respon terhadap molekul sitokin dan kemotaktik, neutrofil akan bermigrasi dari aliran darah
menuju ke BBB yang rusak sehingga terjadi gambaran pleositosis neutrofil yang khas untuk
meningitis bakterial.
Peningkatan viskositas LCS disebabkan karena influk komponen plasma ke dalam ruang
subarachnoid dan melambatnya aliran vena sehingga terjadi edema interstitial, produk-produk
degradasi bakteri, neutrofil, dan aktivitas selular lain yang menyebabkan edema sitotoksik.
Edema serebral tesebut sangat bermakna dalam menyebabkan tekanan tinggi intra kranial dan
pengurangan aliran darah otak/cerebral blood flow (CBF). Metabolisme anaerob terjadi dan
mengakibatkan peningkatan konsentrasi laktat dan hypoglycorrhachia. Hypoglycorrhachia
merupakan hasil dari menurunnya transpor glukosa ke LCS. Jika proses yang tidak terkendali
ini tidak ditangani dengan baik, dapat terjadi disfungsi neuronal sementara atau pun
permanen.
Tekanan tinggi intra kranial (TTIK) merupakan salah satu komplikasi penting dari meningitis
di mana keadaan ini merupakan gabungan dari edema interstitial (sekunder terhadap
obstruksi aliran LCS), edema sitotoksik (akibat pelepasan produk toksik bakteri dan neutrofil)
serta edema vasogenik (peningkatan permeabelitas BBB).
Edema serebral dapat menyebabkan terjadinya midline shift dengan adanya penekanan pada
tentorial dan foramen magnum. Pergeseran ini akan menimbulkan herniasi gyri
parahippocampus dan cerebellum. Secara klinis keadaan ini ditunjukkan oleh adanya
penurunan kesadaran dan reflek postural, palsy nervus kranial III dan VI. Jika tidak diobati
maka terjadi dekortikasi dan deserebrasi yang secara pesat berkembang menjadi henti napas
atau henti jantung.
FREKUENSI
Berdasarkan grafik dari Centers for Diseases Control and Prevention 2003, kasus meningitis
terbanyak pada usia 15-24 tahun (20,4%). Pada anak usia 1-4 tahun sebanyak 13,8%, usia
kurang dari 1 tahun sebanyak 11,9% .
Di Amerika Serikat, sebelum penggunaan Vaksin HIB secara luas, insidensi sekitar 20.000-
30.000 kasus/tahun. Sedangkan Neisseria meningitidis meningitis kurang lebih 4
kasus/100.000 anak usia 1-23 bulan. Rata-rata kasus Streptococcus pneumoniae meningitis
adalah 6,5/100.000 anak usia 1-23 bulan. Insidensi meningitis pada neonatus adalah 0,25-1
kasus/1000 kelahiran hidup. Pada kelahiran aterm, insidensinya adalah 0,15 kasus/1000
kelahiran aterm sedangkan pada kelahiran preterm adalah 2,5 kasus/1000 kelahiran preterm.
Kurang lebih 30% kasus sepsis neonatorum berhubungan dengan meningitis bakterial.
MORTALITAS-MORBIDITAS
RAS
Insidensi rata-rata lebih tinggi pada populasi Afro-Amerika dan Indian dibandingkan
pada populasi Kaukasia dan Hispanik.
JENIS KELAMIN
Bayi laki-laki memiliki insidensi lebih tinggi terkena meningitis oleh gram negatif dibanding
bayi perempuan. Tetapi bayi perempuan lebih rentan terhadap meningitis oleh Listeria
monocytogenes. Sedangkan insidensi meningitis oleh Streptococcus pneumoniae adalah sama
untuk bayi perempuan maupun laki-laki.
USIA
Kebanyakan penderita adalah anak dengan usia kurang dari 5 tahun. 70% kasus terjadi pada
anak dengan usia kurang dari 2 tahun.
GEJALA KLINIS
Gejala klinis meningitis bakterialis pada neonatus tidak spesifik meliputi gejala sebagai
berikut: sulit makan, lethargi, irritable, apnea, apatis, febris, hipotermia, konvulsi, ikterik,
ubun-ubun menonjol, pucat, shock, hipotoni, shrill cry, asidosis metabolik. Sedangkan gejala
klinis pada bayi dan anak-anak yang diketahui berhubungan dengan meningitis adalah kaku
kuduk, opisthotonus, ubun-ubun menonjol (bulging fontanelle), konvulsi, fotofobia,
cephalgia, penurunan kesadaran, irritable, lethargi, anoreksia, nausea, vomitus, koma, febris
umumnya selalu muncul tetapi pada anak dengan sakit yang berat dapat hipotermia.
● Tanda disfungsi serebral seperti confusion, irritable, deliriun sampai koma, biasanya
disertai febris dan fotofobia.
● Tanda-tanda rangsang meningen didapatkan pada kurang lebih 50% penderita meningitis
bakterialis. Jika rangsang meningen tidak ada, kemungkinan meningitis belum dapat
disingkirkan. Perasat Brudzinski, Kernig ataupun kaku kuduk merupakan petunjuk yang
sangat membantu dalam menegakan diagnosis meningitis. Tetapi perasat ini negatif pada
anak yang sangat muda, debilitas, bayi malnutrisi.
● Palsy nervus kranialis, merupakan akibat TTIK atau adanya eksudat yang menyerang
syaraf.
● Gejala neurologis fokal yang disebabkan karena adanya iskemia sekunder terhadap
inflamasi vaskuler dan trombosis. Adanya gejala ini memberikan prognosis buruk terhadap
hospitalisasi dan timbulnya sekuelae jangka panjang.
● Bangkitan kejang umum atau fokal terjadi pada 30% penderita. Bangkitan yang
memanjang dan tidak terkendali khususnya bila ditemukan sebelum hari ke-4 hospitalisasi
merupakan faktor yang memberikan prognosis akan adanya sekuelae yang berat.
● Papil edema dan gejala TTIK dapat muncul seperti koma, peningkatan tekanan darah
disertai bradikardia dan palsy nervus III. Adanya papil edema memberikan alternatif
diagnosis yang mungkin seperti abses otak.
● Pada tahap akhir penyakit, beberapa penderita menunjukkan gejala SSP fokal dan sistemik
(seperti febris) yang memberikan petunjuk adanya transudasi cairan yang cukup banyak pada
ruang subdural. Insidensi efusi subdural tergantung pada etiologinya.
● Pemeriksaan sistemik yang dilakukan dapat memberikan petunjuk terhadap etiologi
meningitis:
› Makula dan petekiae yang cepat berkembang menjadi purpura dapat memberikan petunjuk
adanya meningococcemia tanpa atau disertai meningitis.
› Sinusitis atau otitis yang ditandai oleh rhinorrhea atau otorrhea menunjukkan adanya
kebocoran LCS yang disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae atau Haemophilus
influenzae dan meningitis yang berhubungan dengan fraktur basis cranii.
ETIOLOGI
Bakteri sering didapatkan dari flora vaginal ibu di mana flora usus gram negatif (Escherichia
coli) dan Streptococcus grup B adalah patogen predominan. Pada neonatus preterm yang
menerima berbagai terapi antimikroba, berbagai prosedur pembedahan sering didapatkan
Staphilococcus epidermidis dan Candida sp sebagai penyebab meningitis. Listeria
monocytogenes merupakan patogen yang jarang dijumpai tetapi sering menyebabkan
mortalitas.
Meningitis Streptococcus grup B dengan onset dini yang terjadi dalam 7 hari pertama
kehidupan sering dihubungkan dengan komplikasi obstetri sebelum atau saat persalinan.
Penyakit ini sering menyerang bayi preterm atau pun bayi dengan berat badan lahir rendah
(BBLR). Meningitis onset lanjut terjadi setelah 7 hari pertama kehidupan yang disebabkan
oleh patogen nosokomial atau patogen selama masa perinatal. Streptococcus grup B serotipe
3 adalah 90% penyebab meningitis onset lanjut.
Penggunaan alat bantu respirasi meningkatkan resiko meningitis oleh Serratia marcescens,
Pseudomonas aeruginosa dan Proteus mirabilis. Infeksi oleh Citrobacter diversus dan
Salmonella sp jarang terjadi tetapi memberikan mortalitas tinggi pada penderita yang juga
menderita abses otak.
* Etiologi meningitis pada bayi dan anak-anak
Patogen ini berbentuk seperti lancet, merupakan diplokokus gram positif dan
penyebab utama meningitis. Dari 84 serotipe, serotipe 1, 3, 6, 7, 14, 19, dan 23 adalah jenis
yang sering dihubungkan dengan dengan bakteremia dan meningitis. Anak pada berbagai usia
dapat terpapar tetapi insidensi dan tingkat keparahan penyakit paling tinggi pada bayi dan
lansia. Kurang lebih 50% penderita memiliki riwayat fokus infeksi di parameningen atau
pneumonia. Pada penderita meningitis rekuren perlu dipikirkan ada tidaknya riwayat trauma
kepala atau kelainan dural. S. pneumoniae sering menimbulkan meningitis pada penderita
sickle cell anemia, hemoglobinopathy, penderita asplenia anatomis atau fungsional. Patogen
ini membentuk kolonisasi pada saluran pernapasan individu sehat. Transmisi terjadi antar
manusia dengan kontak langsung. Masa inkubasi sekitar 1-7 hari dan prevalensi terbanyak
pada musim dingin. Gejala yang ditimbulkan di antaranya kehilangan pendengaran
sensorineural, hidrocephalus, dan sekuelae SSP lainnya.
Patogen ini merupakan bakteri gram negatif berbentuk seperti ginjal dan sering ditemukan
intraselular. Organisme ini dikelompokkan secara serologis berdasarkan kapsul polisakarida.
Serotipe B, C, Y, dan W-135 merupakan serotipe yang menyebabkan 15-25% kasus
meningitis pada anak. Saluran pernapasan atas sering dikolonisasi oleh patogen ini dan
ditularkan antar manusia melalui kontak langsung, droplet infeksius dari sekresi saluran
pernapasan, dan sering pula dari karier asimptomatik. Masa inkubasi umumnya kurang dari 4
hari, dengan kisaran waktu 1-7 hari. Faktor resiko meliputi defisiensi komponen komplemen
terminal (C5-C9), infeksi virus, riwayat tinggal di daerah overcrowded, penyakit kronis,
penggunaan kortikosteroid, perokok aktif dan pasif.
Kasus umumnya terjadi pada bayi usia 6-12 bulan dan puncak insidensi tertinggi kedua
adalah saat adolesen. Manifestasi purpura atau petekiae sering dijumpai. LCS pada
meningococcal meningitis biasanya memberi gambaran normoseluler. Kematian umumnya
terjadi 24 jam setelah hospitalisasi pada penderita dengan prognosis buruk yang ditandai
dengan gejala hipotensi, shock, netropenia, petekiae dan purpura yang muncul kurang dari 12
jam, DIC, asidosis, adanya bakteri dalam leukosit pada sediaan apus darah tepi.
HIB merupakan batang gram negatif pleomorfik yang bentuknya bervariasi dari kokobasiler
sampai bentuk panjang melengkung. HIB meningitis umumnya terjadi pada anak-anak yang
belum diimunisasi dengan vaksin HIB. 80-90% kasus terjadi pada anak-anak usia 1 bulan-3
tahun. Menjelang usia 3 tahun, banyak anak-anak yang belum pernah diimunisasi HIB telah
memperoleh antibodi secara alamiah terhadap kapsul poliribofosfat HIB yang cukup memberi
efek protektif. Penularan dari manusia ke manusia melalui kontak langsung, droplet infeksius
dari sekresi saluran pernapasan. Masa inkubasi kurang dari 10 hari.
Mortalitas kurang dari 5% umumnya kematian terjadi pada beberapa hari awal
penyakit. Beberapa data menunjukkan 30-35% patogen ini sudah resisten terhadap ampicillin
karena produksi beta-laktamase oleh bakteri. Sebanyak 30% kasus menyebabkan sekuelae
jangka panjang. Pemberian dini dexamethasone dapat menurunkan morbiditas dan sekuelae.
› Etiologi lain-lain
Staphylococcus epidermidis sering menimbulkan meningitis dan infeksi saluran LCS pada
penderita dengan hidrocephalus dan post prosedur bedah. Anak-anak yang
immunocompromised sering mendapatkan meningitis oleh spesies Pseudomonas, Serratia,
Proteus dan diphteroid.
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
1. Abses otak
2. Tumor otak
3. Vaskulitis SSP
4. Lead encephalopathy
5. Meningitis fungal
6. Meningitis tuberculosis
7. Tuberculoma
8. Stroke
9. Encephalitis
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Meningitis adalah keadaan gawat darurat medik. Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi
bakteri dari LCS dengan metode lumbal punksi. Adanya inflamasi pada meningen ditandai
oleh pleositosis, peningkatan kadar protein, dan penurunan kadar glukosa LCS. Tekanan LCS
(opening pressure) juga warna LCS (keruh, jernih, berdarah) perlu untuk dinilai. Jika LCS
tidak jernih maka pemberian terapi dilakukan secepatnya tanpa menunggu hasil pemeriksaan
LCS.
Jika penderita menunjukkan tanda herniasi otak maka perlu dipertimbangkan pemberian
terapi tanpa melakukan lumbal punksi. Lumbal punksi dapat dilakukan di lain waktu saat
tekanan intrakranial terkendali dan penderita tampak stabil secara klinis. CT scan atau MRI
sangat membantu penanganan penderita yang memerlukan pemantauan terhadap tekanan
intrakranial dan herniasi.
Pada spesimen LCS dilakukan pemeriksaan kimiawi (glukosa, protein), jumlah total leukosit
dan hitung jenis (differential count), pewarnaan gram dan kultur. Pada beberapa kasus, test
rapid bacterial antigen perlu dilakukan. Kadar glukosa LCS umumnya kurang dari 40 mg/dL
dengan kadar protein LCS lebih dari 100 mg/dL. Tetapi penilaian ini sangat bervariasi pada
penderita terutama pada meningitis dengan onset yang sangat dini. Pemeriksaan lumbal
punksi pada penderita dengan perjalanan penyakit yang fulminan dan memiliki respon imun
yang lemah kadang-kadang tidak menunjukkan perubahan kimiawi dan sitologis LCS.
Pada kasus penderita yang tidak diterapi terjadi peningkatan jumlah leukosit yang didominasi
oleh sel Polimorfonuklear (PMN) pada saat dilakukan pemeriksaan lumbal punksi.
Pewarnaan gram dari cytocentrifuged LCS dapat memperlihatkan morfologi bakteri.
Spesimen LCS harus langsung dikultur pada media agar darah atau agar cokelat. Kultur darah
juga perlu dilakukan. Apusan dari lesi petekiae juga dapat menunjukkan patogen penyebab
dengan pewarnaan gram. Pemeriksaan apus buffy coat juga dapat memperlihatkan gambaran
mikroorganisme intraseluler
Beberapa test didasari oleh prinsip aglutinasi untuk mendeteksi antigen bakteri pada
cairan tubuh juga telah tersedia. Deteksi antigen bakteri dapat diperoleh dari spesimen LCS,
darah atau urin. Test jenis ini bermanfaat pada penderita meningitis dengan riwayat
pengobatan belum lengkap (Partially treated meningitis/PTM) di mana bakteri tidak dapat
berkembang biak pada LCS tetapi antigennya tetap tinggal pada cairan tubuh penderita.
Deteksi antigen dalam urin berguna pada beberapa kasus karena urin dapat
dikonsentrasikan beberapa kali lipat di laboratorium. Beberapa bakteri gram negatif dan S.
pneumoniae serotipe tertentu yang memiliki antigen kapsuler dapat memberikan reaksi silang
dengan poliribofosfat HIB sehingga pewarnaan gram spesimen LCS lebih spesifik
dibandingkan rapid diagnostic test.
Beberapa anak sudah menerima antibiotik sebelum diagnosis pasti ditegakkan. Dosis kecil
antimikroba oral atau bahkan pemberian antimikroba secara intravena dosis tunggal tidak
mengubah hasil pemeriksaan LCS termasuk kultur bakteri khususnya pada penderita HIB
meningitis.
Hasil kultur dari spesimen LCS dapat menjadi steril secara cepat jika patogen penyebabnya
adalah pneumococcus atau meningococcus walaupun perubahan sitologis dan kimiawi tetap
eksis. Karena hal ini maka diperlukan test antigen bakteri dalam darah, urin, LCS. Apabila
terjadi kesulitan untuk membedakan antara PTM dengan meningitis viral (aseptik) maka
lumbal punksi dapat diulang dalam rentang waktu 24 jam. Pada kasus meningitis viral,
pleositosis LCS dan perubahan kimiawi cenderung untuk kembali menuju nilai normal.
PENATALAKSANAAN
*Perawatan medik
Akses intravena dan pemantauan pemberian cairan secara ketat perlu dilakukan. Neonatus
dengan meningitis sangat rentan untuk jatuh ke dalam keadaan hiponatremia yang
berhubungan dengan SIADH. Perubahan elektrolit ini juga berperan dalam memicu
terjadinya kejang khususnya dalam 72 jam pertama. Cairan NaCl 0,9% dalam glukosa 5%
diberikan sampai elektrolit serum pada neonatus mencapai normal.
Peningkatan tekanan intrakranial sekunder terhadap edema serebral jarang terjadi pada bayi
tetapi tetap diperlukan pemantauan analisis gas darah untuk menjamin oksigenasi yang
adekuat dan stabilitas metabolisme.
Pemeriksaan penunjang seperti MRI dengan gadoteriol, USG, atau CT scan dengan kontras
diperlukan untuk menyelidiki ada tidaknya kelainan intrakranial. Pada neonatus yang sudah
sembuh dari meningitis perlu dilakukan uji fungsi pendengaran untuk menskrining gangguan
pendengaran.
Pada bayi dan anak-anak, penanganan meningitis bakterial akut meliputi terapi antimikroba
yang adekuat serta terapi suportif. Terapi cairan dan elektrolit dilakukan dengan:
memperhatikan tanda-tanda vital dan status neurologis sehingga dapat menentukan input dan
output yang akurat, penggunaan cairan dengan jenis dan volume yang sesuai untuk
mengurangi perkembangan edema serebral. Anak-anak harus mendapat terapi cairan untuk
mempertahankan tekanan darah sistolik sekitar 80 mmHg, jumlah urine output 500
ml/m2/hari dan perfusi jaringan yang adekuat. Dopamin dan agen inotropik lainnya dapat
digunakan untuk mempertahankan tekanan darah dan sirkulasi yang adekuat.
Antimikroba diberikan segera setelah akses vena dibuat. Secara konservatif terapi
antimikroba yang diberikan terdiri dari kombinasi ampicillin dan aminoglikosida. Ampicillin
memberikan jangkauan yang baik terhadap kokus gram positif termasuk Streptococcus grup
B, Enterococcus, Listeria monocytogenes, beberapa strain Escherichia coli, HIB dan dapat
mencapai kadar adekuat dalam LCS.
Aminoglikosida seperti gentamycin, amikacin, tobramycin baik dalam melawan basil gram
negatif termasuk Pseudomonas aeruginosa, Serratia marcescens. Tetapi aminoglikosida
memiliki kadar rendah dalam LCS atau cairan ventrikel bahkan pada saat meningen sedang
mengalami peradangan. Beberapa cephalosporin generasi III dapat mencapai LCS dengan
kadar tinggi dan berfungsi secara efektif melawan infeksi gram negatif. Pada suatu percobaan
didapatkan hasil bahwa ceftriaxone berkompetisi dengan bilirubin dalam mengikat albumin.
Ceftriaxone dalam kadar terapeutik mengurangi konsentrasi cadangan albumin pada serum
neonatus sebanyak 39% sehingga ceftriaxone dapat meningkatkan resiko bilirubin
encephalopathy khususnya pada neonatus beresiko tinggi. Penelitian lain menyimpulkan
bahwa tak satu pun cephalosporin memiliki aktivitas baik melawan L. monocytogenes dan
Enterococcus sehingga obat ini tidak pernah digunakan sebagai obat tunggal untuk terapi
inisial. Disarankan kombinasi ampicillin dengan cephalosporin generasi III.
Jika patogen sensitif terhadap ampicillin dengan MIC (minimum inhibition concentration)
yang sangat rendah maka ampicillin dapat dilanjutkan sebagai obat tunggal. Cefotaxime dan
ceftriaxone memberikan aktivitas yang baik melawan kebanyakan S. pneumoniae yang
resisten terhadap penicillin. Kombinasi Vancomycin dan cefotaxime dianjurkan untuk
penderita S. pneumoniae meningitis sebelum uji sensitivitas antimikroba dilakukan.
Etiologi dan gejala klinik menentukan durasi terapi, biasanya terapi selama 10-21 hari
adekuat untuk infeksi Streptococcus grup B. Terapi memerlukan waktu lama untuk
mensterilkan LCS dari basil gram negatif yaitu sekitar 3-4 minggu. Pemeriksaan LCS selama
terapi mungkin diperlukan untuk memastikan LCS steril . Pemeriksaan ulang terhadap LCS
berguna dalam 48-72 jam setelah terapi inisial untuk memantau respon terhadap terapi,
khususnya meningitis oleh basil gram negatif.
Tabel 2. Dosis antibiotik untuk meningitis bakterial pada neonatus berdasarkan berat
badan dan usia
(peak)
<10
(trough)
Gentamycin IV,IM 5-10 2.5 q24h 2.5 q18h 2.5 q12h 2.5 q8h
(peak)
<2,5
(trough)
Tobramycin IV,IM 5-10 2.5 q24h 2.5 q12h 2.5 q12h 2.5 q8h
(peak)
<2,5
(trough)
Glycopeptide
Vancomy IV,IM 20-40 15 q24h 15 q18h 15 q12h 15 q8h
cin (peak)
<10
(trough)
Tabel 3. Dosis antibiotik untuk meningitis bakterial pada neonatus yang diberikan
berdasarkan usia
Pemberian antibiotik yang sesuai untuk penderita dengan suspek meningitis bakterial sangat
penting. Pemilihan antibiotik inisial harus memiliki kemampuan untuk melawan 3 patogen
umum yaitu: S.pneumoniae, N. meningitidis, H. influenzae. Umumnya terapi dimulai dengan
pemberian vancomycin 60 mg/kg/hari IV dalam 4 dosis terbagi diberikan tiap 6 jam.
Ceftriaxone 100 mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi atau ceftriaxone 80 mg/kg/hari sekali/hari
dan dapat disubstitusi dengan cefotaxime. Kombinasi ini cukup baik dalam melawan S.
pneumoniae yang resisten penicillin dan Haemophilus influenzae tipe B yang resisten beta-
laktamase. Ceftazidime memiliki aktivitas yang kurang baik melawan pneumococcus dan
harus diganti dengan cefotaxime atau ceftriaxone.
Karena penetrasi antibiotik ke dalam SSP berhubungan dengan respon inflamasi dan
sifat kortikosteroid yang mengurangi reaksi inflamasi, maka pemberian kortikosteroid dapat
mengurangi efektivitas antibiotik seperti vancomycin yang daya penetrasinya kecil. Sehingga
petugas kesehatan perlu mempertimbangkan keuntungan dan kerugian pemberian
kortikosteroid pada terapi meningitis.
Semua antibiotik diberikan secara intravena agar kadarnya dalam serum dan LCS
adekuat. Pemberian secara intraosseus dapat dilakukan jika akses vena tidak dapat dilakukan.
Chloramphenicol secara per oral dapat mencapai kadar terapeutik dalam serum dan diberikan
hanya jika tidak tersedia obat-obat lain, pada keadaan penderita yang stabil, dan keluhan
mual muntah berkurang.
Phlebitis pada tempat penyuntikan dan febris karena antibiotik adalah beberapa
penyebab umum febris sekunder pada penderita meningitis sehingga penderita dengan febris
perlu untuk dievaluasi ulang.
*Pemberian dexamethasone
Pada berbagai uji klinik double blind, efek menguntungkan dari dexamethasone
ditunjukkan pada bayi dan anak dengan meningitis HIB saat diberi dexamethasone (0,15
mg/kg) 15-20 menit sebelum dosis inisial antibiotik. Dexamethasone dilanjutkan setiap 6 jam
selama 4 hari. Dalam 24 jam, kondisi klinis dan prognosis rata-rata cukup bermakna.
Pemantauan yang dilakukan sepanjang terapi menunjukkan penurunan insidensi sekuelae
neurologis dan audiologis yang bermakna. Data-data yang berhubungan dengan kegunaan
dexamethasone untuk mengobati S. pneumoniae meningitis kurang meyakinkan. Selain
mengurangi reaksi inflamasi, pemberian dexamethasone dapat menurunkan penetrasi
antibiotik ke SSP.
Pemberian manitol; suatu diuretik osmotik; dapat meningkatkan secara transien osmolalitas
ruang intravaskular, menyebabkan perpindahan cairan dari jaringan otak ke dalam ruang
intravaskular. Manitol (0,25-1 g/kg IV) biasa diberikan selama 20-30 menit dan
pemberiannya dapat diulang bila diperlukan.
Dexamethasone sudah sering digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial tetapi data
terbaru tidak mendukung efikasi dari dexamethasone tersebut. Acetazolamid dan furosemid
juga sering digunakan untuk mengurangi TTIK tetapi efikasinya pada penderita meningitis
belum dapat ditunjukkan pada controlled trials.
*Antikonvulsi
Bangkitan kejang sering dialami pada kurang lebih 30% penderita. Jalan napas yang adekuat
dan oksigenasi juga dibutuhkan selama terjadinya kejang. Pemberian antikonvulsi secara
intravena. Phenobarbital natrium dengan dosis 20 mg/kg IV dengan kecepatan 1 mg/kg/menit
cukup efektif dalam mengendalikan kejang. Efek antikonvulsi sering memanjang dan karena
kadar adekuat dalam SSP dicapai dalam waktu 15-60 menit maka pemulihan kejang
berlangsung secara gradual. Phenytoin (Dilantin) 15-20 mg/kg IV dengan kecepatan rata-rata
1 mg/kg/menit juga dapat digunakan untuk kejang.
Jika obat-obat tersebut di atas tidak efektif, dapat diberikan diazepam (Valium) diberikan
secara bolus intravena dengan dosis 0,2-0,3 mg/kg dan tidak melebihi 10 mg. Efek
antikonvulsi berlangsung singkat, sehingga perlu ditambahkan phenytoin 5 mg/kg/hari IV
tiap 12 jam untuk mencegah timbulnya bangkitan kejang selanjutnya. Lorazepam (Ativan)
yaitu suatu benzodiazepin kerja lama juga aman untuk diberikan dengan dosis 0,05 mg/kg
tiap 4-6 jam. Pemberian antikonvulsi harus hati-hati karena obat tersebut dapat menyebabkan
henti napas atau jantung. Selain itu, efek aritmia jantung dapat disebabkan oleh phenytoin.
Phenobarbital dan phenytoin dapat merangsang enzim mikrosomal hati sehingga dapat
meningkatkan metabolisme beberapa obat termasuk chloramphenicol. Jika penderita tetap
kejang atau menunjukkan gejala yang mengarah pada kelainan intrakranial perlu dilakukan
pemeriksaan neuro-imaging.
PENCEGAHAN
Semua individu yang tinggal serumah dan petugas kesehatan yang kontak dengan penderita
perlu diberi kemoprofilaksis. Karena peningkatan resistensi terhadap sulfonamid maka obat
pilihannya adalah rifampin, ceftriaxone, ciprofloxacin. Sulfonamid digunakan sebagai
profilaksis pada keadaan tertentu di mana patogen tersebut masih sensitif. Bahkan setelah
kemoprofilaksis adekuat, kasus sekunder dapat terjadi sehingga orang yang kontak dengan
penderita harus segera mencari pertolongan medik saat timbul gejala pertama kali. Dosis
rifampin 600 mg peroral tiap 12 jam selama 2 hari.
Rifampin dengan dosis 20 mg/kg/hari untuk 4 hari dianjurkan kepada individu yang kontak
dengan penderita HIB meningitis. Jika anak usia 4 tahun atau lebih muda kontak dengan
penderita maka anak tersebut harus diberi profilaksis tanpa memedulikan status imunisasinya.
Yang dimaksud dengan ‘kontak’ adalah seseorang yang tinggal pada rumah yang sama
dengan penderita atau seseorang yang telah menghabiskan 4 jam atau lebih waktunya per hari
dengan penderita tersebut selama 5-7 hari sebelum diagnosis ditegakkan.
Jika 2 atau lebih kasus HIB meningitis terjadi pada anak yang mendatangi tempat pelayanan
kesehatan maka petugas kesehatan dan anak-anak lain perlu diberi profilaksis.
* Imunisasi
Imunisasi massal di seluruh dunia terhadap infeksi HIB telah memberikan penurunan
dramatis terhadap insidensi meningitis. FDA (Food and Drug Administration) telah
meluncurkan vaksin konjugasi pneumococcal yang pertama (Prevnar) pada April 2000.
Semua bayi dianjurkan untuk menerima imunisasi yang mengandung antigen dari 7 subtipe
pneumococcal.
KOMPLIKASI
Sekuelae jangka panjang didapat pada 30% penderita dan bervariasi tergantung etiologi, usia
penderita, gejala klinis dan terapi. Pemantauan ketat berskala jangka panjang sangat penting
untuk mendeteksi sekuelae.
Sekuelae pada SSP meliputi tuli, buta kortikal, hemiparesis, quadriparesis, hipertonia otot,
ataxia, kejang kompleks, retardasi motorik, kesulitan belajar, hidrocephalus non-komunikan,
atropi serebral.
Gangguan pendengaran terjadi pada 20-30% anak. Pemberian dini dexamethasone dapat
mengurangi komplikasi audiologis pada HIB meningitis. Gangguan pendengaran berat dapat
menganggu perkembangan bicara sehingga evaluasi audiologis rutin dan pemantauan
perkembangan dilakukan tiap kali kunjungan ke petugas kesehatan. Jika ditemukan sekuelae
motorik maka perlu dilakukan terapi fisik, okupasional, rehabilitasi untuk menghindari
kerusakan di kemudian hari dan mengoptimalkan fungsi motorik.
PROGNOSIS
Penderita dengan penurunan kesadaran memiliki resiko tinggi mendapatkan sekuelae atau
resiko kematian. Adanya kejang dalan suatu episode meningitis merupakan faktor resiko
adanya sekuelae neurologis atau mortalitas. Meningitis yang disebabkan oleh S. pneumoniae,
L. monocytogenes dan basil gram negatif memiliki case fatality rate lebih tinggi daripada
meningitis oleh bakteri lain. Prognosis meningitis yang disebabkan oleh patogen oportunistik
juga bergantung pada daya tahan tubuh inang.
KESIMPULAN
- Meningitis merupakan suatu penyakit yang mengancam jiwa dan memberikan sekuelae
yang bernakna pada penderita
- www.alb.ac.be/sciences/biodic/ImBacterie2.htm
- www.infectionsnetz.at/view.php?name=bakterien
- www.msnbc.msn.com/id/7994214/
- www.surgerydoor.co.uk/livingwith/detail2.asp
- www.thachers.org/internal-medicine.htm