Anda di halaman 1dari 38

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut data Sample Registration System (SRS) Indonesia tahun 2014,
hipertensi dengan komplikasi (5,3%) merupakan penyebab kematian nomor 5
(lima) pada semua umur. Data World Health Organization (WHO) tahun 2011
menunjukkan satu milyar orang di dunia menderita Hipertensi, 2/3 diantaranya
berada di negara berkembang yang berpenghasilan rendah sampai sedang.
Prevalensi hipertensi akan terus meningkat tajam dan diprediksi pada tahun
2025 sebanyak 29% orang dewasa di seluruh dunia terkena hipertensi.
Hipertensi telah mengakibatkan kematian sekitar 8 juta orang setiap tahun,
dimana 1,5 juta kematian terjadi di Asia Tenggara yang 1/3 populasinya
menderita hipertensi sehingga dapat menyebabkan peningkatan beban biaya
kesehatan.1
Selain sebagai faktor risiko mayor terhadap morbiditas kardiovaskuler,
ginjal, dan stroke, hipertensi juga merupakan kondisi medis yang sering
ditemukan pada pasien yang akan menjalani operasi.2
Hipertensi yang tidak terkendali berhubungan dengan fluktuasi tekanan
darah selama induksi anestesi dan tindakan intubasi jalan napas serta dapat
meningkatkan kejadian iskemia perioperatif. Peningkatan tekanan darah
intraoperatif tetap terjadi pada pasien dengan riwayat hipertensi sebelum
tindakan operasi tanpa memandang apakah tekanan darah pasien terkendali atau
tidak sebelum tindakan. Selain itu, pasien yang memiliki riwayat hipertensi
sering mengalami hipertensi pascaoperasi yang pada akhirnya turut
meningkatkan risiko iskemia otot jantung, infark miokard, stroke, dan
perdarahan pascaoperasi.3
Konsekuensi dari penggunaan obat-obat antihipertensi yang rutin
mempunyai potensi terjadinya interaksi dengan obat-obat yang digunakan
selama pembedahan. Banyak jenis obat-obatan yang harus tetap dilanjutkan
selama periode perioperatif, dimana dosis terakhir diminum sampai dengan 2
jam sebelum prosedur pembedahan dengan sedikit air dan dilanjutkan kembali
2

pada saat pemulihan dari pengaruh anestesia.2 Tingginya angka penderita


hipertensi dan bahayanya komplikasi yang bisa ditimbulkan akibat hipertensi
ini menyebabkan pentingnya pemahaman para ahli anestesia dalam manajemen
selama periode perioperatif. Periode perioperatif dimulai dari hari dimana
dilakukannya evaluasi prabedah, dilanjutkan periode selama pembedahan
sampai pemulihan pasca bedah.2,3
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi
2.1.1 Definisi Hipertensi
Menurut American Society of Hypertension (ASH) hipertensi adalah
suatu sindrom atau kumpulan gejala kardiovaskular yang progesif sebagai
akibat dari kondisi lain yang kompleks dan saling berhubungan. WHO
menyatakan hipertensi merupakan peningkatan tekanan sistolik lebih besar
atau sama dengan 160 mmHg dan atau tekanan diastolik sama atau lebih
besar 95 mmHg. Menurut Perki (2015) Hipertensi adalah tekanan darah
sistolik lebih atau sama dengan 140 mmHg dan tekanan darah diastolik
lebih atau sama dengan 90 mmHg atau mengkonsumsi obat anti hipertensi
pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan
cukup istirahat/tenang. 4,5,6 Sedangkan menurut klasifikasi JNC VIII dapat
dilihat pada tabel berikut:
Klasifikasi hipertensi berdasarkan JNC VIII untuk usia ≥ 18 tahun, dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi menurut JNC VIII
Tekanan darah Tekanan darah
Klasifikasi sistolik diastolik Grade
(mmHg) (mmHg)
normal <120 <80
> 60 tahun >150 >90 A
< 60 tahun >140 >90 A (30-59 tahun)
E (18-29 tahun)
>18 tahun
(dengan CKD ≥ 140 ≥ 90 E
dan DM)
Grade A/Rekomendasi A – Strong recommendation. Terdapat tingkat keyakinan
yang tinggi berbasis bukti bahwa hal yang direkomendasikan tersebut memberikan
manfaat atau keuntungan yang substansial.
Grade E/Rekomendasi E – Expert opinion. Bukti-bukti belum dianggap cukup
atau masih belum jelas atau terdapat konflik (misal karena berbagai perbedaan
hasil), tetapi direkomendasikan oleh komite karena dirasakan penting untuk
dimasukan dalam guideline.
4

Dari definisi-definisi diatas dapat diperoleh kesimpulan bahwa


hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik dan tekanan
darah diastolik lebih dari 140/90 mmHg, dimana sudah dilakukan
pengukuran tekanan darah minimal dua kali untuk memastikan keadaan
tersebut dan hipertensi dapat menimbulkan resiko terhadap penyakit stroke,
gagal jantung, serangan jantung, dan kerusakan ginjal.4,5,6,7

2.1.2 Etiologi
Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi atas hipertensi esensial dan
hipertensi sekunder.8
1) Hipertensi esensial, juga disebut hipertensi primer atau idiopatik, adalah
hipertensi yang tidak jelas etiologinya. Lebih dari 90% kasus hipertensi
termasuk dalam kelompok ini. Kelainan hemodinamik utama pada
hipertensi esensial adalah peningkatan resistensi perifer. Penyebab
hipertensi esensial adalah mulitifaktor, terdiri dari faktor genetik dan
lingkungan. Faktor keturunan bersifat poligenik dan terlihat dari adanya
riwayat penyakit kardiovaskuler dari keluarga. Faktor predisposisi
genetik ini dapat berupa sensitivitas pada natrium, kepekaan terhadap
stress, peningkatan reaktivitas vascular (terhadap vasokonstriktor), dan
resistensi insulin. Paling sedikit ada 3 faktor lingkungan yang dapat
menyebabkan hipertensi yakni, makan garam (natrium) berlebihan,
stress psikis, dan obesitas.
2) Hipertensi sekunder. Prevalensinya hanya sekitar 5-8 % dari seluruh
penderita hipertensi. Hipertensi ini dapat disebabkan oleh penyakit
ginjal (hipertensi renal), penyakit endokrin (hipertensi endokrin), obat,
dan lain-lain. Hipertensi renal dapat berupa:
a. Hipertensi renovaskular, adalah hipertensi akibat lesi pada arteri
ginjal sehingga menyebabkan hipoperfusi ginjal.
b. Hipertensi akibat lesi pada parenkim ginjal menimbulkan gangguan
fungsi ginjal
5

Faktor Risiko
Adapun faktor risiko hipertensi sebagai berikut : umur (laki – laki > 55
tahun, wanita > 65 tahun), jenis kelamin, riwayat keluarga, genetik (faktor
risiko yang tidak dapat diubah/dikontrol), kebiasaan merokok, konsumsi
garam, konsumsi lemak jenuh atau dislipidemia (kolesterol HDL : laki-laki
< 40 mg/dl; wanita < 46 mg/dl), kadar gula puasa (102-125 mg/dl) kebiasaan
konsumsi minum-minuman beralkohol, obesitas, kurang aktifitas fisik,
stres, penggunaan estrogen dan riwayat keluarga dengan penyakit jantung.8

2.1.3 Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh
darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat
vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke
korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di
toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam
bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui sistem saraf simpatis ke
ganglia simpatis.
Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan
merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah dimana
dengan dilepaskannya norepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh
darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat
mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi.
Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin,
meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh
darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang,
mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi.7 Medulla adrenal
mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal
mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons
vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan
penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin
6

merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi


angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya
merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor ini cenderung
mencetuskan keadaan hipertensi.7
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya
angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme
(ACE). ACE memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan
darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati.
Selanjutnya oleh hormon, renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah
menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I
diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan
kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama. Aksi
pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa
haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada
ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya
ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis),
sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk
mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan
cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah
meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. Aksi
kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal.
Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada
ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan
mengurangi ekskresi NaCL (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari
tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCL akan diencerkan kembali dengan
cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan
meningkatkan volume dan tekanan darah. Manifestasi klinis yang dapat
muncul akibat hipertensi menurut Elizabeth J. Corwin ialah bahwa sebagian
besar gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun.
7

Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa nyeri kepala saat terjaga yang
kadang-kadang disertai mual dan muntah akibat peningkatan tekanan darah
intrakranium, penglihatan kabur akibat kerusakan retina, ayunan langkah
tidak mantap karena kerusakan susunan saraf, nokturia (peningkatan urinasi
pada malam hari) karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi
glomerolus, edema dependen akibat peningkatan tekanan kapiler.
Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan
iskemik transien yang bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu
sisi atau hemiplegia atau gangguan tajam penglihatan. Gejala lain yang
sering ditemukan adalah epistaksis, mudah marah, telinga berdengung, rasa
berat di tengkuk, sukar tidur, dan mata berkunang-kunang.7

Penurunan aliran ke ginjal


Angiotensin I

Renin (ginjal) sekresi Converting


enzyme (paru)
Angiotensin II
angiotensinogen

Retensi Na dan air Vasokonstriksi

Peningkatan tekanan arteri


Bagan 1. Patofisiologi Hipertensi

Untuk pertimbangan juga, perubahan struktural dan fungsional pada


sistem pembuluh perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah
yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis,
hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot
polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan
distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan
arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume
darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup), mengakibatkan
penurunan curang jantung dan peningkatan tahanan perifer.7,8
8

2.1.4 Terapi berdasarkan JNC VIII


Tujuan dari pengobatan hipertensi adalah untuk menurunkan
mortalitas dan morbiditas kardiovaskuler. Strategi pengobatan hipertensi
harus dimulai dengan perubahan gaya hidup berupa diet rendah garam,
berhenti merokok, mengurangi konsumsi alkohol, aktivitas fisik yang
teratur dan penurunan berat badan bagi pasien dengan berat badan lebih.
Untuk hipertensi derajat I tanpa faktor risiko dan tanpa kerusakan target
organ, perubahan pola hidup dapat dicoba sampai 12 bulan.10
a. Penderita hipertensi yang mengalami kelebihan berat badan dianjurkan
untuk menurunkan berat badannya sampai batas ideal.
b. Merubah pola makan pada penderita diabetes, kegemukan atau kadar
kolesterol darah tinggi. Mengurangi pemakaian garam sampai kurang
dari 2,4 gram natrium atau 6 gram natrium klorida setiap harinya dan
kurangi konsumsi alkohol.
c. Olah raga teratur yang tidak terlalu berat. Penderita hipertensi esensial
tidak perlu membatasi aktivitasnya selama tekanan darahnya terkendali.
Selain meningkatkannya perasaan sehat dan kemampuan untuk
mengatasi stress, keuntungan latihan aerobik yang teratur adalah
meningkatnya kadar HDL-C, menurunnya kadar LDL_C,
menurunnya tekanan darah, berkurangnya obesitas, berkurangnya
frekuensi denyut jantung saat istirahat dan konsumsi oksigen
miokardium (MVO2), dan menurunnya resistensi insulin.
d. Berhenti merokok karena merokok dapat merusak jantung dan
sirkulasi darah dan meningkatkan risiko penyakit jantung dan stroke.

Pada tahun 2014 JNC mengeluarkan guideline penatalaksanaan hipertensi


9

Gambar 1. Algoritma Manajemen JNC 810

Gambar 2. Treatment Algorithm JNC 810


2.1.5 Efek samping pada Organ Vital11,12,13
Organ Efek Samping
10

Otak Stroke timbul karena perdarahan, tekanan intra kranial


yang meninggi, atau akibat embolus yang terlepas dari
pembuluh non otak yang terpajan tekanan tinggi.
Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila
arteri-arteri yang mendarahi otak mengalami
hipertropi atau penebalan, sehingga aliran darah ke
daerah-daerah yang diperdarahinya akan berkurang.
Arteri-arteri di otak yang mengalami arterosklerosis
melemah sehingga meningkatkan kemungkinan
terbentuknya aneurisma. Ensefalopati juga dapat
terjadi terutama pada hipertensi maligna atau
hipertensi dengan onset cepat. Tekanan yang tinggi
pada kelainan tersebut menyebabkan peningkatan
tekanan kapiler, sehingga mendorong cairan masuk ke
dalam ruang intertisium di seluruh susunan saraf
pusat. Hal tersebut menyebabkan neuron-neuron
disekitarnya kolap dan terjadi koma bahkan
kematian.11
Kardiovaskular Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner
mengalami arterosklerosis atau apabila terbentuk
trombus yang menghambat aliran darah yang melalui
pembuluh darah tersebut, sehingga miokardium tidak
mendapatkan suplai oksigen yang cukup. Kebutuhan
oksigen miokardium yang tidak terpenuhi
menyebabkan terjadinya iskemia jantung, yang pada
akhirnya dapat menjadi infark.12
Penyakit ginjal Terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan
kronik tinggi pada kapiler-kepiler ginjal dan glomerolus.
Kerusakan glomerulus akan mengakibatkan darah
mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, sehingga
nefron akan terganggu dan berlanjut menjadi hipoksia
dan kematian ginjal. Kerusakan membran glomerulus
juga akan menyebabkan protein keluar melalui urin
sehingga sering dijumpai edema sebagai akibat dari
tekanan osmotik koloid plasma.12
11

Retinopati Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan


kerusakan pembuluh darah pada retina. Makin tinggi
tekanan darah dan makin lama hipertensi tersebut
berlangsung, maka makin berat pula kerusakan yang
dapat ditimbulkan. Kelainan lain pada retina yang
terjadi akibat tekanan darah yang tinggi adalah
iskemik optik neuropati atau kerusakan pada saraf
mata akibat aliran darah yang buruk, oklusi arteri dan
vena retina akibat penyumbatan aliran darah pada
arteri dan vena retina. Penderita retinopati hipertensif
pada awalnya tidak menunjukkan gejala, yang pada
akhirnya dapat menjadi kebutaan pada stadium
akhir.13

2.1.6 Golongan Obat Hipertensi


Tabel 1. Golongan Obat Anti-hipertensi14
Jenis Obat Nama obat Dosis Frekuensi
umum umum
dalam per hari
mg/hari
Diuretic tiazide Chlorothiazide (diuril) 125 – 500 1–2
Chlorthalidone (generic) 12,5 – 25 1
Loop diuretic Bumetanide (bumex+) 0,5 – 2 2
Furosemide (lasix+) 20 – 80 2
Torsemide (demadex+) 2,5 - 10 1

Potassium diuretic Amiloride (midamor+) 5 – 10 1–2


Triamterene (dyrenium) 50 – 100 1–2
BBs Atenolol 25 – 100 1
Bisoprolol (zebeta+) 2,5 – 10 1
Propanolol 40 – 160 2
Timolol (blocadren+) 20 – 40 2
Ace inhibitor Benazepril (lotensin+) 10 – 40 1
Captopril (capoen+) 25 – 100 2
Enalapril (vasotec+) 5 – 40 1–2
Angiotensin II Candesartan (atacand) 8 – 32 1
antagonis Eprosartan (teveten) 400 – 800 1–2
Irbesartan (Avapro) 150 – 300 1
Kalsium kanal bloker Amlodipine (Norvasc) 2,5 – 10 1
dihidroprinides Felodipin (plendil) 2,5 – 10 1
12

Alpa 1 bloker Doxazosin (cardura) 1 – 16 1


Prazosin (minipress+) 2 – 20 2–3
Alpa sentral 2 Clonidine (catapres+) 0,1 – 0,8 2
antagonis Metildopa (aldomet+) 250 – 1000 2
Vasodilator Hydralazin (apresoline+) 25 – 100 2
Minoxidil (loniten+) 2,5 - 80 1-2

Mekanisme kerja obat hipertensi 14


a. Diuretik
Diuretik bekerja dengan mengurangi reabsorsi NaCl di tempat yang
berada di nefron, sehingga meningkatkan ekresi natrium, klorida,
dan air
b. Beta bloker
Mekanismenya adalah dikaitkan dengan hambatan receptor B1
antara lain
 Penurunan frekuensi denyut jantung kontraktilitas miokard
sehingga menurunkan curah jantung
 Hambatan sekresi rennin di sel juxtaglomeruler dengan
akibat penurunan produksi angiotensin II
 Efek sentral yang mempengaruhi aktifitas saraf simpatis,
perubahan pada sensitifitas baroreceptor, perubahan aktifitas
neuron adrenergic perifer dan meningkatkan biosintesis
protasiklin
c. ACE-inhibiotor
Angiotensin Converting Enzyme (ACE) adalah suatu enzim yang
bekerja mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II. Diketahui
bahwa angiotensin II memiliki efek vasokontriksi yang sangat kuat
dan merangsang sekresi aldosteron pada korteks adrenal. Dengan
demikian ACE-inhibitor bekerja dengan cara menghambat enzim
ACE sehingga angiotensin II tidak terbentuk dan akan menurunkan
tekanan darah.

d. ARB
13

Antagonis Reseptor Angiotensin II (ARB) bekerja dengan memblok


resseptor AT1 yang berfungsi untuk memperantai semua efek
fisiologis Angiotensin II terutama yang berperan dalam homeostasis
kardiovaskular. Sehingga akibat dari penghambatan angiotensin
maka tekanan darah akan menurun
e. Antagonis kalsium
Antagonis Kalsium menghambat influks (pemasukan) kalsium pada
sel otot polos pembuluh darah dan miokard. Pada pembuluh darah,
antagonis kalsium terutama menimbulkan relaksasi arteriol
sedangkan vena kurang dipengaruhi.

2.2 Efek Obat Anestesi pada Organ Vital


1. Kardiovaskular
Propofol mempunyai efek kardiovaskular yang dapat timbul adalah
penurunan tahanan pembuluh darah sistemik, dan tekanan darah. Penurunan
tahanan pembuluh darah oleh propofol diakibatkan oleh relaksasi dari otot
polos pembuluh darah akibat dari kerja propofol dalam menghambat
aktivitas vasokonstriksi dari saraf. Propofol juga memiliki efek inotropik
negatif terhadap otot jantung dengan cara menghambat influks kalsium di
sel otot jantung.
Penurunan tekanan darah dan merupakan pengaruh fentanil terhadap sistem
kardiovaskular meskipun tidak terlalu besar. Pemberian fentanil
memberikan efek yang minimal bahkan tidak menurunkan preload dan
afterload. Fentanil tidak menyebabkan pelepasan histamin dan tidak
memiliki efek depresi miokard, karena itu banyak digunakan sebagai obat
primer dalam anestesi bedah jantung atau anestesi pada pasien dengan
fungsi kardiak yang buruk. Bradikardi yang terjadi akibat pemberian
fentanil merupakan hasil dari stimulasi nukleus vagal sentral. Selain itu
fentanil memperlambat konduksi nodus atrioventrikular dan
memperpanjang RR interval, periode refrakter nodus atrioventrikular dan
durasi aksi potensial saraf purkinje.5
14

2. Pernapasan
Propofol dapat menyebabkan depresi pernapasan sampai henti napas
berkisar 24% sampai 30% dan efek ini tergantung dari dosis yang diberikan.
Propofol memiliki efek bronkodilatasi dan menurunkan risiko munculnya
wheezing selama operasi pada pasien dengan asma. Propofol menekan
respon tubuh terhadap hypercapni oleh karena propofol memiliki efek
terhadap pusat chemoreceptor di otak.5
3. Susunan Saraf Pusat
Propofol menimbulkan sedasi dan hipnosis pada sistem saraf pusat.
Propofol juga menurunkan cerebral metabolic rate untuk oksigen, aliran
darah otak dan tekanan intrakranial.5
Respon hemodinamik diatur oleh batang otak di daerah nukleus solitarius,
nukleus dorsal vagal, nukleus ambigus dan nukleus parabrakhial. Reseptor
opioid banyak yang terdapat di daerah nukleus solitarius dan parabrakhial,
terutama reseptor μ, sehingga bila diberikan agonis akan menyebabkan
hipotensi dan bradikardi. Selain itu juga terdapat mekanisme analgesia yang
dimiliki oleh daerah ventrolateral periaquaductal gray. Reseptor yang
terdapat pada jalur hipotalamus-pituitari-adrenal yang dimodulasi oleh
opioid juga berperan pada stres respon.5
4. Ginjal
Propofol kurang mengganggu fungsi ginjal tetapi penggunaan jangka
panjang dapat mengakibatkan kerusakan hati.
Metabolit fentanyl diekskresi melalui ginjal dan dapat dijumpai diurin 72
jam setelah pemberian dosis tunggal fentanil. Kurang dari 10% fentanil
diekskresi tidak berubah diurin.5

2.3 Persiapan Preoperatif Pasien Hipertensi


2.3.1 Penilaian Preoperatif dan Persiapan Preoperatif Pasien Hipertensi
15

Sebuah pertanyaan sering muncul dalam praktek anestesi adalah derajat


hipertensi pra operasi yang dapat diterima pada pasien yang dijadwalkan untuk
operasi elektif, kecuali untuk pasien secara optimal dikontrol, kebanyakan
pasien hipertensi masuk ke ruang operasi dengan beberapa derajat hipertensi.
Meskipun pada saat preoperatif pasien memiliki hipertensi sedang (tekanan <
diastolik 90-110 mmHg) namun hal ini tidak menutup kemungkinan terjadinya
komplikasi pasca operasi. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa pasien
hipertensi yang tidak diobati atau tidak terkontrol lebih cenderung untuk
mengalami episode iskemia intraoperatif infark, aritmia, atau hipertensi, dan
hipotensi. Penyesuaian intrabedah selama anestesi serta penggunaan obat
vasoaktif diharapkan dapat mengurangi insiden komplikasi postoperasi yang
disebabkan preoperatif tidak memadai untuk mengontrol hipertensi.15,16
Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan
menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari,
yaitu:15,16,17
a. Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensi
b. Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah
terjadi
c. Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita
d. Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi,
untuk prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.
Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis riwayat
perjalanan penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan prosedur
diagnostik lainnya.Penilaian status volume cairan tubuh adalah menyangkut
apakah status hidrasi yang dinilai merupakan yang sebenarnya ataukah suatu
relative hipovolemia (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan vasodilator).
Disamping itu penggunaan diuretika yang rutin, sering menyebabkan
hipokalemia dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko
terjadinya aritmia. Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan sangat
membantu. Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya risiko iskemia
miokardial akibat ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
16

Untuk evaluasi ginjal, urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa
untuk memperkirakan seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal. Jika
ditemukan ternyata gagal ginjal kronis, maka adanya hiperkalemia dan
peningkatan volume plasma perlu diperhatikan. Untuk evaluasi
serebrovaskuler, riwayat adanya stroke atau TIA dan adanya retinopati
hipertensi perlu dicatat. Tujuan pengobatan hipertensi adalah mencegah
komplikasi kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk penyakit arteri
koroner, stroke, CHF, aneurisme arteri dan penyakit ginjal.15,16,17
Sementara itu pasien yang harus menjalani operasi elektif idealnya hanya
bisa dilakukan ketika tekanan darah dalam batas normal, pendekatan ini tidak
selalu layak atau selalu diinginkan karena gangguan autoregulasi serebral.
Penurunan tekanan darah yang berlebihan dapat mengganggu perfusi serebral.
Selain itu, keputusan apakah akan menunda atau melanjutkan dengan intervensi
bedah harus bersifat individual, tergantung pada beratnya elevasi tekanan darah
sebelum operasi, kemungkinan iskemi miokard, disfungsi ventrikel atau
komplikasi vaskularisasi serebral atau ginjal, dan pembedahan (jika perubahan
besar yang disebabkan operasi di awal jantung atau afterload yang
diperbolehkan). Dalam banyak kasus, hipertensi saat preoperatif terjadi karena
ketidakpatuhan pasien dengan pola obat yang diberikan. Dengan sedikit
pengecualian, antihipertensi harus dilanjutkan sampai operasi. Beberapa dokter
mempertahankan pemberian ACE inhibitor di pagi hari sebelum operasi karena
hubungannya dengan peningkatan insiden hipotensi intraoperatif. ACE
inhibitor diketahui dapat mencegah terjadinya risiko hipertensi perioperatif dan
mampu mencukupi kebutuhan antihipertensi parenteral. Operasi pada pasien
dengan tekanan diastolik preoperatif lebih besar dari 110 mmHg, terutama pada
pasien yang telah diketahui pasti mengalami kerusakan organ akhir maka
operasi harus ditunda sampai tekanan darah lebih terkontrol selama beberapa
hari.5,1
Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia
dengan tujuan untuk:5,15,16,17
17

a. Meredakan kecemasan dan ketakutan


b. Memperlancar induksi anesthesia
c. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
d. Meminimalkan jumlah obat anestesi
e. Mengurangi mual-muntah pasca bedah
f. Menciptakan amnesia
g. Mengurangi isi cairan lambung
h. Mengurangi reflek yang membahayakan

Premedikasi bertujuan mengurangi kecemasan preoperasi dan sangat


dibutuhkan pada pasien hipertensi. Preoperatif hipertensi ringan hingga
menengah sering sembuh setelah pemberian agen anxiolytic, seperti
midazolam. pemberian antihipertensi preoperatif harus dilanjutkan sesuai
jadwal dan dapat diberikan dengan sedikit tegukan air. Seperti disebutkan
sebelumnya, beberapa dokter melanjutkan pemberian ACE inhibitor karena
diketahui dapatmencegah menurunkan tekanan darah intraoperatif. Pemberian
α2 adrenergik agonis sentral dapat dijadikan sebagai tambahan yang berguna
untuk premedikasi penderita hipertensi, pemberian sedasi tambahan klonidine
dosis 0,2 mg dapat mengurangi penggunaan obat anestesi intraoperatif dan
mengurangi terjadinya hipertensi perioperatif. Sayangnya, pemberian klonidine
selama selain dapat menimbulkan hipotensi tapi juga menyebabkan terjadinya
bradikardi selama operasi.5,16,17

Manajemen Intraoperatif
Secara keseluruhan tujuan anestesi untuk pasien dengan hipertensi adalah
menjaga kestabilan tekanan darah pasien.Pasien batas akhir hipertensi dapat
diobati seperti pasien dengan tekanan darah normal. Pada pasien usia lanjut atau
pasien denganhipertensi yang tidak terkontrol telah terjadi perubahan
autoregulasi aliran darah serebral dimana tekanan darah yang tinggi
mempertahankankan aliran darah otak yang memadai. Pada sebagian besar
pasien dengan hipertensi yang lama harus dipikirkan kemungkinan terjadinya
18

penyakit arteri koroner dan hipertrofi jantung,sehingga peningkatan tekanan


darah yang berlebihan dapat dihindari.Hipertensi, terutama dalam kaitannya
dengan takikardia, dapat memicu terjadinya iskemia miokard, disfungsi
ventrikel bahkan keduanya.Tekanan darah arteri umumnya harus dijaga dalam
10-20% dari tingkat pra operasi. Jika hipertensi terjadi sebelum operasi dimana
tekanan darah lebih dari 180/120 mmHg, maka tekanan darah arteri harus
dipertahankan dalam batas normal, yaitu 150-140/90-80 mmHg.
Sebagian besar pasien hipertensi tidak memerlukan pemantauan
intraoperatif khusus.Pemantauan tekanan darah harus terus menerus dilakukan
pada pasien dengan tekanan darah yang tidak stabil dan pasien dengan prosedur
pembedahan utama yang terkait dengan perubahan yang cepat atau ditandai
dengan preload jantung atau afterload. Pemantauan elektrokardiografi bertujuan
untuk mengetahui dengan cepat tanda-tanda iskemia.Produksi urin harus
dipantau melalui kateter urin terutama pada pasien gangguan ginjal yang sedang
menjalani tindakan dan diharapkan dapat bertahan lebih dari 2 jam. Selama
pemantauan hemodinamik invasive dilakukan, pemenuhan kebutuhan ventrikel
sering berkurang terutama pada pasien dengan hipertrofi ventrikel.3,9
Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan
anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi tekanan darah yang terlalu
tinggi. Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif
adalah sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode
preoperative. Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran tekanan
autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini
akan mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika
tekanan darah diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat
antihipertensi akan mengubah kembali kurva autregulasi kekiri kembali ke
normal. Dalam mengukur autoregulasi serebral dapat digunakan beberapa
acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu:
a. Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal
yang dianjurkan untuk penderita hipertensi.
19

b. Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala


hipoperfusi otak.
c. Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian
stroke.
d. Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal kurang lebih sama
dengan yang terjadi pada serebral.
Anestesia akan aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan
memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan
volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia imbang (balance
anesthesia) dengan opioid + N2O + pelumpuh otot, atau anestesia total
intravena bisa digunakan untuk pemeliharaan anestesia. Anestesia regional
dapat dipilih sebagai teknik anestesia, namun perlu diingat bahwa anestesia
regional sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering
dikaitkan pada pasien dengan keadaan hipovolemia. Jika hipertensi tidak
berespon terhadap obat-obatan yang diberikan, maka penyebab yang lain harus
dipertimbangkan seperti phaeochromacytoma,carcinoid syndrome dan tyroid
storm.18

Induksi
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menyebabkan gangguan
hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi
namun saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi terjadi akibat
vasodilatasi perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler
sehingga pemberian cairan sebelumnya penting dilakukan untuk tercapainya
normovolemia sebelum induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi
akibat depresi sirkulasi karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat
antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE inhibitor
dan angiotensin receptor blocker. Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan
stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bisa
menyebabkan takikardia dan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi
akibat tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Durasi
20

laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu meminimalisir terjadinya


fluktuasi hemodinamik beberapa teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum
tindakan laringoskopi-intubasi untuk menghindari terjadinya hipertensi.18
a. Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama
5-10 menit.
b. Pemberian opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25
mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil
0,5-1 mikrogram/ kgbb).
c. Pemberian lidokain 1,5 mg/kgbb secara intravena atau intratrakea.
d. Penggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb,
propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).
e. Penggunakan anestesia topikal pada jalan napas
Keunggulan dari setiap obat induksi dan teknik yang dilakukan belum
jelas bagi agen hipertensi. Meskipun dengan anestesi regional, penurunan
tekanan darah yang tajam justru lebih sering terjadi pada pasien hipertensi
dibandingkan dengan pasien normotensi.Barbiturat, benzodiazepin, propofol,
dan etomidare adalah induksi anestesi yang paling aman diberikan pada pasien
hipertensi.Pemberian ketamin merupakan kontraindikasi untuk tindakan
operasi karena dapat memicu terjadinya hipertensi namun hal ini dapat
dihilangkan dengan pemberian dosis kecil bersama dengan agen lainnya,
terutama benzodiazepin atau propofol.5,17

Rumatan
Anestesi bisa aman dilanjutkan dengan agen volatile (tunggal atau dengan
oksida nitrous), suatu teknik seimbang (oksida opioid + nitrous + relaksan otot),
atau sama sekali teknik intravena. Terlepas dari teknik pengobatan primer,
penambahan agen volatile atau vasodilator intravena umumnya memungkinkan
kontrol lebih memuaskan tekanan darah intraoperatif.vasodilatasi Depresi dan
miokard yang relatif cepat dan reversibel yang diberikan oleh agen volatile
dapat berpengaruhterhadap tekanan darah arteri. Oleh sebab itu, beberapa
21

dokter percaya bahwa pemberian opioid dan sufentanil dapat menekansaraf


otonom serta mengontrol tekanan darah.5,17

Pelumpuh otot
Dengan beberapa pengecualian seperti pankuronium, setiap pelumpuh otot
dapat digunakan secara rutin. Pankuronium memiliki efek memblokade syaraf
vagal dan melepaskan katekolamin sehingga dapat memperburuk keadaan
pasien hipertensi yang tidak terkontrol.Ketika pankuronium diberikan perlahan-
lahan dan sedikit demi sedikit akan terjadi peningkatan detak jantung serta
naiknya tekanan darah. Tetapi pankuronium berguna utnuk mengimbangi
kekuatan vagal berlebihan yang disebabkan oleh manipulasi opioid atau bedah.
Pemberian obat hipotensi seperti tubocurarine, merocurine, atracurium, atau
mungkin mivacurium dapat dijadikan pilihan untuk pasien hipertensi.5,
Penderita hipertensi dapat menampilkan respon berlebihan untuk kedua ranjau-
catechola endogen (dari inkubasi atau stimulasi bedah) dan agonis simpatik
eksogen diberikan. Jika seorang vasopresor diperlukan untuk mengobati
hipotensi berlebihan, dosis kecil agen langsung penuaan seperti fenilefrin (25-
50 Âμg) mungkin lebih baik untuk agen langsung. Namun demikian, dosis kecil
efedrin (5-10 mg) lebih tepat bila tinggi nada vagal. Kesabaran sympatholytics
diambil sebelum operasi mungkin menunjukkan respon jatuh ke vasopressors,
terutama efedrin.2,16

Manajemen Postoperatif
Hipertensi pascaoperasi harus diantisipasi terutama pada pasien dengan
hipertensi kurang terkontrol. Pemantauan tekanan darah harus terus dilanjutkan
baik di ruang pemulihan dan periode pasca operasi dini.Iskemia miokard dan
gagal jantung kongestif dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan
darah sehingga terjadi hematoma dan luka pada garis jahitan gangguan
pembuluh darah.5,16 Hipertensi pada periode pemulihan sering multi-faktorial
dan ditingkatkan dengan gangguan pernapasan, rasa sakit, volume overload, atau
distensi kandung kemih. Masalah tambahan harus diatasi dan pemberian obat
22

antihipertensi parenteral dapat dilakukan jika perlu.Pemberian nicardipine


melalui intravena berguna dalam mengontrol tekanan darah terutama jika
dicurigai iskemia miokard dan bronkospasme.Ketika pasien kembali
mendapatkan asupan oral, maka pengobatan preoperatif harus ulang diulang
kembali.8,16

BAB III
LAPORAN KASUS
23

3.1 Identitas Pasien


No. Rekam medik : 57.39.85
Tanggal masuk : 14 Juli 2018 Pukul 13.00 WIB
Nama pasien : Ngatijo Bin Dul Hasyim
Jenis kelamin : Laki-Laki
Umur : 51 Tahun
Agama : Islam
Alamat : RT 07 RW 04 LK II, Kelurahan Makarti Jaya

3.2 Anamnesis
Autoanamnesis dan alloanamnesis dengan Ibu pasien tanggal 18 Juli 2018
Pukul 16.00 WIB

Keluhan Utama
Mata kabur

Riwayat Perjalanan Penyakit


± 1 tahun yang lalu Os mengeluh mata sering kabur, penglihatan seperti
berawan dan buram pada mata sebelah kiri. Keluhan semakin lama semakin
parah sejak 1 bulan yang lalu, penglihatan seperti berkabut ada, keluhan mata
sering belekan dan berair disangkal, keluhan seperti melihat pelangi pada lampu
disangkal, keluhan nyeri pada mata disangkal. Keluhan sering pusing kepala,
sakit di belakang kepala ada. Os lalu datang ke poli mata RS Muhammadiyah
dan disarankan untuk melakukan tindakan operasi.

Riwayat Penyakit Dahulu


Hipertensi : Ada
DM : disangkal
Stroke : disangkal
Asthma : disangkal
24

Alergi : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Penyakit yang sama : disangkal
Hipertensi : disangkal
Diabetes : disangkal
Alergi : disangkal

Riwayat Pengobatan
-

AMPLE
A : Tidak ada riwayat alergi obat-obatan, makanan.
M : Tidak ada riwayat pengobatan
P : Riwayat DM (-), HT (+), asma (-), Maag (-).
L : Pasien puasa 6 jam sebelum tindakan operasi.
E : Pandangan mata kabur

3.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Fisik dilakukan pada tanggal 18 Juli 2018
Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda vital
TD : 130/90 mmHg
Nadi : 86 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,60C
Berat badan : 60 kg
Panjang badan : 160 cm
25

Airway
- Clear, tidak ada sumbatan jalan nafas.
- Suara nafas vesikuler, tidak ada suara nafas tambahan.
- Respiratory Rate (RR) : 25 kali/menit.
- Penilaian LEMON
L (Look) : Tidak terdapat kelaian.
E (Evaluation) : Jarak antara gigi seri pasien 3 jari.
Jarak tulang tiroid dengan dagu 3 jari.
M (mallampati Score) : Grade 1 (PUSH).
O (Obstruction) : Tidak terdapat sumbatan.
N (Neck Mobility) : Tidak ada keterbatasan gerakan kepala.
Breathing
- Suara napas vesikuler
- Tidak ada retraksi iga
- Tidak ada penggunaan otot-otot bantu pernapasan
Circulation
- Akral hangat, tidak pucat, kering.
- Heart Rate (HR) 92 kali/menit, tegangan volume kuat dan cepat.
- Capillarity refill time (CRT) < 2 detik
- Tekanan darah : 130/90 mmHg.
- Konjungtiva tidak anemis.
Disability : GCS 15 (E: 4 V: 5 M: 6).
Exposure : Pasien diselimuti

a. Kepala:
Bentuk : Normosefali, simetris
26

Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut


Mata : Perban pada mata kiri, lagoftalmus (-/-), palpebral
edema (-/-), CA(-), SI(-), pupil bulat isokor, diameter
3 mm, refleks cahaya (+) normal.
Hidung : Dismorfik (-), napas cuping hidung (-), sekret (-/-),
mimisan (-)
Mulut : Sianosis (-), mukosa mulut dan bibir kering (-)
Telinga : Dismorfik (-), cairan (-)
Gigi : Karies (-), gusi berdarah (-)
Lidah : Atrofi papil (-), hiperemis (-), selaput (-)
g. THT
Faring : Hiperemis (-), edema (-), selaput (-)
Tonsil : Simetris, ukuran T1-T1, uvula ditengah, hiperemis (-),
edema (-), selaput (-), detritus (-)
h. Leher
Inspeksi : Dismorfik (-), pembesaran KGB (-), parotitis (-)
Palpasi : Kaku kuduk (-), pergerakan luas, pembesaran KGB (-)
i. Thoraks
Inspeksi : Dismorfik (-), efloresensi primer dan sekunder (-),
simetris kanan = kiri saat statis dan dinamis,
pernapasan regular, frekuensi 20x/menit, retraksi (-/-),
iktus kordis tidak terlihat.
Palpasi : Nyeri tekan (-), thrill tidak teraba, stem fremitus
normal kiri = kanan
j. Paru
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru, nyeri ketok (-)
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
k. Jantung
Perkusi:
Batas kiri : ICS IV linea midclavicularis sinistra
Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
27

Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra


Auskultasi : HR 80x/menit, bunyi jantung I dan II normal, irama
reguler, murmur (-) gallop (-)
l. Abdomen
Inspeksi : Cembung, lemas, dismorfik (-), massa (-), efloresensi
primer dan sekunder (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Lemas, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien dan
ginjal tidak teraba
Perkusi : Timpani, nyeri ketuk (-)
m. Ekstremitas : Akral hangat (+), CRT < 2”

3.4 Pemeriksaan Penunjang


1. Darah rutin
2. Kimia Darah, Na, K

3.5 Diagnosis
Pre-operasi: Katarak senilis matur okuli sinistra + hipertensi grade 2
Post Operasi: Pseudofakia okuli sinistra
ASA II  Pasien dengan penyakit sistemik ringan-sedang

3.6 Penatalaksanaan
Rencana Penatalaksanaan : ECCE + IOL occuli sisnistra
Anestesi : GA-ET
ASA : II

3.7 Persiapan Operasi


Persiapan pasien
 Pasien dipuasakan 6 jam sebelum operasi.
 Pasien di instruksikan mandi sebeum menjalani tindakan operasi dan
menjaga oral hygiene serta berdoa.
28

 Pasien dipastikan tidak menggunakan gigi palsu dan gigi tidak ada goyang
 Memasang akses intravena (18 G) dengan menggunakan tranfusi set dan
memberikan pasien loading cairan kristaloid.
 Pasien diminta untuk melepaskan besi-besi yang yang ada atau melekat
ditubuh pasien.
 Pakaian pasien dilepas dan diganti dengan baju operasi.
 Pasien diposisikan tidur telentang.
 Di kamar operasi, pasien dipasang tensimeter dan saturasi oksigen. Evalusi
nadi, tekanan darah, dan saturasi oksigen. Pada pasien ini didapatkan nadi
pre anastesi 88x/i, tekanan darah 150/100 mmHg, dan saturasi oksigen
100%.
 Terapi Cairan
Cara rehidrasi:2
 Nilai status rehidrasi, banyak cairan yang diberikan (D) = derajat
dehidrasi (%) x BB x 1000 cc.

D = 5 % x 60 x 1000 cc
D= 3000 cc

 Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari tabel


dibawah:

Berat Badan Jumlah


- 10kg pertama x 4 mL/kg/jam
- 10kg berikutnya x 2 mL/kg/jam
- 10kg berikutnya x 1 mL/kg/jam
* 4 ml x 10 kg/jam = 40 ml/jam
* 2 ml x 10 kg/jam = 20 ml/jam
* 1 ml x 40 kg/jam = 40 ml/jam +
100 ml/jam

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan


mengalami defisit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung
29

dengan mengalirkan kebutuhan cairan maintenance dengan waktu


puasa. Pada pasien ini, telah diberikan cairan maintenance sebanyak
1000 cc cairan RL sebelum operasi. Berat badan pasien adalah 60 kg
dimana kebutuhan cairan maintenance adalah 100cc/jam dan pasien
ini dipuasakan selama 8 jam sebelum operasi, Jadi defisit cairan
pasien ini secara total adalah 800 cc.

Pemberian cairan

 6 jam I = ½ D + ¼ M atau
= ½ 3000 + ¼ 800
= 1500 + 200
= 1700 cc atau
8 jam I = ½ D + ½ M (menurut Guillot)
= ½ 3000 + ½ 800
= 1500 + 400
= 1900 cc
 18 jam II = ½ D + ¾ M
= ½ 3000 + ¾ 800
= 1500 +600
= 2100 atau
16 jam II = ½ D + ½ M (Menurut Guillot)
= ½ 3000 + ½ 800
= 1900 cc

Persiapan alat
 Mempersiapkan mesin anestesi, monitor, selang penghubung (connector),
face mask, tensimeter, oksimeter, memastikan selang gas O2 dan N2O
terhubung dengan sumber sentral, mengisi vaporizer sevoflurane dan
isoflurane.
 Mempersiapkan stetoskop, oropharynx tube (guedel) ukuran 8 cm, ETT
jenis kingking nomor 6,5; 7; 7,5 , spuit 20 cc, introducer, hipafix (plester) 2
lembar ukuran 15 x 1,5 cm dan 2 lembar ukuran 5x3 cm, konektor, dan
selang suction.
 Mempersiapkan spuit obat ukuran 3, 5, 10, dan 20 cc
 Alat infus kontinuis
30

Tahapan anastesi
Obat Anastesi umum
 Fentanyl 200 mcg
 Propofol 100 mg
 Atracurium 30 mg
 Oksigen 2L dan N2O 2L per menit
 Sevoflurane 0,8 Vol. %
 Tramadol 10 mg
 Ondansetron 8 mg
 Dexametason 10 mg

Tahapan anastesi
1. Premedikasi
- Dengan akses intravena berikan bolus ondansetron 8 mg, kemudian
dexamethasone 10 mg, serta tramadol 10 mg, lanjutkan dengan
pemberian bolus Fentanyl 200 mcg.
2. Oksigenasi
- Alirkan O2 2 L/menit, N2O 2L/menit, dan Sevoflurane 0,8 vol % melalui
face mask, dan alirkan kearah depan wajah pasien
3. Induksi
- Bolus propofol 100 mg, selanjutnya cek respon reflek bulu mata pasien
hingga dapat hasil respon (-), diikuti dengan pemberian bolus
atracurium 30 mg.
4. Ventilasi
- Kuasai patensi jalan nafas pasien, dengan memposisikan ekstensi
kepala, gunakan oropharynx tube untuk mencegah sumbatan lidah pada
jalan nafas pasien.
- Pasang face mask, dan berikan aliran O2 2 L/menit ditambah dengan
aliran N2O 2 L/menit dan aliran Sevoflurane 0,8 Vol. %. Pasien
diberikan ventilasi secara manual dengan frekuensi nafas 20x/menit
31

selama 3 menit. Setelah memastikan saturasi pasien baik, lanjutkan


dengan laringoskopi.
5. Laringoskopi
- Lepaskan Face mask dan goedel. Pasang alat laringoskop dengan blade,
pegang laringoskop dengan tangan kiri.
6. Intubasi
- Masukan laringoskop dari sisi mulut bagian kanan, geser kekiri, posisi
kan kepala pasien ekstensi, telusuri lidah pasien hingga pangkal lidah,
terlihat epiglottis, dibelakang epiglottis terlihat plica vokalis, lalu
masukan ETT (Endotracheal tube) no.7 dengan tangan kanan sampai
batas garis hitam pada ETT. Sambungkan ujung ETT dengan selang
mesin anestesi, pastikan ETT telah masuk ke trakea dengan melakukan
auskultasi pada bagian kanan dan kiri paru hingga terdapat suara nafas
yang simetris kiri dan kanan pada saat memompa balon dan pergerakan
dinding dada simetris. Bila telah simetris, fiksasi interna dengan
mengembangkan balon ETT dengan spuit 20 cc sebanyak 15 cc dengan
udara. Fiksasi eksterna ETT dengan plester yang telah disediakan. Tutup
mata pasien dengan plester, pasang goedel dan pindahkan dari
pernafasan Man spontan ke pengaturan IPPV pada ventilator dengan VT
450 ml/menit dengan frekuensi 12x/menit.

Maintenance
- Inhalasi O2 2 L/menit, N2O 2 L/menit, dan sevoflurane 0,8 vol %.

Ekstubasi
- Pastikan pasien bernafas spontan dan teratur.
- Melakukan suction slem pada airway pasien
- Menutup aliran sevoflurane dan N2O, dan meninggikan O2 sampai 8
L/menit
- Mengempiskan balon, cabut selang ETT, segara pasang face mask dan
pastikan airway lancar dengan triple maneuver. Pasien dipindahkan ke
ruang RR.
32

Recovery
- Cairan RL 500 ml dengan 20 tetes/menit.

Instruksi di RR
- Oksigenasi dengan O2 3 L/menit
- Awasi nadi, tekanan darah, frekuensi nafas, dan saturasi oksigen.
- Puasa sementara waktu sampai bising usus (+).
- Pasien boleh dipindahkan ke ruangan jika Aldrete Score > 8

3.8 Terapi
Postoperatif :
Non medikamentosa:
- Bedrest (tirah baring)
- Monitor tanda-tanda vital
Medikamentosa:
- IVFD RL gtt 20 x / menit
- Cefixime Cap 2 x 100 mg p.o
- Parasetamol tab 3 x 500 mg p.o
- Ranitidine tab 2 x 150 mg Tab p.o
- Metil prednisolon Tab 3 x 4 mg p.o
- Inmatrol (5ml) 6 x 1 tetes
- Cendo LFX 6 x 1 tetes
- Cendo Siloxan (5 ml) 4 x 1 tetes
- Sanbe tears 6 x 1 tetes

3.9 Prognosis
Dubia et bonam

BAB IV
PEMBAHASAN
33

± 1 tahun yang lalu Os mengeluh mata sering kabur, penglihatan seperti


berawan dan buram pada mata sebelah kiri. Keluhan semakin lama semakin
parah sejak 1 bulan yang lalu, penglihatan seperti berkabut ada, keluhan mata
sering belekan dan berair disangkal, keluhan seperti melihat pelangi pada lampu
disangkal, keluhan nyeri pada mata disangkal. Keluhan sering pusing kepala,
sakit di belakang kepala ada. Os lalu datang ke poli mata RS Muhammadiyah
dan disarankan untuk melakukan tindakan operasi. Os juga mengatakan
terdapat riwayat hipertensi sejak 1 tahun yang lalu, namun os tidak berobat.
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien didiagnosis
menderita katarak senilis matur sinistra, disertai dengan hipertensi pada saat
dilakukan pemeriksaan di rumah sakit. Penatalaksaan untuk katarak senilis
matur adalah pembedahan ECCE + IOL untuk anestesi pada operasi tersebut
menggunakan teknik anestasi umum dengan ET.
Sebelum dilakukan tindakan operasi, pasien dilakukan pemeriksaan
perioperatif. diketahui dar anamnesis pasien memiliki riwayat hipertensi namun
tidak mengkonsumsi obat antihipertensi. Pada saat dilakukan pemeriksaan
pertama dengan menggunakan tensimeter di poli mata didapatkan tensi 180/100
mmHg, lalu pemeriksaan kedua dilakukan saat pasien sudah masuk ke ruang
rawat inap didapatkan tekanan darah 130/90mmHg tanpa mengkonsumsi obat
antihipertensi, berdasarkan JNC 8 pasien menderita hipertensi grade A dengan
rekomendasi 2 yang seharusnya terapi antihipertensi mulai diberikan dengan
harapan terdapat penurunan tekanan diastolik < 90mmHg.
Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan
menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari,
yaitu:
 Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensi
 Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah
terjadi
 Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita
 Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi,
untuk prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.
34

Untuk mengetahui hal tersebut dilakukan anamnesis riwayat perjalanan


penyakit, pemeriksaan fisik, tes laboratorium dan pemeriksaan penunjang lain
seperti ekg. pendekatan medikal yang akan diberikan harus disesuaikan dengan
keadaan pasien, yaitu memperhatikan hipertensi yang dideritanya. Penilaian
kerusakan target organ dilakukan dengan pemeriksaan penunjang. Pada pasien
ini tidak didapatkan kerusakan pada organ jantung, ginjal, dan hepar. Penilaian
status volume cairan tubuh menyangkut apakah status hidrasi merupakan yang
sebenarnya atau suatu relative hipovolemia (berkaitan dengan pemakaian
diuretik dan vasodilator). Tujuan pengobatan hipertensi adalah mencegah
komplikasi akibat kardiovaskuler akibat tingginya tekanan darah, termasuk
penyakit arteri coroner, stroke, CHF, aneurisma erteri dan penyekit ginjal.
Diturunkan tekanan darah secara farmakologis akan menurunkan mortalitas
akibat penyakit jantung 21%, menurunkan kejadian stroke 38%, dan
menurunkan penyakit arteri koronaria sebesar 16%.
Penentuan status operasi yaitu ASA II karena pasien memiliki kelainan
sistemik sedang, yaitu riyawat hipertensi tak terkontrol. Menurut American
heart ascosiation (AHA) pada pasien dengan tekanan sistol >180 dan atau
diastole > 110 harus dikontrol sebelum dilakukan anestesi kecuali yang bersifat
urgensi.
Pada pasien ini sebelum diakukan tindakan operasi tanda tanda vital
awal adalah sebagai berikut nadi 88x/menit, suhu afebris, tensi 150/100mmHg,
saturasi oksigen 100%.
Pada saat premedikasi pasien mendapatkan obat obatan sebagai berikut :
• Ondansetron 8 mg (untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah)
• Fentanyl 200 mcg (opioid kuat untuk analgesik dan induksi pada dosis
tinggi)
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia
dengan tujuan untuk:
• Meredakan kecemasan dan ketakutan
• Memperlancar induksi anesthesia
• Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
35

• Meminimalkan jumlah obat anestesi


• Mengurangi mual-muntah pasca bedah
• Menciptakan amnesia
• Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi reflek yang membahayakan
Pada saat induksi anestesi, harus diperhatikan bahwa sering terjadi hipotensi
yang disebabkan oleh vasodilatasi perifer atau akibat depresi sirkulasi karena
afek anestesi, biasanya lebih sering pada spinal anestesi, namun saat intubasi
sering terjadi hipertensi yang disebabkan stimulus nyari dari laringoskopi dan
intubasi trakea. Untuk mencegah hipertensi tersebut, pasien diberikan
premedikasi obat golongan opioid, beta-adrenegik blok, atau mendalamkan gas
volatile selama 5-10 menit.
Pasien harus dipantau dan dipertahankan kestabilan hemodinamik selama
tindakan operasi. Intraoperative sampai post operatif tidak ada kelainan atau
penyulit yang bermakna, pada saat post operatif kondisi pasien cukup dalam
keadaan baik. Selesai operasi pasien dipindahkan ke Ruang Pemulihan
(Recovery Room), pasien segera diberi bantuan oksigenasi melalui Canul O2 3
lt/menit, melanjutkan pemberian cairan, dan diobservasi terus dipantau setiap
15 menit dinilai pernafasan, tekanan darah, dan nadi.
Instruksi Post Operasi :
• Pasien dirawat dengan infus RL 20 tpm

BAB V
KESIMPULAN

Kesimpulan pada laporan kasus ini adalah sebagai berikut:


36

1. Peningkatan tekanan darah intraoperatif tetap terjadi pada pasien dengan


riwayat hipertensi sebelum tindakan operasi tanpa memandang apakah
tekanan darah pasien terkendali atau tidak sebelum tindakan.
2. Amat penting untuk mengidentifikasi dan menelusuri penyebab hipertensi
pada pasien yang akan menjalani tindakan operasi.
3. Pada pasien yang memiliki riwayat hipertensi sebelumnya perlu
diperhatikan pemeriksaan tambahan yang lain yang dapat menunjang
diagnosis

DAFTAR PUSTAKA
1. Prevalensi Hipertensi. 2017. Diakses pada tanggal 19 Juli 2017.
(http://www.depkes.go.id/article/view/17051800002/sebagian-besar-
penderita-hipertensi-tidak-menyadarinya.html)
37

2. Lubis LMD. Penatalaksanaan terkini krisis hipertensi preoperatif. Cermin


Dunia Kedokteran. 2013;40(10):733-737.

3. Murray MJ. Perioperative hypertension: evaluation and management;


Available at:
(http://www.anesthesia.org.cn/asa2002/rcl.source/512Murray.pdf)

4. PERKI, 2015, Pedoman Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit


Kardiovaskular, edisi pert., Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia, Jakarta.

5. Morgan GE, Michail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with
cardiovascular disease. Clinical Anesthesiology. 3rd ed. New York:
McGraw-Hill; 2002.p.388-395.

6. Sylvia A.P, Lorraine M.W. Fisiologi Sistem Kardiovaskular. Dalam:


Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC,
2006 ; 530-6.

7. Peterson ED. JNC-8 New Guideline Finally. Duke Clinical Research


Institute. USA. 2014

8. Pescod D. Preoperative Management of Cardiovascular Disease.


Developing Anaesthesia Text Book.v.1.6: 2007.

9. Sylvia A.P, Lorraine M.W. Fisiologi Sistem Kardiovaskular. Dalam:


Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC,
2006 ; 530-6.

10. James PA, Oparil S, Carter BL, Cushman WC, Himmelfarb CD, Handler J,
dkk, 2014, 2014 evidence based guideline for the management of high blodd
pressure in adults: report from the panel member appointed to the eight joint
national committee (JNC 8), JAMA, 311 (5): 507-520)

11. Lam Murni BR Sagala. Perawatan Penderita Hipertensi di Rumah oleh


Keluarga Suku Batak dan Suku Jawa di Kelurahan Lau Cimba Kabanjahe
[internet]. c2011 Diakses tanggal 19 Juli 2018 p:10-13. Available from:
http://repository.usu.ac.id/
12. E.J. Corwin. Buku Saku Patofisiologi (Terjemahan) [monograph online].
Jakarta: EGC; 2001 Diakses tanggal 19 Juli 2018 p: 694. Available from:
http://books.google.com/books/

13. Franklin W. Lusby, David Zieve. Hypertensive Retinopathy [internet].


c2010. Diakses pada tanggal 19 Juli 2018.Available from:
(http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/.)
38

14. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo JL et
al. The eighth report of the joint national comimitte on prevention,
detection, evaluation, and treatment of high blood pressure. Diunduh dari
http://www.nhlbi.nih.gov/files/docs/guidel ines/jnc7full.pdf, 19 Juli 2018.

15. Pescod D. Preoperative Management of Cardiovascular Disease.


Developing Anaesthesia Text Book.v.1.6: 2007.

16. Kusmana D, Hipertensi: Definisi, prevalensi, farmakoterapi dan latihan


fisik, Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia - Pusat Jantung Nasional Harapan Kita
Jakarta, Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran Mei-Juni 2009 hal 161-167.
Dikutip dari www.kalbe.co.id.

17. Wiryana M. Manajemen Perioperatif pada Hipertensi. Bagian/SMF Ilmu


Anestesi dan Reanimasi FK unud/RSUP Sangla Denpasar. Bali. 2008. Vol
9

18. Podgoreanu MV, Mathew JP. Genomic Basis of Perioperative Medicine.


Clinical Anesthesia. 5th ed. Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins;
2006.p.480.

Anda mungkin juga menyukai