Anda di halaman 1dari 48

Mengurai Kusutnya

Pendidikan Indonesia

Experience is The Best Teacher

Kumpulan Esai
Mengenai Dunia Pendidikan Indonesia
Dwinesa Anggraeni

Jakarta-Indonesia 2008

i
Mengurai Kusutnya
Pendidikan Indonesia

Kumpulan Esai
Mengenai Dunia Pendidikan Indonesia

Di susun oleh: Dwinesa Anggraeni

Cetakan Ke-1, Mei 2008

Desain Cover: Faisal

ii
Persembahan

Buku ini saya persembahkan


kepada para generasi muda Indonesia
untuk selalu semangat dan pantang menyerah
dalam membangun Indonesia yang lebuh baik lagi
terutama dalam bidang pendidikan di masa yang akan datang.

Keluarga Besarku tercinta,


yang mendorong semangatku
dan selalu memberikan saran dan kritik yang membangun.

Teman-temanku,
Teman-teman seperjuangan Program Diploma Inggris angkatan 2006
dan para senior angkatan 2005 Universitas Indonesia.
Teman-teman kelas Penyuntingan Bahasa Indonesia A,
serta sahabat-sahabatku tercinta.

iii
Kata Pengantar

Puji serta syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan
karunia-Nya, saya dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Bahasa Indonesia
Penyuntingan A. Saya diberikan kesanggupan untuk menyusun tiap-tiap esai serta
mengeditnya hingga selesai menjadi sebuah buku.
Buku ini merupakan kumpulan esai yang membahas mengenai problematika
dunia pendidikan Indonesia. Melalui kumpulan esai yang terangkum dalam buku ini, kita
dapat mengetahui lebih lanjut masalah-masalah yang menghambat kemajuan pendidikan
Indonesia. Saya tertarik mengambil tema pendidikan karena saya sangat prihatin dengan
dunia pendidikan Indonesia saat ini yang semakin tertinggal dari negara-negara maju.
Sistem pendidikan nasional kita masih berorientasi pada pembangunan fisik, bukan
pembangunan jiwa dan karakter kebangsaan yang mandiri dan siap menghadapi
tantangan dunia global. Pendidikan merupakan aset bangsa, tetapi kurangnya kepedulian
pemerintah dan masyarakat membuat lama kelamaan makna pendidikan semakin
terabaikan dan akhirnya membawa bangsa Indonesia terhanyut dalam arus
keterbelakangan.
Saya mengucapkan terima kasih kepada pengajar mata kuliah Bahasa Indonesia
Penyuntingan A, Bapak Asep Sambodja, yang telah membimbing saya dalam proses
pembuatan buku ini. Tak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam proses pembuatan buku ini.
Saya berharap agar buku ini bermanfaat bagi yang membacanya dan memberikan
gambaran maupun inspirasi baru untuk memajukan dunia pendidikan Indonesia. Saya
berharap pula buku ini dapat memberikan motivasi khususnya bagi generasi muda
Indonesia untuk membangkitkan rasa nasionalisme, dan keyakinan bahwa bangsa ini bisa
sejajar dengan negara-negara maju melalui dunia pendidikan.

iv
Mohon maaf apabila masih banyak terdapat kekurangan di dalamnya. Saya menyadari
buku ini masih jauh dari sempurna dan masih terdapat kesalahan. Kritik dan saran dari
pembaca sangat diharapkan demi penyempurnaan buku ini dan menjadi masukan bagi
saya di kemudian hari.

Jakarta, Mei 2008

Penyunting

v
Daftar Isi
Kata Pengantar …………………………………………………………….. iv
Daftar Isi………………………………………………………………….... vi
Pendahuluan……………………………………………………………....... vii
1. Masalah Pendidikan di Indonesia………………………………….......... 1
oleh Rena Istri Wangi
2. Pendidikan Bukan Prioritas Utama.............................................................4
oleh Prof. Dr. Komaruddin Hidayat
3. Masalah 20% Dana Pendidikan..................................................................9
oleh Prof. Dr. Soedijarto, M.A
4. Nasib Guru yang Memilukan……………………………………….........14
oleh Agus Suwignyo
5. Sulitnya Pemberdayaan Tenaga Pendidik.................................................. 18
oleh Misbah Fikrianto, S.Pd
6. Indeks Pendidikan Indonesia Menurun...................................................... 22
oleh Kuniafi
7. Pendidikan Gratis Mungkin Tidak Ya?......................................................27
oleh Rudi Hartono
Sumber Tulisan.............................................................................................. 33
Indeks............................................................................................................. 35
Biografi Singkat Penulis................................................................................ 37
Snapshots........................................................................................................40

vi
Pendahuluan
Begitu banyak masalah yang membelit negara ini, mulai dari masalah ekonomi,
sosial, hukum, politik, moral, penyimpangan beragama, dan yang tidak akan ada habisnya
untuk diperbincangkan adalah masalah pendidikan Indonesia. Padahal pendidikan
merupakan komponen terpenting dalam upaya untuk mencerdaskan anak bangsa dan
memajukan bangsa ini ke arah yang lebih baik. Kurang seriusnya pemerintah menangani
masalah pendidikan membuat dunia pendidikan Indonesia semakin tertinggal dari negara-
negara maju. Tidak adanya kerjasama pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat
membuat pendidikan kita semakin terpuruk. Kurangnya kepedulian inilah yang lama
kelamaan menjadikan makna pendidikan semakin terabaikan dan akhirnya membawa
bangsa Indonesia terhanyut dalam arus keterbelakangan.
Terbukti dengan turunnya indeks pembangunan pendidikan Education
Development Indeks (EDI). Dalam pelaksanaan EDI tahun 2007 yang diikuti oleh 129
negara dari seluruh dunia, Indonesia berada dalam kategori negara sedang, tetapi
peringkat Indonesia turun dari posisi 58 menjadi 62. Tahun sebelumnya Indonesia berada
di atas Malaysia tetapi, untuk tahun 2007 peringkat Indonesia berada di bawah Malaysia.
Malaysia dapat melonjak enam tingkat dari peringkat 62 menjadi 56.
Sebenarnya, kurikulum pendidikan Indonesia tidak kalah dari kurikulum negara-
negara maju, tetapi pelaksanaannya yang masih jauh dari optimal. Kurang sadarnya
pemerintah mengenai betapa pentingnya pendidikan, membuat banyak generasi muda
tidak mempunyai kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi untuk
bekal masa depan mereka. Tidak hanya itu, kurang sadarnya masyarakat Indonesia
mengenai pentingnya pendidikan membuat para pendidik kurang dihargai. Padahal peran
para pendidik sangat penting dalam membentuk generasi mendatang yang lebih maju dan
modern. Sistem pendidikan yang sering berganti-ganti bukanlah masalah utama, yang
menjadi masalah utama adalah pelaksanaan di lapangan yang kurang optimal, dan tidak
adanya kesadaran pemerintah dan masyarakat mengenai betapa pentingnya pendidikan

vii
Terbatasnya dana pendidikan juga membebani pendidikan Indonesia. Sebenarnya
pemerintah sudah sepakat mengenai pasal 31 ayat 2 yang menetapkan kewajiban
pemerintah membiayai pendidikan dasar bagi setiap warga. Pasal 31 ayat 4 UUD 1945
juga menjelaskan mengenai kewajiban pemerintah dan DPR memprioritaskan anggaran
pendidikan minimal 20%. Tetapi pemerintah belum sepenuhnya melaksanakan pasal 31
ayat 2 dan ayat 4 tersebut. Sebagaimana kita tahu Indonesia adalah negara yang kaya
akan sumber daya alamnya, tetapi kekayaan alam tersebut tidak pernah diperuntukkan
untuk kepentingan rakyat. Keuntungan dari kekayaan alam tersebut digunakan untuk
kepentingan pribadi, kelompok, ataupun imperialisme. Untuk itu peran aktif seluruh
pihak sangat diperlukan untuk membantu memperbaiki tatanan pendidikan saat ini.
Buku ini memuat kumpulan artikel mengenai masalah pendidikan Indonesia yang
menggambarkan kondisi dunia pendidikan saat ini. Buku ini menggambarkan sejauh
mana pendidikan Indonesia telah berkembang dan usaha-usaha apa saja yang telah
dilakukan pemerintah untuk mengatasi berbagi masalah pendidikan. Buku ini
memberikan beberapa koreksi ataupun saran yang membangun kepada pemerintah untuk
lebih memprioritaskan masalah pendidikan, dengan pembangunan jiwa dan karakter
kebangsaan agar negara ini tidak terbawa arus keterbelakangan. Buku ini juga
memberikan inspirasi dan semangat bagi generasi muda untuk memajukan pendidikan
Indonesia di masa yang akan datang.

viii
Masalah Pendidikan di Indonesia
oleh Rena Istri Wangi

Pendidikan adalah salah satu kunci penting yang dapat mengatasi berbagai
permasalahan di Indonesia. Namun, masalah pendidikan ini belum sepenuhnya dapat
diatasi oleh pemerintah kita, seperti kurang optimalnya pelaksanaan sistem pendidikan
yang sebenarnya sistem pendidikan di negara ini sudah cukup baik. Hal ini disebabkan
kurangnya guru-guru yang berkompetensi untuk mengajar. Kurikulum pendidikan di
negara ini sebenarnya tidak kalah dengan negara maju, tetapi pelaksanaannya yang masih
jauh dari optimal. Pandangan masyarakat pun mengenai pendidikan dan kurang sadarnya
mengenai betapa pentingnya para pendidik dalam membentuk generasi mendatang
membuat profesi ini kurang dihargai di masyarakat. Belum lagi masalah terbatasnya dana
pendidikan yang disediakan pemerintah dalam penyediaan fasilitas sekolah yang dapat
menggangu perkembangan pendidikan di Indonesia.

1
Masalah Pendidikan di Indonesia

oleh Rena Istri Wangi

Begitu banyak masalah yang membelit negara ini, mulai dari masalah ekonomi,
sosial, hukum, politik, moral, penyimpangan beragama, dan yang tidak kalah menarik
mengenai masalah pendidikan Indonesia. Pendidikan adalah salah satu kunci yang dapat
mengatasi permasalahan di negara ini, tetapi masalah pendidikan di Indonesia belum
sepenuhnya dapat teratasi dengan baik. Banyak permasalahan dalam bidang pendidikan
Indonesia yang harus dibenahi oleh pemerintah. Beberapa masalahnya sebagai berikut:

Kurang Optimalnya Pelaksanaan Sistem Pendidikan


Kurang optimalnya pelaksanaan sistem pendidikan (yang sebenarnya sudah cukup
baik) di Indonesia ini disebabkan sulitnya menyediakan guru-guru berkompetensi untuk
mengajar di daerah-daerah. Sebenarnya, kurikulum Indonesia tidak kalah dari kurikulum
di negara maju, tetapi pelaksanaannya yang masih jauh dari optimal. Kurang sadarnya
masyarakat mengenai betapa pentingnya pendidik dalam membentuk generasi
mendatang, sehingga profesi ini tidak begitu dihargai. Sistem pendidikan yang sering
berganti-ganti bukanlah masalah utama, yang menjadi masalah utama adalah pelaksanaan
di lapangan kurang optimal.

Terbatasnya Dana Pendidikan


Terbatasnya fasilitas untuk pembelajaran, baik bagi pengajar dan yang belajar
adalah hal yang terkait dengan terbatasnya dana pendidikan yang disediakan pemerintah.
Banyak sekali kegiatan yang dilakukan Departemen Pendidikan Nasional untuk
meningkatkan kompetensi guru, tetapi tindak lanjut yang tidak membuahkan hasil dari
kegiatan semacam penataran, sosialisasi. Jadi, terkesan yang penting kegiatan itu
terlaksana tanpa memperhatikan manfaat yang dapat diperoleh. Jika kondisi semacam itu
tidak diubah untuk dibenahi, kecil harapan pendidikan bisa lebih maju atau baik. Maka,
pendidikan Indonesia sulit untuk maju.

2
Selama ini, kesan kuat bahwa pendidikan yang berkualitas harus bermodal atau
berbiaya besar. Tapi, oleh pemerintah, itu tidak ditanggapi, kita lihat saja anggaran
pendidikan dalam APBN itu. Padahal, semua tahu bahwa pendidikan akan membaik jika
gurunya berkompetensi dan cukup dana untuk memfasilitasi kegiatan pembelajaran.
Adanya biaya pendidikan yang mahal menyulitkan sebagian masyarakat Indonesia yang
kurang mampu. Hal ini dapat mengakibatkan banyaknya anak-anak Indonesia yang
terancam putus sekolah. Oleh karena itu, sangatlah diperlukan peningkatan dana
pendidikan di Indonesia agar dapat membantu masyarakat Indonesia yang kurang mampu
melalui program beasiswa, orang tua asuh (GNOTA), dan dapat juga dengan pembebasan
biaya pendidikan atau yang dikenal dengan BOS. Bantuan oprasional sekolah (BOS)
adalah salah satu usaha pemerintah untuk penuntasan wajib belajar sembilan tahun untuk
sekolah dasar dan sekolah tingkat menengah pertama dengan membebaskan biaya
pendidikan mereka.

3
Pendidikan Bukan Prioritas Utama

oleh Prof. Dr. Komaruddin Hidayat

Banyaknya masalah yang membelit negara ini membuat bangunan bangsa kian
rapuh sehingga mengakibatkan kemerosotan, terutama di dunia global. Sebabnya, lagi-
lagi pendidikan yang terbengkalai. Padahal, di belahan dunia yang lebih maju, generasi
muda bukan saja semakin berperan, tetapi juga semakin kaya dan berkuasa. Pemerintah
seharusnya lebih memprioritaskan masalah pendidikan, karena pendidikan adalah modal
kuat untuk membangun negara yang maju, modern, dan agar tidak mudah hilang ditelan,
dipengaruhi, dikuasai, atau bahkan ditinggalkan oleh peradaban yang lebih besar dan
lebih kuat. Sistem pendidikan nasional masih berorientasi pada pembangunan fisik,
bukan pembangunan jiwa dan karakter kebangsaan, sehingga pendidikan Indonesia masih
jauh tertinggal dari negara-negara maju.

4
Pendidikan Bukan Prioritas Utama

oleh Prof. Dr. Komaruddin Hidayat

Perayaan 62 tahun kemerdekaan bangsa Indonesia baru saja selesai kita peringati,
tetapi bangunan bangsa kian rapuh sehingga mengakibatkan kemerosotan, terutama di
dunia global. Sebabnya, lagi-lagi pendidikan yang terbengkalai. Padahal, di belahan
dunia yang lebih maju, generasi muda bukan saja semakin berperan, tetapi juga semakin
kaya dan berkuasa. Sebut saja Sergei Brin dan Larry Page, dua pemuda berumur 28 dan
30 tahun yang mendirikan Google kurang dari sepuluh tahun yang lalu dan saat ini berada
dalam daftar orang paling kaya di dunia. Demikian juga dengan Tom Anderson dan Chris
deWafe yang mendirikan My Space, situs social networking paling populer yang akhir
tahun lalu dibeli oleh Intermic Media senilai 580 juta dolar Amerika Serikat hanya dalam
waktu dua tahun sejak situs tersebut pertama kali diluncurkan. Sebut lagi Steve Chen,
berumur 28 tahun, Chad Hurley, berumur 29 tahun, dan Jawed Karim, berumur 28 tahun,
yang mendirikan Youtube, situs video networking dua tahun yang lalu. Ketiga pemuda itu
baru-baru ini menjual Youtube senilai 1,65 miliar dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp
10 triliun kepada salah satu perusahaan terkenal dunia yaitu Google.
Fenomena ini harusnya membuka mata kita bahwa dunia dan kehidupan tidak
lagi berjalan, tumbuh, dan berkembang secara tradisional. Setiap hari harus ada inovasi
baru yang diperkenalkan dan diterapkan, yang pada akhirnya mengubah cara dan gaya
hidup secara drastis. Agar kita bisa ikut tumbuh dan berkembang secara optimal, seorang
manusia, apalagi suatu bangsa, membutuhkan kemauan dan kemampuan adaptasi yang
tidak saja baik, tetapi juga kompetitif.

Budaya yang Kuat


Bangsa yang maju memiliki budaya yang kuat atau bahkan ekspansif karena
mampu menularkan budayanya kepada bangsa lain. Dengan kata lain, tanpa budaya yang
kuat, suatu bangsa bisa jadi hilang ditelan, dipengaruhi, dikuasai, atau bahkan
ditinggalkan oleh peradaban yang lebih besar dan lebih kuat.

5
Dalam rangka perayaan 62 tahun kemerdekaan Indonesia dari belenggu penjajahan, mari
kita bertanya, budaya Indonesia yang mana yang kita miliki dan perlu kita kembangkan
untuk meningkatkan peran dan kontribusi Indonesia di peradaban Asia atau bahkan dunia
saat ini? Susah menjawabnya.

Karakter Kebangsaan Indonesia Semakin Luntur


Karakter kebangsaan Indonesia semakin luntur, sehingga kita sendiri susah untuk
mengenalinya, dikarenakan sistem pendidikan di Indonesia tidak dikemas dan ditujukan
untuk membangun suatu karakter budaya yang kuat. Sistem pendidikan nasional masih
berorientasi pada pembangunan fisik, bukan pembangunan jiwa dan karakter kebangsaan.
Akibatnya, dana pendidikan belum dapat mengikuti amanah UUD 45 yang seyogianya
mencapai 20% dari keseluruhan anggaran pembangunan nasional. Namun, demi
kepentingan masa depan anak cucu bangsa dalam 30 tahun ke depan, Indonesia butuh
solusi, yang pragmatis, kreatif, dan segera. Pragmatis dalam arti solusi tersebut harus
betul-betul mengatasi masalah pembiayaan yang dibutuhkan sektor pendidikan nasional.
Kreatif dalam arti solusi tersebut tidak boleh lagi-lagi membebani keuangan negara yang
sudah hampir lumpuh dibebani utang. Segera dalam arti solusi tersebut ada di sekitar kita
dan dapat segera diciptakan, diterapkan, dan disempurnakan terus-menerus.

Melibatkan Pihak Swasta


Caranya adalah melibatkan dan mengarahkan pihak swasta. Perusahaan swasta,
terutama multinasional, memiliki kemampuan dan kepentingan untuk membiayai
peningkatan kualitas pendidikan anak bangsa. Selain itu, swasta justru lebih peka dan
lebih cepat bertindak dibandingkan dengan pemerintah dalam hal mengenali dan
mengatasi permasalahan sosial di sekitar wilayah usahanya. Terakhir, perusahaan swasta,
baik lokal maupun multinasional, memiliki pengaruh profesionalisme, konsistensi, dan
semangat bersaing yang sangat penting untuk ditularkan terhadap insan pendidikan di
seluruh Tanah Air.

6
Contohnya adalah kegiatan “Berbagi 1.000 Kebaikan” yang diadakan oleh PT
Unilever Indonesia (ULI) melalui merek es krim Walls yang akan menyumbangkan Rp
1.000 dari setiap kotak es krim Viennetta Kurma dan varian lainnya terjual. Dana yang
terkumpul dari konsumen Vienneta Kurma akan disumbangkan kepada anak-anak putus
sekolah melalui Dompet Dhuafa. Unilever Indonesia, sebagai salah satu perusahaan
multinasional terbesar, justru memilih cara yang sangat lokal untuk tetap memimpin di
pasar global, yaitu dengan memilih kebutuhan lokal untuk dipenuhi dengan cara lokal
pula. Kegiatan sosial yang telah dilakukan oleh Vienetta Kurma layak untuk dicontoh.
Akan lebih baik lagi bila banyak perusahaan yang memiliki kepedulian yang sama
sehingga dapat berbagi 1.000 kebaikan bagi pendidikan.
Sementara itu, bila Walls fokus kepada perkembangan dan pertumbuhan anak-
anak dalam pendidikan, barangkali dapat menjadi inspirasi bagi perusahaan lain untuk
memikirkan guru-guru sebagai orang yang memiliki peran penting dalam mendidik
generasi kita di masa mendatang. Guru juga perlu untuk diberikan pendidikan dan
pelatihan agar mereka dapat meningkatkan kualitas dan motivasi mereka dalam
mengajar. Hal ini penting karena nasib guru di Indonesia sangat menyedihkan, baik dari
segi pendapatan maupun pelatihan. Akibatnya, banyak guru yang merasa minder dan
tidak memiliki kepercayaan diri yang positif ketika menghadapi anak muridnya, terutama
dari kalangan menengah atas. Oleh sebab itu, sistem pendidikan nasional tidak pernah
berfungsi seperti filosofi “busur panah” yang diperkenalkan Kahlil Gibran. Artinya,
sistem pendidikan seharusnya bisa menjadi busur yang membuat setiap anak panah
melesat sejauh-jauhnya dan sedalam-dalamnya ke jantung tujuan. Ke depan, kepedulian
dan komitmen terhadap peningkatan kualitas sistem pendidikan nasional harus menjadi
ukuran keberhasilan dari setiap elemen masyarakat, baik tokoh agama, bisnis, politik,
sosial, maupun pemerintahan.

7
Selain itu, perusahaan lokal dan multinasional yang memang menunjukkan
komitmen nyata, pragmatis, dan solution oriented terhadap masalah pendidikan harus
diberi beragam insentif. Suka atau tidak, pengertian kompetisi semakin bergeser ke arah
penciptaan, perlindungan, dan penerapan kemampuan intelektual atau human capital di
seluruh dunia. Siapkah Indonesia untuk itu? Jawabannya adalah pemerintah bersama
pihak swasta harus bersama-sama memprioritaskan pendidikan.

8
Masalah 20% Dana Pendidikan
oleh Prof. Dr. Soedijarto, M.A

MPR telah menetapkan amandemen pasal 31 yaitu kewajiban pemerintah


membiayai pendidikan dasar bagi setiap warga (pasal 31 ayat 2), dan kewajiban
pemerintah dan DPR memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20%. Walaupun
telah adanya kesepakatan pada 26 Januari 2004, tetapi para pemimpin nagara ini masih
belum mampu melaksanakan dan menjadikan amandemen tersebut sebagai landasan
untuk kemajuan pendidikan Indonesia. Itu juga yang menjadi indikator penyelenggara
negara tidak memahami makna pendidikan sebagai modal utama pembangunan bangsa.
Praktik pelanggaraan pendidikan akhir-akhir ini menambah indikator betapa pemerintah
tidak serius menangani pendidikan, seperti terjadinya pemungutan uang bagi siswa SD,
SMP, dan SMU.

9
Masalah 20% Dana Pendidikan
oleh Prof. Dr. Soedijarto, M.A

Hampir dua tahun setelah MPR menetapkan amandemen pasal 31 yang


menetapkan kewajiban pemerintah membiayai pendidikan dasar bagi setiap warga (pasal
31 ayat 2), dan kewajiban pemerintah dan DPR memprioritaskan anggaran pendidikan
minimal 20%. Anggaran pendidikan yang diambil dari Anggaran Pendapatan Belanja
Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) terdapat dalam pasal
31 ayat 4 UUD 1945. Pada 26 Januari 2004 penyelenggara negara sepakat
mengalokasikan anggaran pendidikan 3,49% APBN dan secara bertahap akan
ditingkatkan sehingga pada 2009 akan mencapai 20% APBN.
Kesepakatan DPR dan pemerintah itu pada hakikatnya mengabaikan dan sengaja
tidak mematuhi UUD 1945. Suatu keadaan yang ironis bila dibandingkan dengan
perhatian negara maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat, pada pendidikan. Perdana
Menteri Inggris, Tony Blair, nyaris mendapat gerakan tidak percaya karena pembiayaan
pendidikan yang tinggi. Di Indonesia, uang kuliah ditentukan oleh tiap universitas,
sedangkan di Inggris melalui undang-undang yang ditetapkan parlemen. Di Amerika
Serikat, John Kerry menang dalam pemilihan calon presiden Partai Demokrat di Iowa
dan New Hamphsire karena tekadnya untuk kembali memperhatikan pendidikan dan
kesehatan.
Kesepakatan 26 Januari 2004 merupakan indikator betapa UUD 1945 tidak/belum
dijadikan landasan hukum untuk dilaksanakan. Itu juga menjadi indikator penyelenggara
negara tidak memahami makna pendidikan sebagai modal utama pembangunan bangsa.
Praktik penyelenggaraan pendidikan akhir-akhir ini menambah indikator betapa
pemerintah tidak serius menangani pendidikan dari diselenggarakannya jalur khusus PTN
BHMN sampai masih terjadinya pemungutan uang bagi murid SD dan SMP negeri serta
kerusakan sekolah. Aneka masalah ini hanya dibahas pada tingkat Menko Kesra tidak
sampai kabinet yang dipimpin presiden. Bandingkan zaman Presiden Soekarno, isu
pendidikan selalu mendapat perhatian langsung presiden.
10
Ketidakpedulian pemerintah (bukan hanya Menteri Pendidikan Nasional) atas
kenyataan masih belum bebasnya rakyat mengikuti pendidikan dasar yang telah
ditetapkan sebagai wajib tanpa dipungut biaya tidak ditindaknya kepala sekolah negeri
(SD dan SMP) yang melakukan seleksi masuk SD dan SMP, merupakan kenyataan
elementer tidak pahamnya penyelenggara negara (DPR dan pemerintah) atas ketentuan
Pembukaan UUD 1945 dan pasal 31, khususnya ayat 2 UUD 1945.
Karena itu, tidak perlu heran bila penyelenggara negara tidak memahami
ketentuan ayat 4 pasal 31 tentang kewajiban penyelenggara negara menyediakan
anggaran minimal 20% dari APBN adalah keharusan bagi kelangsungan pembangunan
negara yang modern dan demokratis berdasarkan Pancasila. Negara-negara yang kini
maju dalam pembangunan, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Prancis, dan Jepang,
disusul Korea Selatan, Taiwan, dan Malaysia, adalah negara yang berpegang pada
paradigma build nation build schools. Para pendiri Republik Indonesia penganut
paradigma ini.
Karena itu, mereka yakin untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan
kebudayaan nasional perlu diselenggarakan "satu sistem pengajaran nasional (sistem
persekolahan)". Mereka (Soekarno, Hatta, Syahrir, Agus Salim, M. Natsir, dan lain-lain
yang seangkatan) merasakan betapa melalui pendidikan bermutu mereka menjadi
manusia cerdas yang mampu merintis dan mendirikan negara Indonesia merdeka.
Adalah keyakinan saya, sekolah-sekolah yang dibayangkan para pendiri republik
untuk rakyat Indonesia setelah merdeka bukan sekolah desa pada zaman penjajahan bagi
jelata pribumi, melainkan sekolah yang mutunya sama dengan sekolah yang mereka
alami, yaitu berkualitas ELS dan HIS untuk tingkat SD, berkualitas MULO untuk SMP,
serta HBS dan AMS untuk SMA. Sekolah-sekolah yang berkualitas ini biayanya sepuluh
kali lipat biaya penyelenggaraan SD desa.

11
Karena itu, kepada mereka yang meragukan manfaat biaya minimal 20%,
jawabannya adalah agar sekolah kita memiliki kualitas sama dengan sekolah pada zaman
penjajahan yang khusus bagi orang Eropa, bangsawan, dan priayi, baik dalam tenaga
pendidik, sarana dan prasarana, fasilitas, kurikulum dan kelengkapannya, waktu belajar
dan intensitas proses pembelajaran, sistem evaluasi, serta lingkungan sekolahnya. Tanpa
penyelenggaraan sekolah semacam itu pendidikan nasional tidak akan pernah menjadi
pendukung lahirnya manusia yang berkualitas dan mampu berpartisipasi secara aktif
dalam pembangunan bangsa. Sebaliknya, hanya akan menghasilkan masalah, seperti yang
kini melanda negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Sebagai anggota MPR yang sejak 1999 berusaha meyakinkan anggota MPR
tentang pentingnya alokasi dana pendidikan yang memadai, saya menyadari, banyak di
antara kita mempertanyakan kegunaan anggaran 20% APBN dan APBD. Mereka tidak
dapat disalahkan karena banyak yang mengalami dan menganut belajar di sekolah hanya
memerlukan kertas dan pensil. Mereka tidak sempat bergaul dengan perpustakaan dengan
koleksi buku yang kaya, mereka tidak sempat menggunakan laboratorium atau berpraktik
di bengkel kerja yang memenuhi persyaratan industri atau berolahraga di lapangan
olahraga yang memenuhi standar. Mereka memandang sekolah hanya berupa deretan
ruang kelas dan proses belajarnya tidak lebih dari mendengar, mencatat, dan menghafal
sebagai lembaga yang dapat mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pada Oktober 1999, sebagai anggota Komisi GBHN, saya mengusulkan agar
ditetapkan 4% produk domestik bruto. Hanya Kwik Kian Gie yang memahami dan
menerima argumen saya. Anggota lain tidak dapat menerima dan akhirnya dalam GBHN
1999 tentang pendidikan muncul rumusan "agar anggaran pendidikan dinaikkan secara
berarti". Setelah Badan Pekerja MPR mengadakan studi banding ke berbagai negara,
mereka menyadari, semua negara demokrasi di dunia (Eropa, Amerika Utara, Cina,
Jepang, Malaysia, dan banyak lainnya) tidak memungut biaya sekolah, terutama untuk
pendidikan wajib belajar, bahkan di Eropa sampai tingkat universitas.

12
Sejak itu (tahun 2000) mayoritas anggota PAH 1 BP MPR sepakat meniru
Taiwan yang menetapkan besaran biaya pendidikan dalam undang-undang dasarnya.
Kemudian, tahun 2002, setelah diyakini di banyak negara (pemerintah Amerika Serikat
membiayai penuh pendidikan wajib (SD sampai SMA), termasuk transportasi dan makan
siang anak SD, di Inggris termasuk susu gratis bagi anak di bawah usia tujuh tahun,
akhirnya PAH 1 secara aklamasi menyetujui rumusan pasal 31 ayat 2 dan ayat 4 yang
mewajibkan pemerintah membiayai pendidikan dasar dan wajib, dengan menyediakan
anggaran minimal 20% APBN dan APBD. Mudah-mudahan penyelenggara negara hasil
Pemilu 2004 dapat melaksanakan ketentuan itu.
Hanya dengan cara ini, kita dapat menyelenggarakan sistem pendidikan nasional
yang mampu melaksanakan fungsi konstitusionalnya, yaitu mencerdaskan kehidupan
bangsa, memajukan kebudayaan nasional, membangun negara yang adil dan makmur,
serta berpegang teguh pada UUD 1945 dan akar budaya Indonesia.

13
Nasib Guru yang Memilukan
oleh Agus Suwignyo

Ribuan guru kembali berunjuk rasa menuntut perbaikan nasib dan kejelasan
profesi. Hal seperti ini biasa terjadi di Indonesia karena masalah kesejahteraan guru
sangat kompleks dan mendasar dalam dunia pendidikan kita. Bukan hanya menuntut
status kejelasan kepegawaian, tetapi juga menuntut penghasilan mereka ditingkatkan,
terutama untuk guru honorer. Meskipun unjuk rasa ribuan guru sering terjadi, tampaknya
pemerintah Indonesia tidak pernah mau memahami permasalahan mereka. Kini,
meskipun komitmen dalam Undang-Undang Guru dan Dosen telah amat jelas, tetapi
realitasnya belum ada. Dengan kesejahteraan yang amat minim, ketidakpastian pekerjaan,
dan beban biaya hidup, mampukah guru menjadi sumber inspirasi yang mempunyai
profesionalitas yang tinggi dalam mengajar.

14
Nasib Guru yang Memilukan

oleh Agus Suwignyo

Ribuan guru berunjuk rasa pada Kamis, 19 Juli 2007. Mereka antara lain
menuntut perbaikan nasib dan kejelasan profesi. Sehari sebelumnya, guru tidak tetap
(GTT) dan pegawai tidak tetap (PTT) sekolah negeri mengadukan belum adanya surat
keputusan pengangkatan sebagai tenaga honorer ke DPRD (Kompas Yogyakarta, 19 Juli
2007). Masalah kesejahteraan guru merupakan masalah kompleks dan mendasar dalam
dunia pendidikan kita. Bukan hanya status kepegawaian yang tak jelas, penghasilan guru
pun amat rendah sehingga banyak guru honorer tak mampu menyekolahkan anak mereka.
Nasib guru sungguh pilu.
Mengapa pemerintah tak berdaya menyelesaikan masalah kesejahteraan dan
kepegawaian guru? Sejauh mana Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen mampu mendorong pemerintah meningkatkan profesionalitas dan
kesejahteraan para guru?

Kepastian
Dari waktu ke waktu, tuntutan guru masih sama, yaitu kepastian profesi dan
kesejahteraan. Pertama, penghasilan guru ditingkatkan, disesuaikan dengan laju kenaikan
biaya hidup. Kedua, status kepegawaian diproyeksikan secara jelas dan definitif. Dalam
unjuk rasa di Yogyakarta, GTT dan PTT hanya menuntut surat keputusan tenaga honorer
agar dapat masuk daftar tunggu menjadi PNS! Amat sederhana!
Meski demikian, tampaknya pemerintah tidak pernah mau memahami hal itu.
Reaksi pemerintah Indonesia atas tuntutan guru selalu sama. Pertama, anggaran negara
selalu dinyatakan belum cukup untuk menaikkan gaji guru. Kedua, proyeksi penetapan
status kepegawaian terkendala tuntutan peningkatan kompetensi guru.

15
Zaman Belanda
Ketika jumlah sekolahdesa meningkat tajam di Jawa (1907) dan Sumatera (1917),
para guru pribumi di sekolahdesa resmi menuntut status guru bantu. Bersamaan dengan
itu, para guru berbangsa Belanda yang penghasilannya nyaris 10 kali lipat penghasilan
guru pribumi menuntut kenaikan gaji. Pemerintah kolonial Belanda menanggapi, meski
siang-malam telah menjadi guru di desa-desa, para guru pribumi yang rata-rata tamatan
sekolah kelas dua harus lulus kursus guru bantu lebih dulu untuk dapat diangkat. Selain
itu, gaji guru tidak dapat dinaikkan karena anggaran tersedot proyek transmigrasi dan
perang.
Setelah Indonesia merdeka, masalah guru-guru pribumi tak banyak berubah.
Banyak guru SD lulusan Sekolah Guru B-Puteri Ungaran tahun 1950-an yang dijanjikan
formasi begitu menyelesaikan pendidikan, misalnya, terkatung-katung sebelum akhirnya
diangkat sebagai guru pemerintah. Dengan penghasilan rata-rata Rp 280 per bulan, para
guru ikatan dinas itu mengajar di pelosok-pelosok desa sebagai tulang punggung gerakan
pemberantasan buta huruf. Lebih tragis, para guru di institusi yang pada zaman Belanda
disebut sekolah liar (wilde scholen), yaitu mereka yang menentang kebijakan pendidikan
kolonial dan berjuang demi sistem pendidikan nasional Indonesia, tidak diprioritaskan
diangkat sebagai guru negeri oleh Pemerintah Indonesia. Prioritas formasi pegawai pada
tahun-tahun pertama setelah proklamasi Indonesia justru para guru yang pada masa
Belanda adalah guru Pemerintah Belanda.
Kini meski komitmen dalam UU Guru dan Dosen telah amat jelas untuk
meningkatkan profesionalitas dan kesejahteraan, realitasnya masih. Pertama, target
sertifikasi yang terus diulur-ulur tanpa kejelasan pelaksanaan dijadikan alasan pemerintah
menolak segera memberikan tunjangan profesi guru. Kedua, upaya upgrading para guru
ke S-1 sebagai syarat sertifikasi tidak mendorong pemerintah segera menetapkan model
pendidikan, kurikulum, dan lembaga pelaksana. Alasannya, dana terbatas. Ketiga, yang
paling apes adalah guru honorer, GTT, dan PTT.

16
Meski ada yang bergelar S-1, guru dengan status kepegawaian itu harus menunggu lama
untuk dapat ikut sertifikasi dan menuntut tunjangan profesi. Alasan pemerintah, prioritas
pemerintah adalah guru-guru S-1 dengan status kepegawaian penuh. Artinya, perjuangan
guru honorer serta GTT-PTT masih panjang untuk bisa menikmati janji-janji UU Guru
dan Dosen. Dengan kesejahteraan yang amat minim, ketidakpastian pekerjaan, dan beban
biaya hidup kian berat, mampukah para guru menjadi sumber inspirasi pengembangan
diri bagi murid-murid? Realistiskah menuntut mereka mengajar dengan profesionalitas
dan kesungguhan.

Langkah Nyata
Tak ada pilihan, pemerintah harus segera mengambil langkah nyata untuk
menyelesaikan aneka masalah kesejahteraan guru. Pertama, tersedianya dana untuk
kesejahteraan guru adalah keharusan. Lupakan idealisme pendidikan sebagai pembangun
pilar nasionalisme dan kebudayaan. Persoalan nyata kini adalah perut lapar guru dan
keluarganya. Masalah kesejahteraan terkait isu kemanusiaan, bukan hanya politik
kebijakan pendidikan.
Kedua, peningkatan profesionalitas dan kesejahteraan dilakukan secara simultan.
Tahap-tahap status kepegawaian, up grading kualifikasi, dan pemberian tunjangan perlu
dipertahankan demi kualitas. Pelaksanaannya harus bersamaan untuk memenuhi tuntutan
tahapan kualifikasi, guru honorer tidak perlu menunggu proyek sertifikasi. Ketiga,
pemerintah perlu melibatkan institusi pendidikan swasta. Pemerintah tampaknya tidak
cukup gesit menjabarkan amanat Undang-Undang Guru dan Dosen karena birokrasi.
Harus dibuat kerangka kerja sama pemerintah-swasta.

17
Sulitnya Pemberdayaan Tenaga Pendidik
oleh Misbah Fikrianto, S.Pd

Pendidikan merupakan aset bangsa karena melalui pendidikan bangsa ini akan
maju dan lebih berkembang. Sudah saatnya pendidikan dijadikan sebagai sektor utama
untuk pembangunan bangsa. Pelaksanaan pendidikan tidak terlepas dari peningkatan
kualitas tenaga pendidik. Oleh karena itu, peran tenaga pendidik dan kependidikan untuk
menghasilkan mutu pendidikan akan sangat berarti. Terlebih lagi, tenaga pendidik dapat
diberdayakan untuk penuntasan wajib belajar 9 tahun. Program sertifikasi dan
standardisasi tenaga pendidik telah dilakukan dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Inovasi dan pengembangan kurikulum juga terus dilakukan, disesuaikan dengan
perkembangan ilmu dan pengetahuan yang ada. Kolaborasi program antara tenaga
pendidik, masyarakat, dan komponen swasta sangat membantu dalam pekembangan
pendidikan Indonesia.

18
Sulitnya Pemberdayaan Tenaga Pendidik

oleh Misbah Fikrianto, S.Pd

Pendidikan merupakan aset bangsa yang bersifat intengible asset, melalui


pendidikan bangsa ini akan cerdas. Pendidikan merupakan tanggung jawab semua pihak,
oleh karena itu Yayasan Sekolah Rakyat mengambil peran strategis dalam menyukseskan
wajib belajar 9 tahun. Pasal 31 UUD 1945 yang telah diamandemen menyatakan bahwa
“Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar, serta pemerintah wajib membiayainya”. Anggaran
pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD juga belum terealisasi hingga saat ini.
Jika anggaran pendidikan sudah mencapai 20% maka kualitas sumber daya manusia
Indonesia akan bersaing dengan bangsa lain, baik di Asia maupun Eropa.
Pemerintah sudah melakukan pemerataan pendidikan dengan adanya program
bantuan operasional sekolah, namun untuk peningkatan mutu masih mengalami banyak
hambatan. Program sertifikasi dan standardisasi tenaga pendidikan juga dilakukan dalam
meningkatkan kualitas pendidikan. Inovasi dan pengembangan kurikulum juga terus
dilakukan, disesuaikan dengan perkembangan ilmu dan pengetahuan yang ada.
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar untuk mengembangkan potensi sumber daya
manusia. Proses pendidikan harus dilakukan secara integratif dengan semua stakeholders
untuk menjadikan ini agenda bersama. Sudah saatnya pendidikan dijadikan sebagai prime
sector untuk pembangunan bangsa. Pelaksanaan pendidikan tidak terlepas dari
peningkatan kualitas tenaga pendidik dan kependidikan.
Oleh karena itu, peran tenaga pendidik dan kependidikan untuk menghasilkan
mutu pendidikan akan sangat berarti. Terlebih dari itu, tenaga pendidik juga dapat
diberdayakan untuk membantu penuntasan wajib belajar 9 tahun dengan cara sosialisasi
dan pelayanan sosial terhadap masyarakat. Tenaga pendidik dan kependidikan merupakan
insan yang berpendidikan yang mempunyai kehormatan posisi dan daya tarik yang tinggi
dalam mengajak masyarakat dalam menuntaskan wajib belajar 9 tahun.

19
Tenaga pendidik dan kependidikan mempunyai peranan melakukan koordinasi dengan
strata pemerintahan terdekat, dari mulai kecamatan, keluarahan, dan tokoh masyarakat.
Pertemuan dan penyampaian informasi tentang pentingnya masa depan mereka akan
sangat berarti untuk kemajuan bangsa Indonesia. Kolaborasi program antara tenaga
pendidik, masyarakat, dan komponen swasta sangat membantu penuntasan wajib belajar
9 tahun.
Keberhasilan program penyadaran masyarakat melalui peran tenaga pendidik dan
kependidikan ini dapat menjadi salah satu indikator atas teraplikasikannya kompetensi
sosial pada tenaga pendidikan dan kependidikan. Semua komponen ini harus secara
sinergis dan intensif melakukan kerjasama sehingga percepatan akses akan lebih nyata
dan terlihat perubahannya di masyarakat. Pengembangan program Wajib Belajar
Pendidikan Dasar 9 Tahun yang dilakukan oleh Yayasan Sekolah Rakyat Indonesia
merupakan komitmen untuk mencerdaskan anak bangsa. Langkah nyata ini perlu
mendapat bantuan yang optimal dari berbagai pihak. Pengelolaan Tempat Kegiatan
Belajar Mandiri SMP Terbuka (TKBM) membutuhkan banyak kontribusi dari berbagai
pihak. Pelaksanaan program TKBM SMPT ini merupakan contoh partisipasi masyarakat
terhadap tanggung jawab pemerintah untuk melaksanakan pendidikan.
Pelaksanaan pendidikan di daerah yang satu dengan yang lainnya akan
berbeda jauh, hal ini juga dipengaruhi oleh faktor internal masyarakatnya. Dilihat dari sisi
fasilitas juga sangat memprihatinkan, banyak sekolah yang kurang layak dalam
memberikan pelayanan pendidikan. Pengembangan program juga terus dilakukan dalam
meningkatkan kualitas TKBM YSRI, yaitu program pelatihan motivasi, keterampilan,
komputer, konseling, keagamaan, budaya, dan seni. Beberapa TKBM sudah mampu
mandiri dalam mengembangkan program dan melakukan penetrasi dalam memajukan
kreativitasnya.

20
Sistem pembelajaran yang dikemas secara tatap muka dan mandiri, merupakan
sistem pembelajaran yang memudahkan kendala jarak, waktu, dan biaya. Sistem
pendidikan jarak jauh dan terbuka merupakan sistem pembelajaran yang dilaksanakan
oleh Yayasan Sekolah Rakyat. Program ini sangat efektif untuk mengurangi angka
partisipasi kasar hingga tahun 2009. Pada awal tahun 2008 ini angka partisipasi sekitar
lebih dari 92% secara nasional. Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 tentang standar
nasional pendidikan juga dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Standar
nasional pendidikan itu harus menjadi acuan dan batasan untuk peningkatan kualitas
pendidikan. Peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia harus dilakukan pada setiap
jenjangnya, hal itu dilakukan untuk mencapai visi pendidikan 2025. Visi pendidikan di
Indonesia tahun 2025 adalah pendidikan bermutu untuk mewujudkan insan yang cerdas
dan kompetitif. Pemerintah sudah bekerja keras untuk menciptakan program-program
peningkatan mutu tenaga pendidik dan kependidikan. Program pemerintah tersebut
sangat baik, contohnya adalah program sertifikasi guru, pendidikan profesi, pelatihan
peningkatan kompetensi, dan lain-lain.
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 sangat menjadikan indikasi bahwa
perlunya peningkatan kualitas dan kesejahteraan untuk tenaga pendidik. Kondisi tersebut
akan menjadikan modal awal untuk guru mengembangkan kegiatan pelayanan terhadap
masyarakat. Saat ini, program pendidikan inklusi sangat dikembangkan, hal ini
membuktikan bahwa pelayanan pendidikan untuk semua (hak yang sama) baik untuk
yang kurang berpotensi dan lebih potensinya sangat dihargai. Tenaga pendidik dan
kependidikan juga harus menghargai potensi atau kebutuhan khusus yang dimiliki oleh
peserta didik. Oleh karena itu, peran tenaga pendidik dan kependidikan untuk
mempercepat penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun sangat dibutuhkan.

21
Indeks Pendidikan Indonesia Menurun

oleh Kuniafi

Menurut Indeks Pembangunan Pendidikan atau EDI (Education Development


Index) yang terdapat pada laporan EFA (Education For All) yang diumumkan dalam
Global Monitoring Report 2008, posisi Indonesia berada dalam kategori sedang bersama
53 negara lainnya. Total nilai EDI diperoleh dari rangkuman perolehan empat kategori
penilaian, yaitu angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun
ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan gender, dan angka bertahan siswa hingga
kelas 5 sekolah dasar (SD). Evaluasi ini sangat membantu negara-negara yang
berkomitmen mewujudkan pencapaian EFA, sehingga masing-masing negara menjadi
tahu bagaimana posisinya dalam pencapaian pendidikan. Secara kualitas pendidikan
Indonesia sudah mengalami lompatan yang luar biasa. Meskipun, masih masuk kategori
yang perekonomiannya menengah dan termasuk negara berkembang.

22
Indeks Pendidikan Indonesia Menurun
oleh Kuniafi

Nama negara seperti Malta, Armenia, Santa Lucia, atau Mauritius tidak terlalu
akrab dengan telinga kita. Kalaupun ada yang pernah mendengar, boleh jadi tidak
mengetahui di belahan bumi manakah negara-negara “kecil” tersebut berada. Bagaimana
bentuk pemerintahannya pun, mungkin kita menerka-nerka. Akan tetapi, jangan terlalu
menganggap remeh. Sebab, negara-negara “kecil” itu ternyata memiliki kualitas
pendidikan lebih baik daripada negara yang jumlah penduduknya besar seperti Indonesia.
Kenyataan ini tergambar dalam Indeks Pembangunan Pendidikan atau EDI (Education
Development Index) yang terdapat pada laporan EFA (Education For All) yang
diumumkan dalam Global Monitoring Report 2008. Laporan GMR dikeluarkan
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(UNESCO) setiap tahun yang berisi hasil pemonitoran reguler pendidikan dunia.
Indeks pendidikan ini dibuat dengan mengacu pada enam tujuan pendidikan EFA
yang disusun dalam pertemuan pendidikan global di Dakar, Senegal, tahun 2000. Dalam
laporan terakhir yang diumumkan pada November 2007, EDI mengompilasi data
pendidikan dari 129 negara di seluruh dunia. Indeks ini dibuat dengan membagi tiga
kategori penilaian, yaitu nilai EDI tinggi, sedang, dan rendah.
Pada GMR kali ini, Indonesia tetap berada pada EDI kategori sedang bersama 53
negara lainnya. Total nilai EDI diperoleh dari rangkuman perolehan empat kategori
penilaian, yaitu angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun
ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan gender, dan angka bertahan siswa hingga
kelas 5 sekolah dasar (SD).

Posisi Indonesia
Mengetahui posisi Indonesia di dunia mungkin tidak harus membandingkannya
dengan negara-negara yang secara geografis letaknya jauh seperti di atas. Cukup dengan
melihat posisinya di antara sesama negara Asia Tenggara.

23
Hasil indeks pembangunan pendidikan terakhir ternyata menunjukkan adanya pergeseran
posisi Indonesia dan Malaysia. Jika pada tahun-tahun sebelumnya peringkat Indonesia
selalu berada di atas Malaysia, kali ini terjadi perbedaan hasil. Dalam laporan yang
diumumkan November lalu itu, posisi Malaysia melonjak enam tingkat dari peringkat 62
menjadi 56. Sebaliknya, peringkat Indonesia turun dari posisi 58 menjadi 62. Nilai total
EDI yang diperoleh Indonesia juga turun 0,003 poin, dari 0,938 menjadi 0,935.
Sementara itu, Malaysia berhasil meraih total nilai 0,945, atau naik 0,011 poin dari tahun
sebelumnya.
Dalam penghitungan kali ini, Malaysia berhasil menaikkan poin pada tiga
komponen penilaian, yaitu angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada
usia 15 tahun ke atas, dan angka partisipasi menurut kesetaraan gender. Adapun kategori
angka bertahan kelas 5 SD memperoleh nilai sama dengan tahun sebelumnya. Indonesia
hanya berhasil menaikkan poin pada angka bertahan kelas 5 SD sebesar 0,004 poin.
Adapun pada kategori lain, yaitu angka partisipasi pendidikan dasar dan angka partisipasi
menurut kesetaraan gender, poinnya justru turun sebesar 0,007 poin. Sedangkan angka
melek huruf berhasil mempertahankan skor yang sama dengan tahun sebelumnya.
Sistem penilaian EDI juga membagi tiga kategori skor, yaitu kelompok negara
dengan indeks pendidikan tinggi (0,950 ke atas), sedang (0,800 sampai di bawah 0,950),
dan rendah (di bawah 0,800). Pada pembagian ini tercatat enam negara Asia Tenggara,
yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Vietnam, Myanmar, dan Kamboja, berada di
kelompok negara dengan kategori EDI sedang. Sementara Brunei Darussalam yang baru
tahun ini masuk dalam penilaian berada di kelompok negara dengan indeks pembangunan
pendidikan tinggi. Negara Asia Tenggara lain, yaitu Laos, hingga saat ini masih termasuk
dalam kelompok negara dengan indeks pembangunan pendidikan rendah. Khusus untuk
Singapura dan Thailand tidak tercatat dalam penilaian sehingga tidak dapat
dibandingkan.

24
Satu hal yang patut dicatat, tahun ini Malaysia berhasil meraih poin 0,945, atau
hanya butuh 0,005 poin lagi untuk masuk ke kelompok negara dengan indeks pendidikan
tinggi. Sedangkan Indonesia sedikitnya membutuhkan 0,015 poin lagi untuk masuk
dalam kategori EDI tinggi. Itu pun jika tahun depan tidak lagi terjadi penurunan seperti
tahun ini. Jika mengamati perolehan total skor indeks pendidikan selama empat tahun,
yaitu antara tahun 2001 dan 2005, terlihat hanya Myanmar dan Kamboja yang
menunjukkan peningkatan setiap tahun. Bahkan, pada tahun 2005 terjadi lompatan posisi
Kamboja dengan berhasil masuk ke kelompok EDI medium (sedang) dari tahun-tahun
sebelumnya di kelompok negara berEDI rendah. Seperti juga Malaysia, pada tahun
tersebut hampir semua nilai komponen dalam indeks pendidikan Kamboja meningkat.
Hanya angka melek huruf yang stagnancy, sama dengan tahun sebelumnya.
Kenaikan poin setiap tahun sebenarnya terjadi juga pada Malaysia, khususnya
periode 2002-2005. Untuk tahun 2001, Malaysia belum tercatat dalam pengukuran indeks
pembangunan pendidikan dunia. Mengenai posisi Indonesia di EFA kali ini, Menteri
Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan, penurunan peringkat pencapaian
EFA di UNESCO itu tidak perlu dibesar-besarkan. Pasalnya, peningkatan kualitas
pendidikan di Indonesia sudah mulai diakui negara lain.
“Media massa jangan mencari yang jelek-jelek saja dalam pencapaian reformasi
pendidikan di Indonesia. Secara kualitas, pendidikan Indonesia sudah mengalami
lompatan yang luar biasa. Meskipun masih masuk kategori yang perekonomiannya
menengah, Indonesia memberanikan diri mengikuti program penilaian PISA atau
Programme for International Assessment. Setidaknya Indonesia berani ikut penilaian
dengan 30 negara industri maju,” kata Bambang.
Untuk menindaklanjuti hasil evaluasi UNESCO terhadap pencapaian EFA 2015,
tanggal 11-13 Desember lalu diadakan pertemuan evaluasi pertengahan pencapaian EFA.
Pertemuan dihadiri pemimpin negara, lembaga donor, dan lembaga internasional lainnya.
Evaluasi ini membantu negara yang berkomitmen mewujudkan pencapaian EFA
sehingga masing-masing negara menjadi tahu bagaimana posisinya dalam pencapaian
pendidikan dasar, yang umumnya masih jauh dari target EFA 2015. Kelemahan
pencapaian umumnya terlihat di pencapaian pendidikan dasar dan pendanaan.
25
Dalam peningkatan kualitas pendidikan, ada tiga kebijakan yang ditekankan.
Pertama, negara-negara harus mengembangkan kebijakan untuk melatih dan merekrut
sebanyak-banyaknya guru SD dengan memerhatikan perkembangan karier mereka.
Kedua, melakukan pendekatan komprehensif dengan berfokus pada kurikulum,
pedagogical, persamaan gender, bahasa pengantar, buku teks, dan fasilitas yang layak.
Ketiga, adanya kebijakan untuk menyiapkan anak-anak siap belajar, caranya dengan
meningkatkan partisipasi pendidikan anak usia dini serta akses kesehatan dan gizi di
sekolah.

26
Pendidikan Gratis Mungkin Tidak Ya?

oleh Rudi Hartono

Masalah pendidikan di Indonesia merupakan masalah pokok yang harus


dituntaskan oleh rakyat Indonesia untuk mengejar ketertinggalannya dengan negara lain,
salah satu jalannya dengan meningkatkan kualitas pendidikan kita. Dalam bidang
pendidikan pemerintah lebih mengutamakan peningkatan standarisasi pendidikan,
sedangkan di sisi lain upaya untuk menaikkan kualitas pendidikan dan variabel-variabel
pendukungnya justru tidak terjadi. Bagaimana bisa kita bicara kualitas jika fasilitasnya
buruk, buku-bukunya mahal, bangunan terancam roboh, dan kesejahteraan gurunya
sangat minim. Pemerintah terlalu menargetkan kualitas lebih sedangkan di sisi lain
semakin menghancurkan sistem pendidikan kita. Biaya pendidikan yang mahal dan
penghasilan guru yang minim membuat pendidikan Indonesia semakin terpuruk.
Pertanyaannya mungkinkah pendidikan gratis itu dapat dilakukan di Indonesia?

27
Pendidikan Gratis Mungkin Tidak Ya?

oleh Rudi Hartono

Masalah pendidikan adalah hal yang sangat urgent dalam pembangunan nasional
karena hal tersebut menyangkut human capital, faktor penting yang mendorong
perkembangan tenaga-tenaga produktif. Berdasarkan laporan UNDP dalam
mengumumkan Annual Human Development Report (HDR) tanggal 7 September 2005
menyebutkan bahwa Indonesia termasuk dalam kategori 50 negara yang tingkat Human
Development Index terendah seiring dengan semakin besar keterlibatan IMF dan WTO di
Indonesia. Ini merupakan problem pokok yang harus dituntaskan oleh rakyat Indonesia
untuk mengejar ketertinggalannya dengan negara lain, salah satu jalannya dengan
meningkatkan kualitas pendidikan kita.
Rezim yang berkuasa di Indonesia termasuk rezim Susilo Bambang Yudhoyono
dan Jusuf Kalla yang berkuasa saat ini tidak pernah menempatkan prioritas pendidikan
sebagai sektor yang harus didahulukan, diutamakan dibanding dengan sektor-sektor lain.
Hal ini bisa kita lihat dalam kebijakan-kebijakan mereka. Pertama, anggaran untuk
pendidikan tidak pernah melampaui 10% dari anggaran belanja negara, dibandingkan
dengan porsi-porsi yang tidak penting seperti pembayaran utang luar negeri dan surat
obligasi perbankan angka untuk pendidikan sangat kecil. Kedua, akibat dari problem
anggaran tersebut adalah fasilitas pendidikan, mulai bangunan sekolah hingga buku-buku
pelajaran sangat langka, walaupun ada itu sangat mahal dan susah dijangkau oleh semua
orang. Ketiga, karena mahal ditambah semakin besarnya peran swasta dalam dunia
pendidikan untuk akumulasi modal, membuat pendidikan semakin menurun daya
tampungnya dan putus sekolah semakin meningkat. Keempat, karena kebijakan ekonomi-
politiknya banyak ditentukan oleh modal internasional (IMF, WTO, Bank Dunia, CGI
dan Paris Club) maka rezim yang berkuasapun harus tunduk dan menjalankan program
General Agreement on Trade and Service (GATS) yang di antaranya adalah
komersialisasi pendidikan bentuknya swastanisasi/BHMN-isasi, pencabutan subsidi
pendidikan, dan lain sebagainya.

28
Dalam kasus Ujian Nasional beberapa bulan yang lalu, Wakil Presiden Jusuf
Kalla gerah dengan kritikan banyak pihak tentang banyaknya anak yang tidak lulus Ujian
Nasional, menurut Jusuf Kalla, ”peningkatan standarisasi kelulusan tujuannya adalah
menaikkan kualitas pendidikan agar bangsa kita tidak menjadi bangsa kuli”. Ini adalah
pernyataan yang tidak masuk akal karena Jusuf Kalla berbicara tentang standarisasi dan
kualitas pendidikan sedangkan di sisi lain upaya untuk menaikkan kualitas
pendidikan/variabel-variabel pendukungnya justru tidak terjadi seperti; mana mungkin
kita bicara kualitas jika fasilitasnya buruk, buku-bukunya mahal, bangunan terancam
roboh, dan kesejahteraan gurunya sangat minim. Pemerintah terlalu menargetkan kualitas
lebih sedangkan di sisi lain semakin menghancurkan sistem pendidikan kita, Jusuf Kalla
berbicara menolak menjadi bangsa kuli tapi di sisi lain pemerintah kita membudak pada
kepentingan imperialisme global untuk membayar utang, mencabut subsidi pendidikan,
menaikkan bahan bakar minyak (BBM) yang membuat situasi ekonomi rakyat semakin
sulit.
Dalam peringatan Hari Ulang Tahun PGRI di Solo kembali Jusuf Kalla
memperlihatkan sikap reaksionernya ketika guru-guru berdemonstrasi di depannya dan
menggambarkan gedung sekolah mereka yang sama dengan kandang ayam, Jusuf Kalla
pun marah-marah. Padahal, sangat nyata di media tiap hari kita diperlihatkan dengan
anak-anak yang harus belajar di luar gedung karena sekolah mau ambruk, atau sekolah-
sekolah dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.
Perlawanan terhadap situasi pendidikan yang carut-marut ini pun terjadi dimana-
mana, di Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Universitas Hasanuddin,
Universitas Negri Malang, Institut Pendidikan Mataram, dan berbagai kampus di
Indonesia semuanya menuntut pendidikan harus murah. Bahkan wacana pendidikan
gratis-ilmiah dan demokratis yang menjadi program perjuangan LMND dulunya
dianggap terlalu extreme kini mulai menjadi tuntutan gerakan, bukan hanya mahasiswa
tapi juga buruh, tani dan kaum Miskin Kota yang punya kepentingan dengan pendidikan
gratis. Pertanyaannya mungkinkah pendidikan gratis itu dilakukan di Indonesia? Jawaban
kami bahwa itu sangat bisa.

29
(1) Indonesia adalah negara yang kaya raya dengan sumber daya alam yang
melimpah yang jika itu bisa dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat, bisa mendanai
kebutuhan-kebutuhan sosial rakyat menjadi gratis, termasuk pendidikan. Problemnya saat
ini adalah bahwa kekayaan alam yang melimpah tersebut tidak pernah diperuntukkan
untuk kepentingan rakyat malah diserahkan untuk kepentingan imperialisme, contoh
dalam sektor pertambangan PT Freeport di Papua, menurut catatan Departemen Energi
dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sejak 1991 hingga tahun 2002, PT Freeport
memproduksi total 6,6 juta ton tembaga, 706 ton emas, dan 1,3 juta ton perak. Dari
sumber data yang sama produksi emas, tembaga, dan perak Freeport selama 11 tahun
setara dengan 8 miliar US$. Sementara, perhitungan kasar produksi tembaga dan emas
pada tahun 2004 dari lubang Grasberg setara dengan 1,5 miliar US$. Berdasarkan laporan
pemegang saham tahun 2005, nilai investasi FM di Indonesia mencapai 2 miliar dolar.
Freeport merupakan perusahaan emas penting di Amerika karena merupakan
penyumbang emas nomor dua kepada industri emas di Amerika Serikat setelah
Newmont. Pemasukan yang diperoleh Freeport McMoran dari PT Freeport Indonesia,
dan PT Indocopper Investama (keduanya merupakan perusahaan yang beroperasi di
Pegunungan Tengah Papua) mencapai 380 juta dolar (hampir 3,8 triliun) lebih untuk
tahun 2004 saja. Dalam nota keuangan tahunannya kepada pemegang saham, selama tiga
tahun hingga tahun 2004, total pengasihan PT Freeport kepada Republik Indonesia hanya
kurang lebih dari 10-13% pendapatan bersih diluar pajak atau paling banyak sebesar 46
juta dolar (460 miliar rupiah). Bayangkan, jika ini diolah dan digunakan untuk
kepentingan rakyat? Khusunya untuk sektor pendidikan?
(2) Utang luar negeri yang notabene sebagian besar adalah utang illegalitimate
debt justru banyak menguras anggaran negara, untuk APBN 2006 saja 40%
diperuntukkan untuk membayar cicilan utang sedangkan untuk pendidikan hanya 11%
untuk tahun 2006.

30
Menurut Susan George hutang hanyalah skenario negara-negara maju untuk menjebak
negara-negara miskin untuk masuk dalam perangkat ekonomi neo-liberal mereka (debt
trap), sehingga dibutuhkan sebuah komitmen politik yang nyata dari pemerintah untuk
menolak membayar utang dan digunakan untuk keperluan membiayai pendidikan,
kesehatan, dan industrialisasi nasional.
(3) Jika pemerintah tulus memberantas korupsi dan menyita harta koruptor
utamanya yang kelas kakap, seperti Soeharto, Akbar tanjung, dan Syamsul Nursalim
maka itu pun sebenarnya sanggup untuk pembiayaan sektor pendidikan. Belum lagi
solusi lain, seperti penarikan surat obligasi, pajak progresi bagi orang kaya, pajak bagi
impor barang-barang mewah, dan lain sebagainya, merupakan jawaban bahwa
pendidikan Indonesia sebenarnya sangat bisa untuk gratis. Di beberapa daerah seperti
Jembrana, Kutai Kertanegara, dan Gorontalo pemerintah daerah mampu memberikan
pendidikan gratis, kenapa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla
tidak mampu.
Sehingga dalam perjuangan untuk pendidikan bagi seluruh rakyat; maka tuntutan
kita sudah seharusnya pendidikan gratis, Ilmiah dan Demokratis untuk Rakyat! Kenapa
harus ilmiah? Karena selama ini pendidikan lebih diutamakan untuk kepentingan
kapitalisme dalam bentuk program Link and Macth, kurikulum pendidikan, dan lain
sebagainya. Pola Link and Match adalah pola hubungan antara industri, lembaga
pendidikan, terutama pendidikan tinggi, dan pemerintah yang menekankan bahwa
pendidikan haruslah menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja (industri dan
pemerintah), mengkondisikan peserta didik untuk dapat lebih mudah diserap oleh industri
dan pemerintah, dan menjadikan laboratorium perguruan tinggi sebagai pusat-pusat riset
untuk kepentingan industri dan pemerintah. Pendidikan harus lebih diutamakan pada
kurikulum yang lebih humanis, kerakyatan, dan mampu menjawab problem-problem
keterbelakangan tenaga produktif di Indonesia.

31
Sumber Tulisan

32
Sumber Tulisan

1. Masalah Pendidikan Indonesia


oleh Rena Istri Wangi
www.Kompas.com, artikel Kompas, 6 Juni 2007
2. Nasib Guru yang Memilukan
oleh Agus Suwignyo
www.Kompas.com, artikel Kompas, 20 Juli 2007
3. Pendidikan Gratis Mungkin Tidak Ya?
oleh Rudi Hartono
www.Kompas.com, artikel Kompas, 4 Juli 2005
4. Masalah 20% Dana Pendidikan
oleh Prof. Dr. Soedijarto, M.A
koran Kompas, 13 September 2007
5. Pendidikan Bukan Prioritas Utama
oleh Prof. Dr. Komaruddin Hidayat
www.Kompas.com, artikel Kompas, 17 Agustus 2004
6. Sulitnya Pemberdayaan Tenaga Pendidik
oleh Misbah Fikrianto, S.Pd
www.Kompas.com, artikel Kompas, 23 Januari 2008
7. Indeks Pendidikan Indonesia Menurun
oleh Kuniafi
www.Kompas.com, artikel Kompas, 31 Desenber 2007
8. Gambar-gambar
http://images.google.co.id/images?hl=id&resnum=0&q=gambar%20sekolah&um=1&ie=
UTF-8&sa=N&tab=wi
http://images.google.co.id/images?q=huruf+prancis&ndsp=18&um=1&hl=id&start=90&
sa=N
http://image.google.co.id/images?=hurufjawa&ndsp=18&um=1&hl=id&start

33
Indeks

34
Indeks

A H
Aklamasi, 13 Honorer, 14, 15, 16, 17
Anderson, Tom, 5 Human Capital, 8, 28
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Human Development Report (HDR), 28
(APBD), 10, 12, 13, 21 Humanis, 31
Anggaran Pendapatan Belanja Negara Hurley, Chad, 5
(APBN), 3, 10, 11, 12, 13, 21, 28

B I
Bantuan Operasional Sekolah (BOS), 3, Indikator, 9, 10, 20
21 International Monetary Fund (IMF), 28
Blair, Tony, 10 Illegalitimate debt, 31
Brin, Sergei, 8 Inklusi, 21
Build Nation Build Schools, 11 Integible Asset, 19
Integratif, 19
D
Departemen Pendidikan Nasional, 2 K
deWafe, Chris, 5 Karim, Jawed, 5
Debt trap, 28 Kerry, John, 10
Definitif, 16 Kelas Kakap, 31
Dompet Dhuafa, 7 Kompas Yogyakarta, 15
Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), 16 Kompetensi, 2, 8, 15, 20, 21
Kwik Kian Gie, 12
E
Ekonomi Neo-Lliberal, 28 P
Ekspansif, 6 Paris Club, 28
Extreme. 27 Pasal 31 Ayat 2 UUD 1945, 9, 10, 11, 13
Education Development Index (EDI), 25, Pasal 31 Ayat 4 UUD 1945, 4, 13
26 Pedagogical, 26
Education For All (EFA)22, 23, 25, 26 Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005,
21
G Pragmatis, 6, 8
General Agreement on Trade and Program for International Assessment
Service (GATS), 28 (PISA), 25
Gender, 22, 23, 24 Pola Link and Match, 31
George, Susan, 31 Prime Sector, 19
Gerakan Orang Tua Asuh (GNOTA), 3 Pegawai Tidak Tetap (PTT), 15, 16, 17
Global Monitoring Report (GMR), 22,
23
Guru Tidak Tetap (GTT), 15, 16, 17

35
R
Rezim, 28

S
Sertifikasi, 16, 17, 18, 21
Simultan, 17
Solution Oriented,8
Stakeholders, 19
Stagnancy, 25
Steve Chen, 5

T
Teraplikasi, 20
Tempat Kegiatan Belajar Mandiri SMP
Terbuka (TKBM SMPT), 20

U
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005
United Nation Development Program
(UNDP), 28
United Nation Educational, Scientific,
and Cultural Organization (UNESCO),
23, 25
Upgrading, 16
Urgent, 28

V
Video Networking, 5

W
Wilde Scholen, 16
World Trade Organization (WTO),
28
Y
Yayasan Sekolah Rakyat, 19, 10, 21
Biografi Penulis

1) Rena Istri Wangi seorang mahasiswi Universitas Negeri Malang.

2) Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, lahir di Magelang, Jawa Tengah, pada 18 Oktober
1953. Ia lahir di lingkungan keluarga yang taat beragama. Dari namanya saja tampak
bahwa keluarganya adalah keluarga santri. Begitu juga riwayat pendidikannya, ia lulus
pesantren Pabelan, Magelang pada 1969, kemudian melanjutkan ke Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan lulus sarjana S1 pada 1981. Kemudian,
menyelesaikan S3nya dalam bidang filsafat di Universitas Ankara, Turki pada 1990. Pria
yang biasa dipanggil Mas Komar ini bergabung dengan Yayasan Wakaf Paramadina di
Jakarta. Dari Paramadina inilah ia mulai mengguratkan namanya sebagai cendekiawan
muslim yang cukup diperhitungkan. Memulai kariernya sebagai dosen dan kemudian
Direktur Eksekutif Paramadina, ia lalu dipercaya menjadi Ketua Yayasan yang didirikan
cendekiawan Nurcholish Madjid tersebut.
Penguasaan ilmu-ilmu agamanya yang sangat mumpuni, ditambah reputasi publik
yang disandangnya sebagai intelektual kelas wahid di negeri ini, membuatnya begitu
sibuk memenuhi undangan diskusi, ceramah, dan acara unjuk wicara (talkshow) baik di
televisi maupun radio. Sejak Januari 2005, Mas Komar resmi diangkat sebagai Direktur
Program Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Suami dari Ait Choeriyah dan bapak dari dua anak ini dikukuhkan sebagai guru
besar filsafat agama oleh almamaternya Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatulah Jakarta pada Desember 2001. Obsesinya untuk membumikan ajaran-ajaran
Islam ia tuangkan dalam pidato pengukuhannya yang berjudul “Ketika Agama
Menyejarah”. Di situ ia mengemukakan bahwa Islam pada awal pertumbuhannya
menunjukkan visi, potensi, dan prestasi yang sangat menakjubkan dalam membangun
peradaban unggul dengan cara damai, intelektual, dan beradab.

37
Tentang kepiawaiannya dalam menulis, Mas Komar mengaku karena memang
sejak remaja (di pesantren) sudah membiasakan diri berlatih menulis. Bekal keterampilan
menulis itu ia asah terus hingga kuliah. Ketika menjadi mahasiswa sampai lulus S1, ia
pernah menjadi wartawan majalah Panji Masyarakat selama 4 tahun (1978-1982). Mas
Komar adalah orang yang percaya bahwa masa kecil seseorang menentukan akan
menjadi apa orang tersebut kelak. Dan ia merasa beruntung karena sejak kecil
orangtuanya telah mengarahkannya ke jalan yang kini ia yakini sebagai “benar”.

3) Prof. Dr. Soedijarto, M.A, adalah sosok yang paling dihormati oleh segenap
keluarga besar ISPI. Ia merupakan salah satu Guru Besar Universitas Negeri Jakarta
(UNJ) dan sebagai anggota BP MPR

4) Agus Suwignyo seorang alumnus Faculteit der Pedagogische Onderwijskundige


Wetenschappen, Universitas Amsterdam, sedang meneliti sejarah pendidikan guru.

5) Misbah Fikrianto, S.Pd adalah Mahasiswa FIP yang berprestasi tingkat regional
dan nasional dalam Kegiatan Pelayaran Kebangsaan III tingkat Nasional tahun 2003. Dia
adalah Direktur Eksekutif Sekolah Rakyat Indonesia

6) Kuniafi lahir dan besar di sebuah kampung bernama Pulau Godang Kari,
Kecamatan Kuantan Tengah. Dulu disebut Kabupaten Inderagiri Hulu, kini Kuantan
Singingi, Provinsi Riau. Kemudian, ia pindah ke Pekanbaru untuk menuntut ilmu.
Setelah itu, ia pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikannya ke universitas. Ia
belajar Teknik Elektronika di Yogyakarta. Setelah beberapa tahun, ia pun menjadi dosen
di UIN Sultan Syarif Kasim Riau, di Fakultas Sains dan Teknologi, di Jurusan Teknik
Elektro. Walaupun hanya berbekal ijazah S1, Kuniafi sangat bersyukur bisa menjadi
dosen di universitas tersebut.

38
Aktivitasnya di beberapa organisasi membawa Kuniafi berkenalan dengan orang-orang
di luar kampus. Mereka membantu Kuniafi merasakan ada sesuatu yang ”tidak beres”
dengan bumi. Cara manusia memproduksi dan menggunakan energi (terutama minyak
dan listrik) sungguh tidak sehat bagi alam. Kemudian, ia bergabung dengan science club
di UIN Sultan Syarif Kasim Riau hingga saat ini.

7) Rudi Hartono seorang mahasiswa Universitas Mulawarman yang biasa dipanggil


Milul dari Samarinda, Kalimantan Timur. Menurut Milul pendidikan adalah kunci
pengentasan kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat Indonesia untuk menghadapi
persaingan global. Seharusnya pemerintah pusat/daerah, yang diamanatkan dalam
program Otonomi Daerah lebih memperhatikan pembangunan dalam sektor pendidikan,
bukan pembangunan fisik dalam bentuk gedung atau infrastruktur umum yang kurang
mendukung terhadap dunia pendidikan. Ia berharap pemerintah memberhentikan
sementara pembangunan fisik, tetapi mengutamakan pembangunan sumber daya alam
dalam jangka waktu 5 tahun ini.

39
Snapshots

40

Anda mungkin juga menyukai