Ahmad Faiz-Fkik PDF
Ahmad Faiz-Fkik PDF
Skripsi
Oleh:
Ahmad Faiz
1112101000092
1438 H / 2017 M
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Judul Skripsi
ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN BANGUNAN
DI JAKARTA SELATAN TAHUN 2013-2015
1438 H / 2017 M
i
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI
Penguji I
Penguji II
Penguji III
ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Skripsi, Maret 2017
Ahmad Faiz, NIM : 1112101000092
Analisis Spasiotemporal Kejadian Kebakaran Bangunan Di Jakarta Selatan
Tahun 2013-2015
xv + 122 halaman, 14 tabel, 29 gambar
ABSTRAK
Kebakaran merupakan suatu kejadian yang dapat menimbulkan kerugian harta benda
dan korban jiwa di masyarakat. Kejadian kebakaran di Jakarta Selatan selama tahun 2013-2015
mengalami peningkatan setiap tahunnya serta merupakan wilayah dengan jumlah korban
meninggal terbanyak pada tahun 2015. Setiap wilayah memiliki kemungkinan karakteristik
kejadian kebakaran bangunan yang berbeda. Analisis spasiotemporal dapat digunakan untuk
mengetahui karakteristik kejadian kebakaran bangunan di setiap wilayah sehingga program
penanggulangan kejadiannya dapat disesuaikan dengan karakteristiknya.
Penelitian ini menggunakan desain studi ekologi yang bertujuan untuk mengetahui
distribusi spasial temporal kejadian kebakaran bangunan di Jakarta Selatan tahun 2013-2015
beserta faktor-faktornya (kelompok berpendapatan rendah, kepadatan penduduk, penduduk
anak-anak, dan penduduk lansia). Penlitian ini dilakukan pada November 2015-Maret 2017.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua laporan kejadian kebakaran bangunan di Jakarta
Selatan pada tahun 2013-2015.
Hasil penelitian menunjukkan secara spasial kejadian kebakaran bangunan yang tinggi
hampir terjadi di semua kecamatan sedangkan secara temporal berkurang. Secara spasial
terdapat 9 dari 10 kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan
kelompok berpendapatan rendah yang rendah. Secara spasial frekuensi kejadian kebakaran
bangunan yang tinggi terjadi pada kategori tingkat kepadatan penduduk rendah hingga tinggi
sedangkan secara temporal kecamatan yang termasuk ke dalam kategori kepadatan penduduk
tinggi tidak bertambah. Secara Spasial frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi
terjadi pada wilayah dengan kategori penduduk anak-anak yang rendah dan tinggi sedangkan
secara temporal tidak terdapat peningkatan atau penurunan jumlah kecamatan yang masuk ke
dalam kategori penduduk anak-anak yang tinggi. Secara spasial frekuensi kejadian kebakaran
bangunan yang tinggi terjadi pada kategori penduduk lansia yang rendah sedangkan secara
temporal seluruh kecamatan termasuk ke dalam kategori Rendah selama 3 tahun berturut-turut.
Disarankan pemerintah untuk melakukan penambahan personil dan fasilitas pemadam
kebakaran untuk meningkatkan pelayanan pemadaman mengoptimalkan serta meningkatkan
sosialisasi dan pengawasan mengenai kebakaran, memudahkan masyarakat untuk mendapat
barang yang sesuai standar dan melakukan penataan penduduk.
Kata Kunci: Kebakaran, pendapatan rendah, kepadatan, lansia, anak-anak, kerugian.
Daftar Bacaan: 66 (1997-2016)
iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
OCCUPATIONAL HEALTH AND SAFETY
Undergraduate Thesis, March 2017
Ahmad Faiz, NIM : 1112101000092
Analysis Spasiotemporal Building Fire Incident in South Jakarta Year 2013-2015
xiv + 122 pages, 14 tables, 29 pictures
ABSTRACT
Fire is an event that can cause loss of property and loss of life. During 2013-2015 fires
in South Jakarta has increased every year and is the region with the highest number of deaths
in 2015. Every region has the possibility of fire occurrence characteristics of different building.
Spasiotemporal analysis can be used to determine the characteristics of a building fire activity
in each region so that prevention programs can be tailored to the characteristics of events.
The design of this research is ecological study to determine temporal spatial
distribution of building fires in South Jakarta in 2013-2015 as well as the factors (low income
groups, the population density, the population of children, and the elderly population). This
study to be done on November 2015 to March 2017. The population in this study are all
building fire incident reports in South Jakarta in 2013-2015.
Results showed spatially building fire occurrence at a high level occurred almost in all
districts, while temporally reduced. Spatially there are 9 of the 10 districts with the frequency
of occurrence building fire at a high level and low-income groups at low levels. In the spatial
frequency of occurrence building fire at a high level occurs in population density, with low to
high levels, while temporally districts that belong to the category with high levels of population
density is not increased. Spatially, frequency of occurrence building fire at high levels occur in
regions with a population category of children with low and high levels, while temporally, there
is no increase or decrease in the number of districts that into the category of children population
is high. Spatially, the frequency of occurrence building fire at a high level occurs in the elderly
population with a low level, while the temporal, the entire district are included in category of
Low for 3 years
Suggested the government to make additional personnel and fire fighting facilities to
improve the fire fighting services, optimize and improve the socialisation and monitoring of
the fire, facilitate the public to get goods to the standards and structuring of the population.
Keywords: Fire, lower income, the density, the elderly, children, loss.
Reading List: 66 (1997-2016)
iv
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim
Alhamdulillah, seluruh puji serta syukur selalu dilantunkan ke hadirat Allah
SWT, Sang Pemilik Pengetahuan, yang dengan rahmat dan inayahNYA jualah maka
penulis mampu merampungkan skripsi yang berjudul “Analisis Spasiotemporal
Kejadian Kebakaran Bangunan Di Jakarta Selatan Tahun 2013-2015”.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad
Rasulullah SAW, yang atas perkenan Allah, telah mengantarkan umat manusia ke pintu
gerbang pengetahuan Allah yang Maha luas.
Dalam proses penyusunan Skripsi ini, penulis mendapatkan banyak dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa
terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Keluarga tercinta atas dukungan yang diberikan tanpa mengenal batas waktu
hingga akhirnya penulis mampu mencapai pendidikan di jenjang universitas.
2. Bu Riastuti selaku pembimbing akademik yang telah memberi motovasi dan
mengawasi perkembangan akademik penulis.
3. Bu Iting dan Bu Lani selaku pembimbing Skripsi yang telah memberi arahan
dan masukan serta motivasi dan doa kepada penulis agar senantiasa berupaya
maksimal dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Pa Fajar yang telah menyusun bahan ajar GIS serta memberikan waktunya
untuk berdiskusi.
5. Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta dan BPS
DKI Jakarta.
6. Seluruh Dosen Program Studi Kesehatan Masayarakat atas semua ilmu yang
telah diberikan.
7. Devina dan Mas nya yang telah membantu untuk mengambil data di dinas
terkait
8. Ukhty yang telah mengajarkan GIS serta mengantarkan ke dinas terkait untuk
pengambilan data.
9. Teman-teman di peminatan K3 yang telah meluangkan waktunya untuk
berdisuksi
10. Serta semua orang yang tidak dapat disebutkan namanya yang telah membantu
dan mendukung penulis untuk menyelesaikan laporan magang ini.
v
Dan akhirnya kepada Allah SWT jualah penulis panjatkan doa dan harap, semoga
kebaikan mereka dicatat sebagai amal shaleh di hadapan Allah SWT dan menjadi
pemberat bagi timbangan kebaikan mereka kelak.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Kritik dan saran
yang membangun senantiasa penulis harapkan agar dapat dijadikan masukan di waktu
mendatang.
Semoga skripsi ini dapat mendatangkan manfaat kepada penulis khususnya, dan
kepada seluruh pembaca secara keseluruhan.
Ciputat, Maret 2017
Penulis
vi
DAFTAR RIWAYAT
vii
DAFTAR ISI
viii
1.5.2 Bagi Dinas Pemadam Kebakaran ............................................................ 9
Kebakaran ..................................................................................................... 11
ix
Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................ 40
Populasi ........................................................................................................ 40
x
Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan .................................
Kesimpulan ................................................................................................... 99
xi
7.2.1 Bagi BPBD DKI Jakarta ..................................................................... 100
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Variabel, sumber data dan instansi pengumpul data sekunder. .................. 41
Tabel 5.5 Distribusi Korban Luka Di Jakarta Selatan Tahun 2013-2015 ................... 63
Tabel 6.1 Jumlah Personel Pemadam kebakaran berdasarkan standar Tokyo ............ 88
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiv
Gambar 5.2 Distribusi Spasiotemporal Kejadian Kebakaran Bangunan Di Jakarta
xv
DAFTAR LAMPIRAN
2015
Penyelamatan 2015
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
harta benda dan korban jiwa di masyarakat. Kebakaran adalah suatu fenomena
yang terjadi ketika suatu bahan mencapai temperatur kritis dan bereaksi secara
kimia dengan oksigen yang menghasilkan panas, nyala api, cahaya asap, uap air,
karbon monoksida, karbon dioksida, atau produk dan efek lainnya (Furness dan
Muckett, 2007). Pada abad ke-21, kebakaran merupakan salah satu tantangan
pada aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) karena dampak dari
tercatat pada tahun 2014 telah terjadi 2,7 juta kejadian kebakaran di dunia dengan
jumlah total korban meninggal mencapai 20.700 jiwa. Data itu juga menyebutkan
kerugian setiap tahunnya yaitu 22 orang tewas, 300 orang cidera, dan kerugian
1
Data Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi DKI
Desember 2015 berjumlah 729 kejadian dengan taksiran kerugian mencapai Rp.
kesehatan yang sangat penting untuk diperhatikan (Corcoran dan Higgs, 2013).
sebanyak 5 orang, Jakarta Barat jumlah korban sebanyak 4 orang, Jakarta Timur
Artinya wilayah dengan jumlah korban terbanyak pada tahun 2015 adalah
Jakarta Selatan.
DKI Jakarta. Perbatasan dari kota administratif ini yaitu di sebelah utara
2
berbatasan dengan Jakarta Barat dan Jakarta Pusat. Di sebelah timur berbatasan
dengan Jakarta Timur. Di sebelah selatan berbatasan dengan Kota Depok, dan
sebelah barat dengan Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Luas wilayah
luka sebanyak 12 orang, dan korban meninggal sebanyak 5 orang. Pada tahun
orang, dan korban meninggal sebanyak dua orang. Pada tahun 2015 jumlah
3
yang dikeluarkan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi DKI
Salah satu program yang terkait pada kejadian kebakaran bangunan yaitu
semakin tinggi kepadatan suatu kota semakin sering kebakaran terjadi. Frekuensi
kejadian pada tahun 2013 kemudian mengalami kenaikan pada tahun 2014
berpotensi untuk mengalami frekuensi kebakaran yang tinggi dan kerugian yang
akses kredit ringan untuk pembangunan rumah permanen bagi pemilik rumah
berpendapatan rendah dan memiliki daya beli yang rendah dapat memiliki rumah
4
rendah berisiko untuk meningkatkan kejadian kebakaran di suatu wilayah. Hal
tersebut terjadi karena kurangnya daya beli dari kelompok berpendapatan rendah
1997).
pada usia dini. Hal ini diperlukan karena anak-anak dapat memungkinkan
kebakaran. Pada kejadian kebakaran di London selama tahun 1996 hingga tahun
5
kebakaran berumur lebih dari 60 tahun ke atas (Holborn dkk., 2003). Salah satu
faktor dari hal tersebut yaitu keterbatasan fisik yang mulai dimiliki karena proses
penuaan seperti tuli atau buta yang dapat penduduk lansia untuk mengalami
1999b).
Rumusan Masalah
bagian dari wilayah provinsi DKI Jakarta yang memiliki korban meninggal
paling tinggi dari wilayah lainnya pada tahun 2015 yaitu sebanyak 5 orang.
6
Selain itu, kejadian kebakaran bangunan di Jakarta Selatan selama tahun 2013-
bangunan setiap tahunnya yaitu tahun 2013 sebanyak 135 kejadian, tahun 2014
sebanyak 141 kejadian, dan tahun 2015 sebanyak 157 kejadian. Hal tersebut
tahunnya yaitu dari 14795,25 jiwa/km2 pada tahun 2013 menjadi 15389.08
jiwa/km2 pada tahun 2015. Selain itu masih terdapat faktor lain seperti jumlah
besar masalah dan analisis spasial temporal untuk menggambarkan sebaran dan
spasial akan mempertajam analisis dari distribusi tersebut dari sudut pandang
2015.
7
Pertanyaan Penelitian
Tujuan Penelitian
tahun 2014.
8
3. Diketahuinya distribusi spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan
Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Badan Penanggulangan Bencana Daerah
lingkupnya.
9
Ruang Lingkup
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi spasial temporal
desain studi ekologi. Populasi penelitian ini yaitu seluruh laporan kejadian
data yang dilakukan dengan analisis data laporan tahunan kejadian kebakaran di
bangunan.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kebakaran
bahan bakar, panas yang cukup untuk membuat benda terbakar, dan udara
(oksigen). Semua komponen ini harus hadir untuk menghasilkan api dan api
tersebut akan terus menyala hingga salah satu komponen tersebut dihilangkan
sebagai segitiga api. Segitiga api dikenal atau diketahui sebagai kondisi yang
dibutuhkan agar terciptanya api. Ketiga unsur tersebut yaitu panas (heat), bahan
bakar (fuel), dan oksigen yang disebut juga segitiga api (triangle of fire).
11
Apabila salah satu dari komponen tersebut tidak tersedia maka api-pun
tidak dapat muncul. Bahan bakar berperan sebagai sumber energi, oksigen
untuk menghasilkan reaksi kimia untuk menghasilkan api (Cote, 2004). Namun,
pembakaran merupakan proses yang kompleks dimana hasil dari oksidasi bahan
pembakar yang cepat, panas dan juga cahaya (Chandler, 2009). Teori ini dikenal
sebagai Piramida Api (fire tetrahedron) (Casal, 2008). Api dapat dipadamkan
apabila bahan bakar, panas, dan oksigen dapat dihilangkan atau dengan cara
harta benda atau cidera bahkan kematian (Suma’mur, 2007). Dengan Demikian
12
kebakaran adalah suatu kondisi bersentuhan nya bahan bakar (fuel), oksigen dan
merupakan salah satu komponen yang dapat menentukan tingkat ancaman suatu
wilayah dibagi ke dalam 3 tingkatan, yaitu rendah (kurang dari 2%), sedang (2-
5%), dan tinggi (lebih dari 5%) (Badan Nasional Penanggulangan Bencana,
2012).
(2005), perambatan api dapat terjadi melalui beberapa cara, yaitu sebagai berikut:
a. Konduksi
api merambat melalui kayu, tembok beton, ataupun besi. Apabila terjadi
13
b. Konveksi
Konveksi adalah perambatan api melalui media cairan ataupun uap air.
Apabila terjadi kebakaran di suatu ruangan, maka panas juga dapat merambat
melalui pergerakan atau aliran udara panas ke wilayah sekitar ruangan tersebut.
Aliran udara panas akan mengalir dari suatu ruangan yang lebih panas menuju
c. Radiasi
elektromagnetik dan pancaran cahaya yang keluar dari api yang menyala. Salah
satu contoh perambatan panas melalui proses radiasi adalah panas matahari yang
dapat dirasakan oleh manusia di bumi. Terjadi proses perpindahan panas dalam
proses radiasi, misalnya ketika suatu bangunan terbakar, maka api akan
14
Association (1999a) berikut penyebab-penyebab kejadian kebakaran pada
bangunan:
dan pipe.
kabel, trafo, meter boxes, saklar, colokan listrik, dan peralatan pencahayaan
listrik.
cuci, vacuum cleaner, pekakas, selimut listrik, setrika, alat cukur listrik, alat
15
i. Peralatan-peralatan lainnya: kejadian kebakaran yang sumber panasnya berasal
dari peralatan khusus (radar, x-ray, komputer, telepon, pemancar, mesin penjual
j. Open flame: kejadian kebakaran yang sumber panasnya dari obor, lilin, korek
k. Panas lainnya: kejadian kebakaran yang bersumber dari kembang api, bahan
peledak, panas atau percikan dari gesekan, bahan cair, material panas, dan
semua kebakaran lain yang disebabkan oleh panas dari benda-benda bertenaga
bahan bakar, panas dari overloading, dan panas dari benda panas yang tidak
Fire Ignition and Fire Loss Model merupakan model yang dikembangkan
oleh Charles Robert Jenning pada tahun 1996. Model pada gambar 2.3
16
tersebut meyebutkan faktor-faktor tersebut sebagai faktor-faktor sosioekonomi.
kejadian kebakaran pada level populasi. Faktor lingkungan alam, aset bangunan,
17
bangunan, sosial, ekonomi, demografi, dan perilaku kejadian kebakaran. Berikut
kebakaran bangunan.
a. Lingkungan Fisik
(Huang, 2009). Untuk dapat menyalakan api suatu benda atau material
memerlukan suhu terendah untuk menyala (Thomson, 2001). Oleh karena itu
dengan tingkat suhu. Hal tersebut dapat terjadi karena suhu dapat mempengaruhi
bahan menjadi mudah terbakar karena bahan tersebut mencapai titik suhu yang
dapat menyalakan api (Randall, 2003). Menurut Corcoran dkk. (2011) suhu juga
peralatan seperti penghangat ruangan, peralatan masak dan kegiatan lain yang
tersebut.
b. Aset Bangunan
seberapa besar ketahanan terhadap kebakaran dan kerugian yang dapat terjadi
18
1) Usia Bangunan
mayoritas terdapat bangunan tua dibandingkan dengan kota yang mayoritas telah
dibangun dengan bangunan atau gedung yang lebih baru. Hal tersebut dapat
baik.
19
c. Sosial
Menurut Jennings (1999) kejadian kebakaran dapat dianggap sebagai produk dari
keberadaan orang tua pada model ini dalam kontek ekologi yaitu persentase anak
di bawah umur 18 tahun yang tingal dengan kedua orang tuanya. Keberadaan
kedua orang tua yaitu bapak dan ibu sangat penting untuk mengawasi anak-anak
single parent atau hanya 1 orang tua dapat meningkatkan risiko terjadinya
dalam kegiatan rumah tangganya dan kurangnya juga perawatan dan pengawasan
kurang terhadap anak-anak pada saat bermain dapat meningkatkan tingkat risiko
2) Tingkat Pendidikan
peralatan yang sesuai standar, seperti peralatan listrik. Tingkat pendidikan yang
20
rendah dapat berdampak pada rendahnya tingkat pengetahuan terhadap berbagai
d. Ekonomi
Menurut Badan Pusat Statistik (2015a) pendapatan meliputi upah dan gaji
atas jam kerja atau pekerjaan yang telah diselesaikan, upah lembur, semua bonus
klasifikasinya:
21
Berdasarkan standar dari PPLS (Pendataan Program Perlindungan Sosial)
seluruh kategori pendapatan), dan Tinggi (>35% dari total kelompok seluruh
1997).
2) Kemiskinan
22
suatu wilayah. Menurut Jennings (1999) kejadian kebakaran yang besar dapat
e. Demografi
1) Kepadatan Penduduk
Analisa pada komponen ini sangat penting salah satunya pada kepadatan
jumlah pemenuhan fasilitas, baik fasilitas umum maupun sosial, jumlah fasilitas
pada wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi akan lebih besar bila
23
Tabel 2.1 Peraturan Dan Klasifikasi Kepadatan Penduduk
Standar atau Peraturan Klasifikasi kepadatan penduduk
wilayah perkotaan.
2) Penduduk Anak-anak
yang berusia di bawah 19 tahun atau lebih muda. Sedangkan, menurut Undang-
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Adapun
menurut Ahmad dkk. (2001) yang dipublikasikan oleh WHO standar persentase
populasi usia di bawah 19 tahun adalah 34,62 % dari keseluruhan populasi total.
24
Ketika suatu kebakaran disebabkan oleh tindakan seorang anak yang
bermain dengan sumber api maka dapat dikatakan sebagai kebakaran yang
disebabkan oleh anak-anak yang bermain (Miller, 2012). Pada penelitian Hui
utama pada kejadian kebakaran pada saat siang hari ketika orang tuanya pergi
bekerja (Ono dan Da Silva, 2000). Bagi anak-anak menyelamatkan diri ketika
anak di bawah 5 tahun paling rentan untuk menjadi korban mati (Istre dkk., 2002,
3) Penduduk lansia
mendefinisikan penduduk usia tua yaitu setiap orang yang berusia di atas 65
penduduk lanjut usia sebagai penduduk berumur 60 tahun ke atas. Usia tua
merupakan tahap akhir dari proses penuaan yang memiliki dampak terhadap 3
aspek, yaitu biologis, ekonomi, dan sosial (Badan Pusat Statistik, 2015b). Secara
biologis, lansia akan mengalami proses penuaan secara terus menerus yang
ditandai dengan penurunan daya tahan fisik dan rentan terhadap serangan
25
daripada sumber daya. Secara sosial, kehidupan lansia sering dipersepsikan
secara negatif, atau tidak banyak memberikan manfaat bagi keluarga dan
populasi total.
tingkat risiko kebakaran. Pada penelitian Holborn dkk. (2003) mengenai kejadian
kebakaran di London selama tahun 1996 hingga tahun 2000 mengatakan bahwa
tahun ke atas. Menurut Ahrens dkk. (2007) penduduk lansia yang berusia 65
tahun ke atas memiliki kontribusi yang lebih besar dalam jumlah kematian karena
kejadian kebakaran dari pada penduduk usia muda. Hal tersebut dapat terjadi
tuli atau buta yang dapat penduduk lansia untuk mengalami kecelakaan
2006).
26
d) Terdapat penduduk lansia yang hidup di bawah garis kemiskinan dan
kebakaran.
adalah kepekaan sosial, kelangsungan perilaku, orientasi pada tugas, usaha dan
perjuangan, serta tiap individu adalah unik (Sarwono, 2013). Salah satu faktor
yang harus diperhatikan pada suatu kejadian kebakaran yaitu perilaku manusia.
Menurut Huang (2009) perilaku manusia merupakan penyebab utama pada suatu
kegiatan penggunaan api yang dilakukan secara tidak aman sehingga dapat
27
Dampak Kerugian pada Kejadian Kebakaran.
a. kerugian ekonomi
harta benda selain dari mengakibatkan kerugian terhadap jiwa. Dalam menutupi
cukup besar meskipun terdapat beberapa biaya yang dapat ditutupi oleh asuransi
seperti biaya pengobatan dan barang-barang yang rusak. Selain dari kerugian
yang dapat ditutupi oleh asuransi masih terdapat biaya yang lain yang harus
28
perhitungan kerugian yang terjadi pada suatu kejadian kebakaran dilakukan oleh
harga harta benda yang terbakar (Trisna, 2003). Tentu saja hal ini sangat
kerugian atau dampak ekonomi dari suatu kejadian kebakaran bangunan. Berikut
klasifikasinya:
b. Korban
(2015) korban adalah orang, binatang, dan sebagainya yang menjadi menderita
(mati dan sebagainya) akibat suatu kejadian, perbuatan jahat, dan sebagainya.
menyatakan bahwa korban bencana adalah orang atau sekelompok orang yang
menderita atau meninggal dunia akibat bencana. Dalam hal ini kejadian
29
Korban meninggal dalam kejadian kebakaran dapat disebabkan oleh
tahun 1996 sampai tahun 2000 yaitu 42% korban meninggal karena asap
kebakaran dan hanya 19% korban meninggal karena luka bakar. Di Indonesia
dapat terdiri dari instansi pemadam kebakaran yang dapat berupa pos pemadam
pemadam kebakaran, dan sumber air. DKI Jakarta juga memiliki Peraturan
30
a. Instansi pemadam kebakaran
jiwa (life safety) dan perlindungan harta benda (properti safety) (Trisna, 2003).
Terkait dengan hal ini dapat diajukan pertanyaan berapa rasio optimal
Selain itu, Wilayah yang sudah terbangun dan dihuni harus mendapat
perlindungan oleh mobil kebakaran yang pos terdekatnya berada dalam jarak 2,5
km dan berjarak 3,5 km dari sector. Sedangkan, standar waktu tanggap yang
harus dipenuhi yaitu tidak lebih dari 15 menit (Kementerian Pekerjaan Umum,
2009).
kebakaran untuk kondisi di Indonesia tidak lebih dari 15 (5 belas) menit yang
terdiri atas:
31
1) Waktu dimulai sejak diterimanya pemberitahuan adanya kebakaran di suatu
dibutuhkan jumlah armada yang mencukupi serta jenis yang sesuai dengan
kondisi fisik wilayah yang akan dilayani dan dengan mempertimbangkan jumlah
32
yang harus disediakan untuk melakukan pelayanan penanggulangan dan
pemadaman kebakaran.
dalam setiap Pos kebakaran dipimpin oleh seorang Kepala Pos yang merangkap
sebagai kepala regu, Setiap regu jaga maksimal terdiri dari 6 orang, yaitu 1 orang
kepala regu, 1 orang operator mobil kebakaran, dan 4 orang anggota yang terdiri
dari dua orang anggota tenaga pemadam dan dua orang anggota tenaga
tergantung dari jumlah mobil unit pemadam kebakaran yang akan ditempatkan,
umumnya 1 unit mobil pemadam diawaki oleh 4 personil terdiri dari 3 orang
pemadam dan seorang operator, jadi bila dalam 1 hari terdapat 3 regu jaga dan 1
regu libur (day off) maka untuk 1 Pos Pemadam dengan 1 unit mobil pemadam
d. Sumber Air
alam seperti kolam air, danau, sungai, jeram, sumur dalam dan saluran irigasi;
maupun buatan seperti tangki air, tangki gravitasi, kolam renang, air mancur,
reservoir, mobil tangki air dan hidran. Idealnya sumber air penanggulangan
apabila menggunakan sumber air alami harus memenuhi kondisi tertentu. Seperti
pada penggunaan air ketika musim kemarau harus dijamin mampu untuk
33
peralatan penghisap air (drafting point) (Kementerian Pekerjaan Umum, 2009).
penyediaan hidran kota pada setiap jarak 200 meter di tepi jalan.
Analisis Spasiotemporal
berkaitan dengan objek lain dalam interaksi yang kompleks yang diambil dalam
bentuk waktu (masa lalu, sekarang, dan masa depan) yang dibuat dalam model
lingkungan (Hsu, 2007). Adapun, spasial itu sendiri merupakan sesuatu yang
dibatasi oleh ruang dan waktu serta dibatasi oleh komunikasi dan transportasi
(Achmadi, 2014). Hasil analisis data spasial sangat bergantung pada lokasi objek
yang bersangkutan (objek yang sedang dianalisis). Analisis spasial juga dapat
34
seperti kualitas hidup masyarakat di suatu wilayah dengan peta berwarna
(Câmara dkk., 2002). Adapun kegunaan analisis spasial yaitu (Achmadi, 2014):
sosial ekonomi.
suatu wilayah.
35
Kerangka Teori
Dalam penelitian ini penulis menggunakan Fire Ignition and Fire Loss
Model yang merupakan model yang dikembangkan oleh Charles Robert Jenning.
36
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
Kerangka konsep
dan penduduk lansia. Variabel keberadaan orang tua, umur bangunan, dan
kualitas bangunan tidak diteliti karena data tersebut belum tersedia. Sedangkan
suhu tidak diteliti karena data pengukuran suhu hanya dilakukan di 1 tempat yaitu
tidak diteliti karena penelitian ini menggunakan data sekunder. Adapun variabel
kerugian ekonomi, korban meninggal, dan korban luka tidak diteliti karena
penelitian ini tidak meneliti dampak dari kejadian kebakaran bangunan yang
37
Definisi Operasional
38
Tabel 3.1 Definisi Operasional (Lanjutan)
Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Kepadatan Tingkat kepadatan penduduk di dalam Observasi Jakarta Selatan 1. Rendah (<150 jiwa/ha) Ordinal
penduduk suatu wilayah dibagi luas wilayah data dalam Angka 2014- 2. Sedang (150-200 jiwa/ha)
berdasarkan batasan administrasi sekunder 2016 3. Tinggi (200-400 jiwa/ha)
kecamatan yang ada di Jakarta Selatan 4. Sangat tinggi (>400 jiwa/ha)
tahun 2013-2015 (Badan Standarisasi Nasional, 2004)
Penduduk anak- Tingkat persentase penduduk yang Observasi Jakarta Selatan 1. Rendah (< 34,62%) Ordinal
anak belum berusia 19 (sembilan belas) tahun data dalam Angka 2014- 2. Tinggi (≥ 34,62%)
berdasarkan batasan administrasi sekunder 2016 (WHO, 2011)
kecamatan yang ada di Jakarta Selatan
tahun 2013-2015
Penduduk lansia Tingkat persentase penduduk yang Observasi Jakarta Selatan 1. Rendah (< 8,235%) Ordinal
berusia 60 tahun ke atas berdasarkan data dalam Angka 2014- 2. Tinggi (≥ 8,235%)
batasan administrasi kecamatan yang sekunder 2016 (WHO, 2011)
ada di Jakarta Selatan tahun 2013-2015
39
BAB IV
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
kuantitatif. Desain penelitian ini adalah studi ekologi yaitu menggunakan data
dari seluruh populasi sebagai unit analisis. Unit analisis yang digunakan dalam
yang mencakup 10 kecamatan dan penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober
Populasi
bangunan di Jakarta Selatan yang terdiri dari 10 kecamatan pada tahun 2013-
2015.
Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
didapat dari institusi-institusi terkait. Untuk melihat sumber data dan institusi
40
Tabel 4.1 Variabel, sumber data dan instansi pengumpul data sekunder.
Pengolahan Data
Pengolahan data melalui pengolahan data tabular dan data spasial dengan
SIG (Sistem Informasi Geografis). Data tabular adalah data deskriptif yang
menyatakan nilai dari data grafis yang diterangkan. Data ini biasanya berbentuk
tabel terdiri dari kolom dan baris. Pengolahan data tabular menggunakana
software pengolah data. Software yang digunakan dalam pengolahan data spasial
dalam penelitian ini yaitu QGIS v.2.8.1 yang merupakan software open source
untuk pengolahan data spasial. Untuk tahapan pengolahan data dapat dijelaskan
sebagai berikut:
41
4.5.1 Data tabular
1) Memasukan data atau entry data yaitu tahapan memasukan data ke dalam
software yang mendukung untuk pengolahan data tabular atau data deskriptif,
selama memasukkan data dan memastikan tidak ada kesalahan pada data yang
telah dimasukkan.
3) Melakukan eliminasi data yang tidak perlu, seperti jumlah kasus, sumber,
simbol matematika.
5) Mengidentifikasi primary key yang sesuai pada data tabular tersebut. Tampilan
42
6) Membuka file atribut quantum berekstensi *dbf dengan menggunakan software
pengolah data.
7) Memindahkan coding primary key pada file atribut quantum berekstensi *dbf
ke file kasus di Micorosft Excel. Perlu diketahui bahwa primary key (PK) yang
terdapat dalam file berekstensi *dbf memiliki ciri khusus yakni menggunakan
huruf kapital serta pengejaan yang sesuai. Cara pemindahan primary key dapat
43
9) Menambahkan kolom perhitungan berdasarkan klasifikasi dari definisi
Tebet:
mendapatkan data sesuai dengan hasil ukur pada definisi operasional. Data
Tebet pada tahun 2014 yaitu sebanyak 16 kejadian dan jumlah kejadian
141 kejadian.
16
= × 100%
141
= 11 %
44
b. Kelompok berpendapatan rendah
mendapatkan data sesuai dengan hasil ukur pada definisi operasional. Data
rendah di Kecamatan Tebet pada tahun 2014 yaitu sebanyak 702 keluarga
Jumlah kelompok
Persentase kelompok berpendapatan rendah di kecamatan
= × 100%
berpendapatan rendah Jumlah semua kategori kelompok
pendapatan di Jakarta Selatan
702
= × 100%
549.499
= 1,4 %
pada tahun 2014 adalah 1,4 %. Persentase tersebut kurang dari 26%.
c. Kepadatan penduduk
mendapatkan data sesuai dengan hasil ukur pada definisi operasional. Data
45
Kecamatan Tebet pada tahun 2014 yaitu sebanyak 229.767 penduduk dan
luas wilayah Jakarta Selatan pada tahun 2014 yaitu sebanyak 953 hektar.
d. Penduduk anak-anak
mendapatkan data sesuai dengan hasil ukur pada definisi operasional. Data
sebanyak 74.001 jiwa dan jumlah penduduk di Jakarta Selatan pada tahun
74.001
= × 100%
229.767
= 32,2 %
46
Jadi, persentase penduduk anak-anak di Kecamatan Tebet pada tahun
e. Penduduk lansia
mendapatkan data sesuai dengan hasil ukur pada definisi operasional. Data
lansia di Kecamatan Tebet pada tahun 2014 yaitu sebanyak 18.790 jiwa
dan jumlah penduduk di Jakarta Selatan pada tahun 2014 yaitu sebanyak
229.767 jiwa.
Jumlah penduduk
Persentase lansia di kecamatan × 100%
=
penduduk lansia Jumlah penduduk
lansia di kecamatan
18.790
= × 100%
229.767
= 8,178 %
rendah.
47
10) Melakukan penyimpanan terpisah dengan alur file kemudian Save As. Setelah
Kemudian, memilih file type dengan ekstensi *csv (comma delimeted). Ketika
menyimpan file, maka harus dipastikan bahwa tidak ada tulisan yang terpotong.
software Quantum GIS melalui tahapan: klik add vector layer, lalu klik browse
dan pilih shapefile yang akan dibuka. Pastikan memiliki ekstensi *shp Open.
48
2) Tampilan layar kerja akan tampak seperti pada gambar 4.5.
2. Browse file
49
4) Melakukan join attribute dengan memilih shapefile lalu klik kanan dan memilih
properties, maka akan terbuka sub window dari properties seperti tampak pada
gambar 4.7.
50
6) Setelah itu, maka tampilan pada sub window ‘join’ akan berubah, yakni ada
penambahan atribut pada join layer. Klik OK.
7) Lalu, klik kanan lagi pada shapefile dan memiilih properties. Setelah itu,
memilih ‘field’ dan mengklik OK. Tampilan menu field dapat dilihat pada
gambar 4.9.
51
9) Pada shapefile lama, klik kanan dan pilih remove.
10) Save Project dengan langkah: klik project, save, memilih direktori dan
11) Lakukan tahapan visualisasi data dengan tahapan memilih menu properties
pada layer.
12) Kemudian pilih menu style dan data tabular yang akan di visualisasikan. Lokasi
Data tabular
Pilihan warna
52
13) Klik OK dan visualisasi data selesai. Tampilannya dapat dilihat pada gambar
4.12.
besar kejadian kebakaran bangunan yang terjadi dan faktor-faktornya serta besar
dampak kejadian.
53
4.6.2 Analisis Spasial
geografis yaitu dengan software QGIS dalam analisis ini digunakan sebagai alat
lansia, korban meninggal, korban luka, dan kerugian material per kecamatannya
54
BAB V
HASIL
26,2 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan SK Gubernur 171 tahun 2007
luas wilayah Kota Administrasi Jakarta Selatan adalah 145,73 km2. Wilayah
Baru, Mampang Prapatan, Pancoran, Tebet, dan Setiabudi yang luas daerahnya
55
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Administrasi Jakarta Selatan, 2016
wilayah paling luas yaitu 24,87 km2 dan luas wilayah paling kecil adalah
56
5.1.3 Keadaan Iklim
Jakarta Selatan seperti daerah di Indonesia pada umumnya memiliki dua
musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Secara umum DKI Jakarta
ini terdiri dari 5 fokus, yaitu pencegahan bencana kebakaran, mitigasi bencana
Variabel Program
Kelompok Pemberian subsidi untuk instalasi listrik yang lebih
berpendapatan aman bagi penduduk miskin di kawasan padat
rendah penduduk
Terbukanya akses terhadap kredit ringan untuk
pembangunan rumah permanen bagi pemilik rumah non-
permanen
57
Tabel 5.1 Program-program Pencegahan Dan Penanggulangan Kebakaran
Tahun 2013-2017 (Lanjutan)
Variabel Program
Kepadatan Sosialisasi penggunaan alat elektronik yang standar dan
Penduduk aman dan memperbaiki kebiasaan penggunaan alat
elektronik yang berpotensi menimbulkan kebakaran
Penataan bangunan
Terpantaunya berkala instalasi listrik di pemukiman
padat penduduk
Pemantauan berkala instalasi listrik di perumahan dan
fasilitas umum.
Sosialisasi informasi mengenai pencegahan dan
penanggulangan kebakaran
Pembentukan dan penguatan kapasitas tim relawan
kebakaran (tim siaga bencana) kelurahan
Pengadaan sarana pendukung untuk tim relawan kebakaran
kelurahan
Rekrutmen personil
Penambahan jumlah dan pemeliharaan perangkat
pendukung pemadaman
Penduduk anak- Pengembangan Sistem Pendidikan pencegahan kebakaran
anak pada usia dini (Sidik Api)
Pengadaan kebutuhan untuk kelompok khusus (anak-anak,
manula, Ibu hamil, diffabel)
Penduduk lansia Pengadaan kebutuhan untuk kelompok khusus (anak-anak,
manula, Ibu hamil, diffabel)
Sumber: BPBD DKI Jakarta, 2013
58
5.1.5 Pos pemadam kebakaran dan sarana prasaranan kebakaran
Keberadaan hidran di Jakarta Selatan sebanyak 247 buah, yang terdiri
dari 76 buah dalam kondisi baik, 95 buah kondisi rusak sedang, 65 buah kondisi
rusak berat, dan 11 buah kondisinya sudah hilang. Kemudian, di Jakarta Selatan
juga telah terdapat 22 pos pemadam kebakaran dan kantor pemadam pada tahun
terdapat 473 orang. Untuk melihat alamat dari pos pemadam dan kantor
59
Tabel 5.2 Pos Pemadam Dan Kantor Pemadam Kebakaran Berdasarkan
Kecamatan Tahun 2015 (Lanjutan)
Kecamatan Alamat
Cilandak Jl. Melati Raya, Cipete Selatan, Cilandak.
Jl. RS. Fatmawati, Cilandak Barat, Cilandak
Jl. R.A. Kartini No. 8, Cilandak.
Pasar Minggu Jl. Salihara, Jatipadang, Pasar Minggu.
Jl. Lenteng Agung, Pasar Minggu.
Jl. Pejaten Raya, Pejaten Barat, Pasar Minggu
Jagakarsa Jl. M. Kahfi 1, Jagakarsa.
Jl. Raya Srengseng Sawah, Srengseng Sawah, Jagakarsa.
Jl. Brigif Raya, Ciganjur Jagakarsa
Sumber: Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi DKI Jakarta, 2015
yang masuk dilaporkan ke command center dan validasi oleh pos atau petugas
bangunan yang terjadi di suatu wilayah terdiri dari 3 kategori, yaitu rendah
(kurang dari 2%), sedang (2-5%), dan tinggi (lebih dari 5%). Untuk mengetahui
60
Tabel 5.3 Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Di Jakarta Selatan
Tahun 2013-2015
Kejadian Kebakaran Bangunan
No Kecamatan 2013 2014 2015
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
1 Tebet 21 16 % 16 11 % 23 14 %
2 Setiabudi 8 6% 10 7 % 18 12 %
3 Pancoran 11 8 % 5 4% 6 4%
4 Mampang Prapatan 7 5% 10 7 % 8 5%
5 Kebayoran Lama 15 11 % 20 14 % 18 12 %
6 Kebayoran Baru 17 13 % 17 12 % 21 13 %
7 Pesanggrahan 14 10 % 17 12 % 10 6 %
8 Cilandak 14 10 % 14 10 % 28 18 %
9 Pasar Minggu 12 9 % 15 11 % 13 8 %
10 Jagakarsa 16 12 % 17 12 % 12 8 %
Sumber: Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana, 2013-2015
Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa jumlah kejadian kebakaran
Sedangkan, pada tahun 2014 jumlah kejadian kebakaran bangunan yang paling
yang paling tinggi terjadi di Kecamatan Cilandak dan paling rendah terjadi di
61
Tabel 5.4 Distribusi Kerugian Ekonomi (Dalam Juta Rupiah) Di Jakarta Selatan
Tahun 2013-2015
No Kecamatan 2013 2014 2015
1 Tebet 2.276,3 4.831,0 6961,1
2 Setiabudi 3.231,0 4.772,5 10.639,0
3 Pancoran 4.430,0 525,0 2.124,5
4 Mampang Prapatan 900,5 4.435,0 2.460,0
5 Kebayoran Lama 7.469,0 7.266,6 14.063,5
6 Kebayoran Baru 4.592,0 7.040,5 18.210,0
7 Pesanggrahan 2.646,2 5.920,0 2.715,5
8 Cilandak 3.083,0 7.236,0 14.561,0
9 Pasar Minggu 4.958,0 6.478,0 9.556,0
10 Jagakarsa 1.999,0 4.780,0 2.538,0
Sumber: Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana, 2013-2015
ekonomi yang paling tinggi terjadi di Kecamatan Kebayoran Lama dan pada
perkembangan korban luka dan meninggal di Jakarta Selatan selama tahun 2013-
62
Tabel 5.5 Distribusi Korban Luka Di Jakarta Selatan Tahun 2013-2015
2013 2014 2015
No Kecamatan
Luka Meninggal Luka Meninggal Luka Meninggal
1 Tebet 2 0 2 0 1 3
2 Setiabudi 6 0 0 0 7 1
3 Pancoran 1 5 0 0 2 0
4 Mampang 0 0 0 0 2 0
Prapatan
5 Kebayoran 0 0 2 1 0 0
Lama
6 Kebayoran 1 0 0 0 1 0
Baru
7 Pesanggrahan 2 0 0 0 0 0
8 Cilandak 0 0 0 1 2 0
9 Pasar Minggu 0 0 0 0 0 1
10 Jagakarsa 0 0 0 0 1 0
Sumber: Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana, 2013-2015
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa korban luka selama 2013-
menurun jumlah korban lukanya selama tahun 2013-2015. Pada tahun 2013
tahun 2014 jumlah korban tertinggi terdapat di Kecamatan Tebet dan Kecamatan
Kebayoran Lama sebanyak 2 orang. Kemudian, pada tahun 2015 jumlah korban
63
(Pancoran) cenderung menurun jumlah korban meninggalnya selama tahun
64
Kemudian, untuk melihat distribusi spasiotemporal kejadian kebakaran
bangunan di Jakarta Selatan tahun 2013-2015 dapat dilihat melalui gambar 5.2.
65
Berdasarkan pada gambar 5.2 maka secara spasial terlihat bahwa
kebakaran bangunan yang termasuk ke dalam kategori tinggi dan hanya terdapat
sedang. Namun, Pada tahun ini terdapat perbedaan daripada tahun sebelumnya
66
Pada tahun 2015 terdapat 8 dari 10 kecamatan dengan frekuensi kejadian
kebakaran bangunan yang termasuk ke dalam kategori tinggi dan hanya terdapat
kejadian kebakaran bangunan yang tinggi daripada dua tahun sebelumnya. Pada
rata 1.500.000,00 per bulan. Berdasarkan standar dari PPLS (Pendataan Program
kategori pendapatan), dan Tinggi (>35% dari total kelompok seluruh kategori
67
Untuk mengetahui distribusi kelompok berpendapatan rendah di Jakarta Selatan
rendah paling banyak yaitu di wilayah Mampang Prapatan. Setelah itu, untuk
gambar 5.3.
68
Sumber: Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, 2014
Gambar 5.3 Distribusi Spasial Kejadian Kebakaran Bangunan berdasarkan
Kelompok Berpendapatan Rendah Di Jakarta Selatan Tahun 2014
Pada gambar 5.3 menunjukkan terdapat 9 dari 10 kecamatan dengan
dengan luas wilayah yang ada atau dapat dibatasi juga sesuai dengan luas wilayah
kategori tingkat kepadatan penduduk yaitu rendah (<150 jiwa/ha), sedang (151 –
200 jiwa/ha), tinggi (200 – 400 jiwa/ha), dan sangat padat (>400 jiwa/ha).
69
informasi perkembangan kepadatan penduduk di Jakarta Selatan. Pada tabel 5.8
2015. Selama tahun 2013-2015 kepadatan penduduk yang paling tinggi terjadi di
70
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Administrasi Jakarta Selatan, 2014-2016
71
Berdasarkan pada gambar 5.4 secara spasial terlihat bahwa frekuensi
dan kepadatan penduduk yang sedang. Selain itu, terdapat 5 dari 10 kecamatan
bangunan yang tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi yaitu Kecamatan
Tebet.
kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi.
dan kepadatan penduduk yang sedang. Selain itu, terdapat 5 dari 10 dengan
yang rendah. Akan tetapi, pada tahun ini terdapat perbedaan dari tahun 2013
72
kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan
kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi.
dan kepadatan penduduk yang sedang. Selain itu, pada tahun ini terdapat 4 dari
penduduk yang rendah. Pada tahun ini terjadi perubahan yang disebabkan karena
bangunan yang tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi yaitu Kecamatan
Tebet.
atau lebih muda. Cut off point untuk mengategorikan variabel penduduk anak-
anak agar dapat didistribusikan secara spasiotemporal dalam penelitian ini adalah
73
Jakarta Selatan dapat dikategorikan menjadi 2 kategori yaitu Rendah (≤34,62%
dari total populasi) dan Tinggi (>34,62% dari total populasi). Sebelum
Penduduk Anak-anak
No Kecamatan 2013 2014 2015
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
1 Tebet 73.440 31,80% 74.001 32,21% 66.371 31,24%
2 Setiabudi 35.673 31,70% 35.535 31,90% 36.955 26,80%
3 Pancoran 50.553 32,48% 50.997 32,86% 48.505 31,59%
4 Mampang Prapatan 48.865 33,09% 49.153 33,31% 45.424 31,05%
5 Kebayoran Lama 95.379 32,29% 97.642 32,81% 95.161 31,04%
6 Kebayoran Baru 45.792 31,01% 46.656 28,28% 41.234 28,53%
7 Pesanggrahan 89.988 33,03% 77.131 34,02% 73.698 33,28%
8 Cilandak 64.061 32,13% 66.272 32,71% 62.160 31,16%
9 Pasar Minggu 98.260 33,32% 87.923 33,48% 97.592 32,14%
10 Jagakarsa 102.684 34,89% 104.483 35,10% 126.768 35,23%
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Administrasi Jakarta Selatan, 2014-2016
Baru, Cilandak, dan Pasar Minggu). Wilayah dengan jumlah penduduk anak-
74
kebakaran bangunan dengan penduduk anak-anak di Jakarta Selatan tahun 2013-
75
Berdasarkan gambar 5.5 secara spasial terlihat bahwa frekuensi kejadian
kebakaran bangunan yang tinggi terjadi pada semua kategori penduduk anak-
selama 3 tahun.
dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan jumlah anak-
jumlah anak-anak yang rendah. Selain itu, terdapat 1 dari 10 kecamatan dengan
frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang rendah dan jumlah anak-anak yang
rendah.
Pada tahun 2014, tidak terjadi perubahan pada jumlah kecamatan dengan
jumlah anak-anak yang tinggi terdapat sebanyak 1 dari 10 kecamatan yaitu masih
76
dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan penduduk anak-
Pada tahun 2015 juga tidak terjadi perubahan pada jumlah kecamatan
dengan kategori penduduk anak-anak yang tinggi atau kategori penduduk anak-
anak yang rendah. Akan tetapi, terdapat perubahan wilayah kecamatan dengan
frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang sedang dan jumlah anak-anak yang
dalam kategori ini pada tahun 2015 adalah Kecamatan Pancoran dan Mampang
frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan jumlah anak-anak yang
frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan jumlah anak-anak yang
Jagakarsa.
perhatian dan perlakuan khusus. Penduduk usia tua yaitu penduduk yang berusia
di atas 65 tahun. Cut off point untuk variabel penduduk lansia adalah standar dari
dikategorikan menjadi 2 kategori yaitu Rendah (≤8,23% dari total populasi) dan
77
Selatan selama tahun 2013-2015 pada tabel 5.10 distribusi penduduk lansia di
Penduduk Lansia
No Kecamatan 2013 2014 2015
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
1 Tebet 18.327 7,935% 18.790 8,178% 16.834 7,923%
2 Setiabudi 8.174 7,263% 8.382 7,524% 10.275 7,450%
3 Pancoran 10.479 6,733% 10.778 6,945% 9.919 6,461%
4 Mampang Prapatan 8.561 5,797% 8.938 6,057% 8.673 5,928%
5 Kebayoran Lama 20.239 6,852% 21.367 7,181% 20.868 6,807%
6 Kebayoran Baru 11.737 7,949% 12.276 31,451% 10.957 7,581%
7 Pesanggrahan 13.954 6,257% 14.889 6,568% 13.438 6,069%
8 Cilandak 14.154 7,100% 14.957 7,382% 13.667 6,851%
9 Pasar Minggu 18.259 6,191% 19.211 6,517% 18.121 5,968%
10 Jagakarsa 16.046 5,453% 16.934 5,688% 18.534 5,151%
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Administrasi Jakarta Selatan, 2014-2016
dan pada tahun 2015 di Kecamatan Mampang Prapatan. Untuk melihat distibusi
78
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Administrasi Jakarta Selatan, 2014-2016
kejadian kebakaran bangunan yang tinggi terjadi pada kategori penduduk lansia
79
beberapa kecamatan yang frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang sedang
dan dengan kategori penduduk lansia yang rendah. Kemudian, secara temporal
frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan penduduk lansia yang
yang sedang dan jumlah penduduk lansia yang rendah hanya terdapat 1 dari 10
Pada tahun 2014, tidak terjadi perubahan pada jumlah kecamatan dengan
kategori penduduk lansia yang tinggi atau kategori penduduk lansia rendah.
kebakaran bangunan yang sedang dan penduduk lansia yang rendah sebanyak 1
Pada tahun 2015 juga tidak terjadi perubahan pada jumlah kecamatan
dengan kategori penduduk lansia yang tinggi atau kategori penduduk lansia yang
kejadian kebakaran bangunan yang sedang dan jumlah anak-anak yang rendah
kategori ini pada tahun 2015 adalah Kecamatan Pancoran dan Mampang
yang tinggi dan jumlah lansia yang rendah terdapat 2 dari 10 kecamatan.
80
BAB VI
PEMBAHASAN
Keterbatasan Penelitian
tersedia pada tahun 2014 sehingga pada variabel tersebut peneliti tidak dapat
4. Pada penelitian ini data hidran dan personel pemadam yang bertugas tidak
berdasarkan kecamatan.
yaitu bahan bakar, panas yang cukup untuk membuat benda terbakar, dan udara
81
(2006) kebakaran adalah kondisi natural akibat bersentuhannya bahan bakar
(fuel), oksigen dan panas atau kalor, namun bukan yang dikehendaki (Suprapto,
2006). Keberadaan api yang tidak dikehendaki dan tidak dapat dikendalikan
(Suma’mur, 2007).
tahun 2013-2014. Pada tahun 2013 kejadian kebakaran bangunan yang paling
kerugian secara ekonomi yang terus meningkat pada tahun 2013 sampai 2015.
kebakarannya paling tinggi pada tahun 2013, 2014, dan 2015. Hal dapat mungkin
82
saja dapat terjadi karena frekuensi kebakaran yang lebih sering terjadi di wilayah
korban jiwa yang luka dan meninggal. Akan tetapi, berdasarkan hasil terlihat
Jakarta Selatan mayoritas tidak ada. Namun, masih terdapat beberapa wilayah
umumnya hampir terjadi di semua wilayah di Jakarta Selatan. Hal ini dapat
Selatan. Menurut Trisna (2003) frekuensi kejadian kebakaran pada suatu wilayah
wilayah tersebut karena semakin tinggi frekuensi kebakaran pada suatu wilayah
83
terhadap kejadian kebakaran bangunan, diantaranya jalan lingkungan yang
bahu jalan yang digunakan parkir kendaraan, jarak antar bangunan sangat rapat
dan tidak teratur, sumber air yang langka dan perilaku masyarakat yang kurang
bahaya kejadian kebakaran di Jakarta Selatan dari aspek lingkungan seperti suhu.
Suhu rata-rata wilayah Jakarta Selatan selama tahun 2013-2014 adalah 27,60 C
dan merupakan wilayah yang beriklim panas. Suhu dapat berpengaruh terhadap
api suatu benda atau material memerlukan suhu terendah untuk menyala
bahan menjadi mudah terbakar karena bahan tersebut mencapai titik suhu yang
dapat menyalakan api (Randall, 2003). Selain itu perlu juga diperhatikan dampak
dan akan memicu tingkat kejadian kebakaran bangunan semakin tinggi dan
Korsleting listrik adalah suatu pertemuan antara muatan arus listrik positif
dengan muatan arus listrik negatif yang mengakibatkan hubungan arus pendek
84
sehingga menimbulkan percikan-percikan api yang bisa berdampak pada
listrik pada peralatan instalasi listrik terutama pada pemasangan instalasi listrik
yang tidak sesuai standar PUIL (Persyaratan Umum Instalasi Listrik) dan
instalasi listrik yang sudah berumur tua. Selain itu penggunaan, pemasangan dan
perlakuan pada peralatan listrik yang kurang baik juga menyebabkan korsleting
listrik (Setyo, 2014). Hal ini dapat menunjukkan bahwa pemerintah harus
di masyarakat.
yang lebih aman bagi penduduk miskin di kawasan padat penduduk (BPBD DKI
Jakarta, 2013).
85
dilakukan oleh Sudin Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Jakarta
oleh listrik dan penggunaannya yang benar dan sesuai aturan yang dilakukan
listrik pada masyarakat juga penting untuk dilaksanakan. Hal ini dikarenakan
instalasi listrik yang digunakan harus diawasi penggunaannya dan diuji secara
berkala agar masyarakat dapat menerapkan persyaratan listrik yang sesuai aturan
Selatan.
86
Selain kebakaran yang penyebab awalnya disebabkan oleh listrik,
pemerintah juga sebaiknya memperhatikan juga pada penyebab awal lain, seperti
bangunan di Jakarta Selatan selama tahun 2013 dan 2015 setelah listrik.
Kemudian, pada tahun 2014 penyebab awal paling sering setelah listrik yaitu
kompor tergolong ke dalam risiko tinggi (Sakti, 2011). Oleh karena itu,
disebabkan oleh kompor. Menurut Sakti (2011) agar tingkat risiko dapat ditekan
semaksimal mungkin perlu dilakukan upaya yang meliputi sosialisai tentang cara
standar Tokyo, maka jumlah personilnya dapat dilihat pada tabel 6.1.
87
Tabel 6.1 Jumlah Personel Pemadam Kebakaran Berdasarkan Standar Tokyo
yang sesuai standar dan aman sehingga meningkatkan risiko kebakaran (Istre
dkk., 2002).
88
Mampang Prapatan, Kebayoran Lama, Kebayoran Baru, Pesanggrahan,
Cilandak, Pasar Minggu, dan Jagakarsa. Kondisi ini berbeda dengan pendapat
bahwa frekuensi kebakaran bangunan yang tinggi dapat terjadi di wilayah yang
memiliki proporsi rendah pada penduduk berpenghasilan rendah. Hal ini terjadi
menyatakan bahwa kejadian kebakaran yang terjadi pada masyarakat yang tidak
terdapat kemungkinan untuk penggunaan daya listrik yang tinggi, sehingga ada
korselting listrik. Penggunaan daya listrik yang melebihi batas penggunaan dari
Subagyo (2012) terdapat beberapa hal yang menjadikan listrik menjadi penyebab
pemeliharaan, dan modifikasi instalasi yang tidak sesuai, dan instalasi yang tidak
89
Adapun program-program pemerintah mengenai kebakaran yang dapat
subsidi untuk instalasi listrik yang lebih aman bagi penduduk miskin di kawasan
untuk instalasi listrik yang lebih aman bagi penduduk miskin di kawasan padat
rumah yang akan ditinggali pada sebagian besar rumah tangga (Federal
Selain itu, dalam penelitian ini juga memiliki keterbatasan karena standar
penyesuaian terhadap kondisi saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa standar yang
wilayah tersebut. Sehingga pada analisis penelitian ini kelompok ekonomi yang
90
disebabkan oleh standar pengupahan yang sudah lebih tinggi. Bagi Badan Pusat
bangunan yang tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi selama 3 tahun
penduduk yang sedang yang kemudian pada tahun 2015 menjadi sebanyak 2 dari
tinggi dapat terjadi pada wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi.
kejadian kebakaran bangunan yang semakin rendah. Pada tahun 2013, terdapat 3
91
dan kepadatan penduduk yang sedang dan terdapat 5 dari 10 kecamatan dengan
yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian kebakaran bangunan yang
tinggi dapat terjadi di wilayah dengan kepadatan penduduk yang rendah. Adapun
pada pemukiman di Jakarta Barat tahun 2008 menyatakan bahwa tidak ada
bangunan, sosialisasi penggunaan alat elektronik yang standar dan aman dan
92
pemeliharaan perangkat pendukung pemadaman yang berfungsi untuk
pada tahun 2015 yaitu sebanyak 2.185.711 jiwa. Apabila mengikuti standar
Tokyo, maka jumlah personilnya yaitu sebanyak 5.465 personil untuk penduduk
dan Penyelamatan Provinsi DKI Jakarta (2015) di Jakarta Selatan terdapat 473
hidran kota pada setiap jarak 200 meter di tepi jalan. Tahun 2013 total panjang
93
maka kebutuhan hidran di Jakarta Selatan yaitu sebanyak 12.189 hidran. Namun,
Jakarta (2015) keberadaan hidran di Jakarta Selatan sebanyak 247 buah, yang
terdiri dari 76 buah dalam kondisi baik, 95 buah kondisi rusak sedang, 65 buah
kondisi rusak berat, dan 11 buah kondisinya sudah hilang. Selain itu, waktu
paling lama dibandingkan dengan di Negara lain. Waktu tanggap untuk ke tempat
kejadian kebakaran dari awal pelaporan di Indonesia yaitu selama 15 menit. Hal
ini sangat berbeda dengan di Jepang, Australia, dan Hongkong yang hanya
akan terus berkembang sebanyak 2,3% dan mengakibatkan kerugian yang lebih
besar lagi (Sufianto dan Green, 2012). Oleh karena itu pemerintah masih perlu
Jakarta Selatan.
bermain dengan sumber api maka dapat dikatakan sebagai kebakaran yang
disebabkan oleh anak-anak yang bermain (Miller, 2012). Risiko kebakaran akan
keingin tahuan tentang api dan cenderung ingin bermain api (Federal Emergency
94
Berdasarkan hasil terdapat 1 dari 10 kecamatan dengan frekuensi
frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang lebih rendah yaitu pada tingkatan
tinggi.
saat siang hari ketika orang tuanya pergi bekerja (Ono dan Da Silva, 2000). Bagi
Namun, hasil dari penelitian ini juga memperlihatkan hal yang berbeda,
di mana frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi justru terjadi juga
pada wilayah dengan persentase penduduk anak-anak yang rendah. Hal ini
95
menunjukkan bahwa kejadian kebakaran kemungkinannya dapat disebabkan
oleh faktor lain. Dalam teori Fire Ignition and Fire Loss Model dari Charles
Robert Jenning terdapat salah satu faktor yang mungkin saja berperan dalam
kejadian kebakaran bangunan di Jakarta Selatan yaitu seperti faktor perilaku dari
kebakaran di suatu wilayah dapat terjadi karena perilaku masyarakat yang kurang
kejadian kebakaran.
peran serta masyarakat melalui pembentukan tim relawan kebakaran (tim siaga
penduduk pada usia dini. Selain itu, terdapat program pengadaan kebutuhan
untuk kelompok khusus (anak-anak, manula, Ibu hamil, diffabel) yang berguna
pada ketika kejadian kebakaran bangunan telah terjadi (BPBD DKI Jakarta,
2013).
dampak terhadap 3 aspek, yaitu biologis, ekonomi, dan sosial (Badan Pusat
Statistik, 2015b). Secara biologis, lansia akan mengalami proses penuaan secara
96
terus menerus yang ditandai dengan penurunan daya tahan fisik dan rentan
sebagai beban daripada sumber daya. Secara sosial, kehidupan lansia sering
kebakaran bangunan yang tinggi justru tetap terjadi di wilayah dengan penduduk
lansia yang tergolong rendah. Selama tahun 2013-2015 di Jakarta selatan tidak
terdapat wilayah dengan penduduk lansia yang tergolong tinggi. Akan tetapi,
pola frekuensi kejadian kebakaran bangunan tinggi terjadi pada wilayah dengan
terjadi kejadian kebakaran karena keterbatasan fisik yang mulai dimiliki akibat
proses penuaan seperti tuli atau buta yang dapat penduduk lansia untuk
lansia yang hidup sendiri sehingga meningkatkan risiko mengalami cidera pada
lansia menunjukkan hubungan yang lemah. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
kejadian kebakaran bangunan dapat dipengaruhi oleh faktor lainnya, salah satu
97
meningkatkan risiko kejadian kebakaran seperti pada bangunan semi permanen
(anak-anak, manula, Ibu hamil, diffabel) (BPBD DKI Jakarta, 2013). Adapun
Menurut Ahrens dkk. (2007) penduduk lansia yang berusia 65 tahun ke atas
memiliki kontribusi yang lebih besar dalam jumlah kematian karena kejadian
untuk mengevakuasi dirinya. Oleh karena itu, pemerintah juga disarankan untuk
mengeluarkan kebijakan yang secara spesifik diperuntukan bagi para lansia serta
menyiapkan sumber daya yang mampu mengevakuasi para lansia dengan baik.
98
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
99
kecamatan Jakarta Selatan. Kemudian, secara temporal selama tahun 2013-
Saran
100
7.2.2 Bagi Dinas Pemadam Kebakaran
1. Disarankan untuk meningkatkan kapasitas mitigasi kebakaran dengan
yang berlaku.
atau penghasilan di penduduk agar sesuai dengan kondisi ekonomi yang ada
2. Melakukan penelitian dengan metode point atau titik pada lokasi kejadian
101
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U. F. 2014. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Jakarta, Raja Grafindo
Persada.
Ahmad, O. B., Boschi-Pinto, C., Lopez, A. D., Murray, C. J., Lozano, R. dan Inoue,
M. 2001. Age standardization of rates: a new WHO standard. Geneva: World
Health Organization, 9.
Ahrens, M., Hall, J., Comoletti, J., Gamache, S. dan LeBeau, A. 2007. Behavioral
Mitigation of Cooking Fires United States Fire Administration, National Fire
Data Center.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana 2012. Pedoman Umum Pengkajian Risiko
Bencana. In: Bencana, B. N. P. (ed.) Nomor 02 Tahun 2012. Jakarta: BNPB.
Badan Pusat Statistik. 2015a. Istilah. Tersedia:
http://www.bps.go.id/index.php/istilah/409.
Badan Pusat Statistik 2015b. Statistik Penduduk Lanjut Usia, Jakarta, Badan Pusat
Statistik.
Badan Standarisasi Nasional 2004. Tata cara perencanaan lingkungan perumahan di
perkotaan. Jakarta: BSN.
Beyler, C. L. 2001. Fire Safety Challenges in the 21st century. Journal of Fire
Protection Engineering, 11, 4-15.
BPBD DKI Jakarta 2013. Rencana Penanggulangan Bencana Provinsi DKI Jakarta
2017. Jakarta: BPBD DKI Jakarta.
Câmara, G., Monteiro, A. M., Fucks, S. D. dan Carvalho, M. S. 2002. Análise espacial
e geoprocessamento (Spatial analysis and GIS). Análise espacial de dados
geográficos. Embrapa Cerrados.
Casal, J. 2008. Evaluation of the Effects and Consequences of Major Accidents in
Industrial Plants, Elsevier.
Corcoran, J. dan Higgs, G. 2013. Special issue on spatial analytical approaches in urban
fire management. Fire Safety Journal, 62, Part A, 1-2.
Corcoran, J., Higgs, G., Rohde, D. dan Chhetri, P. 2011. Investigating the association
between weather conditions, calendar events and socio-economic patterns with
102
trends in fire incidence: an Australian case study. Journal of Geographical
Systems, 13, 193-226.
Cote, A. E. 2004. Fundamentals of Fire Protection, Quincy, Jones & Barlett Learning.
Departemen Pekerjaan Umum 2007. Pedoman Sertifikat Laik Fungsi Bangunan
Gedung. In: Umum, D. P. (ed.) 25/PRT/M/2007. Jakarta: Departemen
Pekerjaan Umum.
Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana DKI Jakarta. 2016. Anggota
Sudin PKP Jakarta Barat Sosialisasi dan Berikan Himbauan Kebakaran Door
To Door di Pemukiman Warga. Tersedia:
http://jakartafire.net/news/detail/4088/anggota-sudin-pkp-jakarta-barat-
sosialisasi-dan-berikan-himbauan-kebakaran-door-to-door-di-pemukiman-
warga [Telah diakses pada 3 Maret 2017].
Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi DKI Jakarta 2015. Data
Kebakaran tahun 2015. In: Jakarta, D. P. K. d. P. P. D. (ed.). Dinas
Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi DKI Jakarta.
Evarts, B. 2012. Fires in U.S. Industriial and Manufacturinng Facilities. USA: NFPA.
Federal Emergency Management Association 1997. Socioeconomic Factors and the
Incidence of Fire. United States Fire Administration, National Fire Data Center.
Federal Emergency Management Association 1998. An NFIRS Analysis: Investigating
City Characteristics and Residential Fire Rated. United States Fire
Administration, National Fire Data Center.
Federal Emergency Management Association 1999a. Fire in the United States, United
States Fire Administration, National Fire Data Center.
Federal Emergency Management Association 1999b. FIRE RISKS FOR OLDER
ADULTS. United States Fire Administration, National Fire Data Center.
Federal Emergency Management Association 2013. Fire Risk to Children in 2010. In:
Report, T. F. (ed.) Topical Fire Report. Emmitsburg: Federal Emergency
Management Association,.
103
Federal Emergency Management Association 2015. Fire Risk in 2013. In: Report, T.
F. (ed.) Topical Fire Report. Emmitsburg: Federal Emergency Management
Association,.
Furness, A. dan Muckett, M. 2007. Introduction to Fire Safety Management,
Burlington, Elsevier.
Gielen, A. C., Shields, W., McDonald, E., Frattaroli, S., Bishai, D. dan Ma, X. 2012.
Home Safety and Low-Income Urban Housing Quality. Pediatrics, 130, 1053-
1059.
Hannon, L. dan Shai, D. 2003. The truly disadvantaged and the structural covariates of
fire death rates. The social science journal, 40, 129-136.
Haryana, A. 2008. Konsep dan Implementasi Strategi Nasional Penanggulangan
Kemiskinan: Upaya Mendorong Terpenuhinya Hak Rakyat Atas Pangan
Holborn, P. G., Nolan, P. F. dan Golt, J. 2003. An analysis of fatal unintentional
dwelling fires investigated by London Fire Brigade between 1996 and 2000.
Fire Safety Journal, 38, 1-42.
Hsu, W. 2007. Temporal and spatio-temporal data mining, IGI Global.
Huang, K. 2009. Population and building factors that impact residential fire rates in
large US cities.
Hui, M., Tsui, F. dan Luo, M. 2005. Fire Incident Characteristics of a Densely
Populated Oriental Urban City. Fire Safety Science, 8, 363-374.
Istre, G. R., McCoy, M., Carlin, D. dan McClain, J. 2002. Residential fire related deaths
and injuries among children: fireplay, smoke alarms, and prevention. Injury
Prevention, 8, 128-132.
Jennings, C. R. 1999. Socioeconomic characteristics and their relationship to fire
incidence: a review of the literature. Fire technology, 35, 7-34.
Jennings, C. R. 2013. Social and economic characteristics as determinants of residential
fire risk in urban neighborhoods: A review of the literature. Fire Safety Journal,
62, Part A, 13-19.
Kamus Besar Bahasa Indonesia 2015. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
104
Kementerian Pekerjaan Umum 2009. Pedoman Teknis Manajemen Proteksi Kebakaran
Di Perkotaan. Jakarta: Kemenpu.
Kementrian Riset Dan Teknologi 2013. Modul 3 Analisis Spasial. Jakarta.
Kertati, I. 2013. Analisis Kemiskinan Kota Semarang berdasarkan Data Perndataan
Program Perlindungan Sosial (PPLS). Riptek, 7, 27-38.
Kuniawan, A. 2013. Implementasi Hak-Hak Konsumen Instalasi Listrik Yang
Mengalami Kerugian Akibat Terjadinya Korsleting Listrik (Studi di Wilayah
Hukum Kota Malang). University of Muhammadiyah Malang.
Menteri Permukiman Dan Prasarana Wilayah 2001. Pedoman Standar Pelayanan
Minimal Pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal Bidang Penataan
Ruang, Perumahan Dan Permukiman Dan Pekerjaan Umum. In: Umum, K. P.
(ed.) 534/KPTS/M/2001. Jakarta.
Miller, D. 2012. 2008–2010 Residential Fire Loss Estimates, Consumer Product Safety
Commision.
Muhadi, M. 2008. Pencegahan Resiko Kebakaran Gedung: Peran Dan Tindakan Pusat
Layanan Kebakaran Dan Pertolongan Département Rhone. Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Murray, A. T. 2013. Optimising the spatial location of urban fire stations. Fire Safety
Journal, 62, Part A, 64-71.
Ono, R. dan Da Silva, S. 2000. An Analysis of Fire Safety in Residential Buildings
through Fire Statistics. Fire Safety Science, 6, 219-230.
Randall, C. K. 2003. Fire in the wildland-urban interface: understanding fire behavior,
University of Florida Cooperative Extension Service, Institute of Food and
Agricultural Sciences, EDIS.
Republik Indonesia 1998. Kesejahteraan Lanjut Usia. 13/1998. Jakarta.
Republik Indonesia 2002. Perlindungan Anak. 23/2002. Jakarta.
Republik Indonesia 2007. Penanggulangan Bencana. Nomor 22 Tahun 2007. Jakarta:
Republik Indonesia.
Sagala, S., Wimbardana, R. dan Pratama, F. P. 2014. Perilaku Dan Kesiapsiagaan
Terkait Kebakaran Pada Penghuni Permukiman Padat Kota Bandung.
105
Saraswati, R. dan Susilowati, M. H. D. 2008. Asesmen Wilayah Rawan Kebakaran
Pada Permukiman Padat Penduduk Di Jakarta Barat.
Sarwono, A. 2011. Peningkatan Layanan Institusi Pemadam Kebakaran Melalui
Penerapan Rencana Induk Kebakaran (RIK) Studi Kasus : Kota Pontianak
Kalimantan Barat. Jurnal Permukiman, 6, 100-107.
Sarwono, S. W. 2013. Pengantar Psikologi Umum, Jakarta, Rajawali Press.
Setyo, B. 2014. KORSLETING LISTRIK PENYEBAB KEBAKARAN PADA
RUMAH TINGGAL ATAU GEDUNG. Edu Elektrika Journal, 3.
Subagyo, A. 2012. Antisipasi yang Diperlukan Terhadap Kebakaran Listrik pada
Bangunan Gedung. JTET (Jurnal Teknik Elektro Terapan), 1.
Sufianto, H. dan Green, A. R. 2012. Urban fire situation in Indonesia. Fire technology,
48, 367-387.
Suprapto. 2006. Pengembangan Manajemen Keselamatan Berbasis Potensi Bahaya
Kebakaran Pada Bangunan Gedung Dan Industri [Online]. Jakarta:
Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi DKI Jakarta.
Tersedia:
http://jakartafire.net/news/detail/610/pengembanganmanajemenkeselamatanbe
rbasispotensibahayakebakaranpadabangunangedungdanindustri [Telah diakses
pada 22/07/2016 2016].
Thomson, N. 2001. Fire hazards in industry, Elsevier.
Trisna, R. 2003. Kajian Pelayanan Penanggulangan Bahaya Kebakaran di Kota
Palembang. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
World Health Organization. 2013. Definition [Online]. Tersedia:
http://www.who.int/hiv/pub/guidelines/arv2013/intro/keyterms/en/ [Telah
diakses pada 22/07/2016.
Yang, L., Yang, Y., Gong, J., Fang, T. dan Cui, W. 2004. The Relations Hips Between
Socioeconomic Factors And Fire In China. Fire Safety Science, 6, 2c-4--1.
Zhang, G., Lee, A. H., Lee, H. C. dan Clinton, M. 2006. Fire safety among the elderly
in Western Australia. Fire Safety Journal, 41, 57-61.
106