Step 3
Teori Psikoanalitik
Sigmeun Freud menyatakan dalam bukunya “ 1926 Inhibitons, Symptoms, Anxiety”
bahwa kecemasan adalah suatu sinyal kepada ego bahwa suatu dorongan yang tidak dapat
diterima menekan untuk mendapatkan perwakilan dan pelepasan sadar. Sebagai suatu
sinyal, kecemasan menyadarkan ego untuk mengambil tindakan defensif terhadap
tekanan dari dalam. Jika kecemasan naik di atas tingkatan rendah intensitas karakter
fungsinya sebagai suatu sinyal, ia akan timbul sebagai serangan panik.
Teori Perilaku
Rasa cemas dianggap timbul sebagai respon dari stimulus lingkungan yang spesifik.
Contohnya, seorang anak laki-laki yang dibesarkan oleh ibunya yang memperlakukannya
semena-mena, akan segera merasa cemas bila ia bertemu ibunya. Melalui proses
generalisasi, ia akan menjadi tidak percaya dengan wanita. Bahkan seorang anak dapat
meniru sifat orang tuanya yang cemas.
Teori Eksistensi
Pada gangguan cemas menyeluruh, tidak didapatkan stimulus rasa cemas yang bersifat
kronis. Inti dari teori eksistensi adalah seseorang merasa hidup di dalam dunia yang tidak
bertujuan. Rasa cemas adalah respon mereka terhadap rasa kekosongan eksistensi dan
arti.
Berdasarkan aspek biologis, didapatkan beberapa teori yang mendasari timbulnya cemas
yang patologis antara lain:
• Sistem saraf otonom
• Neurotransmiter
Neurotransmiter
A. Norepinephrine
Gejala kronis yang ditunjukan oleh pasien dengan gangguan cemas berupa serangan
panik, insomnia, terkejut, dan autonomic hyperarousal, merupakan karakteristik dari
peningkatan fungsi noradrenergik. Teori umum dari keterlibatan norepinephrine pada
gangguan cemas, adalah pasien tersebut memiliki kemampuan regulasi sistem
noradrenergik yang buruk terkait dengan peningkatan aktivitas yang mendadak. Sel-sel
dari sistem noradrenergik terlokalisasi secara primer pada locus ceruleus pada rostral
pons, dan memiliki akson yang menjurus pada korteks serebri, sistem limbik, medula
oblongata, dan medula spinalis. Percobaan pada primata menunjukan bila diberi stimulus
pada daerah tersebut menimbulkan rasa takut dan bila dilakukan inhibisi, primata tersebut
tidak menunjukan adanya rasa takut. Studi pada manusia, didapatkan pasien dengan
gangguan serangan panik, bila diberikan agonis reseptor β-adrenergik ( Isoproterenol )
dan antagonis reseptor α-2 adrenergik dapat mencetuskan serangan panik secara lebih
sering dan lebih berat. Kebalikannya, clonidine, agonis reseptor α-2 menunjukan
pengurangan gejala cemas.
B. Serotonin
Ditemukannya banyak reseptor serotonin telah mencetuskan pencarian peran serotonin
dalam gangguan cemas. Berbagai stress dapat menimbulkan peningkatan 5-
hydroxytryptamine pada prefrontal korteks, nukleus accumbens, amygdala, dan
hipotalamus lateral. Penelitian tersebut juga dilakukan berdasarkan penggunaan obat-
obatan serotonergik seperti clomipramine pada gangguan obsesif kompulsif. Efektivitas
pada penggunaan obat buspirone juga menunjukkan kemungkinan relasi antara serotonin
dan rasa cemas. Sel-sel tubuh yang memiliki reseptor serotonergik ditemukan dominan
pada raphe nuclei pada rostral brainstem dan menuju pada korteks serebri, sistem limbik,
dan hipotalamus.
C. GABA
Peran GABA pada gangguan cemas sangat terlihat dari efektivitas obat-obatan
benzodiazepine, yang meningkatkan aktivitas GABA pada reseptor GABA tipe A.
Walaupun benzodiazepine potensi rendah paling efektif terhadap gejala gangguan cemas
menyeluruh, benzodiazepine potensi tinggi seperti alprazolam dan clonazepam
ditemukan efektif pada terapi gangguan serangan panik
Pada suatu studi struktur dengan CT scan dan MRI menunjukan peningkatan ukuran
ventrikel otak terkait dengan lamanya pasien mengkonsumsi obat benzodiazepine. Pada
satu studi MRI, sebuah defek spesifik pada lobus temporal kanan ditemukan pada pasien
dengan gangguan serangan panik. Beberapa studi pencitraan otak lainnya juga
menunjukan adanya penemuan abnormal pada hemisfer kanan otak, tapi tidak ada pada
hemisfer kiri. fMRI, SPECT, dan EEG menunjukan penemuan abnormal pada korteks
frontal pasien dengan gangguan cemas, yang ditemukan juga pada area oksipital,
temporal, dan girus hippocampal. Pada gangguan obsesif kompulsif diduga terdapat
kelainan pada nukleus kaudatus. Pada PTSD, fMRI menunjukan pengingkatan aktivitas
pada amygdala.
Korteks Serebri
Korteks serebri bagian frontal berhubungan dengan regio parahippocampal, cingulate
gyrus, dan hipotalamus, sehingga diduga berkaitan dengan gangguan cemas. Korteks
temporal juga dikaitkan dengan gangguan cemas. Hal ini diduga karena adanya
kemiripan antara presentasi klinis dan EEG pada pasien dengan epilepsy lobus temporal
dan gangguan obsesif kompulsif.
Sistem Limbik
Selain menerima inervasi dari noradrenergik dan serotonergik, sistem limbik juga
memiliki reseptor GABA dalam jumlah yang banyak. Ablasi dan stimulasi pada primata
juga menunjukan jikalau sistem limbik berpengaruh pada respon cemas dan takut. Dua
area pada sistem limbik menarik perhatian peneliti, yakni peningkatan aktivitas pada
septohippocampal, yang diduga berkaitan dengan rasa cemas, dan cingulate gyrus, yang
diduga berkaitan dengan gangguan obsesif kompulsif.
Gangguan Cemas, Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Jiwa, Universitas
Tarumanegara
Gejala-gejala cemas pada dasarnya terdiri dari dua komponen yakni, kesadaran terhadap
sensasi fisiologis ( palpitasi atau berkeringat ) dan kesadaran terhadap rasa gugup atau takut.
Selain dari gejala motorik dan viseral, rasa cemas juga mempengaruhi kemampuan berpikir,
persepsi, dan belajar. Umumnya hal tersebut menyebabkan rasa bingung dan distorsi
persepsi. Distorsi ini dapat menganggu belajar dengan menurunkan kemampuan memusatkan
perhatian, menurunkan daya ingat dan menganggu kemampuan untuk menghubungkan satu
hal dengan lainnya.
Aspek yang penting pada rasa cemas, umumnya orang dengan rasa cemas akan melakukan
seleksi terhadap hal-hal disekitar mereka yang dapat membenarkan persepsi mereka
mengenai suatu hal yang menimbulkan rasa cemas.
Gangguan Cemas, Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Jiwa, Universitas
Tarumanegara
Takut
Ansietas yang disebabkan oleh bahaya yang nyata dan dikenali secara sadar. (Sinopsis
Psikiatri, Kaplan & Sadock ed. 7 jilid dua)
Perasaan tersebut ditandai dengan rasa ketakutan yang difus, tidak menyenangkan dan samar-
samar, diawali dengan sebuah sebab yang jelas. seringkali disertai gejala otonom seperti
nyeri kepala, berkeringat, palpitasi, kekakuan pada dada, dan gangguan lambung ringan.
Seseorang yg cemas mungkin juga merasa gelisah
Cemas Normal suatu penyerta yang normal dari pertumbuhan, dari perubahan, dari
pengalaman sesuatu yang baru dan belum dicoba, dan dari penemuan identitasnya sendiri dan
arti hidup. Ex. anak masuk sekolah pertama kali
Kecemasan yang didasari tanpa sebab yang jelas dan tidak berpotensi untuk mengancam
jiwanya. Mngkin disertai dengan gejala otonom seperti kecemasan normal. Kecemasan yang
patologis adalah kecemasan yang berlebihan terhadap stimuli internal atau eksternal, dan
tidak berfungsi untuk menyelamatkan keutuhan jiwanya.
Cemas Patologis respon yang tidak sesuai terhadap stimulus yang diberikan berdasarkan
pada intensitas atau durasinya.
PPDGJ hal 74
Pedoman Diagnostik Menurut PPDGJ III.
Penderita harus menunjukkan kecemasan sebagai gejala primer yang berlangsung hamper
setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan, yang tidak terbatas atau hanya
menonjolpada keadaan situasi khusus tertentu saja (sifatnya “free floating” atau
“mengambang”.
Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari), khususnya
depresi, tidak membatalkan diagnosis utama. Gangguan anxietas menyeluruh, selama hal
tersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode depresi (F32), gankap dari episode
depresi (F32), gangguan anxietas fobik (F40), gangguan panic (F41.0), gangguan obsesif
kompulsif (F42.)
8. Apa yang dimaksud panic?
9. Apa beda gangguan cemas menyeluruh dan panic?
Cemas dan panic