Anda di halaman 1dari 10

Pedoman

PELAYANAN KONSELING DAN TESTING HIV


SECARA SUKARELA (VOLUNTARY COUNSELLING AND
TESTING)

Jl. Madya Kebantenan No.4, Kelurahan Semper Timur,


Kecamatan Cilincing
Jakarta Utara
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dengan meningkatnya jumlah kasus infeksi HIV khususnya pada kelompok pengguna
napza suntik (penasun/IDU = Injecting Drug User), pekerjaan seks (Sex Worker) dan
pasangan, serta waria di beberapa propinsi di Indonesia pada saat ini, maka
kemungkinan terjadinya risiko penyebaran infeksi HIV ke masyarakat umum tidak
dapat diabaikan. Kebanyakan dari mereka yang berisiko tertular HIV tidak mengetahui
akan status HIV mereka, apakah sudah terinfeksi atau belum.
Estimasi yang dilakukan pada bulan juni tahun 2014 diperkirakan di Indonesia
terdapat sekitar 143.078 orang terinfeksi HIV, dan penderita AIDS sebanyak 54,068
orang.
Melihat tingginya prevalensi di atas maka masalah HIV/AIDS saat ini bukan hanya
masalah kesehatan dari penyakit menular semata, tetapi sudah menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang sangat luas. Oleh karena itu penanganan tidak hanya dari
segi medis tetapi juga dari psikososial dengan berdasarkan pendekatan kesehatan
masyarakat melalui upaya pencegahan primer, sekunder, dan tersier,. Salah satu upaya
tersebut adalah deteksi dini untuk mengetahui status seseorang sudah terinfeksi HIV
atau belum melalui konseling dan testing HIV sukarela, bukan dipaksa atau
diwajibkan. Mengetahui status HIV lebih dini memungkinkan pemanfaatan layanan-
layanan terkait dengan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan sehingga
konseling dan testing HIV secara sukarela merupakan pintu masuk semua layanan
tersebut diatas.
Perubahan perilaku seseorang dari berisiko menjadi kurang berisiko terhadap
kemungkinan tertular HIV memerlukan bantuan perubahan emosional dan
pengetahuan dalam suatu proses yang mendorong nurani dan logika. Proses
mendorong ini sangat unik dan membutuhkan pendekatan individual. Konseling
merupakan salah satu pendekatan yang perlu dikembangkan untuk mengelola kejiwaan
dan proses menggunakan pikiran secara mandiri.
Layanan konseling dan testing HIV sukarela dapat dilakukan di sarana kesehatan dan
sarana kesehatan lainnya, yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau
masyarakat. Layanan konseling dan testing HIV sukarela ini harus berlandaskan pada
pedoman konseling dan testing HIV sukarela, agar mutu layanan dapat
dipertanggungjawabkan.

1
B. Tujuan
1. Tujuan Umum adalah menurunkan angka kesakitan HIV/AIDS melalui
peningkatan mutu pelayanan konseling dan testing HIV sukarela dan perlindungan
bagi petugas layanan VCT dan klien.
2. Tujuan Khusus :
a. Sebagai pedoman penatalaksanaan pelayanan konseling dan testing HIV.
b. Menjaga mutu layanan melalui penyediaan sumber daya dan manajemen yang
sesuai.
c. Memberi perlindungan dan konfidensialitas dalam pelayanan konseling dan
testing HIV

C. Sasaran
Pedoman ini digunakan bagi sarana kesehatan maupun sarana kesehatan lainnya yang
menyelenggarakan layanan konseling dan testing HIV.

2
BAB II
RUANG LINGKUP

A. PELAYANAN FOKUS PADA PASIEN (PATIENT CENTERED CARE)

Manajemen pelayanan pasien bersumber dari konsep pelayanan fokus pada pasien (PFP).
Inti konsep PFP terdiri dari 4 elemen :
1. Martabat dan Respek.
o Pemberi pelayanan kesehatan mendengarkan, menghormati dan menghargai
pandangan dan pilihan pasien serta keluarga.
o Pengetahuan, nilai-nilai, kepercayaan, latar belakang kultural pasien dan keluarga
dimasukkan dalam perencanaan pelayanan dan pemberian pelayanan kesehatan
2. Berbagi informasi.
o Pemberi pelayanan kesehatan mengkomunikasikan dan berbagi informasi secara
lengkap dengan pasien dan keluarga
o Pasien dan keluarga menerima informasi tepat waktu, lengkap, dan akurat
3. Partisipasi.
Pasien dan keluarga didorong dan didukung untuk berpartisipasi dalam asuhan dan
pengambilankeputusan serta pilihan mereka.
4. Kolaborasi / kerjasama.
Pasien dan keluarga adalah mitra pemberi pelayanan kesehatan.Pemberi pelayanan
kesehatan bekerjasama dengan pasien dan keluarga dalam pengembangan, implementasi
dan evaluasi kebijakan dan program.

B. HUBUNGAN PROFESIONAL
Para Case Manager harus mempunyai hubungan kerja profesional dengan para dokter dan
staf klinis. Mereka juga harus terbiasa dengan pelayanan penagihan (billing), pelayanan
bantuan finansial, bantuan / dukungan dari komunitas serta pelayanan kerohanian.

C. HUBUNGAN DENGAN PASIEN


Penting bagi para Case Manager untuk memiliki relasi dengan pasien dan keluarga. Case
Manager perlu memelihara rasa saling percaya yang menunjukkan kepada pasien bahwa
mereka terlibat untuk manfaat dan kepentingan pasien. Untuk itu Case Manager perlu
memperhatikan secara aktif kebutuhan dan keinginan pasien.

D. KELOMPOK PASIEN
Case Manager sebaiknya memberikan perhatian lebih kepada pasien-pasien dalam kelompok
: anak-anak, usia lanjut, dan yang dengan penyakit kronis.

3
Dalam pelaksanaan manajemen pelayanan pasien, Case Manager dapat menangani 25 – 50
pasien, tergantung kondisi kerumitan, sistem pelayanan klinis, budaya kerja rumah sakit.

E. FUNGSI MANAJER PELAYANAN PASIEN

1. Asesmen utilitas. Mampu mengakses semua informasi dan data untuk mengevaluasi
manfaat/utilisasi, untuk kebutuhan manajemen pelayanan pasien(semua informasi dan
data akurat, lengkap yang mudah diakses tentang kebutuhan klinis, finansial, serta
sosial pasien).

2. Perencanaan. Dengan asesmen yang lengkap, disusun perencanaan untuk pelaksanaan


manajemen pelayanan pasien. Perencanaan tersebut mencerminkan
kelayakan/kepatutan dan efektivitasbiaya dari pengobatan medis dan klinis serta
kebutuhan pasien untuk mengambil keputusan.

3. Fasilitasi. Tugas ini mencakup interaksi antara CASE MANAJER dan para anggota tim
pemberi pelayanan kesehatan, perwakilan pembayar, serta pasien/keluarga yang
mencari/menginginkan pembebasan dari hambatan namun dapat mempengaruhi
kinerja/hasil, serta menjaga kontinuitas pelayanan.

4. Advokasi. Mewakili kepentingan pasien adalah inti dari peran Case Manager . Tetapi
peran ini juga menjangkau pemangku kepentingan lain. Case Manager diharapkan
melakukan advokasi untuk opsi pengobatan yang dapat diterima setelah berkonsultasi
dengan DPJP, termasuk rencana pemulangan yang aman. Advokasi perlu
mempertimbangkan sistem nilai pasien, kemampuan finansial termasuk atas jaminan
pembiayaan, pilihan, serta kebutuhan pelayanan kesehatannya.

F. TANGGUNG JAWAB
Case Manager bertanggungjawab ke Kepala Bidang Pelayanan Medik.

4
G. DIAGRAM KOORDINASI – INTEGRASI – KONTINUITAS PELAYANAN

5
BAB III
KUALIFIKASI CASE MANAGER

A. KUALIFIKASI

Dokter Umum

B. PELATIHAN TAMBAHAN

1. Pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan klinis terkait dengan penyusunan dan


penerapan SPO Pelayanan Kedokteran yang terdiri dari Panduan Praktik Klinis,
Alur Klinis (Clinical Pathway), Algoritme, Protokol, Standing order.

2. Pelatihan Pelayanan Fokus pada Pasien (PFP) / Patient Centered Care (PCC).

3. Pelatihan tentang perasuransian, jaminan kesehatan nasional, INA-CBG’s.

4. Pelatihan tentang Perencanaan pulang (Discharge planning) untuk kontinuitas


pelayanan.

5. Pelatihan Manajemen Risiko.

6. Pelatihan untuk meningkatkan soft skil ( pengetahuan aspek psiko-sosial,


hubungan interpersonal, komunikasi, dsb).

6
BAB IV
TATA LAKSANA

1. Penetapan dan Pengangkatan Case Manajer oleh Direktur.

2. Melakukan skrining pasien yang membutuhkan manajemen pelayanan pasien, pada waktu
admisi, atau bila dibutuhkan pada waktu di ruang rawat inap, berdasarkan pasien yang
meliputi :

2.1.Risiko tinggi
2.2.Biaya tinggi
2.3.Potensi komplain tinggi
2.4.Kasus dengan penyakit kronis
2.5.Kemungkinan sistem pembiayaan yang komplek
2.6.Kasus yang melebihi rata-rata lama dirawat
2.7.Kasus yang diidentifikasi rencana pemulangannya kritis atau yang membutuhkan
kontinuitas pelayanan
2.8.Kasus komplek / rumit

3. Setelah pasien ditentukan sebagai klien Case Manajer , maka dilakukan asesmen utilitas
dengan mengumpulkan berbagai informasi klinis, psiko-sosial, sosio-ekonomis, maupun
sistem pembayaran yang dimiliki pasien.

4. Menyusun rencana manajemen pelayanan pasien tersebut, berkolaborasi dengan DPJP


serta para anggota tim klinis lainnya, yang mencerminkan kelayakan / kepatutan dan
efektivitas-biaya dari pengobatan medis dan klinis serta kebutuhan pasien untuk
mengambil keputusan.

5. Melakukan fasilitasi yang mencakup interaksi antara Case Manajer dan DPJP serta para
anggota tim klinis lainnya, berbagai unit pelayanan, pelayanan administrasi, perwakilan
pembayar. Fasilitasi untuk koordinasi, komunikasi dan kolaborasi antara pasien dan
pemangku kepentingan, serta menjaga kontinuitas pelayanan.

6. Memfasilitasi untuk kemungkinan pembebasan dari hambatan yang tidak mempengaruhi


kinerja/hasil.

7. Memfasilitasi dan memberikan advokasi agar pasien memperoleh pelayanan yang optimal
sesuai dengan sistem pembiayaan dan kemampuan finansial dengan berkonsultasi dengan
DPJP, memperoleh edukasi yang adekuat, termasuk rencana pemulangan yang
memperhatikan kontinuitas pelayanan dan yang aman.

8. Melakukan monitoring dan evaluasi proses-proses pelayanan dan asuhan pasien.


7
9. Ada bukti dokumentasi kegiatan Case Manajer , termasuk dalam rekam medis seperti
pencatatan dalam formulir edukasi-informasi.

*****

8
DAFTAR PUSTAKA

1. CSMA – Case Management Society of America, 2010


2. CESTA, 2009

Anda mungkin juga menyukai