Anda di halaman 1dari 5

UJIAN AKHIR SEMESTER GANSAL MAGISTER HUKUM

Diajukan untuk memenuhi tugas uas mata kuliah

HUKUM KONSTITUSI

Dosen Pengampu:

Dr.SITI MARWIYAH, SH., MH.

Oleh :

Nama : Muhammad Romadi Iksan,S.H. Nim: 2018950076

PROGAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS DR. SOETOMO

2018
1. Jelaskan dalam konstitusi tentang keberadaan DPD, merupakan
unsur dari siapa?

Dalam konstitusi DPD merupakan unsur dari utusan daerah. Pemikiran tentang Lembaga

Dewan Perwakilan Daerah ini didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain diadakan

atau dibentuk untuk menganti anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dari unsur Utusan

Daerah yang tidak dapat mencerminkan aspirasi daerah. Ada juga pemikiran yang mendorong

lahirnya Lembaga Dewan Perwakilan Daerah itu ialah keikutsertaan daerah dalam Utusan

Daerah di Majelis Permusyawaratan Rakyat sangat terbatas yaitu pada saat sidang-sidang

majelis saja (Bagir Manan, 2001:60-63).

Bersama DPR, DPD diharapkan menjadi salah satu kamar dari sistem parlementer

dua kamar dalam format baru perwakilan politik Indonesia. Jika DPR merupakan parlemen

yang mewakili peduduk DPD adalah parlemen yang mewakili wilayah atau daearah dalam

hal ini provinsi. Tetapi, struktur ini tidak sepenuhnya mencerminkan sistem bikameral. DPD

yang semestinya salah satu kamar dari sistem dua kamar, tidak mempunyai kekuasaan yang

memadai. Kewenangan DPD hanya terbatas pada kekuasaan-kekuasaan yang berkaitan

dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta

penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber ekonomi lainnya, serta

masalah perimbangan keuangan pusat dan daerah (Pasal 22D UUD 1945). Di luar itu,

kekuasaan DPD hanya memberi pertimbangan kepada DPR. Dengan demikian, keberadaan

DPD relatif tidak berfungsi. Meskipun merupakan representasi daerah-daerah yang telah

dipilih langsung oleh rakyat namun keberadaan DPD dapat di ibaratkan anatara ”ada dan

tiada”. Betapa tidak karena fungsi dan wewenang yang dimiliki oleh DPD hanya terbatas

tidak seperti yang dimiliki oleh DPR. Dampak lainnya adalah, tidak terjadi checks and

balances antara DPR dan DPD itu sendiri


2. Mengapa perlu ada DPD ?

A. Bagaimana konstitusi yang menyatakan bahwa putusan MK adalah final


dan binding?

Yang dimaksud putusan MK bersifat final, yakni putusan MK langsung memperoleh


kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
Sifat final dalam Yang dimaksud putusan MK bersifat final, yakni putusan MK langsung
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat
ditempuh. Sifat final dalam putusan MK ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final
and binding). Jadi, akibat hukumnya secara umum, tidak ada upaya hukum lain yang dapat
ditempuh terhadap putusan tersebut. Putusan MK ini mencakup pula kekuatan hukum
mengikat (final and binding) Jadi, akibat hukumnya secara umum, tidak ada upaya hukum
lain yang dapat ditempuh terhadap putusan tersebut. Sifat putusan MK pertama kali diatur di
dalam UUD 1945 setelah perubahan ketiga, tepatnya Pasal 24C ayat (1) yang menyatakan
“MahkamahKonstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final...”. Pembahasan mengenai makna dari sifat putusan MK pada proses
perubahan UUD 1945 ini tidak dibahas secara mendetail, bahkan dapat dikatakan sangat
jarang sekali dibahas apalagi diperdebatkan. Amanat UUD 1945 tersebut kemudian diderivasi
ke dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 10
ayat (1) mengatakan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final...”. Dijelaskan makna final pada undang-undang ini,
yaitu putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperolehkekuatan hukum tetap sejak
diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
Ketentuan lebih lanjut untuk memperjelas mengenai kekuatan hukum putusan Mahkamah
Konstitusi dapat dilihat pada Pasal 47 yang menyatakan “Putusan Mahkamah Konstitusi
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk
umum”. Ketentuan mengenai sifat putusan Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk derivasi
dari UUD 1945 juga dapat ditemui pada Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 48 Tahun 2009), yang menyatakan bahwa
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final”.
Merujuk pada landasan yuridis di atas, tidak ditemukan kata mengikat sebagai sifat
putusan Mahkamah Konstitusi yang seharusnya dipadukan dengan sifat final. Baik menurut
UUD 1945, UU Nomor 24 Tahun 2003, maupun UU Nomor 48 Tahun 2009, hanya
menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final. Menurut Syahrizal, hal
tersebut merupakan kesalahan fatal yang dibuat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam
merumuskan amendemen UUD 1945.
Syahrizal berpendapat bahwa artikulasi putusan final adalah tidak dapat dibanding, sehingga
menimbulkan konsekuensi bahwa putusan tersebut secara normatif harus mengikat. Secara
sederhana, putusan yang bersifat final harus juga diikuti dengan kata mengikat. Artikulasi
normatif putusan final sekaligus mengikat (final and binding) sekalipun sudah dicantumkan
secara tegas dalam konstitusi maupun landasan yuridis lainnya yang mengatur mengenai
Mahkamah Konstitusi, sering kali juga menemukan kendala berupa tidakditindaklanjuti oleh
addressat putusan, apalagi jika tidak mencantumkannya.

B. Ketika KPU menolak pendaftaran Osman Sapta Odang (OSO), sebagai


anggota DPD apakah keputusan KPU dinyatakan Inskontitutional ?

Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak perlu ragu untuk mengikuti putusan Mahkamah
Konstitusi soal larangan pengurus partai politik jadi calon anggota DPD. "Dominasi
parpol sudah mulai dibenahi begitu perubahan UUD 1945 dilakukan. Gagasannya
ketika itu mewujudkan parlemen, satu DPR dan satu DPD. Ketika dominasi parpol
sudah ada di DPR, maka DPD betul-betul menjadi representasi individu non-partai di
daerah, gagasan awal dalam perubahan UUD 1945, itu juga dikuatkan lewat
putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XVI/2018 yang melarang calon anggota
DPD rangkap jabatan sebagai pengurus parpol. Putusan ini yang kemudian dilawan
oleh Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odong (OSO).

OSO mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung terhadap Peraturan KPU (PKPU)
Nomor 26 Tahun 2018 yang memuat larangan pengurus partai politik menjadi calon
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). OSO beralasan bahwa putusan MK
bertentangan dengan UU Pemilu. MA pun mengabulkan gugatan OSO karena
putusan MK dinilai belum dimasukan ke dalam UU Pemilu yang baru. "Disebutkan
oleh MA, putusan MK belum dapat diberlakukan karena belum diundangkan.
Maunya MA, putusan MK bisa ditindaklanjuti dengan UU yang baru.

MA tidak memahami putusan MK. sifat putusan MK adalah mengikat. "Final and
binding. Dia mengikat mau diubah atau tidak diubah UU-nya, Karena sifat mengikat
itu, maka tidak mematuhi putusan MK sama seperti tidak mengikuti UU Pemilu.

Selain itu, lanjut Feri, tidak mengikuti putusan MK juga berarti tidak ikut gagasan
pembentukan UUD 1945. Atas alasan itu, dia pun berpendapat sebaikan KPU tidak
ragu untuk mengikuti putusan MK. "Kalau KPU ikuti putusan MK, maka KPU
mematuhi UUD, UU Pemilu, dan putusan MK itu sendiri.

Gugatan OSO Sebelumnya, MA mengabulkan gugatan uji materi yang diajukan oleh
OSO. Uji materi dilakukan terhadap Peraturan KPU (PKPU) Nomor 26 Tahun 2018
yang memuat larangan pengurus partai politik menjadi calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). Selain mengajukan gugatan ke MA, OSO juga
melakukan gugatan atas putusan KPU ke PTUN.

Sebab, KPU mencoret OSO sebagai calon anggota DPD lantaran tidak
menyerahkan surat pengunduran diri dari partai politik. OSO dianggap masih
tercatat sebagai anggota partai politik. OSO juga memenangkan gugatannya di
PTUN itu. Sementara itu, menurut putusan Mahkamah Konstitusi (MK), anggota
DPD dilarang rangkap jabatan sebagai anggota partai politik.

Anda mungkin juga menyukai