Relevansi
dan
Titik
Temu
Filsafat
Ilmu
Pengetahuan
Bagi
Bidang
Desain,
Yan
Yan
Sunarya
-‐-‐-‐
1
Kuno.
“Walaupun
dalam
perkembangannya
terjadi
proses
simbiosis
dan
inkulturasi
dengan
dinamika
besar
kebudayaan
kuat
lainnya.
Namun
hakikatnya,
proses
terbentuknya
kebudayaan
modern,
tidak
bisa
terlepas
dari
dasar-‐dasar
logika
yang
telah
berkembang
sejak
zaman
Yunani
Kuno”
(Sachari,
1995).
Yunani
Kuno
dikenal
sebagai
peletak
sumber
kelahiran
pemikir-‐pemikir
besar
yang
membentuk
pikiran
Barat
modern.
Alam
pikiran
Yunani
kemudian
dikenal
sebagai
‘dunia
filsafat’
(philosophia)
atau
dalam
pandangan
modern
disebut
sebagai
dunia
keberpikiran
yang
“memiliki
kebijaksanaan
dan
keluhungan”
(Bertens,
1981).
Ada
tiga
faktor
utama
yang
mendasari
terbentuknya
alam
filsafat
Yunani,
yakni
:
a. Dunia
mitologi;
tumbuh
dalam
masyarakat
Yunani,
sebagai
wahana
pemberi
jawaban
atas
pertanyaan
yang
hidup
dalam
sanubari
manusia
sepanjang
masa.
Misal:
Siapa
pencipta
alam
semesta?
Darimana
asal
diri
kita?
dst.
Bangsa
Yunani
kemudian
mencoba
menyusunnya
secara
sistematis
dan
berusaha
menghilangkan
mitos-‐mitos
lain
yang
bertentangan.
Kenyataan
itu,
oleh
para
pemikir
modern
dianggap
sebagai
cerminan
sifat
rasional
bangsa
Yunani;
b. Kesusastraan;
sebagian
besar
berisi
tentang
ihwal
yang
berhubungan
dengan
legenda,
amsal,
dongeng,
mitos,
teka-‐teki,
syair,
dst.,
yang
juga
banyak
digunakan
sebagai
alat
pendidikan;
c. Ilmu
pengetahuan;
bangsa
ini
mampu
mengembangkan
ilmu
pengetahuan
dengan
tingkat
keilmiahan
tinggi.
Walaupun
untuk
itu,
mereka
menyadur
dari
bangsa
Mesir
untuk
bidang
ilmu
hitung
dan
ukur
(Geometria).
Ilmu
pengetahuan
dan
filsafat
tumbuh
di
polis-‐polis,
disebabkan
rakyat
bebas
berpendapat
dan
menciptakan
iklim
yang
membentuk
sikap
ilmiah.
Hal
lain
yang
menyebabkan
dunia
gagas
Yunani
tumbuh,
disebabkan
oleh:
a. Berkembangnya
logos
(rasio,
bahasa,
pikiran,
gagas);
bukan
sekadar
bahasa
keramat
keagamaan,
sebagaimana
dijumpai
pada
dunia
kepercayaan
primitif,
melainkan
berperan
sebagai
alat
komunikasi
politik,
diskusi,
pengadilan,
pidato,
dst.
Pada
tahap
berikut
logos
berkembang/berhasil
membangun
“ilmu
retorika”
(Wuwur,
1995),
logika
sistematis,
dan
“sofisme”
(Hadiwijono,
1994).
b. Keterbukaan;
dalam
semua
aspek
kehidupan
sosial
dan
pengutamaan
kepentingan
negara
daripada
pribadi,
menumbuhkan
sikap
yang
positif
di
kalangan
masyarakat;
terbuka
terhadap
kritik;
serta
lintas
informasi
kala
itu
telah
terbina
baik.
Hal
itulah
yang
menciptakan
suasana
dan
sikap
ilmiah;
c. Kesederajatan;
setiap
warga
berhak
mengambil
bagian
dalam
urusan
kenegaraan.
Hal
itu
yang
memicu
pengembangan
bakat
dan
profesionalisme.
Suasana
di
atas,
dianggap
menumbuhkan
kegairahan
dunia
pikir
(filsafat)
menuju
kepada
suatu
yang
rasional,
ilmiah,
demokratis,
bebas,
dan
berkembang
seluas-‐
luasnya
menurut
pandangan
manusia
modern.
Relevansi
dan
Titik
Temu
Filsafat
Ilmu
Pengetahuan
Bagi
Bidang
Desain,
Yan
Yan
Sunarya
-‐-‐-‐
2
Kembali
pada
hal
logika,
Aristoteles
dianggap
tokoh
yang
paling
sistematis
dalam
menguraikannya,
kemudian
dikenal
dengan
istilah
‘analitika’
untuk
argumentasi
yang
diyakini
kebenarannya;
dan
‘dialektika’
untuk
argumentasi
berupa
hipotesis
yang
belum
diyakini
kebenarannya;
keduanya
ini,
kemudian
dikenal
sebagai
logika.
Aristoteles
membagi
logika
atas:
(1)
mempertimbangkan,
(2)
menarik
kesimpulan,
dan
(3)
membuktikan
argumentasinya.
Dari
semua
itu,
substansilah
yang
menjadi
intinya;
sedangkan
yang
lain
ialah
unsur
penyebut,
pelengkap,
atau
penentu.
Pernyataan
kita
dapat
dianggap
benar
jika
isinya
sepadan
dengan
kenyataan;
sedangkan
suatu
pernyataan
dianggap
salah,
jika
terjadi
pemisahan
antara
isinya
dengan
keadaan
objektif
(Hatta,
1989).
Menurut
Aristoteles,
pengetahuan
baru
dapat
dihasilkan
melalui
dua
jalan,
yaitu
:
a. Induksi;
pengetahuan
yang
bertolak
dari
kasus
khusus
yang
mengarah
kepada
pengetahuan
yang
bersifat
umum.
Proses
ini
dilakukan
dengan
cara
mengkaji
beberapa
contoh
soal.
Dan
atas
dasar
itu
dipakai
dasar
untuk
menyimpulkan
hukum
yang
bersifat
umum,
termasuk
kasus
yang
belum
diselidiki.
Contoh
dalam
disertasi
bidang
ilmu
desain,
Imam
Santosa
(2006),
“Kajian
Estetika
dan
Unsur
Pembentuknya
pada
Keraton
Surakarta”,
sbb
:
“.
.
.
Mengingat
perannya
tersebut,
maka
timbul
sejumlah
pertanyaan
pokok
dan
dugaan
terhadap
estetika
desain
Keraton
Surakarta
sebagai
berikut
:
1. Bagaimana
proses
ide-‐ide,
gagasan-‐gagasan,
nilai-‐nilai,
norma-‐norma,
konsep-‐konsep
serta
peraturan-‐peraturan
dalam
sistem
budaya
Jawa
melandasi
perwujudan
visual
desain
Keraton
Surakarta
(reperesentasi)?
2. Sejauhmana
fungsi-‐fungsi
pragmatik
dan
utilitarian
melandasi
perwujudan
visual
desain
Keraton
Surakarta
(forms
follows
function)?
3. Apa
peran
dan
makna
estetik
serta
posisi
desain
bagi
Keraton
Surakarta
khususnya
serta
budaya
Jawa
pada
umumnya
(estetika)?
Dari
pertanyaan
(1),
(2),
(3)
bisa
dikategorikan
menjadi
2
pertanyaan
utama
:
1. Bagaimanakah
kedudukan
dan
peran
estetika
pada
desain
Keraton
Surakarta
dalam
konteks
representasi
atas
sejumlah
nilai,
norma
dan
aturan
Jawa
serta
Keraton
Surakarta
sebagai
artefak
kebudayaan
Jawa?
2. Bagaimanakah
budaya
Jawa
mengalami
proses
pembelajaran
budaya
(enkulturasi)
dari
budaya-‐budaya
asing,
dan
sejauhmana
budaya-‐budaya
asing
tersebut
turut
membentuk
ciri
visual
pada
desain
Keraton
Surakarta?
Atas
dasar
ke
dua
pertanyaan
di
atas,
maka
hipotesis
yang
diajukan
sbb
:
1. Budaya
Keraton
Surakarta,
mempunyai
metoda
khusus
untuk
merefleksikan
sejumlah
nilai,
norma
dan
aturan
ke
dalam
wujud
visual
desainnya;
2. Berdasarkan
faktor-‐faktor
politik,
sosial
dan
ekonomi,
budaya
Keraton
mengalami
proses
enkulturasi
dari
budaya
asing.
Proses
tersebut
turut
memberikan
ciri
visual
khusus
terhadap
wujud
desain
Keraton
Surakarta”.
Relevansi
dan
Titik
Temu
Filsafat
Ilmu
Pengetahuan
Bagi
Bidang
Desain,
Yan
Yan
Sunarya
-‐-‐-‐
3
“Penalaran
semacam
itu,
memungkinkan
disusunnya
pengetahuan
secara
sistematis,
mengarah
kepada
pernyataan
yang
semakin
fundamental”
(Suriasumantri,
1996).
b. Deduksi;
pengetahuan
bertolak
dari
dua
kebenaran
yang
tak
disangsikan,
dan
atas
dasar
itu
kemudian
menyimpulkan
kebenaran
ketiga.
Jika
induksi
amat
bergantung
pada
pengetahuan
inderawi,
maka
nalar
dalam
proses
deduksi
sama
sekali
lepas
dari
pengetahuan
inderawi
(Bertens,
1981).
Kumpulan
hukum
yang
digunakan
sebagai
eksplanans
sifatnya
umum
dari
eksplanadum;
sedangkan
eksplanadum
adalah
akibat
logis
dari
premis
penjelasan
itu
(Andi
Hakim,
1988).
Deduksi
merupakan
pandangan
umum
yang
diakui
kebenarannya
dalam
menyimpulkan
kebenaran
khusus.
Cara
Aristoteles
mempraktekkan
berpikir
deduksi,
dikenal
sebagai
silogisme,
merupakan
argumentasi
yang
terdiri
atas
tiga
putusan
yang
dibedakan
atas
dua
unsur:
(1)
hal
tentang
apa,
bahwa
sesuatu
diungkap
(subjek)
dan
(2)
apa
yang
akan
diungkap
(predikat).
Contoh
dalam
disertasi
bidang
ilmu
desain,
Agus
Sachari
(2004),
“Peran
Nilai
Estetis
Modern
Dalam
Perkembangan
Desain
Abad
ke-‐20
di
Indonesia”,
sbb
:
“.
.
.
Dalam
mengamati
perkembangan
desain
selama
abad
ke-‐20
dijumpai
sejumlah
penggunaan
istilah
dengan
pengertian
yang
tumpang
tindih,
pengertian
tersebut
dalam
rentang
historis
mengalami
pergeseran
makna
dikarenakan
penggunaan
istilah
desain
yang
beragam,
maka
istilah
desain
yang
dirujuk
sebagai
pedoman
dasar
adalah
pengertian
desain
secara
umum
(Oxford
Dictionary)
sebagai
berikut
:
Desain
:
reka
bentuk,
reka
rupa,
tatarupa,
perupaan,
anggitan,
rancangan,
bangunan,
rekayasa,
perencanaan,
kerangka,
sketsa
ide,
gambar,
busana,
keterampilan,
kerajinan,
kriya,
teknik
presentasi,
penggayaan,
komunikasi
rupa,
denah,
layout,
ruang,
bangunan,
benda
yang
bagus,
seni
rupa,
ilustrasi,
susunan
rupa,
bentuk,
komposisi
warna,
ukiran,
motif,
ornamen,
karya
grafis,
dekorasi
(kata
benda);
menata,
mengkomposisi,
merancang,
merencana,
menghias,
memadu,
menyusun,
mencipta,
berkreasi,
menenun,
menggambar,
meniru
gambar,
memecahkan
masalah,
menghias,
membuat
benda,
menyusun
pola,
membuat
model
(kata
kerja).
Penggunaan
istilah
desain
di
awal
abad
ke-‐20
di
Indonesia,
belum
populer,
meski
aktifitasnya
ada.
Dalam
konteks
waktu
tersebut
penggunaan
praktis
istilah
desain
berpadanan
dengan
kata
kerajinan,
bangunan,
perkotaan,
gambar,
dekorasi,
rekayasa,
keterampilan,
sebagai
wujud
rupa
sebuah
karya.
Istilah
desain
secara
keilmuan
formal
baru
dipakai
dan
diterapkan
pada
pendidikan
tinggi
seni
rupa
di
ITB
1971
untuk
nama
bidang
keahlian
desain
interior,
produk,
grafis,
dan
tekstil.
Penggunaan
istilah
desain
lalu
mengalami
pemantapan
saat
diresmikannya
Fakultas
Seni
Rupa
dan
Desain
Relevansi
dan
Titik
Temu
Filsafat
Ilmu
Pengetahuan
Bagi
Bidang
Desain,
Yan
Yan
Sunarya
-‐-‐-‐
4
1984
dan
dibukanya
Jurusan
Desain
dengan
beberapa
prodi
desain
(desain
interior,
produk,
tekstil,
grafis),
serta
tidak
tertutup
kemungkinan
istilah
desain
dalam
dunia
teknologi/rekayasa
telah
dipergunakan
jauh
sebelum
istilah
desain
diformalkan
menjadi
nama
keilmuan
ataupun
profesi.
Jadi,
terminologi
yang
diacu
dalam
penelitian
ini,
Desain
:
(1)
wujud
ekspresi
manusia
yang
didasari
kekuatan
berpikir,
implementasinya
berbentuk
karya
estetik,
sains,
sebuah
proses
atau
sebuah
produk
dan
dipercaya
sebagai
sesuatu
yang
mengandung
nilai
kebenaran
(Margolin,
1986
:
28);
(2)
salah
satu
manifestasi
kebudayaan
yang
berujud
dan
merupakan
produk
nilai-‐
nilai
yang
berlaku
pada
kurun
waktu
tertentu.
Sebagai
produk
kebudayaan,
desain
tidak
terlepas
dari
fenomena
kebudayaan
yang
lain,
serta
tidak
terlepas
dari
nilai-‐nilai
yang
sifatnya
abstrak
dan
spiritual,
desain
selalu
terkait
dengan
sistem
ekonomi
dan
sistem
social”
(Widagdo,
1993
:
1).
Keberlanjutan
pemikiran
Yunani
Kuno,
pernah
mengalami
stagnasi
pada
Masa
Kegelapan
Eropa.
Lantas
beberapa
abad
kemudian,
Eropa
dikejutkan
oleh
Zaman
Pencerahan
yang
menandai
proses
transformasi
baru
dalam
dunia
berpikir.
Perubahan
itu
dikenal
sebagai
Copernican
Revolution,
mengetengahkan
konsep
berpikir
berdasar
metode
eksperimental
dan
amatan.
Lalu
kemunculan
Galilei
dan
Newton;
menguraikan
teori
gravitasi,
konsep
astronomi
baru,
dan
berbagai
rumus
mekanika
baru,
untuk
menyangkal
pendapat
sebelumnya,
yang
semuanya
akan
menjadi
dasar
dari
Natural
Science
dan
Technology.
Pada
abad
ke-‐20,
semua
perkembangan
berpikir
di
atas
disangkal
oleh
Karl
Popper.
Bagi
Popper,
ilmu
pengetahuan
alam
dan
ilmu
pengetahuan
lainnya
tidak
berkembang
karena
suatu
induksi,
melainkan
terus-‐menerus
terbuka
akan
azas
falsifikasi.
Ilmu
pengetahuan
hanya
suatu
hipotesis,
dan
selama
hipotesis
itu
berpeluang
dengan
kesalahan,
maka
ilmu
akan
berkembang
dan
disempurnakan.
Runtutan
perkembangan
pemikiran
sejak
zaman
Yunani
Kuno
hingga
kini,
adalah
dasar
terbentuknya
pola
pikir
masyarakat
Barat
modern
yang
rasional.
Pola
pikir
tersebut,
kemudian
mewarnai
peradaban
Barat
di
dunia,
termasuk
iptek,
desain,
bahkan
nilai
estetiknya.
Hal
itu
dapat
kita
amati
pada
beberapa
pemikiran
terhadap
perkembangan
desain
Barat
modern
seperti
yang
akan
diuraikan
di
bawah
ini.
Jones
berpendapat,
bahwa
ada
dua
cara
desainer
dalam
memecahkan
masalahnya
:
a. Model
black-‐box;
bahwa
proses
desain
yang
utama
sebenarnya
terletak
di
dalam
proses
berpikir
melalui
tukar
pikiran
(brainstorming)
secara
bebas,
kemudian
ditransformasikan
secara
sistemik.
Atau
dapat
pula
dilakukan
secara
sinektik
yang
mengkaji
permasalahan
sebagai
umpan,
kemudian
mengalami
proses
penganalogian
sistematis
dalam
black-‐box,
dan
menghasilkan
keluaran
yang
telah
diolah
berdasarkan
pengalaman;
Relevansi
dan
Titik
Temu
Filsafat
Ilmu
Pengetahuan
Bagi
Bidang
Desain,
Yan
Yan
Sunarya
-‐-‐-‐
5
b. Model
glass-‐box,
bahwa
proses
desain
dilakukan
secara
rasional
dan
sistemik.
Seperti
halnya
pada
komputer,
yang
menerima
umpan
permasalahan,
kemudian
dikaji
secara
terencana,
analitis,
sintetis,
dan
evaluatif,
sehingga
kita
akan
mendapatkan
optimasi
pemecahan
yang
mungkin
dilakukan.
Bryan
Lawson
sejalan
dengan
Jones,
bahwa
proses
analisis-‐sintesis-‐evaluasi
penting
dilakukan
dalam
proses
desain.
Namun
begitu,
Lawson
menekankan
aspek
umpan
balik
dalam
setiap
langkah
berpikir.
Lain
halnya
dengan
Bruce
Archer,
secara
terinci
mengungkapkan
bahwa
proses
nalar
induktif
secara
lebih
luas,
harus
diterapkan
pada
tahap
awal
proses
desain.
Sedangkan
nalar
deduktif
dianjurkan
untuk
ditekankan
pada
tahap
analisis-‐sintesis-‐pengembangan
(Lawson,
1980).
Perkembangan
metode
desain
modern
sebagai
proses
berpikir
logis,
secara
historis
tidak
terlepas
dari
tradisi
berpikir
sejak
Aristoteles.
Meskipun
pada
akhir
abad
ke-‐
20,
proses
berpikir
logis
ini
digantikan
oleh
otak
buatan
yang
dijalankan
komputer,
tetapi
prinsip
dasarnya
tetap
mengacu
kepada
perkembangan
logika
tradisional
yang
dirintis
sejak
zaman
Yunani
Kuno.
Otak
buatan
mampu
mereduksi
waktu
berpikir
manusia
yang
konvensional,
terutama
penguasaan
kemahiran
aritmatik,
ingatan
dalam
skala
besar,
dan
kecepatan
menganalisis,
tapi
belum
mampu
menciptakan
dunia
kreativitas
dan
imajinasi
manusia
yang
kaya.
Walaupun
demikian,
pergeseran
itu
mampu
menciptakan
percepatan
pekerjaan
desain,
terutama
setelah
meluasnya
penggunaan
komputer
grafik
berkemampuan
tinggi.
Berbicara
tentang
rasionalisme
logis
sebagai
runtut
dinamika
dari
alam
pikiran
Yunani
Kuno
hingga
Revolusi
Cartesian,
membawa
dampak
lanjut
terhadap
pola
pikir
masyarakat
Barat,
yaitu:
ditandai
dengan
munculnya
tokoh
pemikir
yang
mengutamakan
akal
dalam
setiap
kegiatan
hidup.
Tokoh
peletak
dasar
berpikir
rasional
adalah
Rene
Descartes
(1556-‐1650),
ia
kemudian
dianggap
sebagai
bapak
filsafat
modern.
Descartes
beranggapan,
bahwa
dalam
bidang
ilmiah
tidak
ada
sesuatu
yang
dianggap
pasti,
semuanya
dapat
dipersoalkan,
kecuali
ilmu
pasti;
agar
filsafat
ilmu
pengetahuan
dapat
diperbarui
dan
berkembang,
perlu
metode
yang
baik.
Descartes
sendiri
telah
memikirkan
metodenya,
yaitu
dengan
menyangsikan
‘segala
yang
ada’.
Kesangsian
yang
radikal
itulah,
yang
harus
menjadi
dasar
bagi
seluruh
ilmu
pengetahuan.
Penyangsian
Descartes
yang
terkenal
adalah
ungkapan
Cogito
ergo
sum:
“Saya
yang
menyangsikan
(berpikir,
menyadari),
maka
saya
ada”.
Diri
kita
yang
berpikir
jelas
dan
sistematis,
adalah
suatu
cara
untuk
mencapai
kebenaran
mutlak.
“Yang
dimaksud
Descartes,
bahwa
eksistensi
personal
saya
yang
penuh
diberikan
kepada
saya
di
dalam
kegiatan
meragukan”
(Hadiwijono,
1995).
Filsuf
pengkritik
Descartes
adalah
Leibniz
(1646-‐1716),
bahwa
cogito
(substansi)
yang
ditawarkan
Descartes,
sebenarnya
bersifat
‘tertutup’.
Bagi
Leibniz,
hanya
‘jiwa’-‐lah
yang
dapat
membuka
realitas
secara
mutlak.
Filsuf
lainnya
Thomas
Hobbes
(1588-‐1679),
bahwa
justru
‘pengalaman
inderawi’-‐lah
yang
lebih
penting
daripada
pendekatan
ilmu
pasti.
Pernyataan
ini
mengawali
kelahiran
Empirisme
di
Relevansi
dan
Titik
Temu
Filsafat
Ilmu
Pengetahuan
Bagi
Bidang
Desain,
Yan
Yan
Sunarya
-‐-‐-‐
6
Inggris
(Hadiwijono,
1995).
Selain
itu,
bahwa
manusia
sebagai
makhluk
sosial,
cenderung
mempertahankan
keberadaannya
sebagai
egoisme
yang
radikal.
John
Locke
(1632-‐1704),
menilai
manusia
harus
dianggap
sebagai
‘kertas
putih’
yang
bersih,
sedangkan
‘isinya’
didapat
dari
pengalaman
hidup;
pengalaman
manusia
terbagi
atas
dua,
yaitu:
pengalaman
lahiriah
(sensation)
dan
pengalaman
batiniah
(reflexion),
keduanya
melahirkan
gagas
tunggal
yang
menyatu.
Ia
berusaha
menggabungkan
teori
Empirisme
dengan
ajaran
Rasionalisme.
Menurutnya,
segala
pengetahuan
datang
dari
pengalaman
dan
tidak
lebih
dari
itu.
Akal
(rasio)
adalah
pasif
pada
waktu
pengetahuan
didapatkan.
Akal
tidak
melahirkan
pengetahuan
dari
dirinya
sendiri
(Ibid,
1995).
Gagasan
ini,
kemudian
dikenal
sebagai
Rasionalisme
Empiris.
Namun
Rasionalisme
Empiris
kemudian
dikritik
oleh
Berkeley
(1685-‐1753),
bahwa
sebenarnya
tidak
ada
substansi
material
dalam
pengalaman
inderawi,
yang
ada
hanya
‘ciri’
yang
diamati.
Hal
itu
artinya,
yang
‘kita
miliki’
dan
‘kita
lihat’
hanya
merupakan
pengalaman
rohani
(sebagai
idea),
bukan
kenyataan
hakiki.
Aliran
ini
memuncak
pada
masa
David
Hume
(1711-‐1776),
dengan
terapan
radikal
berupa
penolakan
terhadap
‘substansi
dan
kausalitas’,
karena
bagi
Hume
di
setiap
substansi
sebenarnya
mengandung
‘substansi
tetap’
yang
lain.
Di
Inggris,
Abad
Pencerahan
dalam
dunia
berpikir
dikenal
sebagai
Enlightenment
–
manusia
mencari
cahaya
baru
melalui
rasionya.
Immanuel
Kant
(1724-‐1804),
bahwa
manusia
harus
keluar
dari
kegelapan
melalui
Aufklarung,
yaitu
menembus
kegelapan
melalui
rasio.
Hal
yang
terpenting
dari
pencerahan
itu
adalah
manusia
harus
berani
berpikir
sendiri
untuk
kemajuan
dirinya,
dan
ini
dianggap
sebagai
tahap
baru
setelah
era
Renaissance
dan
Reformasi
di
Inggris
(Ibid,
1995).
Hegel
berpendapat,
bahwa
‘semua
yang
nyata’
selalu
bersifat
rasional
dan
semua
yang
rasional
bersifat
‘nyata’.
Pernyataan
ini
hakikatnya
bermaksud
menyamakan
luasnya
‘rasio’
sama
dengan
luas
realitas’.
Rasionalisme
memuncak
setelah
terjadinya
Revolusi
Industri
di
Eropa
melalui
Positivisme
August
Comte
(1798-‐1857).
Pada
saat
inilah,
ilmu
pengetahuan
diangkat
menjadi
sesuatu
yang
harus
empiris.
Oleh
karena
itu,
pengetahuan
tidak
boleh
melampaui
fakta-‐faktanya,
meskipun
perkembangan
Empirisme
di
Inggris
hakikatnya
terbuka
menerima
pengalaman
subjektif.
Peluang
masuknya
pengalaman
subjektif
ini,
dikarenakan
industrialisasi
yang
terjadi
di
Inggris
kemudian
menimbulkan
aneka
permasalahan
kemanusiaan
baru.
Tetapi
sejalan
dengan
itu,
filsafat
Positivisme
yang
berpengaruh
pada
masa
industrialisasi
awal,
juga
dianggap
tak
memberi
tempat
bagi
metafisika
(pengalaman
subjektif).
“Kegersangan”
itu,
kemudian
memunculkan
Materialisme
yang
membuka
peluang
tempat
bagi
metafisika
(Bertens,
1981).
Mengenai
perkembangan
beberapa
falsafah
di
atas,
maka
dasar
kesemuanya
merupakan
konsep
pengagungan
akal
(rasio),
meskipun
ada
kesadaran
untuk
menerima
jiwa.
Namun
begitu,
pengaruh
Rasionalisme
beberapa
dekade
sesudahnya,
merupakan
cikal-‐bakal
lahirnya
faham
untuk
menggali
dan
Relevansi
dan
Titik
Temu
Filsafat
Ilmu
Pengetahuan
Bagi
Bidang
Desain,
Yan
Yan
Sunarya
-‐-‐-‐
7
memanfaatkan
alam
secara
besar-‐besaran
dengan
kemampuan
rasio.
Munculnya
industri
di
Eropa,
sebagai
tahap
lanjut
Revolusi
Industri
Awal,
merupakan
implementasi
praktis
masyarakat
Barat
menerima
teknologi
sebagai
bagian
dari
Rasionalisme
Empiris.
Kerja
tangan
yang
melelahkan,
kemudian
digantikan
oleh
mesin
bertenaga
air
dan
uap.
Demikian
pula
pekerjaan
berat
lain,
mulai
digantikan
oleh
teknologi
yang
praktis
dan
murah.
Walaupun
berakibat
pada
tenaga
manusia
yang
besar
jumlahnya
itu
menjadi
pengangguran.
Pengrajin
dan
buruh
kasar,
secara
bertahap
kehilangan
mata
pencaharian.
Kemiskinan
dan
pengangguran
ini,
kemudian
meledak
menjadi
gerakan
anti-‐industri,
sebagai
ungkapan
kemarahan
para
seniman
dan
pengrajin
yang
tergeser
perannya
oleh
mesin.
Perkembangan
desain
modern
sejak
paro
abad
ke-‐19
hingga
akhir
abad
ke-‐20,
terlihat
bahwa
karya
desain
dan
aktivitasnya,
secara
hakikat
tidak
terlepas
dari
pola
pikir
dan
konteks
sosialnya.
Hal
itu
terlihat
dari
runtut
pemikiran
sejak
para
filsuf
Yunani
Kuno
yang
mengenalkan:
logika
dan
estetika
yang
menjadi
inspirasi
peradaban
dunia.
Walaupun
peradaban
intelektual
ini
mengalami
masa
kegelapan
akibat
berkembangnya
peradaban
di
wilayah
lain,
namun
semangatnya
mampu
menghidupkan
dan
menciptakan
pencerahan
di
Abad
Pertengahan
hingga
menjadi
titik
tolak
kehidupan
modern
dengan
percepatan
teknologi
seperti
kini.
Sejak
Descartes
menyadarkan
masyarakat
Barat,
bahwa
berpikir
dan
akal
sebagai
inti
untuk
mendunia
merupakan
kunci
dalam
membangun
peradaban,
maka
saat
itu
pula
metode
berpikir
rasional
menjadi
ideologi
berpikir
di
semua
aktivitas
kehidupan,
termasuk
dalam
bidang
desain.
Iklim
pencerahan
itu,
memicu
seniman
Renaissance
mengintegrasikan
antara
berpikir
rasional,
berolah
rasa,
dan
berkarya
dengan
keterampilan
tinggi
yang
menjadi
kekuatan
mengubah
tatanan
dunia.
Sejalan
dengan
itu,
kesadaran
ruang
mulai
terkuak
dengan
ditemukannya
ilmu
perspektif
dalam
gambar
(disegno).
Perkembangan
Rasionalisme
pun
mempengaruhi
metode
desain,
yang
sebelumnya
bersifat
craftmanship.
Berkembangnya
gerakan
Machine
Art
dan
temuan
penting
dalam
bidang
sains,
lalu
membangun
faham
yang
mengutamakan
konsep
berpikir
dalam
berekspresi,
mencoba
menjembatani
keterpisahan
antara
seni
dan
teknik
yang
diusung
gerakan
Anti-‐Industri.
Implementasinya,
adalah
dengan
kemunculan
Modernisme
yang
mengutamakan
bentuk
rasional
serba
geometris.
Fanatisme
terhadap
Rasionalisme,
tercermin
pada
pengagungan
fungsi
di
setiap
gagas
desain.
Fase
penting
gerakan
ini,
adalah
dengan
lahirnya
Bauhaus
(1919)
lembaga
yang
menerapkan
Rasionalisme
Empiris
secara
pragmatis
pada
pendidikan
seni
rupa
dan
desain,
serta
mempraktekkan
keilmuan
dan
keterampilan,
berjalan
bersamaan.
Berbagai
gaya
baru
sebagai
bagian
Modernisme,
sebenarnya
merupakan
sempalan
rasa
ketidakpuasan
gaya
utama
yang
terlalu
mekanistik
dan
rasional.
Sebagaimana
ditunjukkan
oleh
Art
Deco
berunsur
rupa
dekoratif-‐rasional,
merupakan
paduan
antara
bahasa
rupa
Art
Nouveau
dan
Modernisme.
Namun
gerakan
itu
segera
Relevansi
dan
Titik
Temu
Filsafat
Ilmu
Pengetahuan
Bagi
Bidang
Desain,
Yan
Yan
Sunarya
-‐-‐-‐
8
menyurut
setelah
muncul
Streamlining,
sebagai
gaya
yang
merupakan
wahana
yang
dapat
menampung
aspirasi
dan
ekspresi
para
desainer
dan
insinyur
kala
itu.
Rekonstruksi
usai
perang
di
berbagai
negara,
mengakibatkan
kemajuan
luar
biasa
dalam
dunia
arsitektur
dan
desain
produk
industri.
Modernisme
Lanjut,
dengan
beragam
wajah
(Pop
Modernisme,
International
Style,
Hi-‐Tech,
dst.),
kemudian
menjadi
primadona
keberhasilan
negara-‐negara
Barat
dalam
dunia
desain.
Keunggulan
ini
sejalan
dengan
imperialisme
budaya
yang
diekspor
ke
seluruh
dunia,
memunculkan
gaya
tunggal
dunia.
Namun
sejalan
dengan
waktu,
kehidupan
yang
serba
monoton,
instan,
rasional,
dan
kering
itulah,
kemudian
menjadi
pemicu
krisis
Modernisme.
Krisis
ini
berkembang
menjadi
krisis
sosial
yang
meluas
di
tengah
derasnya
arus
konsumerisme
dan
kemanusiaan.
Hal
itu
ditandai
oleh
pemunculan
gerakan
Pop
yang
mengkritik
habis-‐habisan
Modernisme,
serta
dihujat
sebagai
biang
keladi
kesenjangan
nilai-‐nilai,
ekonomi,
budaya,
dan
pengangguran
yang
menciptakan
kekeringan
jiwa
berkepanjangan.
Kehidupan
seni
dunia
dirasakan
semakin
jauh,
didikte
oleh
kemajuan
teknologi
yang
serba
instan
dan
rasional.
Dari
segi
intelektual,
para
pengamat
sosial
menilai,
bahwa
pemicunya
adalah
pemikir
mazhab
Frankfurt
yang
radikal,
sedangkan
dari
segi
praktis
dilakukan
oleh
kaum
muda
melalui
budaya
Pop.
Charles
Jencks,
kemudian
mengumandangkan
kematian
Modernisme,
sekaligus
membuka
pintu
bagi
Posmodernisme;
khususnya
dalam
dunia
perancangan
secara
umum.
Namun
hal
itu
sebenarnya
belum
mengubah
nilai-‐nilai
hakiki
dari
Modernisme
yang
berlangsung
terus
dalam
semua
lini
kehidupan
masyarakat
dunia.
Sejalan
dengan
itu,
koreksi
terhadap
Strukturalisme
dalam
dunia
filsafat
skeptik,
dilakukan
oleh
kaum
Pos-‐strukturalisme
dan
Dekonstruksi(isme),
serta
berkembangnya
pemikiran
Rasionalisme
Kritis
sebagai
kritik
terhadap
Rasionalisme
Empiris
yang
dianggap
sebagai
kebenaran
sempurna.
Proyeksi
desain
ke
depan,
merupakan
fenomena
yang
berkecenderungan
terjadinya
perubahan
berpikir
ke
arah
Rasionalisme
Digital,
menggejala
hampir
di
semua
lini
kehidupan.
Hal
ini,
tampaknya
akan
menjadi
tonggak
penting
dalam
perkembangan
metodologi
desain.
Gejala
itu
mulai
tampak
jelas,
tatkala
sejumlah
industri
dan
biro
konsultan
mengurangi
meja
gambar
dan
beralih
ke
layar
monitor.
Demikian
pula
dalam
penyelenggaraan
pendidikan
desain,
mahasiswa
mulai
meninggalkan
mesin
tik
dan
rapido
untuk
beralih
ke
PC
dan
mesin
printer;
pun
informasi
keilmuan
melalui
buku
mulai
beralih
ke
internet.
Para
mahasiswa
desain,
tidak
perlu
lagi
membuat
model
dengan
tanah
liat
atau
membuat
rendering
dengan
spidol
sebagai
bukti
kebenaran
eksperimennya,
tetapi
cukup
disajikan
secara
virtual
dalam
layar
monitor.
Kenyataan
itulah
yang
menjadi
ciri,
bahwa
dunia
keberpikiran
empiris
bergeser
ke
arah
dunia
keberpikiran
virtual
yang
mampu
menyajikan
simulasi
real-‐
time,
gambar
tembus
dinamik,
rendering
photo-‐realistik,
animasi
digital
dan
multi
media
yang
dalam
waktu
singkat
menjadi
pemandangan
lumrah.
Relevansi
dan
Titik
Temu
Filsafat
Ilmu
Pengetahuan
Bagi
Bidang
Desain,
Yan
Yan
Sunarya
-‐-‐-‐
9
Dari
akhir
uraian
uraian
panjang-‐lebar
di
atas
yang
dijelaskan
bertumpu
pada
sudut
pandang
historis
antara
bidang
filsafat
dengan
bidang
desain,
pada
akhirnya
memiliki
pertautan
fenomena
konseptual
substansial
sebagai
wujud
titik
temu
di
antara
keduanya.
Paradigma
perubahan
pola
pikir,
hakikatnya
amat
berpengaruh,
baik
pada
hasilan
desain,
falsafah
perancangan,
maupun
bahasa
rupa
yang
dipergunakan;
yang
kemudian
pendekatannya
tidak
cukup
berupa
pendekatan
kronologis,
melainkan
didasarkan
kepada
paradigma
perubahan
sosial
yang
terjadi
pada
bidang
desain.
Hal
ini
terjadi,
mengingat
desain
bukan
semata
merupakan
otobiografi
yang
berisi
peristiwa
dan
waktunya
akurat
(bahkan
ada
yang
masih
berlangsung
terus),
melainkan
merupakan
transparansi
dari
beragam
fenomena
pemikiran
yang
saling
tumpang
tindih
dan
kompleks.
Daftar
Pustaka
Conway,
Hazel,
1987,
Design
History,
London:
Allen
&
Unwin;
Dormer,
Peter,
1990,
The
Meaning
of
Modern
Design,
London:
Thames
and
Hudson;
Hadiwijono,
Harun,
Dr.,
1994,
Sari
Sejarah
Filsafat
Barat
1,
Yogyakarta:
Kanisius;
__________,
1995,
Sari
Sejarah
Filsafat
Barat
2,
__________;
Hatta,
Mohammad,
1989,
Alam
Pikiran
Yunani,
Jakarta:
PT
Jambatan,
Jakarta;
Heskett,
John,
1986,
Desain
Industri,
Terjemahan,
Bandung:
INDDES
ITB
&
PT
Rajawali;
K.,
Bertens,
1981,
Filsafat
Barat
dalam
Abad
XX,
Jilid
I
,
Jakarta:
PT.
Gramedia;
Lawson,
Bryan,
1980,
How
Designers
Think,
London:
The
Architectural
Press
Ltd.;
Sachari,
Agus,
1995,
"Sejarah
Desain
Modern",
Diktat,
Bandung:
Jurusan
Desain
FSRD
ITB;
__________,
Sunarya,
Yan
Yan,
1999,
Modernisme:
Tinjauan
Historis
Desain
Modern,
Jakarta:
PT.
Balai
Pustaka;
__________,
NIM:
33396002,
2004,
“Peran
Nilai
Estetis
Modern
Dalam
Perkembangan
Desain
Abad
ke-‐20
di
Indonesia”,
Disertasi,
karya
tulis
sebagai
salah
satu
syarat
untuk
memperoleh
gelar
Doktor
dari
ITB,
Bandung:
Program
Pascasarjana
ITB;
Santosa,
Imam,
NIM:
37001001,
2006,
“Kajian
Estetika
dan
Unsur
Pembentuknya
pada
Keraton
Surakarta”,
Disertasi,
karya
tulis
sebagai
salah
satu
syarat
untuk
memperoleh
gelar
Doktor
dari
ITB,
Bandung:
Program
Pascasarjana
ITB;
Stangos,
Nikos,
1994,
Concepts
of
Modern
Art,
from
Fauvism
to
Postmodernism,
London:
Thames
&
Hudson;
Suriasumantri,
Jujun
S.,
1996,
Filsafat
Ilmu:
Sebuah
Pengantar
Populer,
Jakarta:
Pustaka
Sinar
Harapan;
Walker,
John
A.,
1989,
Design
History
and
the
History
of
Design,
London:
Pluto
Press;
Wuwur,
Hendrikus
Dori,
1995,
Retorika,
Yogyakarta:
Kanisius.
Relevansi dan Titik Temu Filsafat Ilmu Pengetahuan Bagi Bidang Desain, Yan Yan Sunarya -‐-‐-‐ 10