Anda di halaman 1dari 21

PRAKTIKUM III

ANALISIS KUANTITATIF PEMERIKSAAN KADAR ABU

A. Tujuan
 Mahasiswa mampu melakukan pengujian kualitas simplisia dengan melakukan
metode pemeriksaan kadar abu
B. Pendahuluan

Abu adalah zat organik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Abu dan
mineral dalam bahan pangan umumnya berasal dari bahan pangan itu sendiri (indigenous).
Tetapi ada beberapa mineral yang ditambahkan ke dalam bahan pangan, secara disengaja
maupun tidak disengaja (Susi, 2013).
Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral yang
terdapat pada suatu bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan anorganik dan air,
sedangkan sisanya merupakan unsur – unsur mineral. Unsur itu juga dikenal sebagai zat
organik atau kadar abu. Kadar abu tersebut dapat menunjukkan total mineral dalam suatu
bahan pangan. Bahan – bahan organik dalam proses pembakaran akan terbakar tetapi
komponen anorganiknya tidak, karena itulah disebut sebagai kadar abu. Yang termasuk
dalam garam organic misalnya garam-garam asam mallat, oksalat, asetat, pektat.
Sedangkan garam anorganik antara lain dalam bentuk garam fosfat, karbonat, klorida,
sulfat, nitrat. Selain kedua garam tersebut, kadang-kadang mineral berbentuk sebagai
senyawaan komplek yang bersifat organis. Apabila akan ditentukan jumlah mineralnya
dalambentuk aslinya sangatlah sulit, oleh karena itu biasanya dilakukan dengan
menentukan sisa-sisa pembakaran garam mineral tersebut, yang dikenal dengan pengabuan
(Zahro, 2013)
Tujuan penentuan kadar abu total :
1. Untuk menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan
2. Untuk mengetahui jenis bahan yang digunakan
3. Sebagai parameter nilai bahan pada makanan. Adanya kadar abu yang tidak larut pada
asam dalam asam yang cukup tinggi menunjukkan adanya pasir atau kotoran lain.
Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat
dalam suatu bahan, kemurnian serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan. Penentuan
kadar abu adalah mengoksidasikan senyawa organik pada suhu yang tinggi,yaitu sekitar
500-600°C dan melakukan penimbangan zat yang tinggal setelah proses pembakaran
tersebut. Lama pengabuan tiap bahan berbeda–beda dan berkisar antara 2-8 jam.
Pengabuan dilakukan pada alat pengabuan yaitu tanur yang dapat diatur suhunya.
Pengabuan diangap selesai apa bila diperoleh sisa pembakaran yang umumnya bewarna
putih abu-abu dan beratnya konstan dengan selang waktu 30 menit. Penimbangan terhadap
bahan dilakukan dalam keadan dingin,untuk itu krus yang berisi abu diambil dari dalam
tanur harus lebih dahulu dimasukan ke dalam oven bersuhu 105°C agar suhunya turun
menyesuaikan degan suhu didalam oven,barulah dimasukkan kedalam desikator sampai
dingin,barulah abunya dapat ditimbang hingga hasil timbangannya konstan (Zahro, 2013).
Kadar abu suatu bahan ditetapkan pula secara gravimetri. Analisis gravimetrik
merupakan bagian analisis kuantitatif untuk menentukan jumlah zat berdasarkan pada
penimbangan dari hasil reaksi setelah bahan/analit yang dihasilkan diperlakukan terhadap
pereaksi tertentu. Penentuan kadar abu merupakan cara pendugaan kandungan mineral
bahan pangan secara kasar. Bobot abu yang diperoleh sebagai perbedaan bobot cawan
berisi abu dan cawan kosong. Apabila suatu sampel di dalam cawan abu porselen
dipanaskan pada suhu tinggi sekitar 650°C akan menjadi abu berwarna putih. Ternyata di
dalam abu tersebut dijumpai garam-garam atau oksida-oksida dari K, P, Na, Mg, Ca, Fe,
Mn, dan Cu, disamping itu terdapat dalam kadar yang sangat kecil seperti Al, Ba, Sr, Pb,
Li, Ag, Ti, As, dan lain-lain. Besarnya kadar abu dalam daging ikan umumnya berkisar
antara 1 hingga 1,5 %. Kadar abu/mineral merupakan bagian berat mineral dari bahan yang
didasarkan atas berat keringnya. Abu yaitu zat organik yang tidak menguap, sisa dari proses
pembakaran atau hasil oksidasi. Penentuan kadar abu ada hubungannya dengan mineral
suatu bahan (Susi, 2013).
Untuk menentukan kandungan mineral pada bahan makanan, bahan harus
dihancurkan/didestruksi terlebih dahulu. Cara yang biasa dilakukan yaitu pengabuan kering
(dry ashing) atau pengabuan langsung dan pengabuan basah (wet digestion). Pemilihan
cara tersebut tergantung pada sifat zat organik dalam bahan, sifat zat anorganik yang ada
di dalam bahan, mineral yang akan dianalisa serta sensitivitas cara yang digunakan (Susi,
2013).
a. Metode pengabuan kering atau pengabuan langsung (dry ashing)
Prinsip dari pengabuan cara kering yaitu dengan mengoksidasi semua zat organik pada
suhu tinggi, yaitu sekitar 500–600ºC dan kemudian melakukan penimbangan zat yang
tertinggal setelah proses pembakaran tersebut (Sudarmadji, 1996). Mekanisme
pengabuan pada percobaan ini adalah pertama-tama krus porselin dioven selama 1 jam.
Krus porselin adalah tempat atau wadah yang digunakan dalam pengabuan, karena
penggunaannya luas dan dapat mencapai berat konstan maka dilakukan pengovenan.
Kemudian didinginkan selama 30 menit, setelah itu dimasukkan eksikator. Lalu
timbang krus sebagai berat a gram (Zahro, 2013).
Setelah itu masukkan bahan sebanyak 3 gram kedalam krus dan catat sebagai
berat b gram. Pengabuan di anggap selesai apabila di peroleh pengabuan yang
umumnya berwarna putih abu-abu (Zahro, 2013).
Pengabuan yang dilakukan didalam muffle dilakukan melalui 2 tahap yaitu :
1. Pemanasan pada suhu 300ºC yang dilakukan dengan maksud untuk dapat
melindungi kandungan bahan yang bersifat volatile dan bahan berlemak hingga
kandungan asam hilang. Pemanasan dilakukan sampai asap habis.
2. Pemanasan pada suhu 800ºC yang dilakukan agar perubahan suhu pada bahan
maupun porselin tidak secara tiba-tiba agar tidak memecahkan krus yang mudah
pecah pada perubahan suhu yang tiba-tiba. Setelah pengabuan selesai maka
dibiarkan dalam tanur selama 1 hari. Sebelum dilakukan penimbangan, krus
porselin dioven terlebih dahulu dengan tujuan mengeringkan air yang mungkin
terserap oleh abu selama didinginkan dalam muffle dimana pada bagian atas muffle
berlubang sehingga memungkinkan air masuk, kemudian krus dimasukkan dalam
eksikator yang telah dilengkapi zat penyerap air berupa silica gel. Setelah itu
dilakukan penimbangan dan catat sebagai berat c gram (Zahro, 2013).

Pengabuan kering dapat diterapkan pada hampir semua analisa mineral, kecuali
mercuri dan arsen. Pengabuan kering dapat dilakukan untuk menganalisa kandungan
Ca, P, dan Fe akan tetapi kehilangan K dapat terjadi apabila suhu yang digunakan
terlalu tinggi. Penggunaan suhu yang terlalu tinggi juga akan menyebabkan beberapa
mineral menjadi tidak larut (Susi, 2013).
Metode pengabuan kering atau pengabuan langsung ini memiliki kekurangan
dan kelebihan. Kelebihan yang dimiliki metode pengabuan kering atau langsung ini
adalah :
1. Digunakan untuk penentuan kadar abu total bahan makanan dan bahan hasil
pertanian, serta digunakan untuk sampel yang relatif banyak,
2. Digunakan untuk menganalisa abu yang larut dan tidak larut dalam air, serta abu
yang tidak larut dalam asam, dan
3. Tanpa menggunakan regensia sehingga biaya lebih murah dan tidak menimbulkan
resiko akibat penggunaan reagen yang berbahaya.
Sementara, kekurangan yang dimiliki metode pengabuan kering atau langsung ini
adalah :
1. Membutuhkan waktu yang lebih lama,
2. Tanpa penambahan regensia,
3. Memerlukan suhu yang relatif tinggi, dan
4. Adanya kemungkinan kehilangan air karena pemakaian suhu tinggi
b. Metode pengabuan basah atau tidak langsung (wet ashing)
Prinsip pengabuan cara basah yaitu memberikan reagen kimia tertentu pada
bahan sebelum dilakukan pengabuan. Senyawa yang biasa ditambahkan adalah gliserol
alkohol ataupun pasir bebas anorganik selanjutnya dilakukan pemanasan pada suhu
tunggi. Proses pemanasan mengakibatkan gliserol alkohol membentuk kerak sehingga
menyebabkan percepatan oksidasi. Sedangkan pada pemanasan untuk pasir bebas dapat
membuat permukaan yang bersinggungan dengan oksigen semakin luas dan
memperbesar porositas, sehingga mempercepat proses pengabuan. Mekanisme
pengabuannya adalah pertama-tama krus porselin dioven selama 1 jam. Kemudian
didinginkan selama 30 menit, setelah itu dimasukkan ke dalam eksikator. Lalu timbang
krus sebagai berat a gram. Setelah itu masukkan bahan sebanyak 3 gram kedalam krus
dan catat sebagai berat b gram. Kemudian ditambahkan gliserol alkohol 5 ml dan
dimasukkan dalam tanur pengabuan sampai warna menjadi putih keabu-abuan. Setelah
terjadi pengabuan, abu yang terbentuk dibiarkan dalam muffle selama 1 hari. Sebelum
dilakukan penimbangan, krus porselin dioven terlebih dahulu dengan tujuan
mengeringkan air yang mungkin terserap oleh abu selama didinginkan dalam muffle
dimana pada bagian atas muffle berlubang sehingga memungkinkan air masuk,
kemudian krus dimasukkan dalam eksikator yang telah dilengkapi zat penyerap air
berupa silica gel. Setelah itu dilakukan penimbangan dan catat sebagai berat c gram.
Suhu yang tinggi menyebabkan elemen abu yang bersifat volatile seperti Na, S, Cl, K
dan P menguap. Pengabuan juga menyebabkan dekomposisi tertentu seperi K2CO3 dan
CaCO3. pengeringan pada metode ini bertujuan untuk mendapatkan berat konstan.
Sebelum sampel dimasukkan dalam krus, bagian dalam krus dilapisi silica gel agar
tidak terjadi pengikisan bagian dalam krus oleh zat asam yang terkandung dalam
sampel dan utnuk menyerap air yang kemungkinan ada pada kurs (Zahro, 2013).
Seperti metode pengabuan kering atau langsung, metode pengabuan basah ini
juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan yang dimiliki antara lain :
1. Waktu yang diperlukan relatif singkat,
2. Suhu yang digunakan relatif rendah,
3. Resiko kehilangan air akibat suhu yang digunakan relatif rendah,
4. Dengan penambahan gliserol alkohol dapat mempercepat pengabuan
5. Penetuan kadar abu lebih baik
Kelemahan yang dimiliki metode pengabuan basah antara lain :
1. Hanya dapat digunakan untuk trace elemen dan logam beracun,
2. Memerlukan regensia yang kadangkala berbahaya, dan
3. Memerlukan koreksi terhadap regensia yang digunakan.
C. Alat dan Bahan
1. Alat
 Cawan porselin
 Gelas beaker
 Gelas ukur
 Corong
 Botol penyemprot
2. Bahan
 Aquadest
 Simplisia jeruk purut
 Asam sulfat
D. Cara kerja

1. Penetpan kadar abu total

Pertama- tama siapkan alat dan bahan

Timbang simplisia sebanyak 2 gram ,


kemudian simplisia di masukkan ke dalam
cawan porselin yang sudah di bobot tetap

Jika sudah , masukkan cawan porselin


beserta simplisia ke dalam vournish , lalu
pijarkan hingga menjadi abu

Setelah itu lakukan penimbangan abu


yang terbentuk
2. Penetapan kadar abu tidak larut asam

Didihkan abu yang di peroleh pada


penetapan kadar abu dengan 25 ml asam
sulfat 2N

Setelah itu saring menggunakan kertas


saring whattman

Siram kertas saring menggunakan air


basah untuk mengumpulkan filtrat nya

Lalu lakukan pengovenan sampai


menemukan bobot tetap , dengan suhu
105-120 derajar Celsius

Yang terakhir timbang dan hitung kadar


abu yang larut dalam air
3. Penetapan kadar abu larut air

Didihkan abu yang di peroleh pada


penetapan kadar abu dengan 25 ml air .

Setelah itu saring menggunakan kertas


saring whattman

Siram kertas saring menggunakan air


basah untuk mengumpulkan filtrat nya

Lalu lakukan pengovenan sampai


menemukan bobot tetap , dengan suhu
105-120 derajar Celsius

Yang terakhir timbang dan hitung kadar


abu yang larut dalam air
E. Hasil pengamatan
1. Penetapan kadar abu tidak laarut asam
a. Penetapan kadar abut total
cawan Berat abu tetap Berat sampel Kadar abu (%)
I 0,1701 2,0129 8,45
II 0,1738 2,0127 8,635

Perhitungan :
Rumus
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑏𝑢 𝑇𝑒𝑡𝑎𝑝
Kadar abu total = × 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
52,6294−52,4593
Cawan I = × 100%
2,0129
0,1701
= 2,0129 × 100%

= 8,45 %
50,0836−49,9098
Cawan II = × 100%
2,0127
0,1738
= × 100%
2,0127

= 8,635 %
b. Penetapan kadar abu tidak larut asam
cawan Berat abu tetap Berat sampel Kadar abu (%)
I 0,0142 0,1701 8,34
II 0,075 0,1738 43,15

Perhitungan :
Rumus
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑏𝑢 𝑇𝑒𝑡𝑎𝑝
Kadar abu total = × 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

Pengovenan IV
52,4758−52,4593
Cawan I = × 100%
0,1701
0,0142
= 0,1701 × 100%

= 8,34 %
49,9848−49,9098
Cawan II = × 100%
0,1738
0,075
= 0,1738 × 100%

= 43,15 %
2. Penetapan kadar abu larut air
a. Penetapan kadar abu
cawan Berat abu tetap Berat sampel Kadar abu (%)
I 0,1545 2,0018 7,719
II 0,131 2,0047 6,534

Perhitungan :
Rumus
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑏𝑢 𝑇𝑒𝑡𝑎𝑝
Kadar abu total (%) = × 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
43,2048−43,0503
Cawan I = × 100%
2,0018
0,1545
= 2,0018 × 100%

= 7,718 %

55,7645−55,6335
Cawan II = × 100%
2,0047
0,131
= 2,0047 × 100%

= 6,334 %
b. Penetapan kadar abu larut air
cawan Berat abu tetap Berat sampel Kadar abu larut
air
(%)
I 0,1545 2,0018 7,719
II 0,131 2,0047 6,534
Perhitungan :

Rumus

𝑎−(𝑏−𝑐)
Kadar abu larut air = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 × 100%

43,2040−(56,3948−563901)
Cawan I = × 100%
2,0018
43,2040−0,0097
= × 100%
2,0018

= 2,15 %
55,7645−(58,5505−58,5479)
Cawan II = × 100%
2,0047
55,7645−0,0026
= × 100%
2,0047

= 2,78 %
F. PembahasanKIMIAPELAYA
Pengabuan adalah proses pembakaran bahan organik untuk menghasilkan abu. Abu
merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran dari suatu bahan organik. Kandungan abu
pada suatu bahan dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara
pengabuannya. Pada umumnya sisa hasil pembakaran ( zat anorganik ) ini terdiri atas
oksida dan garam yang mengandung anion seperti fosfat, klorida, sulfat, dan halida lain,
dan juga mengandung kation seperti sodium, kalium, kalsium, magnesium, besi, dan
mangan. .
Pengabuan dapat dilakukan dengan menggunakan 2 metode, yaitu :

1. Metode pengabuan basah ( cara tidak langsung ). Prinsip pengabuan basah yaitu dengan
memberikan reagen kimia tertentu pada bahan sebelum dilakukan pengabuan.
2. Metode pengabuan kering ( cara langsung ). Prinsip pengabuan kering yaitu dengan
mengoksidasi semua zat organik pada suhu tinggi dalam tanur ( muffle furnace) sampai
terbentuk abu dan berat konstan tercapai.

Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral yang
terdapat pada suatu bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan anorganik dan air,
sedangkan sisanya merupakan unsur-unsur mineral. Unsur juga dikenal sebagai zat organik
atau kadar abu. Kadar abu tersebut dapat menunjukan total mineral dalam suatu bahan
pangan. Bahan-bahan organik dalam proses pembakaran akan terbakar tetapi komponen
anorganiknya tidak, karena itulah disebut sebagai kadar abu. Produk perikanan memiliki
kadar abu yang berbeda-beda. Standar mutu ikan segar berdasar
SNI 01-2354.1-2006, ialah memiliki kadar abu kurang dari 2%. Produk olahan hasil
diversifikasi dari jelly fish product (kamaboko) yang tidak diolah menjadi surimi dahulu
memiliki standar kadar abu antara 0,44 – 0,69% menurut
SNI 01-2693-1992. Contoh jelly fish product, yakni otak-otak, bakso dan kaki naga
(Astuti, 2012).
Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain untuk
menentukan baik atau tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan,
dan sebagai penentu parameter nilai gizi suatu bahan makanan. Penggilingan gandum,
misalnya, apabila masih banyak lembaga dan endosperm maka kadar abu yang
dihasilkannya tinggi. Banyaknya lembaga dan endosperm pada gandum menandakan
proses pengolahan kurang baik karena masih banyak mengandung bahan pengotor yang
menyebabkan hasil analisis kadar abu menjadi tidak murni. Kandungan abu juga dapat
digunakan untuk memperkirakan kandungan dan keaslian bahan yang digunakan. Kadar
abu sebagai parameter nilai gizi, contohnya pada analisis kadar abu tidak larut asam yang
cukup tinggi menunjukan adanya kontaminan atau bahan pengotor pada makanan tersebut.
Penentuan kadar abu dapat dilakukan dengan dua cara menurut Astuti (2012), yaitu
pengabuan cara langsung (cara kering) dan pengabuan cara tidak langsung (cara basah).

Kadar air merupakan salah satu sifat fisik dari bahan yang menunjukan banyaknya
air yang terkandung di dalam bahan. Kadar air biasanya dinyatakan dengan persentase
berat air terhadap bahan basah atau dalam gram air untuk setiap 100 gram bahan yang
disebut dengan kadar air basis basah. Berat bahan kering atau padatan adalah berat bahan
setelah mengalami pemanasan beberapa waktu tertentu sehingga beratnya tetap (konstan).
Hal ini sesuai dengan Suharto (1991), yang mengatakan bahwa kadar air adalah persentase
kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis) atau
berdasarkan berat kering (dry basis). Kadar air berat basah mempunyai batas maksimum
teoritis sebesar 100 persen, sedangkan kadar air berdasarkan berat kering dapat lebih dari
100 persen.
Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral yang
terdapat pada suatu bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan anorganik dan air,
sedangkan sisanya merupakan unsur-unsur mineral. Penentuan kadar abu total dapat
digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain untuk menentukan baik atau tidaknya suatu
pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan sebagai penentu parameter nilai
gizi suatu bahan makanan. Hal ini sesuai dengan Firmansyah (2011), yang mengatakan
bahwa kadar abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macan bahan dan cara pengabuanya

Unsur mineral dikenal sebagai zat organic atau kadar abu. Dalam proses
pembakaran, bahan-bahan oragnik terbakar tetapi zat anorganiknya tidak, karena itulah
disebut abu (Winarno, 2004). Abu merupakan residu anorganik dari hasil pembakaran atau
hasil oksidasi komponen organic bahan pangan. Kadar abu ada hubungannya dengan
kandungan mineral suatu bahan. Penentuan kadar abu cara kering mempunyai prinsip
yaitu, mengoksidasi semua zat organik pada suhu tinggi, yakni sekitar 500-600o C dan
kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut
(Vanessa, 2008).
Pengukuran kadar abu bertujuan untuk mengetahui besarnya kandungan mineral
yang terdapat dalam makanan/pangan (Sandjaja, 2009). Selain itu, Kadar abu dari suatu
bahan biasanya menunjukkan kadar mineral, kemurnian, serta kebersihan suatu bahan yang
dihasilkan. Menurut Clydesdale, dalam Trace Minerals in Foods (1988), mengatakan
bahwa kandungan mineral pada buah-buahan dan sayuran berbeda-beda, hal ini tergantung
pada beberapa faktor antara lain : genetik, agricultural practices, variasi pada kandungan
mineral dalam tanah, penggemukan tanah dan pH, serta faktor lingkungan dan kematangan
lahan.
Pada penetapan kadar abu total di lakukan adalah menimbang simplisia daun jeruk
purut sebanyak 2 gr , lalu masukkan ke dalam cawan porselin yang sudah di bobot tetap ,
jika sudah masukkan cawan ke dalam vournish selama 6 jam sampai simplia menjadi abu
. jika sudah timbang simplisia yang telah menjadi abu lalu lakukan perhitungan presentasi
kadar dengan menggunakan rumus kadar abu total .hasil yang kami dapat kan dalam
penetapan kadar abu total yaitu pada cawan 1 adalah 7,718% , dan pada cawan 2 adalah
6,534% .
Penentuan kada rabu total dapat digunakan untuk menentukan baik atau tidaknya
suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan-bahan yang digunakan, menentukan parameter
nilai gizi suatu bahan makanan. Kandungan abu dapat digunakan untuk memperkirakan
kandungan dan keaslian bahan yang digunakan. Dalam proses pengabuan suatu bahan, ada
dua macam metode yang dapat dilakukan, yaitu cara kering (langsung) dan cara tidak
langsung (cara basah), Pengabuan cara kering digunakan untuk penentuan total abu, abu
larut, tidak larut air dan tidak larut asam (Kaderi, 2015). Pengabuan kering dapat dilakukan
untuk menganalisis kandungan Ca,P, dan Fe, akan tetapi kehilangan K dapat terjadi apabila
suhu yang digunakan terlalu tinggi. Oleh karena itu, untuk menganalisis K harus dihindari
pemanasan suhu lebih tinggi dari 4 0˚C. Suhu 450˚C tidak dapat digunakan jika akan
menganalisis kandungan seng. Penggunaan suhu yang terlalu tinggi juga akan
menyebabkan beberapa mineral menjadi tidak larut (Bucklo, 2007). Data
1. Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam
Pada praktikum ini sampel yang kami gunakan adalah simplisia daun jeruk purut ,
pertama yang di lakukan adalah masukkan larutan asam sulfat sebanyak 25 ml pada
simplisia yang sudah menjadi abu lalu didihkan , setelah itu saring fitrat dan di cuci kertas
saring menggunakan air panas , yang terakhir masukkan fitrat kedalam oven sampai
mendapatkan bobot yang tetap , jika sudah timbang dan hitung kadar abu yang larut dalam
air . hasil yang kami dapatkan dalam praktikum penetapan kadar abu tidak larut asam yaitu
pada cawan 1 adalah 9,7 % sedangkan pada cawan 2 hasil yang kami dapatkan adalah
43,26% .
Kadar abu tidak larut asam untuk menunjukkan jumlah silikat yang berasal dari
pasir atau tanah. ,kadar abu tidak larut asam untuk menentukan parameter nilai gizi suatu
bahan simplisia. Kandungan abu dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan dan
keaslian bahan yang digunakan. Dalam proses pengabuan suatu bahan, ada dua macam
metode yang dapat dilakukan, yaitu cara kering (langsung) dan cara tidak langsung (cara
basah), Pengabuan cara kering digunakan untuk penentuan total abu, abu larut, tidak larut
air dan tidak larut asam. Kadar abu tak larut asam adalah zat yang tertinggal bila suatu
sampel bahan simplisia dibakar sempurna di dalam suatu tungku pengabuan, kemudian
dilarutkan dalam asam sulfat dan sebagian zat tidak dapat larut dalam asam. Penentuan
kadar abu tak larut asam berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam
suatu bahan, kemurnian serta kebersihan bahan tersebut (Husna, 2014).

2. Penentuan kadar abu larut air


Air adalah unsur yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Bahkan
dapat dipastikan tanpa pengembangan sumberdaya air secara konsisten peradaban manusia
tidak akan mencapai tingkat yang dinikmati sampai saat ini. Oleh karena itu pengembangan
dan pengolahan sumber daya air merupakan dasar peradaban manusia (Puspitasariet.al,
1991). Air merupakan salah satu sumber daya alam yang tak akan pernah habis
dikarenakan siklusnya berlangsung sangat cepat dan termasuk sumber daya yang sangat
mudah untuk didaur ulang.
Air adalah substansi kimia dengan rumus kimia H2O: satu molekul air tersusun atas
dua atom hidrogen yang terikat secara kovalen pada satu atom oksigen. Air bersifat tidak
berwarna, tidak berasa dan tidak berbau pada kondisi standar, yaitu pada tekanan 100 kPa
(1 bar) and temperatur 273,15 K (0 °C). Zat kimia ini merupakan suatu pelarut yang
penting, yang memiliki kemampuan untuk melarutkan banyak zat kimia lainnya, seperti
garam-garam, gula, asam, beberapa jenis gas dan banyak macam molekul organic , Kadar
abu larut air merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral yang terdapat
pada suatu bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan anorganik dan air,
sedangkan sisanya merupakan unsur – unsur mineral. Unsur juga dikenal sebagai zat
organik at au kadar abu. Kadar abu tersebut dapat menunjukkan total mineral dalam suatu
bahan pangan. Baha- bahan organik dalam proses pembakaran akan terbakar tetapi
komponen anorganiknya tidak, karena itulah disebut sebagai kadar abu (Zahro, 2013).
Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam
suatu bahan dapat merupakan dua macam garam yaitu garam organic dan garam anorganik.

Pada praktikum ini sampel yang kami gunakan masih sama yaitu simplisia jeruk
purut , dimana pada praktikum ini yang pertama kali kami lakukan adalah menambahkan
25 ml air kedalam simplisia yang sudah menjadi abu , setelah itu didihkan selama 15 menit
sampai simlisia larut , jika sudah saring dengan kertas saring dan cuci dengan air panas ,
jika sudah filtrate di ambil dan di oven sampai menemukan bobot tetap , lalu timbang dan
hitung abu yang larut air . hasil yang kami dapatkan pada praktikum penetapan kadar abu
larut air cawan 1 adalah 2,5 % , sedangkan cawan 2 adalah2,78% .

G. KESIMPULAN
Penetapan kadar abu tidak larut asam yang terkandung dalam simplisia daun jeruk
purut kali ini sebesar 9,7 % pada cawan 1 sedangkan pada cawan 2 sebesar 43,26% , dan
pada penetapan kadar abu larut air yang terkandung pada simplisia sebesar 2,15% pada
cawan 1 sedangkan pada cawan 2 sebesar 2,78%.
DAFTAR PUSTAKA

Akhmad Kadi, 2004. Beberapa Catatan Kehadiran Marga Sargassum Di Perairan Indonesia.
Gramedia. Jakarta.

Astuti. 2012. Petunjuk Praktikum Analisis Bahan Biologi. Jurdik Biologi FMIPA UNY.
Yogyakarta.

Estiasih, 2009.Pengantar Teknologi Pangan. PT Bumi Aksara. Jakarta.

Puspitasari, et.al. 1991. Teknik Penelitian Mineral Pangan. Bogor: IPB-press.

Sudarmadji, S., Haryono, B. dan Suhandi. 1989. Analisa Bahan makanan dan Pertanian. Liberty:
Yogyakarta.

Susi .M,A. 2013. Sinergisme Aktivitas Kemampuan Penangkapan Radikal Bebas TBA oleh
simplisia Herbal Pegagan. Universitas Pasundan

Syarif, R , dan h. Halid. 1993. Teknologi penyimpanan pangan. Arcan. Jakarta.

Wardani, Wiwin Dwi. 2008. Isolasi dan karakterisasi natrium alginat dari Rumput laut sargassum
sp untuk pembuatan bakso ikan tenggiri (scomberomus commerson). Surakarta:
Universitas Sebelas Maret

Yunizal. 2004. Tehnologi Pengolahan Alginat. BRKP. Jakarta.

Zahro. 2013. Fisiologi Nutrisi. Edisi Kedua. Press. Jakarta.


Dosen Pengampu Asisten Dosen

Rezqi Handayani, S.Farm.,M.P.H.,Apt Heni Rusmita, Amd.farm

Nurul Qamariah, M.Si

Praktikan

HARIYATI
LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA
PRAKTIKUM III
ANALISIS KUANTITATIF PEMERIKSAAN KADAR ABU

Oleh :
HARIYATI
17.71.018061

PROGAM STUDI D-III FARMASI


FAKULTAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
TAHUN 2019

Anda mungkin juga menyukai