Melalui uraian yang telah dipaparkan tampak jelas bahwa hingga akhir abad ke-18, tokoh-
tokoh hermeneutika di Eropa kurang memberi perhatian pada persoalan estetika dan sastra.
Filsuf yang mulai mengemukakan pentingnya sastra sebagai pokok penelitian hermeneutika
ialah Ernst Daniel Schleimacher (1768-1834). Pemikirannya dipandang menandai babak baru
sejarah hermeneutika, sekaligus awal kemunculan hermeneutika filsafat. Dua karyanya yang
penting ialah Darstellung des Theologischen Studiums (1811) dan terjemahan Inggris antologi
karangannya Hermeneutics: The Handwritten Manuscripts (1977).
Schleiermacher adalah seorang teolog, ahli filologi, dan budaya. Dia adalah guru besar
teologi dan filsafat di Universitas Halle yang terkenal di Jerman. Pemikiran dalam bukunya itu
merupakan perluasan dari kuliah-kuliah yang pernah dia sampaikan kepada mahasiswa-
mahasiwanya sejak tahun 1805. Sumber pemikiran Schleiermacher beraneka ragam. Di
antaranya ialah epistemology Kant, idealisme Schelling, Fichte dan Hegel, dan empirisme
Inggris. Dari epistemologi Kant, dia mengambil uraian tentang peran akal atau nalar murni
dalam memperoleh pengetahuan yang benar. Idealisme Schelling yang diambil ialah
pandangannya tentang identitas pribadi yang memengaruhi corak sebuah karya, khususnya
sastra. Karena menekankan pada pentingnya nilai subjektif dari teks, dia sering dipandang
sebagai filsuf romantik. Namun, itu tidak seluruhnya benar, karena bagaimanapun adalah
pemikiran Kant yang menempati peran utama dalam hermeneutika.
Sebagai media yang identik dengan pikiran, maka bahasa merupakan asas atau landasan
dari kejiwaan manusia dalam menggambarkan dunianya. Di sini, bahasa secara khusus
bertalian dengan kesadaran diri manusia dan upaya untuk membedakan antara hasil
pengalaman yang diperoleh melalui penyerapan indra dan bentuk-bentuk perasaan serta
keinginan. Bahasa dan juga pikiran, pada dasarnya bersifat sosial, kendati bahasa batin tidak
sepenuhnya bergantung pada dorongan atau keadaan social. Dalam bahasa terangkum
kecenderungan akan komunikasi.
Bahasa dan pikiran menurut Schleiermacher tidak berperan semata sebagai tambahan
pada proses kejiwaan manusia. Bahasa justru memberi watak tertentu kepada proses
kejiwaan manusia, khususnya dalam membangun struktur gambaran tentang dunia dengan
berbagai cara. Itulah sebabnya dia berpendapat, terutama pada tahapan awal pemikirannya,
bahwa untuk menentukan ciiri-ciri pemikiran suatu masyarakat dapat dilihat melalui ekspresi
kebahasaannya, seperti karyasastra. Pandangan ini sejalan danganpendi rian Kon Fu. Tze
dalam kitabnya Lun Yu (Analects), yang menyatakan bahwa bahasa menunjukkan bangsa.
Schleiermacher menyarankan agar kita mau memadukan penafsiran tata bahasa dan
teknis. Hanya saja, tidak ada kaidah khusus dalam upaya memadukan keduanya. Yang dapat
dilakukan hanyalah dengan membandingkan sebuah teks dengan teks lain dari periode yang
sama, atau karangan penulis yang sama, sambil menjaga keunikan teks yang dikaji. Dia yakin
bahwa seorang ahli hermeneutika yang piawai memiliki kesanggupan bergerak dari yang
khusus ke yang umum, dan sebaliknya, atau dari bagian-bagian menuju keseluruhan
kemudian kembali lagi kepada bagian-bagian. Ini dapat dilakukan dengan memadukan
pendekatan bandingan dengan hipotesis-hipotesis yang dibangun sendiri secara kreatif
Melalui pemahaman ini, dia mencipta dua bentuk hermeneutika, yaitu (1) pemahaman
ketatabahasan; (2) pemahaman psikologis yang ditijukan kepada jiwa pengarang.
Berdasarkan ini, dia dipandang sebagai seorang romantik dan sekaligus realis
idealistis. Hermeneutikanya merupakan gabungan hermeneutika rasional dan intuitif, yang
kerap disebut sebagai hermeneutica intelligendi karena penalaran rasional dan intuisi
merupakan dua bentuk kecerdasan tertinggi yang dimiliki manusia. Sekalipun individualitas
pengarang merupakan tumpuan utama hermeneutikanya, tetapi dia mempertimbangkan pula
pentingnya konteks kesejarahan dan budaya pengarang.
Karya sastra, selain merupakan perwujudan dari jiwa dan pribadi pengarangnya, juga
mencerminkan kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat sezamannya. Karena
kandungannya adalah isi jiwa individual dan sekaligus cerminan jiwa kebudayaan. karya
sastra bukan objek yang mati, melainkan subjek yang hidup dalam proses pembacaan.
Membaca teks sastra sebenarnya merupakan bentuk dialog seorang pembaca dengan jiwa
pengarang, sekaligus kebudayaan masyarakat. Karena sebuah teks ditulis dalam bahasa
tertentu yang khusus, hermeneutika harus bergerak dari pemahaman filologis ke pemahaman
akal intuitif.