Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Polietilen Glikol (PEG)

Polietilen glikol adalah polimer yang dapat dirumuskan oleh formula

HOCH2(CH2OCH2)nCH2OH. Nilai n dapat berkisar dari 1 sampai nilai yang sangat besar,

karena itu berat molekul dari PEG ini dapat berkisar antara 150-10.000. Senyawa yang

memiliki berat molekul dari 150-700 berbentuk cairan, dimana senyawa yang berat

molekulnya 1.000-10.000 berbentuk padatan. Senyawa glikol dengan berat molekul yang

rendah biasanya digunakan untuk larutan kental dimana campuran glikol ini biasanya

dimanfaatkan sebagai basis salep larut air (Grosser, et al., 2011).

Polietilen glikol 400 adalah polietilen glikol H(O-CH2-CH2)n OH dimana

harga n antara 8,2 dan 9,1. Pemerian: cairan kental jernih, tidak berwarna atau

praktis tidak berwarna, bau khas lemah, agak higroskopik. Kelarutan: larut

dalam air, dalam etanol (95%) P, dalam aseton P, dalam glikol lain dan dalam

hidrokarbon aromatik, praktis tidak larut dalam eter P dan dalam hidrokarbon

alifatik. Bobot molekul rata-rata: 380-420. Kandungan Lembab: Sangat

higroskopis walaupun higroskopis turun dengan meningkatnya bobot molekul,

titik beku 4-8ºC (Depkes RI, 1979).

Polietilen glikol 4.000, 6.000 dan 8.000 berbentuk serbuk putih dengan

tekstur seperti lilin dan berwarna seperti parafin. Sangat larut dalam air dan

dalam diklorometan, dan sedikit larut dalam alkohol (Sweetman, 2009).

Universitas Sumatera Utara


Polietilen glikol dapat menunjukkan aktivitas oksidasi jika terjadi

inkompatibilitas. Aktivitas anti bakteri dari bactricin atau benzilpenicilin dapat

dikurangi jika diformulasi dengan salep yang mengandung basis PEG ini.

(Sweetman, 2009)

Salah satu polimer yang umum digunakan pada pembuatan dispersi padat

adalah PEG. PEG disebut juga makrogol, merupakan polimer sintetik dari

oksietilen dengan rumus struktur H(OCH2CH2)nOH, dimana n adalah jumlah

rata-rata gugus oksietilen. PEG umumnya memiliki bobot molekul antara 200-

300.000. Penamaan PEG umumnya ditentukan dengan bilangan yang

menunjukkan bobot molekul rata-rata. Konsistensinya sangat dipengaruhi oleh

bobot molekul. PEG dengan bobot molekul 200-600 (PEG 200-600) berbentuk

cair, PEG 1500 semi padat, dan PEG 3000-20.000 atau lebih berupa padatan

semi kristalin dan PEG dengan bobot molekul lebih besar dari 100.000

berbentuk seperti resin pada suhu kamar. Umumnya PEG dengan bobot molekul

1.500-20.000 yang digunakan untuk pembuatan dispersi padat (Leuner dan

Dressman, 2000; Rowe, et al., 2003).

PEG merupakan salah satu jenis bahan pembawa yang sering digunakan

sebagai bahan tambahan dalam suatu formulasi untuk meningkatkan pelarutan

obat yang sukar larut. Bahan ini merupakan salah satu jenis polimer yang dapat

membentuk komplek polimer pada molekul organik apabila ditambahkan dalam

formulasi. Cangkang kapsul dengan menggunakan basis polietilen glikol

memiliki beberapa keuntungan karena sifatnya yang inert, tidak mudah

terhidrolisis, tidak membantu pertumbuhan jamur (Martin, dkk., 1993).

Universitas Sumatera Utara


2.2 Interaksi Uap Air-Padatan

Molekul air terdiri dari dua atom hidrogen, yang berikatan secara kovalen

dengan atom pusat oksigen. Molekul air saling menarik satu sama lain melalui

ikatan hidrogen, yang melibatkan polaritas dari molekul air (Airaksinen, 2005).

Uap air yang diadsorpsi pada permukaan disebut adsorbat, sedangkan zat

padat yang mengadsorpsi uap air tersebut disebut adsorben. Kecenderungan

adsorpsi pada permukaan zat padat sangat tergantung pada tekanan uap air,

temperatur dan perbedaan energi pengikatan interfacial. Proses adsorpsi terjadi

antara molekul air dengan bagian hidrofilik permukaan zat padat melalui ikatan

hidrogen (Airaksinen, 2005).

2.3 Kesetimbangan Kandungan Uap Air

Hubungan antara kelembaban dan kandungan uap air pada temperatur

yang sama (isoterm) dikenal sebagai kesetimbangan isoterm sorpsi uap air

(Equilibrium Moisture Sorption Isotherm) seperti yang dikemukakan oleh Bell

dan Labuza (1992). Masing-masing produk mempunyai kesetimbangan

kandungan uap air yang unik karena perbedaan interaksi (efek koligatif larutan,

efek kapiler, dan interaksi permukaan) antara air dengan komponen padat pada

kandungan uap air yang berbeda. Peningkatan aw biasanya diikuti dengan

peningkatan kandungan uap air, walaupun tidak secara linier. Kesetimbangan

kandungan uap air biasanya berbentuk sigmoidal untuk kebanyakan makanan,

walaupun makanan tersebut mengandung gula dalam jumlah besar (Fontana,

2000).

Universitas Sumatera Utara


Informasi mengenai mekanisme sorpsi uap air pada suatu bahan dapat

diketahui dari bentuk kesetimbangan kandungan uap airnya, karena hal itu

sangat tergantung pada interaksi antara molekul air dengan suatu bahan padat.

Isoterm sorpsi fisis ini dapat digolongkan menjadi 6 tipe utama (I-VI),

berdasarkan klasifikasi IUPAC. Isoterm tipe V dan VI tidak umum untuk

dijumpai (Sing, et al., 1985).

Tipe I adalah tipe Langmuir, yang ditandai oleh adanya adsorpsi yang

terbatas yang diasumsikan sebagai terbentuknya suatu lapisan tunggal yang

sempurna. Tipe I memiliki adsorben dengan mikropori yang luas permukaannya

relatif kecil, yang dapat menyimpan banyak uap air pada RH yang rendah (Sing,

et al., 1985).

Isoterm tipe II, bentuk sigmoi85dal atau bentuk S umumnya

berhubungan dengan sorpsi lapisan tunggal-multi lapisan pada bahan dengan

permukaan yang tidak berpori atau makropori. Isoterm tipe II dan IV

menunjukkan pengikatan tertentu pada kelembaban rendah yang diikuti dengan

adsorpsi yang rendah pada kelembaban menengah, selanjutnya meningkat lagi

pada kelembaban yang lebih tinggi. Adanya histeresis menunjukkan adanya

mesopori dan umum terjadi pada isoterm tipe II dan IV (Sing, et al., 1985).

Berbeda dengan isoterm tipe IV, isoterm tipe II tidak memiliki

penyerapan yang stabil pada aw yang tinggi. Isoterm tipe IV terjadi karena

tertutupnya mesopori yang diikuti dengan kondensasi kapiler atau pengisian pori

(Sing, et al., 1985).

Universitas Sumatera Utara


Isoterm tipe III dan V menandakan adanya interaksi adsorbent-adsorbat

yang lemah dan ditandai dengan penyerapan yang rendah pada kelembaban

rendah dan terjadi peningkatan yang pesat pada kelembaban yang lebih tinggi.

Isoterm tipe VI, isoterm bertingkat dimana terjadi sorpsi tingkat demi tingkat

pada permukaan bahan tidak berpori yang seragam. Klasifikasi isoterm sorpsi

uap air dan berbagai bentuknya dapat dilihat pada Gambar 2.1 (Sing, et al.,

1985).

Gambar 2.1. Klasifikasi isoterm sorpsi uap air dan berbagai bentuknya (Sing,
et al., 1985).

Kesetimbangan dari adsorpsi uap air (dimulai dari keadaan kering) tidak

sama persis dengan kesetimbangan yang dihasilkan dari desorpsi uap air

(dimulai dari keadaan basah). Fenomena dari kandungan uap air yang berbeda

dengan aw yang sama ini dikenal sebagai histeresis sorpsi uap air (moisture

sorption hysteresis) dan dimiliki oleh kebanyakan makanan. Skema histeresis

antara adsorpsi dan desorpsi uap air dapat dilihat pada Gambar 2.2. (Fontana,

2000).

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.2. Skema histeresis antara adsorpsi dan desorpsi uap air (Chaplin,
2005).

Ada beberapa alasan hal ini dapat terjadi, seperti perbedaan pengisian

dan pengosongan uap air pada pori-pori, pengembangan bahan polimer, transisi

keadaan gelas dan karet, dan supersaturasi beberapa zat terlarut selama desorpsi.

Kesetimbangan kandungan uap air ini biasanya digambarkan dalam bentuk

grafik, dengan memplot kandungan uap air sebagai suatu fungsi aw atau dalam

suatu bentuk persamaan (Fontana, 2000).

Ada lebih dari 70 persamaan yang telah dikembangkan untuk

memprediksi kesetimbangan kandungan uap air ini. Model GAB (Guggenheim-

Anderson-de Boer) merupakan salah satu model yang telah diterima secara luas

untuk bahan dengan aktivitas air dari 0,1 sampai 0,9.

C km a
m= (1- k aw)(1- k aw+ C1 k aw)
1 0 w

Di mana C1 dan k adalah suatu konstanta dan mo adalah kadar uap air lapisan

tunggal. Persamaan ini dapat diselesaikan menggunakan program regresi non-

Universitas Sumatera Utara


linear terkomputerisasi ataupun dalam bentuk persamaan polinomial (Fontana,

2000).

2.4 Stabilitas Fisik Cangkang Kapsul Umum

2.4.1 Warna

Warna, merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi penilaian

konsumen terhadap kualitas produk. Warna suatu bahan dapat berasal dari

warna alamiahnya atau warna yang terjadi selama proses pengolahannya

(Morales dan van Boekoel, 1998).

Temperatur dan kadar uap air yang relatif tinggi selama proses

pengolahan dan penyimpanan yang berkepanjangan merupakan salah satu

faktor utama yang menyebabkan terjadinya reaksi pengcoklatan (enzimatik dan

non-enzimatik) (Bell dan Labuza, 1992).

Reaksi pengcoklatan adalah suatu reaksi dimana suatu bahan berubah

menjadi coklat, baik melalui proses enzimatik maupun non-enzimatik.

Pengcoklatan enzimatik ini melibatkan polifenol oksidase atau enzim lain yang

menghasilkan melanin, sehingga menimbulkan warna coklat. Sedangkan

pengcoklatan non-enzimatik dapat menimbulkan warna coklat tanpa adanya

aktivitas enzim (Marshall, et al., 2000).

Reaksi Maillard merupakan suatu reaksi kimia pengcoklatan non-


enzimatik antara gula pereduksi dengan protein atau asam amino. Tergantung
pada jenis bahan dan jalannya reaksi, perubahan warna yang terjadi bisa dari
kuning lemah sampai coklat gelap. Banyak faktor yang mempengaruhi reaksi
Maillard, seperti temperatur, aktivitas air, pH, kadar uap air dan komposisi kimia
suatu bahan (Morales dan van Boekoel, 1998).

Universitas Sumatera Utara


2.4.2 Kerapuhan

Perlu diketahui bahwa cangkang kapsul bukan tidak reaktif, secara fisika

atau kimia. Perubahan kondisi penyimpanan seperti temperatur dan kelembaban

dapat mempengaruhi sifat kapsul. Dengan terjadinya kenaikan temperatur dan

kelembaban dapat menyebabkan kapsul mengikat/melepaskan uap air. Sebagai

akibatnya kapsul dapat menjadi rapuh atau lunak (Margareth, et al., 2009).

Laju pengeringan kapsul juga mempengaruhi kekerasan dan kerapuhan

kapsul, kemampuan pelarutan, dan kecenderungan untuk melekat satu sama lain.

Kadar uap air yang rendah pada kapsul dapat menghambat pertumbuhan

mikroba. Jika kadar uap air pada kapsul gelatin kurang dari 10%, kapsul

cenderung menjadi rapuh, dan sebaliknya jika kadar air lebih tinggi dari 18%

kapsul gelatin melunak. Kondisi penyimpanan yang direkomendasikan untuk

bentuk sediaan kapsul gelatin berkisar 15 - 30°C dan 30% - 60% kelembaban

relatif (RH) (Margareth, et al., 2009).

Perubahan kerapuhan kapsul oleh kelembaban relatif telah dipelajari oleh

Kontny dan Mulski (1989). Pemantauan terhadap karakteristik kapsul yang

disimpan pada kelembaban yang bervariasi membuktikan bahwa kelembaban

merupakan salah satu parameter yang penting dalam pembuatan dan

penyimpanan kapsul. Kriteria yang diterima bahwa kerapuhan kapsul yang

signifikan tidak boleh terdeteksi pada kapsul yang disimpan pada kelembaban

relatif 30% dan 50% selama 4 minggu. Kelembaban relatif (RH), kandungan

Universitas Sumatera Utara


uap air gelatin dan sifat kapsul gelatin keras dapat dilihat pada Gambar 2.3.

(Kontny dan Mulski, 1989).

Gambar 2.3. Kelembaban relatif (RH), kandungan uap air gelatin


dan sifat kapsul gelatin keras (Kontny dan Mulski, 1989)

2.5 Disolusi

Uji disolusi yaitu uji pelarutan in vitro mengukur laju dan jumlah

pelarutan obat dalam suatu media “aqueous” dengan adanya satu atau lebih

bahan tambahan yang terkandung dalam produk obat. Pelarutan obat merupakan

bagian penting sebelum kondisi absorbsi sistemik (Shargel dan Andrew, 1988).

Faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi dibagi atas 3 kategori yaitu:

a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sifat fisikokimia obat, meliputi:

i. Efek kelarutan obat. Kelarutan obat dalam air merupakan faktor utama

dalam menentukan laju disolusi. Kelarutan yang besar menghasilkan

laju disolusi yang cepat.

Universitas Sumatera Utara


ii. Efek ukuran partikel. Ukuran partikel berkurang dapat memperbesar

luas permukaan obat yang berhubungan dengan medium, sehingga laju

disolusi meningkat.

b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sifat fisikokimia obat, meliputi:

i. Efek kelarutan obat. Kelarutan obat dalam air merupakan faktor utama

dalam menentukan laju disolusi. Kelarutan yang besar menghasilkan

laju disolusi yang cepat.

ii. Efek ukuran partikel. Ukuran partikel berkurang dapat memperbesar

luas permukaan obat yang berhubungan dengan medium, sehingga laju

disolusi meningkat.

c. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sediaan obat, meliputi:

i. Efek formulasi. Laju disolusi suatu bahan obat dapat dipengaruhi bila

dicampur dengan bahan tambahan. Bahan pengisi, pengikat dan

penghancur yang bersifat hidrofil dapat memberikan sifat hidrofil

pada bahan obat yang hidrofob, oleh karena itu disolusi bertambah,

sedangkan bahan tambahan yang hidrofob dapat mengurangi laju

disolusi.

ii. Efek faktor pembuatan sediaan. Metode granulasi dapat mempercepat

laju disolusi obat-obat yang kurang larut. Penggunaan bahan pengisi

yang bersifat hidrofil seperti laktosa dapat menambah hidrofilisitas

bahan aktif dan menambah laju disolusi.

d. Faktor-faktor yang berhubungan dengan uji disolusi, meliputi:

Universitas Sumatera Utara


i. Tegangan permukaan medium disolusi. Tegangan permukaan

mempunyai pengaruh nyata terhadap laju disolusi bahan obat.

Surfaktan dapat menurunkan sudut kontak, oleh karena itu dapat

meningkatkan proses penetrasi medium disolusi ke matriks. Formulasi

tablet dan kapsul konvensional juga menunjukkan penambahan laju

disolusi obat-obat yang sukar larut dengan penambahan surfaktan

kedalam medium disolusi.

ii. Viskositas medium. Semakin tinggi viskositas medium, semakin kecil

laju disolusi bahan obat.

iii. pH medium disolusi. Larutan asam cenderung memecah tablet sedikit

lebih cepat dibandingkan dengan air, oleh karena itu mempercepat laju

disolusi (Gennaro, 2000). Obat-obat asam lemah disolusinya kecil

dalam medium asam, karena bersifat nonionik, tetapi disolusinya besar

pada medium basa karena terionisasi dan pembentukan garam yang

larut (Martin, dkk., 1993).

United States Pharmacopeia (USP) XXXII memberi beberapa metode

resmi untuk melaksanakan uji pelarutan yaitu: a. Metode Keranjang (Basket)

Metode keranjang terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan oleh

tangkai motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu

bulat yang berisi media pelarutan. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak

yang bersuhu konstan 37ºC. Kecepatan berputar dan posisi keranjang harus

memenuhi rangkaian syarat khusus dalam USP XXXII. Tersedia

Universitas Sumatera Utara


standar kalibrasi pelarutan untuk meyakinkan bahwa syarat secara

mekanik dan syarat operasi telah dipenuhi.

b. Metode Dayung (Paddle)

Metode dayung terdiri atas suatu dayung yang dilapisi khusus, yang

berfungsi memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan.

Dayung diikat secara vertikal ke suatu motor yang berputar dengan suatu

kecepatan yang terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu

pelarutan yang beralas bulat yang juga berfungsi untuk memperkecil

turbulensi dari media pelarutan. Alat ditempatkan dalam suatu bak air yang

bersuhu konstan, seperti pada metode basket dipertahankan pada 37ºC.

Posisi dan kesejajaran dayung ditetapkan dalam USP. Metode dayung

sangat peka terhadap kemiringan dayung. Pada beberapa produk obat,

kesejajaran dayung yang tidak tepat secara drastis dapat mempengaruhi

hasil pelarutan. Standar kalibrasi pelarutan yang sama digunakan untuk

memeriksa peralatan sebelum uji dilaksanakan.

c. Metode Disintegrasi yang Dimodifikasi

Metode ini dasarnya memakai disintegrasi USP “basket and rack” dirakit

untuk uji pelarutan. Bila alat ini dipakai untuk pelarutan maka cakram

dihilangkan. Saringan keranjang juga diubah sehingga selama pelarutan

partikel tidak akan jatuh melalui saringan. Metode ini jarang digunakan dan

dimasukkan dalam USP untuk suatu formulasi obat lama. Jumlah

pengadukan dan getaran membuat metode ini kurang sesuai untuk uji

pelarutan yang tepat (Shargel dan Andrew, 1988).

Universitas Sumatera Utara


2.6 Natrium Diklofenak

2.6.1 Uraian bahan

Rumus Bangun :

Gambar 2.4. Rumus bangun natrium diklofenak (Depkes RI, 1995)

Rumus Molekul : C14H10Cl2NNaO2

Nama Kimia : Asam benzenasetat, 2-[(2,6-diklorofenil)amin] -

garam monosodium

Nama lain : Natrium [o-(2,6-dikloroanilino)fenil]asetat

Berat Molekul : 318,13 (USP XXXII, 2009).

Pemerian : Serbuk kristal putih atau sedikit kuning, agak

higroskopis

Kelarutan : Sedikit larut dalam air, mudah larut dalam

metanol, larut dalam etanol (9%), sedikit larut

dalam aseton (British Pharmacopoeia, 2009).

pKa : 4,2 (Moffats, 2005).

2.6.2 Farmakologi natrium diklofenak

Diklofenak mempunyai aktivitas analgesik, antipiretik, dan antiradang

Natrium diklofenak berpotensi terhadap COX-2 lebih besar daripada

indometasin, naproksen ataupun OAINS lainnya. Mekanisme lainnya,

Universitas Sumatera Utara


diklofenak tampaknya dapat mengurangi konsentrasi intrasel dari asam

arakidonat bebas dalam leukosit, mungkin dengan mengubah pelepasan ataupun

penyerapannya. Selektivitas dari diklofenak terhadap COX-2 menyerupai

celecoxib. Namun, efek merugikan terhadap gastrointestinal serius tidak berbeda

antara celecoxib dan diklofenak (Grosser, et al., 2011).

2.6.3 Farmakokinetika natrium diklofenak

Diklofenak secara cepat diserap ketika diberikan sebagai larutan oral,

tablet salut gula, suppositoria rektal, atau dengan injeksi intramuskular.

Penyerapannya lebih lambat ketika diberikan sebagai tablet salut enterik,

terutama saat bentuk sediaan tersebut diberikan bersamaan dengan makanan.

Walaupun diklofenak yang diberikan secara oral diserap sempurna, diklofenak

akan mengalami metabolisme lintas pertama sehingga sekitar 50% dari obat

mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk yang tidak berubah (Sweetman, 2009).

Diklofenak juga diserap secara perkutan. Pada konsentrasi terapetik sekitar 99%

obat terikat pada protein plasma. Diklofenak menembus cairan sinovial di mana

konsentrasinya dapat bertahan bahkan didistribusikan ke dalam ASI. Waktu

paruh plasmanya sekitar 1 hingga 2 jam. Diklofenak dimetabolisme menjadi 4’-

hidroksidiklofenak, 5-hidroksidiklofenak, 3’-hidroksidiklofenak dan 4’,5-

dihidroksidiklofenak. Diklofenak diekskresikan dalam bentuk glukoronida dan

konjugat sulfat, sebagian besar dalam urin (sekitar 60%) juga dalam empedu

(sekitar 35%); kurang dari 1% diekskresikan sebagai diklofenak yang tidak

berubah (Sweetman, 2009).

Universitas Sumatera Utara


2.7 Kapsul

Kapsul adalah sediaan padat dimana obat ditutup dalam suatu cangkang

yang keras maupun lunak. Cangkang tersebut biasanya dibuat dari gelatin; tetapi

cangkang tersebut juga dapat dibuat dari pati ataupun zat lain yang cocok.

Kapsul cangkang keras berukuran dari No. 5, yang paling kecil, hingga No. 000,

yang paling besar, kecuali untuk ukuran penggunaan veteriner. Bagaimanapun,

ukuran No. 00 merupakan ukuran terbesar yang secara umum dapat diterima oleh

pasien (USP XXXII, 2009). Kapsul tidak berasa, mudah pemberiannya, mudah

pengisiannya tanpa persiapan atau dalam jumlah yang besar secara komersil.

Didalam praktek peresepan, penggunaan kapsul gelatin keras diperbolehkan

sebagai pilihan dalam meresepkan obat tunggal atau kombinasi obat pada

perhitungan dosis yang dianggap baik untuk pasien secara individual.

Fleksibilitasnya lebih menguntungkan daripada tablet. Beberapa pasien

menyatakan lebih mudah menelan kapsul daripada tablet, oleh karena itu lebih

disukai bentuk kapsul bila memungkinkan. Pilihan ini telah mendorong pabrik

farmasi untuk memproduksi sediaan kapsul dan di pasarkan, walaupun

produknya sudah ada dalam bentuk sediaan tablet (Gennaro, 2000).

2.7.1 Kapsul delayed-release

Kapsul dapat disalut, atau, lebih umumnya, granul yang dienkapsulasi

dapat disalut untuk menahan pelepasan obat dalam cairan lambung dimana suatu

penundaan penting untuk mengurangi masalah yang mungkin terjadi pada

inaktivasi obat atapun iritasi mukosa lambung. Istilah “delayed-release”

digunakan pada monografi Farmakope pada kapsul salut enterik yang ditujukan

Universitas Sumatera Utara


untuk menunda pelepasan dari bahan obat hingga kapsul melewati lambung

(USP XXXII, 2009). Tabel penerimaan beberapa sediaan delayed release dapat

dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Tabel penerimaan sediaan delayed release menurut USP XXXII

No. Sediaan Medium Persyaratan


Asam Terdisolusi tidak lebih dari 10%
1 Kapsul delayed Basa pH Terdisolusi tidak kurang dari 75%
release Aspirin 6,8 dalam waktu 90 menit
Tablet delayed Asam Terdisolusi tidak lebih dari 10%
2 release Natrium Basa pH Terdisolusi tidak kurang dari 75%
diklofenak 6,8 dalam waktu 45 menit
Tablet delayed Asam Terdisolusi tidak lebih dari 10%
3 release Basa pH Terdisolusi tidak kurang dari 80%
Diritromisin 6,8 dalam waktu 45 menit
Kapsul delayed Asam Terdisolusi tidak lebih dari 10%
4 release Basa pH Terdisolusi tidak kurang dari 80%
Eritromisin 6,8 dalam waktu 120 menit
Kapsul delayed Asam Terdisolusi tidak lebih dari 10%
5 release Basa pH Terdisolusi tidak kurang dari 80%
Lansoprazole 6,8 dalam waktu 60 menit
Kapsul delayed Asam Terdisolusi tidak lebih dari 15%
6 release Basa pH Terdisolusi tidak kurang dari 75%
Omeprazole 7,6 dalam waktu 30 menit
Tablet delayed Asam Terdisolusi tidak lebih dari 10%
7 release Basa pH Terdisolusi tidak kurang dari 85%
Sulfasalazin 7,5 dalam waktu 60 menit
Kapsul delayed Asam Terdisolusi tidak lebih dari 10%
8 release Terdisolusi tidak kurang dari 75%
Basa pH 6
Pankrealipase dalam waktu 60 menit

2.8 Natrium Alginat

Natrium alginat merupakan produk pemurnian karbohidrat yang

diekstraksi dari alga coklat (Phaeophyceae) dengan menggunakan basa lemah.

Natrium alginat larut dengan lambat dalam air, membentuk larutan kental,

Universitas Sumatera Utara


tidak larut dalam etanol dan eter. Alginat ini diperoleh dari spesies Macrocystis

pyrifera, Laminaria, Ascophyllum dan Sargassum. Struktur alginat dapat dilihat

pada Gambar 2.5 (Belitz dan Grosch, 1987).

Gambar 2.5. Struktur alginat

Asam alginat adalah kopolimer biner yang terdiri dari residu β-D-

mannuronat (M) dan α-L-asam guluronat (G) yang tersusun dalam blok-blok

yang membentuk rantai linear (Grasdalen, et al., 1979). Kedua unit tersebut

berikatan pada atom C1 dan C4 dengan susunan homopolimer dari masing-

masing residu (MM dan GG) dan suatu blok heteropolimer dari dua residu (MG).

Struktur G: α- L asam guluronat dan M: β- D asam mannuronat dapat dilihat

pada Gambar 2.6. (Thom, et al., 1980).

Gambar 2.6. Struktur G: α-l asam guluronat dan M: β-d asam mannuronat

Asam alginat tidak larut dalam air, karena itu yang digunakan dalam

industri adalah dalam bentuk garam natrium dan garam kalium. Salah satu sifat

Universitas Sumatera Utara


dari natrium alginat adalah mempunyai kemampuan membentuk gel dengan

penambahan larutan garam-garam kalsium seperti kalsium glukonat, kalsium

tartrat dan kalsium sitrat (Thom, et al., 1982). Pembentukan gel alginat dengan

ion kalsium, disebabkan oleh adanya ikatan silang membentuk khelat antara ion

kalsium dan anion karboksilat pada blok G-G melalui mekanisme antar rantai.

Natrium alginat mempunyai rantai poliguluronat menunjukkan sifat pengikatan

ion kalsium yang lebih besar (Morris, et al., 1980).

Untuk kepentingan farmasetik digunakan natrium alginat, dimana

larutannya dalam air bereaksi netral sampai asam lemah. Sediaan alginat paling

stabil pada daerah pH 6-7, pada pH 4,5 asam bebasnya akan mengendap.

Pemanasan yang kuat dan lama, terutama >70oC dihindari, karena akan

mengalami kehilangan viskositas akibat terjadinya polimerisasi. Sediaan

disimpan dingin dan dilindungi dari cahaya dalam wadah tertutup baik (Voight,

1994).

Di Laboratorium Farmasi Fisik Fakultas Farmasi USU dalam beberapa

tahun terakhir telah dikembangkan kapsul yang tahan terhadap asam lambung.

Cangkang kapsul ini dibuat dari natrium alginat dengan kalsium klorida

menggunakan cetakan. Telah terbukti bahwa cangkang kapsul alginat tahan atau

tidak pecah dalam cairan lambung buatan (pH 1,2). Kapsul mengembang dan

pecah dalam cairan usus buatan yaitu pH 4,5 dan pH 6,8 (Bangun, dkk., 2005)

Utuhnya cangkang kapsul kalsium alginat di dalam medium pH 1,2

disebabkan komponen penyusun cangkang alginat yaitu kalsium guluronat

Universitas Sumatera Utara


masih utuh, sedangkan pelepasan kalsium kemungkinan berasal dari kalsium

yang terperangkap dalam kapsul dan terikat dengan manuronat saja. Hal itu

berarti kalsium guluronat yang bertanggung jawab terhadap keutuhan kapsul di

dalam medium pH 1,2 (Bangun, dkk., 2005).

Cangkang kapsul kalsium alginat dapat mengembang dan pecah di dalam

medium pH 4,5 dan 6,8 (cairan usus buatan). Hal ini disebabkan terjadi

pertukaran ion kalsium dari kalsium alginat (kalsium guluronat) dengan ion

natrium yang terdapat pada cairan usus buatan, sehingga terbentuk natrium

alginat (natrium guluronat). Pembentukan natrium alginat pada kapsul dapat

menyebabkan kapsul bersifat hidrofilik, sehingga mudah menyerap air,

mengembang dan pecah (Bangun, dkk., 2005).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai