Anda di halaman 1dari 6

ETIMOLOGI BATIK

Secara etimologi, kata batik berasal dari bahasa Jawa, "ambhatik" dari kata "amba" berarti lebar, luas,
kain dan "titik" berarti titik atau "matik" (kata kerja dalam bahasa Jawa berarti membuat titik) dan
kemudian berkembang menjadi istilah batik, yang berarti menghubungkan titik-titik menjadi gambar
tertentu pada kain yang luas atau lebar. Batik juga mempunyai pengertian segala sesuatu yang
berhubungan dengan membuat titik-titik tertentu pada kain mori. Dalam bahasa Jawa, batik ditulis
dengan "bathik", mengacu pada huruf Jawa "tha" yang menunjukan bahwa batik adalah rangkaian dari
titik-titik yang membentuk gambaran tertentu. Batik sangat identik dengan suatu tehnik (proses) dari
mulai penggambaran motif hingga pelodoran. Salah satu ciri khas batik adalah cara penggambaran motif
pada kain yang menggunakan proses pemalaman, yaitu menggoreskan malam (lilin) yang ditempatkan
pada wadah yang bernama canting dan cap.

Batik berdasarkan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), batik merujuk kepada sebuah kata benda. Yang
dimaksud disini adalah kain batik atau baju batik yang sudah selesai dilukis.

Sebutan batik sebenarnya berasal dari kata Proto-Austronesian “becik” yang maknanya adalah “untuk
menato”. Penulisan kata batik juga muncul di dalam Ensiklopedi Britanika di tahun 1880.

Batik dibuat dengan bermacam-macam metode, tidak hanya dengan canting saja. Ambatik mengacu
kepada teknik melukis titik-titik yang serba rumit. Ada juga definisi lain kata batik itu asalnya dari kata
titik lalu ditambahkan kata mba sehingga menjadi mbatik. Sehingga batik itu diartikan sebagai seni
membuat titik, atau menitik. Dengan kata lain, batik itu adalah sebuah metode pembuatan kain.
Mengapa titik? Alat yang digunakan untuk membuat motif batik adalah canting. Garis dan motif yang
dihasilkan oleh canting selalu terdiri dari sebuah titik.

Menurut KRT.DR. HC. Kalinggo Hanggopuro (2002, 1-2) dalam buku Bathik sebagai Busana Tatanan dan
Tuntunan menuliskan bahwa, para penulis terdahulu menggunakan istilah batik yang sebenarnya tidak
ditulis dengan kata "Batik" akan tetapi seharusnya "Bathik". Hal ini mengacu pada huruf Jawa "tha"
bukan "ta" dan pemakaiaan bathik sebagai rangkaian dari titik adalah kurang tepat atau dikatakan salah.

Walaupun yang dimaksud secara definisi adalah batik tulis yang menggunakan canting, namun metode
pembuatan batik sendiri ada beberapa, seperti cap, cetak, dan printing. Ada juga batik yang dibuat pakai
kuas Bung, namanya batik lukis, tapi cukup jarang ditemukan. Semua akan kita bahas lebih lanjut nanti
pada bagian kedua.

BATIK DI INDONESIA

Lalu, kapan sebenarnya batik pertama kali dilakukan di tanah air? Seorang arkeolog asal Belanda
bernama J.L.A. Brandes meyakini bahwa batik merupakan bentuk tradisi yang perkembangannya paling
pesat di pulau Jawa.

Menurut catatan G.P. Rouffaer, tradisi membatik menggunakan canting telah dikenal sejak abad ke-12.
Hal ini dibuktikan dengan corak batik gringsing yang ditemukan di wilayah Kediri, Jawa Timur.
Bukan cuma itu bukti yang dia paparkan. Tepatnya pada abad ke-13, bagian pakaian dari patung
Prajnaparamita di wilayah yang sama juga memiliki detail pahatan yang menunjukkan corak batik. Corak
yang dikenal dengan sebutan jlamprang atau ceplok ini menggambarkan teratai. Tanaman yang
melambangkan kesucian bagi penganut kepercayaan Hindu maupun Budha.

Walaupun kata "batik" berasal dari bahasa Jawa, kehadiran batik di Jawa sendiri tidaklah tercatat. G.P.
Rouffaer berpendapat bahwa tehnik batik ini kemungkinan diperkenalkan dari India atau Srilangka pada
abad ke-6 atau ke-7.[4] Di sisi lain, J.L.A. Brandes (arkeolog Belanda) dan F.A. Sutjipto (sejarawan
Indonesia) percaya bahwa tradisi batik adalah asli dari daerah seperti Toraja, Flores, Halmahera, dan
Papua. Perlu dicatat bahwa wilayah tersebut bukanlah area yang dipengaruhi oleh Hinduisme tetapi
diketahui memiliki tradisi kuno membuat batik.[6]

G.P. Rouffaer juga melaporkan bahwa pola gringsing sudah dikenal sejak abad ke-12 di Kediri, Jawa
Timur. Dia menyimpulkan bahwa pola seperti ini hanya bisa dibentuk dengan menggunakan alat canting,
sehingga ia berpendapat bahwa canting ditemukan di Jawa pada masa sekitar itu.[6] Detil ukiran kain
yang menyerupai pola batik dikenakan oleh Prajnaparamita, arca dewi kebijaksanaan buddhis dari Jawa
Timur abad ke-13. Detil pakaian menampilkan pola sulur tumbuhan dan kembang-kembang rumit yang
mirip dengan pola batik tradisional Jawa yang dapat ditemukan kini. Hal ini menunjukkan bahwa
membuat pola batik yang rumit yang hanya dapat dibuat dengan canting telah dikenal di Jawa sejak
abad ke-13 atau bahkan lebih awal.

Legenda dalam literatur Melayu abad ke-17, Sulalatus Salatin menceritakan Laksamana Hang Nadim
yang diperintahkan oleh Sultan Mahmud untuk berlayar ke India agar mendapatkan 140 lembar kain
serasah dengan pola 40 jenis bunga pada setiap lembarnya. Karena tidak mampu memenuhi perintah
itu, dia membuat sendiri kain-kain itu. Namun sayangnya kapalnya karam dalam perjalanan pulang dan
hanya mampu membawa empat lembar sehingga membuat sang Sultan kecewa.[7] Oleh beberapa
penafsir,who? serasah itu ditafsirkan sebagai batik.

Dalam literatur Eropa, teknik batik ini pertama kali diceritakan dalam buku History of Java (London,
1817) tulisan Sir Thomas Stamford Raffles. Ia pernah menjadi Gubernur Inggris di Jawa semasa Napoleon
menduduki Belanda. Pada 1873 seorang saudagar Belanda Van Rijekevorsel memberikan selembar batik
yang diperolehnya saat berkunjung ke Indonesia ke Museum Etnik di Rotterdam dan pada awal abad ke-
19 itulah batik mulai mencapai masa keemasannya. Sewaktu dipamerkan di Exposition Universelle di
Paris pada tahun 1900, batik Indonesia memukau publik dan seniman.[4]

Semenjak industrialisasi dan globalisasi, yang memperkenalkan teknik otomatisasi, batik jenis baru
muncul, dikenal sebagai batik cap dan batik cetak, sementara batik tradisional yang diproduksi dengan
teknik tulisan tangan menggunakan canting dan malam disebut batik tulis. Pada saat yang sama imigran
dari Indonesia ke Wilayah Persekutuan Malaysia juga membawa Batik bersama mereka.

Sekarang batik sudah berkembang di beberapa tempat di luar Jawa, bahkan sudah ke manca negara. Di
Indonesia batik sudah pula dikembangkan di Aceh dengan batik Aceh, Batik Cual di Riau, Batik Papua,
batik Sasirangan Kalimantan, dan Batik Minahasa.
Sejarah batik di Indonesia berkaitan erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan kerajaan-
kerajaan sesudahnya. Kesenian batik secara umum meluas di Indonesia dan secara khusus di pulau Jawa
setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX.

G.P. Rouffaer, seorang peneliti dari Belanda melaporkan bahwa batik dengan pola gringsing sudah
dikenal sejak abad ke-12 diKediri, Jawa Timur. Dia menyimpulkan bahwa pola seperti ini hanya bisa
dibentuk dengan menggunakan alat canting, sehingga ia berpendapat bahwa canting ditemukan di Jawa
pada masa sekitar itu. Detil ukiran kain yang menyerupai pola batik dikenakan oleh Prajnaparamita, arca
dewi kebijaksanaan bagi umat Buddha dari Jawa Timur pada abad ke-13. Detil pakaian menampilkan
pola sulur tumbuhan dan kembang-kembang rumit yang mirip dengan pola batik tradisional Jawa yang
dapat ditemukan kini. Hal ini menunjukkan bahwa membuat pola batik yang rumit yang hanya dapat
dibuat dengan canting telah dikenal di Jawa sejak abad ke-13 atau bahkan lebih awal.

Legenda dalam literatur Melayu abad ke-17, Sulalatus Salatin menceritakan Laksamana Hang Nadim
yang diperintahkan oleh Sultan Mahmud untuk berlayar ke India agar mendapatkan 140 lembar kain
serasah dengan pola 40 jenis bunga pada setiap lembarnya. Karena tidak mampu memenuhi perintah
itu, dia membuat sendiri kain-kain itu. Namun sayangnya kapalnya karam dalam perjalanan pulang dan
hanya mampu membawa empat lembar sehingga membuat sang Sultan kecewa. Oleh beberapa
penafsir, serasah itu ditafsirkan sebagai batik.

Dalam literatur Eropa, teknik batik ini pertama kali diceritakan dalam buku History of Java (London,
1817) tulisan Sir Thomas Stamford Raffles. Ia pernah menjadi Gubernur Inggris di Jawa semasa Napoleon
menduduki Belanda. Pada 1873 seorang saudagar Belanda Van Rijekevorsel memberikan selembar batik
yang diperolehnya saat berkunjung ke Indonesia ke Museum Etnik di Rotterdam dan pada awal abad ke-
19 itulah batik mulai mencapai masa keemasannya.

Sejarah batik di Indonesia terkait erat dengan perkembangan Kerajaan Majapahit dan penyebaran
ajaran Islam di Pulau Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada
zaman Kesultanan Mataram, lalu berlanjut pada zaman Kasunanan Surakarta dan Kesultanan
Yogyakarta.

Seiring waktu, batik kemudian mulai dikenal penduduk dunia. Semua ini bermula dari publikasi Historry
of Java di tahun 1817 oleh Stanford Raffles. Terlebih tatkala Van Rijcevorsel seorang saudagar Belanda,
kemudian menyumbangkan sehelai batik Indonesia ke sebuah museum di Rotterdam.

Perjalanan batik Indonesia di ranah Asia Tenggara pun dimulai ketika seorang pembatik asal Jawa
melakukan migrasi ke Malaysia. Tercatat semenjak tahun 1920, pembatik tersebut pun mengenalkan
teknik penggunaan wax dan copper block.
Tidak hanya Asia, pada abad ke-19 batik khas Jawa pun berkelana hingga ke benua Afrika. Modifikasi
pun dilakukan oleh para penduduk lokal. Motif dengan garis yang lebih tebal menjadi ciri baru batik khas
Afrika. Warna yang digunakan juga lebih beraneka ragam.

Benua Australia kemudian juga berkenalan dengan batik nusantara. Tepatnya pada kisaran tahun 1970.
Tentu saja, masyarakat lokal kemudian melakukan adaptasi corak dan motif dengan kebudayaan
mereka.

Hingga awal abad ke-20, batik yang dihasilkan merupakan batik tulis. Batik cap baru dikenal setelah
Perang Dunia I berakhir atau sekitar tahun 1920.

Zaman Majapahit

Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, pat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung
Agung. Mojoketo adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan
asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan perkembangan batik asal
Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan didaerah ini, dapat
digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian
terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat
bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau
tunduk kepada kerajaan Majapahit.

Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahati, Adipati Kalang tewas dalam
pertempuran yang konon dikabarkan disekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah
maka petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal diwilayah
Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat
batik asli.

Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di Kwali, Mojosari, Betero dan Sidomulyo. Diluar
daerah Kabupaten Mojokerto ialah di Jombang. Pada akhir abad ke-XIX ada beberapa orang kerajinan
batik yang dikenal di Mojokerto, bahan-bahan yang dipakai waktu itu kain putih yang ditenun sendiri
dan obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila tom, tinggi dan sebagainya.

Obat-obat luar negeri baru dikenal sesudah perang dunia kesatu yang dijual oleh pedagang-pedagang
Cina di Mojokerto. Batik cap dikenal bersamaan dengan masuknya obat-obat batik dari luar negeri. Cap
dibuat di Bangil dan pengusaha-pengusaha batik Mojokerto dapat membelinya dipasar Porong Sidoarjo,
Pasar Porong ini sebelum krisis ekonomi dunia dikenal sebagai pasar yang ramai, dimana hasil-hasil
produksi batik Kedungcangkring dan Jetis Sidoarjo banyak dijual. Waktu krisis ekonomi, pengusaha batik
Mojoketo ikut lumpuh, karena pengusaha-pengusaha kebanyakan kecil usahanya. Sesudah krisis
kegiatan pembatikan timbul kembali sampai Jepang masuk ke Indonesia, dan waktu pendudukan Jepang
kegiatan pembatikan lumpuh lagi. Kegiatan pembatikan muncul lagi sesudah revolusi dimana Mojokerto
sudah menjadi daerah pendudukan.

Ciri khas dari batik Kalangbret dari Mojokerto adalah hampir sama dengan batik-batik keluaran
Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua. Yang dikenal sejak lebih
dari seabad yang lalu tempat pembatikan didesa Majan dan Simo. Desa ini juga mempunyai riwayat
sebagai peninggalan dari zaman peperangan Pangeran Diponegoro tahun 1825.

Meskipun pembatikan dikenal sejak jaman Majapahait namun perkembangan batik mulai menyebar
sejak pesat didaerah Jawa Tengah Surakarta dan Yogyakata, pada jaman kerajaan di daerah ini. Hal itu
tampak bahwa perkembangan batik di Mojokerto dan Tulung Agung berikutnya lebih dipenagruhi corak
batik Solo dan Yogyakarta.

Didalam berkecamuknya clash antara tentara kolonial Belanda dengan pasukan-pasukan pangeran
Diponegoro maka sebagian dari pasukan-pasukan Kyai Mojo mengundurkan diri kearah timur dan
sampai sekarang bernama Majan. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman kemerdekaan ini desa
Majan berstatus desa Merdikan (Daerah Istimewa), dan kepala desanya seorang kiyai yang statusnya
Uirun-temurun.Pembuatan batik Majan ini merupakan naluri (peninggalan) dari seni membuat batik
zaman perang Diponegoro itu.

Warna babaran batik Majan dan Simo adalah unik karena warna babarannya merah menyala (dari kulit
mengkudu) dan warna lainnya dari tom. Sebagai batik setra sejak dahulu kala terkenal juga didaerah
desa Sembung, yang para pengusaha batik kebanyakan berasal dari Sala yang datang di Tulungagung
pada akhir abad ke-XIX. Hanya sekarang masih terdapat beberapa keluarga pembatikan dari Sala yang
menetap didaerah Sembung. Selain dari tempat-tempat tesebut juga terdapat daerah pembatikan di
Trenggalek dan juga ada beberapa di Kediri, tetapi sifat pembatikan sebagian kerajinan rumah tangga
dan babarannya batik tulis.

Zaman Penyebaran Islam

Riwayat pembatikan di daerah Jawa Timur lainnya adalah di Ponorogo, yang kisahnya berkaitan dengan
penyebaran ajaran Islam di daerah ini. Riwayat Batik. Disebutkan masalah seni batik didaerah Ponorogo
erat hubungannya dengan perkembangan agama Islam dan kerajaan-kerajaan dahulu. Konon, di daerah
Batoro Katong, ada seorang keturunan dari kerajaan Majapahit yang namanya Raden Katong adik dari
Raden Patah. Batoro Katong inilah yang membawa agama Islam ke Ponorogo dan petilasan yang ada
sekarang ialah sebuah mesjid didaerah Patihan Wetan.
Perkembangan selanjutanya, di Ponorogo, di daerah Tegalsari ada sebuah pesantren yang diasuh Kyai
Hasan Basri atau yang dikenal dengan sebutan Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari ini selain
mengajarkan agama Islam juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan, ilmu perang dan kesusasteraan.
Seorang murid yang terkenal dari Tegalsari dibidang sastra ialah Raden Ronggowarsito. Kyai Hasan Basri
ini diambil menjadi menantu oleh raja Kraton Solo.

Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan kraton. Oleh karena putri keraton Solo menjadi istri
Kyai Hasan Basri maka dibawalah ke Tegalsari dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya. disamping itu
banyak pula keluarga kraton Solo belajar dipesantren ini. Peristiwa inilah yang membawa seni bafik
keluar dari kraton menuju ke Ponorogo. Pemuda-pemudi yang dididik di Tegalsari ini kalau sudah keluar,
dalam masyarakat akan menyumbangkan dharma batiknya dalam bidang-bidang kepamongan dan
agama.

Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan
sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono,
Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Waktu itu obat-
obat yang dipakai dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri dari kayu-kayuan antara lain;
pohon tom, mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan bahan kainputihnyajugamemakai buatan sendiri dari
tenunan gendong. Kain putih import bam dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19.

Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia pertama yang dibawa oleh seorang
Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas. Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam
pewarnaan nila yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan
Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik di Ponorogo. Akibat dikenalnya
batik cap maka produksi Ponorogo setelah perang dunia petama sampai pecahnya perang dunia kedua
terkenal dengan batik kasarnya yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian
terkenal seluruh Indonesia.

Sejarah Batik Indonesia awalnya berasal dari peninggalan nenek moyang masyarakat Jawa. Batik ini
adalah warisan yang telah dinobatkan oleh UNESCO sebagai salah satu warisan kemanusiaan untuk
budaya lisan dan Nonbendawi pada September 2009 lalu. Pengakuan ini dilaksanakan secara resmi pada
sidang UNECO di Abu Dhabi.

Kini setiap tanggal 2 Oktober 2009 lalu, telah dikenal sebagai Hari Batik Nasional, yang mana bentuk
sebuah ungkapan rasa syukur.

Anda mungkin juga menyukai