Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan penyakit menular dengan angka kematian
yang tinggi dan dapat menjangkiti seluruh lapisan masyarakat dari mulai bayi sampai dewasa baik
laki-laki maupun perempuan. Di Indonesia, sejak tahun 1987 perkembangan jumlah kasus AIDS
maupun HIV (+) cenderung meningkat pada setiap tahunnya. Menurut laporan UNAIDS (2004),
diketahui jumlah penderita HIV di Indonesia sebanyak diperkirakan 110.000 orang, sedangkan
menurut harian Galamedia (28 Juli 2005) sampai Juni 2005 jumlah penderita AIDS di Indonesia
tercatat 7098 orang. Secara epidemiologi dikenal fenomena gunung es, artinya bila ada satu kasus yang
tercatat maka diasumsikan terdapat 200 kasus yang sama yang tidak tercatat.

Sejak pertama kali ditemukan (1987) sampai dengan September 2012, kasus HIV-AIDS tersebar di 341
(71%) dari 497 kabupaten/kota di seluruh (33) provinsi di Indonesia. Kasus HIV, dari Juli sampai dengan
September 2012 jumlah kasus baru HIV yang dilaporkan sebanyak 5.489 kasus. Kasus AIDS, dari Juli
sampai dengan September 2012 jumlah kasus baru AIDS yang dilaporkan sebanyak 1.317 kasus.
Menurut data Komisi Penanggulangan HIV-AIDS (KPA) Jawa Tengah, 1993 hingga Maret 2012, tercatat
hampir 5.000 kasus HIV/AIDS menempati urutan keempat. Sedangkan di Kabupaten Blora data terakhir
kunjungan ke VCT RSU Blora dari Januari sampai April 2013 kemarin ada 27 orang yang berkonsultasi.
Dari 27 orang tersebut 14 orang diantaranya dinyatakan positif HIV. Sedangkan data perkembangan
HIV/AIDS di Kabupaten Blora sejak tahun 2008 ternyata juga menunjukkan peningkatan. Yakni pada
tahun 2008 sebanyakn 4 kasus, 2009 ada 3 kasus, 2010 ada 4 kasus, 2011 naik menjadi ada 11 kasus.
Sementara di tahun 2012 lalu ada 11 kasus juga, sedangkan tahun 2013 sampai bulan April lalu telah ada
14 yang positif HIV. Hampir 70% dari jumlah penderita HIV telah berubah menjadi AIDS dan 80%
penderita AIDS sudah meninggal dunia. (rs-infoBlora - Suara Merdeka)

Tenaga keperawatan merupakan tenaga kesehatan terbanyak di rumah sakit dan memiliki kontak
yang paling lama dengan pasien. Pekerjaan perawat merupakan jenis pekerjaan yang beresiko
kontak dengan darah, cairan tubuh pasien, tertusuk jarum suntik bekas pasien, dan bahaya-bahaya
lain yang dapat menjadi media penularan penyakit. Menurut laporan situs http://www.avert.org, di
Amerika Serikat pada tahun 2001 terdapat 57 kasus tenaga kesehatan yang terinfeksi HIV akibat
resiko pekerjaan. Dari 57 kasus tersebut, 24 kasus diantaranya (terbanyak) dialami oleh perawat. Di
Indonesia, walaupun belum ada data yang pasti, namun jika melihat pengendalian infeksi di rumah
sakit yang masih lemah, maka resiko penularan infeksi termasuk HIV terhadap perawat bisa
dikatakan cukup tinggi.
B. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui definisi HIV/AIDS

2. Untuk mengetahui etiologi HIV/AIDS

3. Untuk mengetahui patofisiologi HIV/AIDS

4. Untuk mengetahui manifestasi klinis HIV/AIDS

5. Untuk mengetahui pathway HIV/AIDS

6. Untuk mengetahui pengelolaan kasus dengan HIV/AIDS menurut tinjauan medis,keperawatan (focus
intervensi)

7. Untuk mengetahui tinjauan kritis masalah keperawatan yang muncul pada klien dengan HIV/AIDS

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi

AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh virus yang
disebut HIV (Human Immunodeficiency Virus). (Aziz Alimul Hidayat, 2006)

AIDS adalah infeksi oportunistik yang menyerang seseorang dimana mengalami penurunan sistem imun
yang mendasar ( sel T berjumlah 200 atau kurang ) dan memiliki antibodi positif terhadap HIV. (Doenges,
1999)

AIDS adalah suatu penyakit retrovirus yang ditandai oleh imunosupresi berat yang menyebabkan
terjadinya infeksi oportunistik, neoplasma sekunder dan kelainan imunolegik. (Price, 2000 : 241)

B. Etiologi

Menurut Hudak dan Gallo (1996), penyebab dari AIDS adalah suatu agen viral (HIV) dari kelompok virus
yang dikenal dengan retrovirus yang ditularkan oleh darah melalui hubungan seksual dan mempunyai
aktivitas yang kuat terhadap limfosit T yang berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh manusia. HIV
merupakan Retrovirus yang menggunakan RNA sebagai genom. HIV mempunyai kemampuan mengcopy
cetakan materi genetic dirinya ke dalam materi genetic sel-sel yang ditumpanginya.

Sedangkan menurut Long (1996) penyebab AIDS adalah Retrovirus yang telah terisolasi cairan tubuh
orang yang sudah terinfeksi yaitu darah semen, sekresi vagina, ludah, air mata, air susu ibu (ASI), cairan
otak (cerebrospinal fluid), cairan amnion, dan urin. Darah, semen, sekresi vagina dan ASI merupakan
sarana transmisi HIV yang menimbulkan AIDS. Cairan transmisi HIV yaitu melalui hubungan darah
(transfusi darah/komponen darah jarum suntik yang di pakai bersama sama tusuk jarum) seksual (homo
bisek/heteroseksual) perinatal (intra plasenta dan dari ASI)

C. Patofisiologi

Penyakit AIDS disebabkan oleh Virus HIV. Masa inkubasi AIDS diperkirakan antara 10 minggu sampai 10
tahun. Diperkirakan sekitar 50% orang yang terinfeksi HIV akan menunjukan gejala AIDS dalam 5 tahun
pertama, dan mencapai 70% dalam sepuluh tahun akan mendapat AIDS. Berbeda dengan virus lain yang
menyerang sel target dalam waktu singkat, virus HIV menyerang sel target dalam jangka waktu lama.
Supaya terjadi infeksi, virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah putih yang disebut
limfosit. Materi genetik virus dimasukkan ke dalam DNA sel yang terinfeksi. Di dalam sel, virus
berkembangbiak dan pada akhirnya menghancurkan sel serta melepaskan partikel virus yang baru.
Partikel virus yang baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan menghancurkannya.

Virus menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein yang disebut CD4, yang terdapat di
selaput bagian luar. CD4 adalah sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah
putih manusia, terutama sel-sel limfosit. Sel-sel yang memiliki reseptor CD4 biasanya disebut sel CD4+
atau limfosit T penolong. Limfosit T penolong berfungsi mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya pada
sistem kekebalan (misalnya limfosit B, makrofag dan limfosit T sitotoksik), yang kesemuanya membantu
menghancurkan sel-sel ganas dan organisme asing. Infeksi HIV menyebabkan hancurnya limfosit T
penolong, sehingga terjadi kelemahan sistem tubuh dalam melindungi dirinya terhadap infeksi dan
kanker.

Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T penolong melalui 3 tahap selama
beberapa bulan atau tahun. Seseorang yang sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL
darah. Pada beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV, jumlahnya menurun sebanyak 40-50%.
Selama bulan-bulan ini penderita bisa menularkan HIV kepada orang lain karena banyak partikel virus
yang terdapat di dalam darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus, tetapi tubuh tidak mampu
meredakan infeksi. Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus di dalam darah mencapai kadar yang
stabil, yang berlainan pada setiap penderita. Perusakan sel CD4+ dan penularan penyakit kepada orang
lain terus berlanjut. Kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang rendah membantu
dokter dalam menentukan orang-orang yang beresiko tinggi menderita AIDS. 1-2 tahun sebelum
terjadinya AIDS, jumlah limfosit CD4+ biasanya menurun drastis. Jika kadarnya mencapai 200 sel/mL
darah, maka penderita menjadi rentan terhadap infeksi.

Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B (limfosit yang menghasilkan antibodi)
dan seringkali menyebabkan produksi antibodi yang berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk
melawan HIV dan infeksi yang dialami penderita, tetapi antibodi ini tidak banyak membantu dalam
melawan berbagai infeksi oportunistik pada AIDS. Pada saat yang bersamaan, penghancuran limfosit
CD4+ oleh virus menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam mengenali
organisme dan sasaran baru yang harus diserang.

Setelah virus HIV masuk ke dalam tubuh dibutuhkan waktu selama 3-6 bulan sebelum titer antibodi
terhadap HIV positif. Fase ini disebut “periode jendela” (window period). Setelah itu penyakit seakan
berhenti berkembang selama lebih kurang 1-20 bulan, namun apabila diperiksa titer antibodinya
terhadap HIV tetap positif (fase ini disebut fase laten) Beberapa tahun kemudian baru timbul gambaran
klinik AIDS yang lengkap (merupakan sindrom/kumpulan gejala). Perjalanan penyakit infeksi HIV sampai
menjadi AIDS membutuhkan waktu sedikitnya 26 bulan, bahkan ada yang lebih dari 10 tahun setelah
diketahui HIV positif. (Heri : 2012)

D. Gambaran Klinis

Gambaran klinis infeksi HIV dapat disebabkan HIV-nya sendiri (sindrom retroviral akut, demensia HIV),
infeksi ofortunistik, atau kanker yang terkait AIDS. Perjalanan penyakit HIV dibagi dalam tahap-tahap
berdasarkan keadaan klinis dan jumlah CD4.( Arif Mansjoer, 2000 )

1. Infeksi retroviral akut


Frekuensi gelaja infeksi retroviral akut sekitar 50-90%. Gambaran klinis menunjukkan demam,
pembesaran kelenjar, hepatoplemagali, nyeri tenggorokan, mialgia, rash seperti morbili, ulkus pada
mukokutan, diare, leukopenia, dan limfosit atipik. Sebagian pasien mengalami gangguan neorologi
seperti mrningitis asepik, sindrom Gillain Barre, atau psikosis akut. Sindrom ini biasanya sembuh sendiri
tanpa pengobatan.

2. Masa asimtomatik

Pada masa ini pasien tidak menunjukkan jegala,tetapi dapat terjadi limfadenopati umum. Penurunan
jumlah CD4 terjadi bertahap, disebut juga masa jendela (window period).

3. Masa gejala dini

Pada masa ini julah CD4 berkisar antar 100-300. Gejala yang timbul adalah akibat infeksi pneumonia
bakterial, kandidosis vagina, sariawan, herped zoster, leukoplakia, ITP, dan tuberkolosis paru. Masa ini
dulu disebut AIDS Related Complex(ARC)

4. Masa gejala lanjut

Pada masa ini jumlah CD4 dibawah 200. Penurunan daya tahan ini menyebabkan risiko tinggi rendahnya
infeksi oportunistik berat atau keganasan.

E. Pathway
F. Pengelolaan Kasus

1. Medis

Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya yaitu (Endah Istiqomah : 2009) :

a. Pengendalian Infeksi Opurtunistik

Bertujuan menghilangkan,mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik, nasokomial, atau sepsis.


Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab
sepsis harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan kritis.

b. Terapi AZT (Azidotimidin)

Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap AIDS, obat ini
menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim
pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3 . Sekarang, AZT
tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 >
500 mm3

c. Terapi Antiviral Baru


Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan menghambat replikasi virus /
memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah :

- Didanosine

- Ribavirin

- Diedoxycytidine

- Recombinant CD 4 dapat larut

d. Vaksin dan Rekonstruksi Virus

Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon, maka perawat unit khusus
perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk
menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.

2. Keperawatan (Fokus Intervensi)

Diagnosa, intervensi dan rasional tindakan keperawatan (Doenges, 1999) adalah

a. Infeksi, resiko tinggi terhadap pertahanan primer tak efektif, depresi system imun.

Tujuan

Infeksi klien dapat dicegah atau diperkecil

Kriteria hasil

- Mencapai masa penyembuhan luka.

- Bebas dari pengeluaran/sekresi purulen dari kondisi infeksi

Intervensi

Mandiri

1. Cuci tangan sebelum dan sesudah seluruh kontak perawatan dilakukan. Intruksikan orang terdekat
klien untuk mencuci tangan sesuai indikasi.

Rasional : Mengurangi resiko kontaminasi silang.

2. Berikan lingkungan yang bersih dan berventilasi baik.

Rasional : Mengurangi patogen pada system imun.

3. Diskusikan tingkat dan rasional isolasi pencegahan dan mempertahankan kesehatan pribadi.

Rasional : Meningkatkan kerja sama dengan cara hidup berusaha mengurangi rasa terisolasi.
4. Pantau tanda-tanda vital, termasuk suhu.

Rasional : Memberikan informasi data dasar, peningkatan suhu secara berulang-ulang dari demam
yang terjadi untuk menunjukan bahwa tubuh bereaksi terhadap proses infeksi.

5. Kaji frekuensi/kedalaman pernafasan, karateristik sputum (bila ada sputum.

Rasional : Kongesti/distress pernafasan dapat mengidentifikasi perkembangan PCP.

6. Periksa kulit/membrane mukosa oral terhadap bercak putih/lesi.

Rasional : Kandidiasis oral atau bercak putih atau lesi adalah penyakit yang umum terjadi dan
memberi efek terhadap membran kulit.

7. Periksa dan catat adanya luka atau lokasi alat invasif, perhatikan tanda-tanda inflamasi lokal.

Rasional : Identifikasi/perawatan awal dari infeksi sekunder dapat mencegah terjadinya sepsis.

8. Awasi pembuangan jarum suntik dan mata pisau secara ketat dengan menggunakan wadah
tersendiri.

Rasional :Mencegah kontaminasi tak disengaja dari pemberian perawatan.

Kolaborasi

Berikan antibiotik antijamur/agen anti mikroba misalnya: trimetropim (Bactrim septra), nistanin
(Mycostatin), ketokonazol, pentamidin atau AZT/retrovir, dan gansiklovir (cytovene).

Rasional : Menghambat proses infeksi, obat-obat tersebut ditunjukan untuk menghilangkan enzim
yang

b. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diare berat, pembatasan pemasukan.

Tujuan

Masukan nutrisi adekuat untuk klien

Kriteria hasil

- Membran mukosa adekuat.

- Turgor kulit baik.

- Tanda-tanda vital stabil

- Haluaran urin adekuat


Intervensi

Mandiri

1. Pantau tanda-tanda vital, termasuk CVP

Rasional : Indikator dari volume cairan sirkulasi.

2. Kaji turgor kulit, membrane mukosa, dan rasa haus.

Rasional : Indikator tidak langsung dari status cairan.

3. Ukur haluaran urine dan berat jenis urine.

Rasional : Peningakatan berat jenis urine/penurunan haluaran urine menunjukan perubahan perfusi
ginjal.

4. Pantau pemasukan oral dan memasukan cairan sedikitnya 2500 ml/hr

Rasional :Mempertahankan keseimbangan cairan, mengurangi rasa haus, dan melembabkan membran
mukosa.

5. Anjurkan untuk tidak memakan makanan yang potensial menyebabkan diare.

Rasional : Mungkin dapat mengurangi diare.

Kolaborasi

1. Berikan cairan/elektrolit melalui selang pemberi makanan (IV).

Rasional :Mungkin diperlukan untuk mendukung/ memperbesar volume sirkulasi, terutama jika
pemasukan oral tak adekuat.

2. Berikan obat-obatan sesuai indikasi

Antimietik, misalnya: proklorperazin maleat (compazine), trimetrobenzamid (Tigan).

c. Kekurangan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan ketidak mampuan untuk mencerna.

Tujuan

Nutrisi adekuat dan masukan cairan terpelihara.

Kriteria hasil

- Kemampuan pemasukan nutrisi adekuat.

- Menunjukan peningkatan berat badan mencapai rentang yang diharapkan.


- Menyiapkan pola diet dengan masukan kalori adekuat.

- Mual muntah berkurang.

- Selera makan meningkat.

Intervensi

Mandiri

1. Kaji kemampuan untuk mengunyah dan menelan.

Rasional : Untuk mengetahui kemampuan klien mengunyah makanan, lesi pada mulut, tenggorokan
dan esophagus dapat menyebabkan disfagia.

2. Auskultasi bising usus.

Rasional : Hipermotilitas saluran itenstinal umum terjadi dan dihubungkan dengan muntah dan diare.

3. Timbang berat badan sesuai dengan kebutuhan. Evaluasi berat badan yang tidak sesuai.

Rasional : Indikator kebutuhan nutrisi?pemasukan yang adekuat.

4. Rencanakan diet dengan orang terdekat; jika memungkinkan, sarankan makanan dari rumah.
Sediakan makanan yang sedikit tapi sering, berupa makanan yang padat akan nutrisi.

Rasional : Melibatkan pasien dalam rencana memberikan perasaan control lingkungan dan mungkin
meningkatkan pemasukan.

Kolaborasi

1. Pertahankan status puasa

Rasional : Mungkin diperlukan untuk menurunkan muntah.

2. Pasang/pertahankan selang NGT sesuai petunjuk dengan hati-hati.

Rasional : Mungkin diperlukan mengurangi mual muntah untuk pemberian makanan per selang.

3. Konsultasikan dengan tim pendukung ahli gizi.

Rasional : Menyediakan diet berdasarkan kebutuhan tubuh dengan rute yang tepat.

4. Berikan obat yang sesuai indikasi.

Antiemetic, misalnya metoklopramid (Reglan), suplemen vitamin.

d. Nyeri berhubungan dengan inflamasi/ kerusakan jaringan.


Tujuan

Rasa sakit/tidak nyaman dikurangi

Kriteria hasil.

- Keluhan hilangnya/terkontrolnya rasa sakit.

- Menunjukan posisi/wajah rileks.

- Dapat tidur/istrahat adekuat.

INTERVENSI KEPERAWATAN

RASIONAL

Mandiri

Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi, intensitas, frekuensi dan waktu. Tandai gejala nonverbal misalnya
gelisah, takikardia, meringis.

Mengindikasikan kebutuhan untuk intervensi dan juga tanda-tanda perkembangan komplikasi.

Instruksikan pasien untuk menggunakan visualisasi atau imajinasi, relaksasi progresif, teknik nafas
dalam.

Meningkatkan relaksasi dan perasaan sehat.

Dorong pengungkapan perasaan

Dapat mengurangi ansietas dan rasa sakit, sehingga persepsi akan intensitas rasa sakit.

Lakukan tindakan paliatif misal pengubahan posisi, masase, rentang gerak pada sendi yang sakit.

Meningkatkan relaksasi atau menurunkan tegangan otot.

Kolaborasi

Berikan analgesik atau antipiretik narkotik. Gunakan ADP (analgesic yang dikontrol pasien) untuk
memberikan analgesia 24 jam.
Memberikan penurunan nyeri/tidak nyaman, mengurangi demam. Obat yang dikontrol pasien berdasar
waktu 24 jam dapat mempertahankan kadar analgesia darah tetap stabil, mencegah kekurangan atau
kelebihan obat-obatan.

e. Integritas kulit, kerusakan berhubungan dengan deficit imunologis.

Tujuan.

Integritas kulit dapat diatasi.

Kriteria hasil

- Menunjukan kemajuan pada luka/penyembuhan lesi

- Menunjukan tingkah laku /tekhnik mencegah kerusakan kulit.

Intervensi

Mandiri

1. Kaji kulit setiap hari.

Rasional : Menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat dibandingkan dan dilakukan
intervensi yang tepat.

2. Intruksikan atau pertahankan hygiene kulit. Misalnya membasuh dan mengeringkanya dengan hati-
hati.

Rasional : Memperthankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi barier infeksi.

3. Pertahankan seprei bersih, dan kering.

Rasional : Friksi kulit disebabkan oleh kain yang berkerut dan basah yang menyebabkan iritasi pada
kulit.

4. Dorong untuk ambulansi/turun dari tempat tidur jika memungkinkan.

Rasional : Menurunkan tekanan pada kulit dari istrahat lama di tempat tidur.

5. Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barier protektif.

Rasional : Dapat mengurangi konataminasi bakteri, dan meningkatkan proses penyembuhan.

Kolaborasi

1. Berikan matras atau tempat tidur busa.

Rasional : Menurunkan atau mengurangi tekanan pada kulit atau jaringan.


2. Gunakan/berikan obat-obatan topika/sistemik sesuai indikasi. Misalnya Telfa.

Rasional : Digunakan pada perawatan lesi kulit, perawatan harus dilakukan untuk menghindari
kontaminasi silang.

f. Ansietas berhubungan dengan ancaman konsep pribadi, penularan penyakit pada orang lain.

Tujuan.

Klien dapat berhadapan dengan situasi sekarang secara realistis.

Kriteria hasil.

- Menyatakan kesadaran tentang perasaan dan cara sehat untuk menghadapinya.

- Menunjukan rentang normal dari perasaan atau berkurangnya rasa takut.

Intervensi

Mandiri

1. Jamin pasien tentang kerahasiaan dalam batasan situasi tertentu.

Rasional : Memberikan penentraman hati lebih lanjut dan kesempatan bagi pasien untuk memecahlan
masalah pada situasi yang diantisipasi.

2. Pertahankan hubungan yang sering dengan pasien.

Rasional : Menjamin bahwa pasien tidak akan sendiri dan ditelantarkan.

3. Waspada terhadap tanda-tanda penolakan/depresi.

Rasional : Pasien mungkin akan menggunakan mekanisme bertahan dengan penolakan dan terus
berharap bahwa diagnose tidak akurat.

4. Izinkan pasien untuk mengekspresikan rasa marah, takut, putus asa tanpa konfirmasi.

Rasional : Penerimaan perasaan akan membuat pasien dapat menerima situasi.

Kolaborasi

1. Rujuk pada konseling psikiatri (psikiater)

Rasional : mungkin dibutuhlkan bantuan lebih lanjut dengan diagnose.


BAB III

PEMBAHASAN

Permasalahan keperawatan yang muncul pada klien dengan HIV/AIDS adalah:

1. Infeksi berhubungan dengan resiko tinggi terhadap pertahanan primer tak efektif, depresi system
imun.

Virus AIDS (HIV) masuk ke dalam tubuh seseorang dalam keadaan bebas atau berada di dalam sel
limfosit. Virus ini memasuki tubuh dan terutama menginfeksi sel yang mempunyai molekul CD4. Sel-sel
CD4-positif (CD4+) mencakup monosit, makrofag dan limfosit T4 helper. Saat virus memasuki tubuh,
benda asing ini segera dikenal oleh sel T helper (T4), tetapi begitu sel T helper menempel pada benda
asing tersebut, reseptor sel T helper tidak berdaya bahkan HIV bisa pindah dari sel induk ke dalam sel T
helper tersebut. Jadi, sebelum sel T helper dapat mengenal benda asing, virus HIV lebih dahulu telah
melumpuhkan sel T helper tersebut sehingga benda asing termasuk virus, bakteri, kuman dengan
mudah masuk ketubuh ODHA.

2. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan diare berat.


Pada dasarnya diare pada HIV atau non HIV adalah sama. Keparahan diare tergantung tingkat daya
penetrasi merusak sel mukosa, kemampuan memproduksi toksin yang mempengaruhu sekresi cairan
pada usus halus dan daya lekat kuman. Toksin yang dihasilkan bakteri non invasive menyebabkan
kegiatan berlebihan nikotinamid adenia dinukleotid (NAD) sehingga meningkatkan siklus AMP dalam sel.
Pada akhirnya sel menskresikan aktif anion klorida kedalam lumen usus yang diikuti oleh air, ion
bikarbonat, kalium dan natrium. Diare pada HIV bisa terjadi karena virus, bakteri, parasit yang
menginfeksi pada gastrointestinal.

3. Perubahan nutrisi yang kurang dari kebutuhan tubuh dihubungkan dengan gangguan intestinal.

Pada kasus HIV terjadi infeksi menyeluruh antara lain infeksi opportunistik yang menyebabkan infeksi
gastrointestinal yang disebabkan oleh Cryptosporidiosis yaitu sejenis parasit. Selain itu ialah
Cytomegalovirus yaitu sejenis virus yang menginfeksi seluruh tubuh tetapi biasanya biasa menginfeksi
lambung, Infeksi virus ini biasanya terjadi apabila jumlah sel T CD4+ kurang dari 50 mm3 darah. Infeksi
bakteri Mycobacterium Avium Kompleks , Infeksi ini biasanya terjadi apabila jumlah sel CD4+ kurang dari
50 mm3 darah.

4. Nyeri berhubungan dengan inflamasi/kerusakan jaringan.

Virus HIV menyerang system imun terutama limfosit, sel penanda CD4, sehingga mudah terjadi infeksi
dan infeksi ini terjadi secara sistemik artinya dapat terjadi pada seluruh organ-organ. Kerusakan jaringan
dapat berupa rangkaian peristiwa yang terjadi di nosiseptor disebut nyeri inflamasi akut atau nyeri
nosiseptif, atau terjadi di jaringan saraf, baik serabut saraf pusat maupun perifer disebut nyeri
neuropatik. Trauma atau lesi di jaringan akan direspon oleh nosiseptor dengan mengeluarkan berbagai
mediator inflamasi, seperti bradikinin, prostaglandin, histamin, dan sebagainya

5. Integritas kulit, kerusakan berhubungan dengan deficit imunologis.

Imunologi yang menurun menyebabkan mudahnya terjadi peradangan kulit akibat infeksi virus, bakteri
dan jamur misalnya herpes, pseudomonas, candida.

6. Ansietas berhubungan dengan ancaman konsep pribadi, penularan penyakit pada orang lain.

Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang
dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain (Stuart dan Sundeen, 1991).
Sedangkan pada HIV/AIDS terjadi peningkatan ketegangan, ketakutan, perasaan tidak berdaya, putus
asa.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

AIDS adalah sekumpulan gejala dan infeksi atau sindrom yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan
tubuh manusia akibat infeksi virus HIV.

Etiologi AIDS disebabkan oleh virus HIV-1 dan HIV-2 adalah lentivirus sitopatik, dengan HIV-1 menjadi
penyebab utama AIDS diseluruh dunia.

Manifestasi klinis AIDS yaitu Infeksi retroviral akut : gambaran klinis menunjukkan demam, pembesaran
kelenjar, hepatoplemagali, nyeri tenggorokan, mialgia, rash seperti morbili, ulkus pada mukokutan,
diare, leukopenia, dan limfosit atipik. Masa asimfomatik : pada masa ini pasien tidak menunjukkan
jegala,tetapi dapat terjadi limfadenopati umum. penurunan jumlah cd4 terjadi bertahap, disebut juga
masa jendela (window period). Masa gejala dini : gejala yang timbul adalah akibat infeksi pneumonia
bakterial, kandidosis vagina, sariawan, herped zoster, leukoplakia, itp, dan tuberkolosis paru. Masa
gejala akut : pada masa ini jumlah cd4 dibawah 200. penurunan daya tahan ini menyebabkan risiko
tinggi rendahnya infeksi oportunistik berat atau keganasan.

Patofisiologis AIDS yaitu disebabkan oleh virus HIV. Masa inkubasi AIDS diperkirakan 10 minggu -10
tahun. Virus menempel pada limfosit T penolong atau CD4 dan menghancurkannya sehingga terjadi
kelemahan system kekebalan tubuh. HIV juga menyebabkan gangguan limfosit B sehingga menyebabkan
produksi antibody meningkat tapi antibody yang dihasilkan tidak banyak membantu infeksi yang
disebabkan HIV.

Penatalaksanaan medis untuk penderita AIDS yaitu dengan pengendalian infeksi oportunistik, terapi
AZT, terapi antiviral baru, vaksin dan rekonstruksi baru.

Diagnosa untuk AIDS antara lain :

1. Infeksi, resiko tinggi terhadap pertahanan primer tak efektif, depresi system imun.
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diare berat, pembatasan pemasukan.

3. Kekurangan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan ketidak mampuan untuk mencerna.

4. Nyeri berhubungan dengan inflamasi/ kerusakan jaringan.

5. Integritas kulit, kerusakan berhubungan dengan deficit imunologis.

6. Ansietas berhubungan dengan ancaman konsep pribadi, penularan penyakit pada orang lain.

B. Kritik dan Saran

Alhamdulillah makalah ini dapat terselesaikan dengan baik tanpa ada hambatan yang berarti. Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Maka penulis sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Hanya kepada
Allah penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Berdasarkan simpulan di atas, penulis mempunyai beberapa saran, diantaranya adalah :

1. Agar pembaca dapat mengenali tentang pengertian AIDS.

2. Agar pembaca dapat menerapkan asuhan keperawatan AIDS pada klien AIDS.
KATA PENGANTAR

Hidayat, Aziz Alimul. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Suzanne C. Smeltzer, Brenda G. Bare. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Sudarth ed. 8.
Jakarta: ECG.

Mansjoer, Arif . 2000 . Kapita Selekta Kedokteran . Jakarta : Media Sculapius

Price , Sylvia A dan Lorraine M.Wilson . 2005 . Patofissiologis Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit .
Jakarta : EGC

Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa : I Made Kariasa dan Ni Made S. Jakarta: ECG

Anda mungkin juga menyukai