Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa
daya dukung lingkungan hidup adaah kemampuan lingkungan hidup untuk
mendukung penghidupan manusia dan mahluk hidup lain. Daya dukung
lingkungan merupakan batas teratas dari pertumbuhan suatu populasi saat
jumlah populasi tidak dapat didukung oleh sarana, sumber daya dan
lingkungan yang ada. Ecological Footprint (Jejak Ekologis) adalah salah satu
alat bantu yang dapat digunakan dalam mengukur penggunaan sumber daya
dan kemampuan dalam menampung limbah dari populasi manusia yang
dihubungkan dengan kemampuan lahan dan dinyatakan dalam hektar.
Selain itu Ecological footprint dapat diketahui dengan cara mengeksplorasi
terhadap sumber daya yang ada demi memenuhi kepentingan dalam kegiatan
manusia dimana memiliki kapasitas hunian dapat menentukan kapasitas daya
dukung dan daya tampungnya yang terbatas. Alat Ukur ini menjadi penting
dalam mengetahui apakah kegiatan konsumsi yang dilakukan dalam
menentukan bats daya dukung lingkungan atau sudah melewati batasnya.
Dengan kata lain masih dalam surplus ataukah sudah dalam defisit (penurunan
kualitas). Sehingga dengan mempertunjukan perhitungan jejak ekologi kepada
pengambil kebijakan, perusahaan, kelompok masyarakat, hingga individu,
diharapkan mereka dapat becermin, untuk segera melakukan suatu kebijakan.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:


1.Untuk mengetahui gambaran dan metode pengukuran jejak ekologis

1.3 Dasar Hukum

Adapun dasar hukum yang digunakan dalam makalah ini adalah :


1. Undang – Undang nomor 32 tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup

13
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
Daya dukung lingkungan adalah batas teratas dari pertumbuhan dari
populasi. Ketika jumlah populasi tidak dapat didukung oleh sarana, sumber daya
dan lingkungan yang ada maka perlu adanya daya dukung untuk menanggulangi
(Soerjani, 1987). Menurut Khana dalam KLH (2010) daya dukung lingkungan
diartikan sebagai kemampuan dalam mendapatkan produk di sutau daerah dari
sumber daya alam yang terbatas dengan mempertahankan jumlah serta kualitas
sumber daya. Berdasarkan penyataan diatas dapat disimpulkan bahwa daya
dukung lingkungan tidak diukur dari kemampuan lingkungan dan sumber daya alam
dalam mendukung kehidupan manusia, tetapi adanya kemampuan penerimaan
beban pencemaran dan bangunan.
Menurut Lenzen (2003) kebutuhan hidup manusia dari lingkungan dapat
dinyatakan dalam cakupan luas area yang diperlukan dalam mendukung kehidupan
manusia. Luas area yang mendukung kehidupan manusia disebut jejak ekologi
(ecological footprint). Untuk mengetahui tingkat keberlanjutan sumber daya alam
dan lingkungan, keperluan hidup manusia kemudian dibandingkan dengan luas
aktual lahan produktif. Perbandingan antara jejak ekologi dengan luas aktual lahan
produktif kemudian dihitung sebagai perbandingan antara lahan yang tersedia
dengan lahan yang dibutuhkan.
Daya dukung (carrying capacity) mengandung pengertian kemampuan
lingkungan di suatu tempat dalam menunjang kehidupan makhluk hidup secara
optimal dalam periode waktu yang panjang. Definisi daya dukung / carrying capacity
yang lainnya yaitu :
a. Jumlah makhluk hidup secara khusus secara maksimal dan seimbang
dapat didukung oleh suatu lingkungan.
b. Jumlah penduduk maksimal dapat didukung oleh suatu lingkungan tanpa
merusak lingkungan tersebut.
c. Jumlah makhluk hidup yang dapat bertahan pada suatu lingkungan dalam
periode jangka panjang tanpa merugikan ataupun membahayakan
lingkungan.
d. Jumlah populasi maksimal dari makhluk hidup yang dapat didukung oleh
suatu lingkungan tanpa merusak lingkungan.
e. Rata – rata kepadatan populasi dari suatu kelompok manusia dibawah
angka yang diperkirakan akan meningkat dan diatas angka yang
diperkirakan akan menurun disebabkan oleh kekurangan sumber daya.
Kapasitas pembawa alam akan berbeda setiap kelompok manusia dalam

13
sebuah lingkungan tempat tinggal yang disebabkan oleh jenis makanan,
tempat tinggal serta kondisi sosial dari masing – masing lingkungan
tersebut.

Menurut Wackernagel & Rees (1996), Ecological Footprint merupakan suatu


sistem yang digunakan untuk mengukur penggunaan tanah dan air yang diperlukan
oleh manusia dalam menghasilkan sumber daya yang dihabiskan dan menyerap
limbah yang dihasilkan. Metode ini dapat digunakan sebagai indikator keberhasilan
dalam mendukung keberlanjutan kehidupan. Alat ukur ini menjadi penting dalam
konteks untuk mengetahui jenis kegiatan konsumsi yang dilakukan masyarakat
apakah mesih dalam batas daya dukung lingkungan atau sudah melampaui batas
(penurunan kualitas) ekologi.

2.2 Konsep Ecological Footprint


Konsep Ecological Footprint pertama kali ditemukan oleh William Rees dan
Mathis Wackernagel pada tahun 1996. Konsep ini mengemukakan tentang cara
mengurangi dampak penduduk terhadap alam. Ecological Footprint menjadi isu
dunia yang penting.
Menurut McDonald dan Patterson (2003) terdapat dua cara pandang dalam
memahami ecological yaitu :
1. Ecological Footprint mengukur jumlah biaya ekologis dari seluruh
pemakaian barang dan jasa dari penduduk. Penduduk tidak hanya
dipandang sebagai komponen yang memerlukan lahan tetapi secara tidak
langsung lahan turut mewujudkan adanya barang dan jasa dari yang
dikonsumsi masyarakat. Oleh karena itu pandangan ini digunakan dalam
membuat biaya ekologi nyata dari kegiatan penduduk.
2. Ecological Footprint dianggap sebagai indikator keberlanjutan yaitu carrying
capacity. Carrying capasity dalam ekologi merupakan total populasi
maksimum yang dapat didukung oleh area lahan tertentu. Dengan
menggunakan cara pandang ini Wackernagel dan Rees (1996) menyatakan
bahwa kondisi ekologi di sebagian negara maju sudah tidak sustainable
karena jejak ekologi melampaui daya biokapsitasnya. Sebesar 34% jejak
ekologi bagi manusia telah melampaui batas biokapasitas pada tingkat
global

Berdasarkan pendapat diatas bahwa konsep Ecological Footprint adalah


sebuah konsep yang mencermati adanya pengaruh manusia terhadap cadangan
dan daya dukung bumi. Adanya pemahaman jejak ekologi memungkinkan dapat

13
melihat seberapa besar kekayaan alam (renewable) yang masih tersisa dan
seberapa besar pengaruh konsumsi manusia terhadap ketersediannya. Jejak
ekologi merupakan sebuah perangkat analisis dalam mengukur serta
mengomunikasikan dampak pemanfaatan sumber daya pada lingkungan.
Dalam jejak ekologi terdapat komponen – kompenen yang perlu dianalisis
sehingga dapat diketahui kebijakan apa yang akan dilakukan. Adapun kompenen
tersebut yaitu :
1. Penggunaan energi lansung
2. Material dan limbah
3. Pangan
4. Transport personal
5. Air
6. Bangunan

Berdasarkan Undang – Undang nomor 32 tahun 2009 tentang daya dukung


bahwa daya dukung sebagai kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung
kehidupan manusia dan makhluk lain serta keseimbangan antar keduanya. Dapat
disimpulkan bahwa daya dukung lingkungan hidup merupakan kemampuan
lingkungan dari segi kondisi, kuantitas, kualitas dan distribusinya guna mendukung
kehidupan manusia. Jika dimanfaatkan sesuai kebutuhan maka kemungkinan untuk
tetap terjaga dan jika dieksploitasi maka kemungkinan akan mengganggu
lingkungan tersebut. oleh karena itu agar kebutuhan manusia dan makhluk lainnya
dapat terpenuhi maka perluadanya pelestarian fungsi ekosistem, keanekaragaman
hayati sehingga dapat menyelamatkan dari bencana. Dalam menjaga fungsi
tersebut maka diperlukan aturan dalam pengolahannya. Berikut bentuk skema
pengolaan lingkungan :

Gambar 2.1 Tahapan Pengolahan Lingkugan Hidup

13
Sumber: Undang – Undang nomor 32 (2009)

Oleh karena itu penentuan daya dukung lingkungan hidup dilakukan dengan
berdasarkan tiga pendekatan meliputi :
1. Kemampuan lahan dalam alokasi pemanfaatan ruang
2. Perbandingan antara ketersediaan dengan kebutuhan lahan
3. Perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan air

Agar pemanfaatan ruang di suatu kawasan sesuai dengan kapasitas


lingkungan dan sumber daya maka perlu adanya pengalokasian pemanfaatan
ruang dengan mempertimbangkan kemampuan lahan.

Perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan lahan dan air di suatu


kawasan dapat menentukan keadaaan naik atau turun lahan dan air dalam
mendukung kegiatan pemanfaatan ruang. Hal ini menjelaskan bagaimana cara
mengetahui alokasi pemanfaatan ruang yang tepat berdasarkan dengan klsifikasi
kemampuan lahan bagi pertanian yang dikategorikan dalam beberapa kelas
sehingga dapat diidentifikasi macam – macam penggunaanya.

Gambar 2.2 Konsep Daya Dukung Lingkungan


Sumber : Khanna, P. (1999)

2.3 Macam dan Jenis Daya Dukung

Menurut Shelby dan Heberlein (1998) konsep daya dukung dibagi menjadi 4
klasifikasi primer oleh sejumlah kelompok peneliti. Adapun klasifikasi tersebut yaitu :

13
1. Daya dukung ekologis yang berdasarkan pada dampak yang didukung oleh
suatu ekosistem tertentu seperti perhitungan dampak dari adanya air, tanah,
vegetasi maupun satwa liar
2. Daya dukung lingkungan sosial menjelaskan jumlah maksimum orang yang
menggunakan area tertentu tanpa mengurangi kenyamanan bagi diri
mereka sendiri dan orang lain. kapasitas sosial sering kali dianggap sebagai
jenis daya dukung yang paling sulit untuk dihitung kapasitasnya. Hal ini
disebakan karena terdapat kesulitan dalam mengembangkan standar
evaluatif
3. Daya dukung lingkungan fisik yang mengacu pada jumlah orang atau
kelompok tertentu yang dapat didukung dalam lahan tertentu. Jenis
kapasitas fisik sering memerlukan batas terpisah dalam luas lahan yang
dianggap lebih rentan.
4. Daya dukung fasilitas yang menggambarkan keterbatasan fasilitas fisik
seperti ukuran tempat parkir, jumlah toilet atau rasio antara pengunjung
dengan staf.

2.4 Perilaku Konsumen


Manusia secara keseluruhan menjadi penyebab atas kerusakan lingkungan
dan perubahan iklim. Zaman sekarang tujuan yang dilakukan oleh para pembela
lingkungan yaitu bagaimana sesegera mungkin orang dapat mengubah pola gaya
hidup dan perilakunya.
Terdapat empat faktor yang dapat menentukan perubahan bagi perilaku
manusia baik secara individu maupun kolektif yaitu :
1. Nilai – nilai moral dan budaya didalamnya termasuk keagamaan yang
mengikat. Seseorang akan mendorong untuk tidak cenderung merusak atau
melakukan sesuatu yang berlebih – lebihan. Misalnya agama sangat
menganjurkan manusia tidak berlaku boros dan bertindak mubazir. Di sisi
lain, budaya dapat mendorong ataupun menahan seseorang untuk
konsumtif dan hedonis.
2. Pendidikan diharapkan dapat mampu menigkatkan kapasitas seseorang
baik individu maupun kolektif dalam menyikapi serta mengubah diri dalam
mendukung gaya hidup yang lebih ramah bagi lingkungan
3. Perundang – undangan atau aturan dan tata kerja yang jelas dapat
mendorong manusia untuk tidak akan mengeksploitasi sumber daya alam
secara berlebihan. Kealpaan dalam menerapkan sistem legal ini sangat
krusial dan pernah terjadi di Indonesia sehingga tidak ada ketentuan dan
pembatasan kepemilikan hak pengusahaan hutan. Seseorang taipan pernah

13
diperbolehkan menguasai konsesi hingga 5 juta Ha dan berhasil
mempercepat pengurasan sumber daya kemudian menimbulkan kerugian
negara.
4. Harga pasar yang mendorong masyarakat untuk bergerak mengeksploitasi
sumber daya guna mendapatkan keuntungan sebanyak – banyaknya. Ketika
crude palm oil meninggi, animo dan nafsu parainvestor serta pelaku bisnis
akan lebih agresif guna membuka perkebunan baru untuk kelapa sawit
sehingga mereka perlu menggusur hutan alam yang memiliki nilai ekonomis
dan ekologi dalam jangka panjang serta dapat bermanfaat di kehidupan
mendatang.

Sesungguhnya pasar memberikan peluang dan mendorong perilaku konsumen


agar bertindak ramah lingkungan. Gerakan ini dilakukan oleh Wal Mart misalnya
dengan menjual bola listrik hemat energi. Retailer yang memiliki 100 juta pelanggan
mendorong konsumen untuk mengganti bola lampu berkekuatan 60 watt dengan
lampu flourescent yang berkekuatan 13 watt karena daya terang yang sama.
Walaupun lampu ini lebih mahal antara Rp. 20 – 30 ribu per buah, bola ini mampu
bertahan 8 samapi 12 lebih lama dibandingkan dengan lampu biasa. Lampu hemat
energi jika dihitung mampu menghemat setengah ton gas rumah kaca yang
dilepaskan ke udara. Perhitungan lebih lanjut yaitu perubahan perilaku konsumen
dapat mengefisiendikan 10 juta ton batu bara yang dibakar dari pembangkit listrik
serta mencegah 20,5 juta ton gas rumah kaca yang terbuang atau sama dengan
pencegahan penggunaan 700 ribu mobil yang membuang gas rumah kaca ke
udara.

Menurut venetoulis dan thalberth (2005) dalam perhitungan ekologi footprint


selalu berdasarkan dengan lima asumsi meliputi :
1. Memungkinkan menelusuri jejak seluruh sumber daya yang dikonsumsi
orang dan limbah yang dihasilkan. Informasi ini dapat ditemukan di kantor
statistik
2. Hampir semua sumber daya dan aliran limbah dapat di konfersi menjadi
daerah produktif biologis yang di[erlukan untuk pemeliharaan tersebut.
3. Perbedaan area dapat diekspresikan dalam satu unit yang sama disebut
dengan skala proporsional produktivitas biomassa.
4. Sesudah setiap ukuran lahan distandarisasikan yang menunjukkan jumlah
yang sama dari produktivitas biomassa sehingga dapat ditambah dengan
jumlah permintaan yang ditunjuk oleh manusia

13
5. Area bagi jumlah dalam permintaan manusia dapat dibandingkan dengan
jasa ekologis yang ditawarkan alam maka saat itu dapat menaksirkan area
produktif di atas planet.

13
BAB III
STUDI KASUS
Berdasarkan Pengintegrasian Ecological Footprint Dan Identifikasi Bencana
Ekologi Banjir Akibat Perubahan Iklim di Sumatera Selatan (Hakim, 2014)
menyatakan bahwa penataan ruang dan penyediaan lahan belum dilakukan
pengintegrasian jejak ekologi atau ecological footprint. Hal ini dapat dilihat dari
penyediaan lahan yang masih kurang baik dalam memperhitungkan kemampuan
lahan dalam menyediakan kebutuhan bagi persedian makanan untuk populasi yang
ada di lokasi setempat yaitu daerah Sumatera Selatan. Bukan hanya lemah
dibagian perhitungan kemampuan lahan, tetapi untuk bagian memperhitungkan
ruang bagi pembuangan limbah dari konsumsi oleh populasi disekitar dan masih
rendahnya wilayah yang ditentukan sebagai wilayah lindung serta kawasan
budidaya menjadi penyangga keberlanjutan lingkungan yang diperuntukan untuk
tempat kehidupan
Wilayah yang dianggap sangat berpotensi mengalami bencana ekologi
banjir pada Provinsi Sumatera Selatan meliputi Kabupaten Lahat, Kabupaten Ogan
Ilir, Kabupaten Muba dan kota Palembang. Kabupaten Lahat, Ogan Ilir dan Muba
berada pada kondisi rawan banjir menengah, sedangkan di Kota Palembang
termasuk kondisi daerah rawan banjir tinggi. Kota Palembang berada di tingkat
resiko banjir yang sangat tinggi disekitar Sungai Musi karena itulah diperlukan
upaya penanggulangan banjir yang lebih diprioritaskan daripada daerah rawa banjir
lainnya di wilayah Sumantra Selatan.
Kota Palembang yang rentan mengalami banjir terbagi menjadi 6 kecamatan
yaitu Kecamatan Ilir Barat I, Ilir Barat II, Ilir Timur I, Ilir Timur II, Seberang Ulu I, dan
Seberang Ulu II. Berdasarkan data yang diperoleh melalui Badan Penanggulangan
Bencana Daerah, daerah rawan banjir menyebar hampir di semua Kota Palembang
dengan tingkat resiko yang tinggi. Sedangkan untuk di kabupaten lainnya seperti
diluar kota Palembang, kecamatan yang berpotensi mengalami banjir dengan
tingkat menengah adalah Kecamatan Babat toman, Banding Agung, Gunung
Megang, Indralaya, Jarai, Lahat, Ubi, Muara Kuang, Muara Lakitan dan Pemulutan.
Berdasarkan kondisi geografis, daerah rawan banjir dengan tingkat menengah
adalah daerah yang dilalui oleh sungai atau DAS (Daerah Aliran Sungai). Dilihat
dari hal tersebut dapat diketahui penyebab utama dari bencana banjir ini adalah
naiknya permukaan air laut yang berimbas pada peningkatan muka air sungai
sehingga bila terjadi hujan air sungai akan meluap kedaratan dan menyebabkan
terjadi bencana ekologi banjir. Hal ini menunjukkan perubahan iklim telah
berpengaruh terhadap lingkungan sekitar DAS atau sungai dan menyebabkan

13
potensi banjir yang lebih cepat dari sebelumnya. Masalah yang dihadapi oleh
Badan Penanggulangan Bencana Banjir dalam mengatasi banjir di Provinsi
Sumatera Selatan adalah sebagai berikut :
a. Masyarakat kurang mengetahui faktor – faktor yang menyebabkan bencana
b. Memberikan pengenalan dan pemantauan resiko bencana kepada
masyarakat sehingga mengetahui cara menghindari terjadinya bencana
c. Mengantisipasi kemungkinan terjadi bencana.
d. Terjalinnya komunikasi yang baik antara para pemangku penanggulangan
bencana di Kabupaten Muara Enim.
e. Membangun kesepahaman bagaimana mengatasi masalah banjir terutama
dampak negatif yang ditimbulkan dapat mempengaruhi terhadap kondisi
sosial, ekologis, kesehatan, ekonomi maupun politik.
f. Menginventarisasi kekuatan terutama tentang sumber daya yang dimiliki
setiap pihak yang terkait yaitu personil, anggaran dan sarana prasarana.
g. Melakukan pendekatan secara holistik, terpadu dan sinergi kepada
masyarakat dalam upaya peningkatan kesiapsiagaan.
h. Membuat rencana aksi secara bersama sehingga dapat saling mengisi dan
melengkapi.

Dari pembahasan diatas dilakukan berdasarkan metode penelitian yang


digunakan yaitu metode survei (Nazir, 1999 dalam Zah 2011), dengan menjelaskan
bahwa metode penelitian survei adalah penyelidikan yang diadakan untuk
memperoleh fakta dan gejala yang ada serta mencari keterangan secara faktual,
baik tentang institusi sosial, ekonomi atau politik dari suatu kelompok atau suatu
daerah. Data sekunder yang dibutuhkan diperoleh dari penerapan metode
penelusuran informasi yang terdokumentasi di berbagai lembaga pemerintah
maupun swasta yang diperoleh dari instansi-instansi seperti Bappeda Provinsi
Bagian Lingkungan Hidup, Pemerintah Daerah Sumatera Selatan, Badan Pusat
Statistik, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pendapatan Daerah, Dinas Kehutanan
serta instansi lainnya baik tingkat provinsi maupun tingkat pusat. Data sekunder
juga diperoleh melalui studi pustaka dan literatur serta sumber data lainnya yang
menunjang penelitian ini. Perencanaan Pembangunan wilayah dalam mewujudkan
lingkungan yang berkelanjutan dijawab dengan melakukan identifikasi dan
menganalisis secara kualitatif komponen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Sumatera Selatan dengan melakukan wawancara dan pengamatan langsung,
kemudian diolah secara tabulasi dan diuraikan secara deskriftif.

13
BAB IV
KESIMPULAN
Dalam pengertiannya ecological footprint dapat diartikan sebagai segala
sesuatu yang mempengaruhi lingkungan sekitar berdasarkan jejak ekologi. Jejak
ekologi merupakan daya dukung lingkungan berdasarkan kemampuan dan unsur-
unsur yang terkandung pada lingkungan tersebut. Pada bagian bab III telah
dijelaskan berbagai macam hal yang menyebabkan beberapa kota yang ada di
Provinsi Sumatera Selatan yang mengalami bencana banjir. Mulai dari daya dukung
wilayah tersebut yang merupakan kawasan DAS (Daerah Aliran Sungai) Musi dan
beberapa kawasan yang berkontur landai sehingga menyebabkan beberapa
kawasan Provinsi Sumatera Selatan yang meliputi Kota Palembang, Kabupaten
Lahat, Kabupaten Ogan Ilir, dan Kabupaten Muba rawan akan bencana banjir.
Dari penjelasan diatas telah terbukti bahwa daya dukung berdasarkan jejak
ekologi (ecological footprint) sangat mempengaruhi keadaan dan daya lingkungan
dari suatu wilayah. Adanya pemahaman konsep terkait daya dukung jejak ekologi
membuat masyarakat paham akan pentingnya menjaga kelestarian alam. Oleh
karena itu merupakan suatu kepentingan bersama dalam menjaga lingkungan dan
menjaga keseimbangan ekosistem sehingga terciptanya lingkungan yang aman,
nyaman serta lestari.

13
DAFTAR PUSTAKA

Undang – Undang nomor 32 tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup

Khanna, P., P.R. Babu and M.S. George. 1999. Carrying capacity as a basis for
sustainable development: A Case Study of National Capital Region in India.
Progress in Planning (52): 101-163.

Lenzen, M., dan Murray, S.A., 2003. A modified ecological footprint method and its
application to Australia. Ecological Economics, 37(2), pp. 229– 255.

Shelby, B. and Heberlein, T.A.(1984) A Conceptual Framework for Carrying Capacity


Determination. Leisure Sciences, 6, 433-451.

Soerjani dkk. 1987. Lingkungan : Sumber Daya Alam dan Kependudukan dala
Pembangunan. Jakarta : Universitas Indonesia

Venetoulis, Jason and Talberth, John. 2006. “Net Primary Productivity as the Basis
for Ecological Footprint Analysis. Submitted, Jan. 2006

Wackernagel, Mathis & Rees, William E, (1996). Our Ecological Footprint: Reducing
Human Impact On The Earth. Canada: New Society Publishers

13

Anda mungkin juga menyukai