Anda di halaman 1dari 16

KEPERAWATAN BENCANA

PENGENDALIAN KOMUNIKASI

TUGAS KELOMPOK

Oleh
Kelompok 2/ Kelas A-2015
Arif Eko C. 152310101014 Aulia Dwi R 152310101178
Devi Saputri 152310101016 Regitasari D. C. 152310101180
Ranny Dwi H. 152310101034 Brilian Silviatil U. 152310101204
Tirtanti Prawita S. 152310101036 Veni Qurrota A. 152310101220
Grace A. Pakilaran 152310101039 Winda Anisyawati 152310101223
Diah Estiningtias 152310101040

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Pengendalian Komunikasi


2.2.1 Konsep Komunikasi
Komunikasi adalah suatu cara yang digunakan dalam memberikan informasi
kepada individu atau kelompok masyarakat. Mengkomunikasikan sebuah
informasi kepada masyarakat yang berhubungan dengan sebuah bencana
sangatlah penting, karena komunikasi tersebut dapat memberikan sebuah
informasi. Komunikasi dalam bencana belum menjadi sebuah konsep yang
populer dalam bidang komunikasi maupun kebencanaan. Komunikasi itu muncul
karena adanya kebutuhan untuk mengurangi ketidakpastian agar dapat bertindak
secara efektif demi melindungi sebuah ego dan memperkuat ego yang berkaitan
dalam interaksi secara individual maupun kelompok. Dalam penanganan bencana
sebuah informasi dan komunikasi sangatlah diperlukan oleh masyarakat maupun
lembaga-lembaga yang berkaitan dengan suatu bencana tersebut. Komunikasi ini
tidak hanya diperlukan dalam situasi bencana saja tetapi juga dalam situasi pra
bencana atau sebelum bencana itu terjadi dengan komunikasi akan memperkuat
mitigasi bencana, persiapan, respon dan pemulihan situasi pada saat bencana
(Nurdin, 2015).

2.2.2 Komunikasi dan Koordinasi


Keberhasilan suatu rencana dapat ditentukan dengan kemampuan
berkomunikasi, berkoordinasi, dan bekerja secara efektif dari suatu team. Bencana
dengan skala besar, maka semakin banyak sumber daya yang dibutuhkan.
Kemampuan dari masing-masing pihak penolong dalam mendata permasalahan,
menghitung sumber daya yang dimiliki, dan berkomunikasi antar sesama dapat
menentukan keberhasilan suatu program. Banyak anggota masyarakat yang
bersedia membantu, para penegak hukum, pemadam kebakaran, paramedis dan
lain-lain yang sukarela membantu tim penanggulangan dampak bencana. Namun
kemampuan mereka berbeda-beda, sehingga tugas kita adalah mendata hal
tersebut, kemudian memberikan pelatihan dan perlengkapan yang dibutuhkan.
Kemudian hubungi kepala dari pemadam kebakaran, kepolisian, dan tenaga
kesehatan setempat untuk mendiskusikan tentang program yang akan dijalankan,
serta diperlukan koordinasi dengan pihak penyedia transportasi lokal apabila
evakuasi warga.
LEPC (Local Emergency Planning Committee) atau panitia lokal
penanggulangan bancana juga harus dilibatkan dalam masalah ini, dan SERC
(State Emergency Respon Commision) yang mengevaluasi perencanaan yang kita
buat. Banyak resiko yang akan dihadapi, maka kita harus menjalankan standar
keamanan yang benar. Daftar dari sumber daya yang dapat kita gunakan untuk
mendukung pelaksanaan program, antara lain: Hotel, sekolah senam, militer,
ormas, palang merah, pekerja sukarela, perusahaan penyedia alat-alat berat, truk,
kontraktor, perusahaan penyedia bahan, pompa, penghangat, bagian pekerjaan
umum, perusahaan utilitas, rumah sakit, helikopter medis, forensik, tim penjinak
bom, SWAT, penjaga pantai, badan meteorologi dan geofisika, badan
penanggulangan narkoba, FBI, badan penerbangan nasional, psikiater, dan
perusahaan asuransi.
Selain itu ukuran, cakupan, kondisi geologis serta jarak dari masing-masing
resource ke tengah kota, danau, sungai, bandara dan pelabuhan sangat
berpengaruh terhadap peranan masing-masing resouce tersebut. Setelah mendata
semua resource selanjutnya kita pilah mana saja dari sumber daya tersebut yang
dapat segera kita gerakkan bila ada keadaan darurat. Sumber daya yang kita miliki
memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sumber daya dibagi menjadi
3, yaitu:
a. First Responder Operation Level,
b. Hazardous Material Technisia, dan
c. Hazardous Material Specialist.
Mereka berkonsentrasi tentang pencegahan penyebaran dan melindungi
daerah yang steril. Tingkat pelatihan dan peralatan yang diperlukan meningkat
sesuai dengan level kesulitannya. Keberhasilan perencanaan yang telah dibuat dan
masa depan potensi fasilitas yang anda miliki bergantung pada kemampuan anda
untuk memotivasi dan mendorong anak buah anda. Upaya pembinaan yang anda
lakukan harus meliputi semua aspek mulai dari pendidikan, pelatihan, penelitian,
dan evaluasi terhadap tiap kondisi yang ada dilapangan.

2.2.3 Aktivitas Manajemen dan Komando


a. Manajemen Komunikasi Bencana
Manajemen komunikasi bencana melibatkan perencanaan, pengorganisasian
atau koordinasi, pelaksanaan, dan evaluasi. Keterlibatan dan koordinasi antar
pihak pemerintah, lembaga berwenang, masyarakat, LSM, donatur dan relawan
dalam manajemen komunikasi bencana sangat dibutuhkan guna membangun
suatu komunikasi bencana yang dapat dipahami makna pesannya sehingga
menghasilkan umpan balik yang diharapkan berdasarkan tujuan pesan yang
disampaikan.

Gambar 2.2.3 (a) Manajemen Komunikasi Bencana


Dari gambar diatas manajemen komunikasi bencana tidak hanya sebatas
menyampaikan sebuah pesan atau informasi, tetapi berlangsung pula umpan balik
yang diharapkan dari pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada
komunikannya.
b. Proses Manajemen Komunikasi Bencana Saat Tanggap Darurat
Tahapan suatu manajemen komunikasi bencana bertujuan untuk mengelola
bencana dengan baik dan aman. Manajemen komunikasi bencana dibangun
dengan koordinasi berbagai pihak yang terlibat dalam penanganan bencana.
Pelaksanaan manajemen komunikasi bencana terdiri dari perencanaan,
pengorganisasian atau koordinasi, pelaksanaan, dan evaluasi.
1. Perencanaan Manajemen Komunikasi Bencana
Perencanaan pada dasarnya dilakukan jauh sebelum suatu kegiatan
berlangsung. Perencanaan dibuat untuk dapat mengoptimalkan
pencapaian tujuan yang diharapkan. Perencanaan menjadi bagian
penting dalam pelaksanaan manajemen komunikasi bencana.
Perencanaan dibuat sebagai dasar atau pedoman dalam melaksanakan
manajemen komunikasi bencana.
2. Pengorganisasian Manajemen Komunikasi Bencana
Pengorganisasian dalam manajemen komunikasi bencana erat
kaitannya dengan pembentukan tim yang terdiri dari pihakpihak yang
memiliki tugas dan fungsi serta bertanggung jawab dalam pengelolaan
bencana yang terjadi. Pengorganisasian melibatkan berbagai pihak
dengan pemilihan yang tepat.
3. Pelaksanaan Manajemen Komunikasi Bencana
Seluruh pelaksanaan dalam manajemen komunikasi bencana dilakukan
berdasarkan pembagian tugas, fungsi dan tanggung jawab dari pihak-
pihak yang terlibat dalam tim penanggulangan bencana. Pelaksanaan
yang berpedoman pada peran fungsinya diharapkan dapat mempercepat
proses pencapaian tujuan dan menghindari resiko yang muncul.

4. Evaluasi Manajemen Komunikasi Bencana


Evaluasi yang dilakukan dalam hal ini adalah terhadap manajemen
komunikasi bencana dalam tanggap bencana. Evaluasi yang dilakukan
hanya bersifat harian dan tidak melakukan evaluasi secara menyeluruh
berdasarkan kegiatan yang telah dilaksanakan. Evaluasi sebaiknya
dilakukan di akhir kegiatan dengan melibatkan seluruh pihak yang ada
dalam tim untuk mengetahui keberhasilan atas kegiatan yang
dilaksanakan dan mengetahui kekurangan sebagai bahan untuk dapat
bekerja lebih baik di waktu akan datang.

Gambar 2.2.3 (b) Model Alternatif Manajemen Komunikasi Bencana

Gambar diatas menunjukkan bahwa manajemen komunikasi bencana tidak


dapat terjadi begitu saja. Manajemen komunikasi bencana diawali dengan
perencanaan sistem manajemen di dalamnya. Identifi kasi yang dimaksud adalah
dengan menetapkan peta rawan bencana dan kemudian menyusun perencanaan
yang menggunakan strategi dalam menghadapi bencana yang datang. Kesiapan
pihak yang terlibat di dalamnya juga ikut mendorong keberhasilan manajemen
komunikasi bencana yang dilaksanakan. Kesiapan pihak pemerintah dan yang
terlibat dalam penanggulangan bencana, dapat dilakukan dengan membuat
rencana kontijensi dan mengarahkan agar masyarakat sadar bencana melalui SOP
(standart operational procedure). Saat bencana datang, pihak yang terlibat
mengetahui tindakan yang harus dilakukan. Saat bencana sudah terjadi maka
melewati masa pra bencana, tanggap darurat, dan pasca bencana. Saat bencana
sudah berakhir diperlukan evaluasi untuk membangun manajemen komunikasi
bencana yang lebih efektif dalam waktu mendatang (Lestari, 2013).
c. Komando Komunikasi Bencana
Sistem Komando Bencana adalah suatu standar penanganan darurat bencana
yang mengintegrasikan pengerahan fasilitas, peralatan, personil, prosedur dan
komunikasi dalam suatu struktur organisasi. Sebagai langkah awal upaya PB
adalah mengumpulkan informasi awal kejadian bencana. Pokok-pokok informasi
awal ini meliputi,
1. Apa (jenis bencana),
2. Kapan (waktu kejadian bencana),
3. Dimana (lokasi kejadian bencana),
4. Berapa (besaran dampak kejadian bencana, penyebab kejadian bencana),
dan
5. Bagaimana (upaya penanganan).
Sumber informasi adalah pelaporan instansi/lembaga terkait, media massa,
masyarakat, internet, dan informasi lain yang dapat dipercaya. Di BNPB dan
BPBD, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota mempunyai satu tim yang
disebut Tim Reaksi Cepat (TRC). Tugas TRC ini adalah melakukan pengkajian
bencana dan dampaknya secara cepat dan tepat, serta pendampingan dalam rangka
penanganan darurat bencana (Setio, 2012). Pola Penyelenggaraan Komando
Bencana dibagi menjadi 4 yaitu sebagai berikut,
1. Rencana operasi,
2. Permintaan sumberdaya,
3. Pengerahan sumberdaya, dan
4. Pengakhiran.
Pelaksanaan ini didukung dengan fasilitas komando posko (tanggap darurat
dan lapangan), personil, gudang, sarana dan prasarana, transportasi, peralatan, alat
komunikasi, serta informasi bencana dan dampaknya. Rencana operasi merupakan
perencanaan dengan rencana tindakan menjadi acuan bagi setiap unsur pelaksana
komando. Permintaan sumberdaya dilakukan oleh Komandan dengan mengajukan
permintaan sumberdaya kepada Kepala BPBD/BNPB. Selanjutnya Kepala
BPBD/BNPB meminta dukungan sumberdaya kepada instansi/lembaga terkait
upaya PB. Instansi/lembaga wajib segera memobilisasi sumberdaya ke lokasi
bencana. Pengerahan sumberdaya dilakukan melalui pengiriman didampingi
personil instansi/lembaga dan penyerahannya dilengkapi dengan administrasi
sesuai dengan ketentuan berlaku. Dalam hal ini BNPB/BPBD mendukung
mobilisasi sumber daya. Untuk pengakhiran dilakukan oleh Kepala BNPB/BPBD
dengan membuat rencana pengakhiran dengan Surat Perintah (SPRINT)
Pengkahiran. Selanjutnya Komando Tanggap Darurat Bencana dibubarkan sesuai
waktu dengan SK Pembubaran.
Proses tanggap darurat dinyatakan selesai dengan adanya pernyataan resmi
Gubernur/Bupati/Walikota. Dengan selesainya tanggap darurat maka fungsi Pos
Komando Tanggap Darurat kembali ke Pusdalops, dan tugas Incident Commander
(IC) menjadi selesai, serta semua sumberdaya kembali ke posisi
semula/sumbernya. Tahap upaya PB selanjutnya adalah masuk ke dalam masa
transisi ke proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana, serta
kehidupan/kegiatan sosial-ekonomi masyarakat sudah mulai berjalan.
Dalam setiap kegiatan pasti ada evaluasi dan pelaporan. Komandan Tanggap
Darurat Bencana melakukan rapat evaluasi setiap hari dan membuat rencana
kegiatan hari selanjutnya. Hasil evaluasi menjadi bahan laporan harian kepada
Kepala BNPB/BPBD dengan tembusan kepada Pimpinan Instansi/Lembaga
terkait.
Untuk pelaporan dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut :
1. Instansi/lembaga/organisasi terkait dalam penanganan darurat bencana
wajib melaporkan kepada Kepala BNPB/BPBD sesuai kewenangannya
dengan tembusan kepada Komandan Tanggap Darurat Bencana
2. Pelaporan meliputi pelaksanaan Komando Tanggap Darurat Bencana,
jumlah/kekuatan sumberdaya manusia, jenis dan jumlah
peralatan/logistik, serta sumberdaya lainnya termasuk sistem
distribusinya secara tertib dan akuntabel
3. Komandan Tanggap Darurat Bencana sesuai tingkat kewenangannya
mengirimkan laporan harian, laporan khusus, dan laporan insidentil
pelaksanaan operasi tanggap darurat bencana kepada Kepala
BNPB/BPBD dengan tembusan kepada instansi/ lembaga/organisasi
terkait
4. Kepala BPBD melaporkan kepada Bupati/Walikota/Gubernur dan
Kepala BNPB, Kepala BNPB melaporkan kepada Presiden (Badan
Nasional Penanggulangan Bencana, 2008).

2.2.4 Alat Komunikasi Bencana


Alat komunikasi adalah salah satu media yang sangat penting bagi
penanggulangan bencana, pada saat situasi tanggap darurat biasanya akan sangat
susah untuk menjalin komunikasi secara baik untuk masyarakat terdampak
maupun untuk tim yang ada di lapangan. Oleh sebab itu perlunya alat komunikasi
yang dapat dipergunakan pada saat situasi bencana, seperti yang sudah BNPB
punya contohnya seperti SMS Blasting yang dipergunakan pada saat erupsi
Gunung Agung, HP satelit dan beberapa alat komunikasi lainnya yang dapat
berfungsi tanpa harus menggunakan sinyal dari provider. Media komunikasi
memiliki peran yang sangat penting dalam penyampaian informasi bencana.
Kendala komunikasi bencana yang paling banyak terjadi dalam penanggulangan
bencana adalah komunikasi yang tidak dapat disampaikan pada saat tanggap
darurat. Hal ini juga dihadapi menjelang dan sesaat setelah bencana terjadi atau
saat siaga bencana dan pasca bencana besar terjadi.
Dibutuhkan alat komunikasi yang sangat handal dan cepat serta pelibatan
berbagai pihak yang bisa dimulai sejak dini. Karena kegagalan komunikasi bisa
berdampak sangat buruk seperti banyak jatuhnya korban jiwa dan kerugian
lain. Situasi keadaan darurat bencana sering terjadi kegagapan pananganan dan
kesimpangsiuran informasi serta data korban maupun kondisi kerusakan, sehingga
mempersulit dalam pengambilan kebijakan untuk penanganan darurat bencana.
Sistem koordinasi menjadi kurang terbangun dengan baik, penyaluran bantuan
dan distribusi logistik sulit terpantau. Kemudian juga dalam suatu bencana sangat
dimungkinkan adanya gangguan sistem informasi dan komunikasi yang ditandai
dengan matinya fasilitas daerah misalkan listrik, tidak berfungsinya pemancar dan
lain-lain. Gangguan-gangguan ini sering menjadi kendala dalam sistem informasi
dan komunikasi bencana. Adanya gangguan ini membuat para penggiat bencana
harus memikirkan bagaimana cara agar dapat tetap berkomunikasi efektif
meskipun fasilitas komunikasi di daerah tersebut lumpuh. Menjadi hal yang
sangat penting mengirimkan informasi dan data-data yang didapat di lokasi
bencana untuk mendapatkan bantuan yang dibutuhkan.

2.2.5 Kontrol Media dan Isi


Salah satu hal yang penting dalam persiapan bencana adalah kontrol
informasi dan pencitraan yang ditransfer kepada dunia melalui media. Pra
perencanaan yang berkaitan dengan siapa, apa, kapan, dimana, dan bagaimana
arus informasi sangat penting untuk memastikan keakuratan informasi yang
disebarkan. Misalnya saja ada bencana ledakan dan mengalami kerusakan parah,
setelah pemadam kebakaran diberitahu, EMS, dan para penegak hukum lokal,
maka media lokal akan mengirim kru reporter ke TKP. Informasi yang didapatkan
di tempat kejadian akan sangat cepat diperoleh dan dipublikasikan melalui
internet, surat kabar dll. Informasi yang diperoleh sering mengalami perubahan
untuk menghasilkan berita yang menarik sehingga banyak fakta-fakta dan
kebenaran situasi yang hilang. Kontrol terhadap penyebaran arus informasi adalah
hal yang sangat penting dan harus menjadi bagian yang komprehensif dari
penanganan gawat darurat dan rencana persiapan penanganan bencana. Pada
intinya, saat ini adalah sangat penting untuk mengontrol arus informasi karena
setiap informasi yang disampaikan akan mempengaruhi kehidupan kedepan.
Pengendalian informasi sangat peting dalam rangka meminimalkan dampak
buruk setelah bencana. Langkah-langkah berikut dapat dipertimbangkan untuk
penanganan kegawatdaruratan secara keseluruhan dan perencanaan bencana yaitu,

a. Menyediakan satu area tertentu di areal parkir yang jauh dari area bencana,
b. Petugas keamanan ditugaskan di daerah media untuk melarang perwakilan
media masuk kearea bencana,
c. Penampilan, nada suara, kemampuan untuk tetep tenang, dan atribut lainnya
adalah hal yang penting dipertimbangkan untuk memilih juru bicara,
d. Media diarahkan ke area yang tepat untuk mendapatkan rekaman vidio
e. Sediakan paket informasi yang akan diberikan kepada media,
f. Semua informasi disaring oleh pengacara hukum sebelum presentasi dan
pertanyaan dari media dipertahankan seminimal mungkin,
g. Selalu memberikan infiormasi yang benar atau tidak ada informasi sama
sekali, dan
h. Perlu diingat deadline media. Jika kemungkinan berikan informasi kepada
media karena bila tidak ada informasi yang diterima maka media akan
mendapatkan kabar angin.
Media harus dikelola dengan baik. Bila tidak dikelola dengan baik maka
situasi bencana akan memiliki dampak yang panajang terhadap perusahaan. Setiap
aspek dari media yang harus dikontrol dalam rangka untuk menempatkan yang
terbaik pada situasi yang buruk. Ketika bencana terjadi siatuasi berubah menjadi
panik banayak individu yang terluka. Persiapan untuk menghendel media haruslah
dilakukan dengan tenag, kepala dingin, cara yang tepat melakukan manjeman
bencana dengan baik.

2.2.6 Macam-Macam Komunikasi


a. Komunikasi Integratif
Komunikasi integratif bencana adalah harus ada komunikasi interaktif
antara pemerintah, korban bencana, lembaga swasta, dan masyarakat. Fokus
kepada pemulihan korban dan lingkungannya. Penanganan bencana yang
berlandaskan kepada peraturan, jika ditinjau dari aspek legal, memang dapat
dipertanggungjawabkan. Namun nuansa birokratis yang berbelit – belit, tetap
tidak bisa dihindari. Karena itu, mengingat aspek legal wajib dijalankan,
sedangkan penanganan bencana harus dilakukan dengan cepat, maka peran
komunikasi dalam menyampaikan informasi secara cepat, merupakan salah satu
jalan untuk mendukung penanganan bencana yang eskalasinya meningkat. Myers
dan Myers (1988) berpendapat, bahwa komunikasi dimaksudkan untuk berbagi
informasi dan mengurangi kekakuan dalam organisasi. Jadi, komunikasi dapat
menciptakan suatu fleksibilitas dalam melaksanakan kegiatan organisasi tanpa
harus melakukan penyimpangan terhadap peraturan yang ada. Dalam pemikiran
konvensional, komunikasi merupakan pengungkapan diri yang berjalan sesuai
dengan aturan atau norma yang berlaku sebagai hak dan kewajiban setiap orang
yang terlibat didalamnya (Littlejohn&Foss, 2009). Dengan demikian, komunikasi
dapat menciptakan fleksibilitas dalam pelaksanaan kegiatan, namun tetap berpijak
kepada aturan dan norma yang disepakati bersama. (Bachtiar Chamsah, 2007: 9).
Dalam implementasi penanggulangan bencana, pemerintah daerah harus
menyusun Contingency Plan Penanggulangan Bencana, yang mencakup analisa
daerah rawan bencana, identifikasi potensi dan sistem sumber yang dapat
dimobilisasi, menentukan kebijakan serta langkah strategis jika terjadi bencana.
Pada kontek ini, masyarakat harus diposisikan sebagai subyek, bukan sebagai
obyek dalam penanggulangan bencana, sehingga mereka mengetahui ancaman di
wilayahnya dan mampu meningkatkan kapasitas menghadapi ancaman melalui
Program Penanggulangan Bencana Berbasiskan Masyarakat. Karena itu,
diperlukan deregulasi sistem pengawasan dan pengendalian bencana dengan
aturan khusus dalam kondisi darurat, yang bisa memangkas birokrasi pemberian
bantuan dan mempersingkat proses komunikasi berjenjang menjadi pola
komunikasi yang integratif dalam waktu yang cepat.
Kecepatan dalam komunikasi untuk pengambilan keputusan dan sistem
komunikasi yang terhubung antar lembaga peduli bencana, akan meminimalisir
jatuhnya korban. Acuan penanggulangan bencana dapat berjalan lancar jika
manajemen informasi bencana dikelola dengan interaktif. Harjadi (2007:17),
mengungkapkan acuan penanggulangan bencana (tsunami), tidak bisa lepas dari
fungsi komunikasi, yang memberikan sinyal untuk mengurangi ketidakpastian,
sebagai berikut :
1. Memasang sarana diseminasi informasi, termasuk “dedicated
link”(saluran Komunikasi khusus), radio Internet , server untruk sistem
“5 in one” dan sirene, sehingga informasi dari BMG dapat diterima
secepat – cepatnya,
2. Membuat peta jalur evakuasi dan zona evakuasi dan rambu – rambu
bahaya tsunami di sepanjang pantai yang rawan tsunami,
3. Membangun shelter pengungsian yang dilengkapi dengan jalan dari
pemukiman penduduk ke shelter, serta sarana dan prasarana darurat di
pengungsian,
4. Mengadakan pelatihan evakuasi baik untuk masyarakat pesisir maupun
aparat terkait, secara berkala 2 (dua) kali setahun, dalam rangka
meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi tsunami,
dan
5. Memfasilitasi peningkatan pemahaman masyarakat melalui Pendidikan
formal dan nonformal.
Tindakan – tindakan tersebut, berkaitan dengan konsep – konsep
komunikasi Bower dan Bradac. Misalnya dalam membuat peta jalur evakuasi dan
membangun shelter pengungsian, selayaknya jika diperhatikan komunikasi
sebagai pertukaran gagasan verbal, proses interaksi yg saling memberikan
pemahaman, mengurangi ketidakpastian, penyampaian pesan dan transfer
pemahaman, proses untuk menghubungkan satu entitas dengan entitas lain.
Sedangkan dalam pelatihan dan peningkatan pemahaman kepada masyarakat,
menyangkut pula komunikasi sebagai proses yang mendorong suatu tindakan
untuk menguasai dengan memanfaatkan saluran untuk mengirimkan pesan,
mengeluarkan stimulus untuk memperoleh respon yang diharapkan, memiliki
maksud untuk mendorong munculnya perilaku yang dikehendaki. Mengingat
komunikasi juga terkait respon yang berbeda, ketersediaan waktu dan situasi,
maka selayaknya jika institusi pemerintah sebagai pihak yang berhubungan
langsung dengan penanganan bencana, harus membuat pusat informasi bencana
yang mengeluarkan informasi standar, faktual dan mudah diakses oleh
masyarakat. Sebab bagaimanapun juga komunikasi adalah kekuatan untuk
mempengaruhi khlayak. Standarisasi informasi bukan berarti menghentikan
kebebasan menyampaikan informasi, tetapi demi untuk memberikan pemahaman
kepada masyarakat, agar mereka dapat melakukan dengan bertumpu kepada
kekuatan dan pengalaman diri sendiri, dalam meminimalisir dampak negatif, jika
sewaktu – waktu muncul bencana di lingkungannya (Susanto, 2006).
Penetapan standar informasi bencana yang terkoordinasi dengan baik, harus
disebarluaskan dengan memanfaatkan saluran komunikasi yang ada di
masyarakat, seperti media massa dan media alternatif lain (Boykoff dan Robert
dalam Susanna Hornig Priest, 2010: 145), menyatakan bahwa, liputan media
massa menjadi kontributor utama dalam memberikan pemahaman kepada
masyarakat maupun tindakan yang harus diambil dalam menghadapi berbagai isu
tentang lingkungan, teknologi dan resiko yang akan terjadi. Sedangkan McQuail
(2005:57) menyatakan, khalayak media massa yang berjumlah besar, tersebar
luas, heterogin dan tidak terorganisir bisa dipengaruhi oleh liputan media.
b. Komunikasi Kohesif
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) komunikasi dapat
diartikan sebagai pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang
atau lebih dengan tujuan agar pesan atau berita yang dimaksud dapat dipahami.
Komunikasi yang terjadi haruslah dua arah yaitu antara pemberi pesan dan
penerima pesan. Sedangkan kohesif memiki arti melekat satu dengan yang lain
dapat diartikan juga padu dan berlekatan. Dalam penangan bencana komunikasi
menjadi salah satu hal yang paling penting. Komunikasi dilakukan oleh semua
pihak baik pemerintah, korban bencana, LSM, bahkan media massa. Dengan
adanya komunikasi kohesif masyarakat yang menjadi korban bencana harus diberi
hak komunikasi yang sama atau seimbang dengan pemerintah atau lembaga lain.
Dalam komunikasi kohesif yang dilakukan saat penanganan bencana media massa
juga mendorong komunikasi yang transparan dalam upaya penanganan terhadap
korban yang dilakukan.

2.2.7 Aplikasi Komunikasi Bencana


Berikut adalah aplikasi komunikasi yang dapat digunakan pada saat terjadi
bencana :
a. Radio
Saat terjadi bencana alam, tentu akan semakin sulit dalam mengakses
informasi. Tak hanya itu, kadang pemadaman listrik pun seringkali terjadi
bersamaan dengan adanya bencana alam. Selain itu, kesulitan mencari sinyal
provider pun juga menjadi masalah yang umum terjadi. Radio merupakan aplikasi
komunikasi yang dapat diandalkan saat terjadi bencana alam, karena merupakan
fitur esensial yang hadir pada kebanyakan perangkat telepon genggam. Kita dapat
mengakses informasi bencana alam dari berbagai stasiun lokal secara real-time.
b. Zello (aplikasi android untuk walkie-talkie)
Selain pemadaman listrik, sinyal provider juga akan melemah saat terjadi
bencana alam. Zello merupakan aplikasi yang dapat diandalakan untuk saling
berinteraksi dengan orang-orang yang berada didekat kita. Aplikasi ini berfungsi
mirip seperti walkie-talkie. Zello sendiri dapat digunakan pada kondisi ektrem.
Aplikasi bencana alam ini dapat dipakai dalam kondisi sinyal lemah, bahkan
hingga jaringan 2G.
c. Pengiriman Pesan Berantai dengan Teknologi Manet (Mobile Adhoc
Network)
Indonesia merupakan negara yang berpotensi besar untuk menjadi daerah
terdampak bencana. Adanya bencana biasanya di ikuti dengan beberapa
kerusakan, salah satunya infrastruktur telekomunikasi. Padahal komunikasi
merupakan salah satu faktor penting yang dapat digunakan untuk menunjang
penanggulangan bencana yang baik.
Pada penelitian ini dibuat suatu aplikasi pengiriman pesan secara berantai yang
menggunakan teknologi manet sebagai alternatif alat komunikasi baru didaerah
bencana terisolasi. Adapun teknologi manet (mobile adhoc network) yang
digunakan memanfaatkan bluetooth yang ada di HP. Dari percobaan yang
dilakukan diperoleh hasil bahwa banyaknya karakter yang dikirim berbanding
lurus dengan waktu pengiriman pesan. Selain itu, terdapat perbedaan pengiriman
pesan pada area tanpa dinding penghalang dan area dengan dinding penghalang.
Pengiriman pesan pada area dengan dinding penghalang terbukti membutuhkan
waktu lebih lama dan rentan akan putusnya koneksi. Sehingga pengiriman pesan
lebih efektif dilakukan pada area tanpa dinding penghalang.
DAFTAR PUSTAKA

Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2008. Peraturan Kepala Badan


Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pedoman Komando Tanggap Darurat Bencana. Jakarta.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). 2018. Gelar Peralatan


Komunikasi Bencana. Bogor.

Chamsah, Bachtiar. 2007. Kebijakan Penanggulangan Bencana di Indonesia.


Makalah Seminar Nasional Manajemen Bencana, Universitas
Tarumanagara, 26 Juli 2007.

Haryanto, Ignatius. 2010. Media di Bawah Dominasi Modal: Ancaman Terhadap


Hak Atas Informasi. ELSAM 2010, Majalah bulanan “Asasi” Analisis
Dokumentasi Hak Azasi Manusia, Edisi bulan April 2010, Jakarta: Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).

Juniawan Priyono. 2007. Sistem Informasi Penanggulangan Bencana Indonesia.

Lestari, Puji. 2013. Manajemen Komunikasi Bencana Gunung Sinabung 2010


Saat Tanggap Darurat. Jurnal Ilmu Komunikasi. 10(2) : 139-158.

Littlejohn, Stephen W. et al. 2009. Teori Komunikasi (Theories of Human


Communication. Jakarta: Salemba Humanika.

McQuail, Denis. 2005. McQuail’s Mass Communication Theory, Fifth Edition,


London: Sage Publications.

Muliawati, T.H., Nadhori, I.U., Setiowati, Y. Aplikasi Pengiriman Pesan Secara


Berantai pada Daerah Bencana Terisolasi Menggunakan Teknologi Manet.

Nurdin, R. 2015. Komunikasi dalam Penanggulangan Bencana. Jurnal Simbolika:


Research and Learning in Communication Study, 1(1).

Purwoko, Satria Aji. 2017. 7 Aplikasi yang Wajib Kamu Miliki Saat Terjadi
Bencana Alam.

Setio, Budi. 2012. Komunikasi Bencana: Aspek Sistem (Koordinasi, Informasi


dan Kerjasama). Jurnal Ilmu Komunikasi. 1(4) : 363-372.

Susanto, Eko Harry.2006. Standar Informasi Gempa dalam Opini Harian Seputar
Indonesia, 31 Juli 2006.

Anda mungkin juga menyukai