HUKUM KONSTITUSI
Dosen Pengampu:
Oleh :
FAKULTAS HUKUM
2018
1. Jelaskan dalam konstitusi tentang keberadaan DPD, merupakan
unsur dari siapa?
Dalam konstitusi DPD merupakan unsur dari utusan daerah. Pemikiran tentang Lembaga
Dewan Perwakilan Daerah ini didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain diadakan
atau dibentuk untuk menganti anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dari unsur Utusan
Daerah yang tidak dapat mencerminkan aspirasi daerah. Ada juga pemikiran yang mendorong
lahirnya Lembaga Dewan Perwakilan Daerah itu ialah keikutsertaan daerah dalam Utusan
Daerah di Majelis Permusyawaratan Rakyat sangat terbatas yaitu pada saat sidang-sidang
Bersama DPR, DPD diharapkan menjadi salah satu kamar dari sistem parlementer
dua kamar dalam format baru perwakilan politik Indonesia. Jika DPR merupakan parlemen
yang mewakili peduduk DPD adalah parlemen yang mewakili wilayah atau daearah dalam
hal ini provinsi. Tetapi, struktur ini tidak sepenuhnya mencerminkan sistem bikameral. DPD
yang semestinya salah satu kamar dari sistem dua kamar, tidak mempunyai kekuasaan yang
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber ekonomi lainnya, serta
masalah perimbangan keuangan pusat dan daerah (Pasal 22D UUD 1945). Di luar itu,
kekuasaan DPD hanya memberi pertimbangan kepada DPR. Dengan demikian, keberadaan
DPD relatif tidak berfungsi. Meskipun merupakan representasi daerah-daerah yang telah
dipilih langsung oleh rakyat namun keberadaan DPD dapat di ibaratkan anatara ”ada dan
tiada”. Betapa tidak karena fungsi dan wewenang yang dimiliki oleh DPD hanya terbatas
tidak seperti yang dimiliki oleh DPR. Dampak lainnya adalah, tidak terjadi checks and
Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak perlu ragu untuk mengikuti putusan Mahkamah
Konstitusi soal larangan pengurus partai politik jadi calon anggota DPD. "Dominasi
parpol sudah mulai dibenahi begitu perubahan UUD 1945 dilakukan. Gagasannya
ketika itu mewujudkan parlemen, satu DPR dan satu DPD. Ketika dominasi parpol
sudah ada di DPR, maka DPD betul-betul menjadi representasi individu non-partai di
daerah, gagasan awal dalam perubahan UUD 1945, itu juga dikuatkan lewat
putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XVI/2018 yang melarang calon anggota
DPD rangkap jabatan sebagai pengurus parpol. Putusan ini yang kemudian dilawan
oleh Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odong (OSO).
OSO mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung terhadap Peraturan KPU (PKPU)
Nomor 26 Tahun 2018 yang memuat larangan pengurus partai politik menjadi calon
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). OSO beralasan bahwa putusan MK
bertentangan dengan UU Pemilu. MA pun mengabulkan gugatan OSO karena
putusan MK dinilai belum dimasukan ke dalam UU Pemilu yang baru. "Disebutkan
oleh MA, putusan MK belum dapat diberlakukan karena belum diundangkan.
Maunya MA, putusan MK bisa ditindaklanjuti dengan UU yang baru.
MA tidak memahami putusan MK. sifat putusan MK adalah mengikat. "Final and
binding. Dia mengikat mau diubah atau tidak diubah UU-nya, Karena sifat mengikat
itu, maka tidak mematuhi putusan MK sama seperti tidak mengikuti UU Pemilu.
Selain itu, lanjut Feri, tidak mengikuti putusan MK juga berarti tidak ikut gagasan
pembentukan UUD 1945. Atas alasan itu, dia pun berpendapat sebaikan KPU tidak
ragu untuk mengikuti putusan MK. "Kalau KPU ikuti putusan MK, maka KPU
mematuhi UUD, UU Pemilu, dan putusan MK itu sendiri.
Gugatan OSO Sebelumnya, MA mengabulkan gugatan uji materi yang diajukan oleh
OSO. Uji materi dilakukan terhadap Peraturan KPU (PKPU) Nomor 26 Tahun 2018
yang memuat larangan pengurus partai politik menjadi calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). Selain mengajukan gugatan ke MA, OSO juga
melakukan gugatan atas putusan KPU ke PTUN.
Sebab, KPU mencoret OSO sebagai calon anggota DPD lantaran tidak
menyerahkan surat pengunduran diri dari partai politik. OSO dianggap masih
tercatat sebagai anggota partai politik. OSO juga memenangkan gugatannya di
PTUN itu. Sementara itu, menurut putusan Mahkamah Konstitusi (MK), anggota
DPD dilarang rangkap jabatan sebagai anggota partai politik.