Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO B BLOK 26 TAHUN 2014

Disusun oleh:

ATIA JULIKA
04111401010

PENDIDIKAN DOKTER UMUM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2014
Skenario C Blok 27 Tahun 2014

Tn. Rozak, umur 65 tahun, datang ke ruang emergensi dengan keluhan nyeri dada kiri sejak 3 jam
sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dada terasa seperti ditindih beban berat dan terasa sampai ke
punggung, disertai sesak nafas, keringat yang banyak, dan gelisah. Penderita mempunyai riwayat
merokok sejak ia SMA, dan riwayat hipertensi sejak 6 tahun yang lalu namun tidak patuh makan obat.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran komposmentis, terlihat pucat, gelisah, dispneu, ortopneu,
Tekanan darah 80/60mmHg, nadi 118x/menit dan teraba halus, RR 28x/menit, T 36,2oC. Tekanan vena
jugularis normal, terdapat ronki basah di kedua paru, HR 108x/menit, bunyi jantung I/II terdengar
menjauh, ekstremitas dingin. Pada pemeriksaan EKG didapatkan:
Saat perawat selesai memberi O2 kanula nasal dan pemasangan akses i.v, tiba-tiba penderita dilaporkan
tidak sadarkan diri, tidak bernafas dan nadi tidak teraba, pada monitor EKG didapatkan gambaran:
I. Klarifikasi Istilah
1. Nyeri dada
2. Sesak nafas
3. Keringat yang banyak
4. Gelisah
5. Hipertensi
6. Dispneu
7. Ortopneu: sesak saat berbaring
8. Vena jugularis
9. Ronki basah
10. O2 kanula nasal

II. Identifikasi Masalah


1. Tn. Rozak, umur 65 tahun, datang ke ruang emergensi dengan keluhan nyeri dada kiri
sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit.
2. Nyeri dada terasa seperti ditindih beban berat dan terasa sampai ke punggung, disertai
sesak nafas, keringat yang banyak, dan gelisah.
3. Penderita mempunyai riwayat merokok sejak ia SMA, dan riwayat hipertensi sejak 6
tahun yang lalu namun tidak patuh makan obat.
4. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran komposmentis, terlihat pucat, gelisah,
dispneu, ortopneu, Tekanan darah 80/60mmHg, nadi 118x/menit dan teraba halus, RR
28x/menit, T 36,2oC. Tekanan vena jugularis normal, terdapat ronki basah di kedua paru,
HR 108x/menit, bunyi jantung I/II terdengar menjauh, ekstremitas dingin. Pada
pemeriksaan EKG didapatkan:
5. Saat perawat selesai memberi O2 kanula nasal dan pemasangan akses i.v, tiba-tiba
penderita dilaporkan tidak sadarkan diri, tidak bernafas dan nadi tidak teraba, pada
monitor EKG didapatkan gambaran:
III. Analisis Masalah
1. Tn. Rozak, umur 65 tahun, datang ke ruang emergensi dengan keluhan nyeri dada kiri sejak 3
jam sebelum masuk rumah sakit.
a. Apa hubungan jenis kelamin dan usia terhadap keluhan pada kasus ini? (atia,
ivandra, amir).
 Usia lebih dari 40 tahun lebih rentan terjadinya nyeri pada dada.
 Jenis kelamin laki-laki lebih sering dari pada wanita, tetapi insiden pada wanita
meningkat setelah menopause
b. Bagaimana etiologi dan mekanisme nyeri dada kiri?
c. Bagaimana anatomi dan fisiologi jantung?

2. Nyeri dada terasa seperti ditindih beban berat dan terasa sampai ke punggung, disertai sesak
nafas, keringat yang banyak, dan gelisah.
a. Bagaimana hubungan keluhan tambahan dengan keluhan utama?
b. Bagaimana mekanisme nyeri dada terasa seperti ditindih beban berat dan terasa
sampai ke punggung? (ferina, atia, ivandra)
Diawali dengan adanya penyumbatan akut pada arteri koroner akan menyebabkan
penurunan aliran darah ke miokardium. Daerah otot sedikit atau bahkan tidak sama sekali
mendapatkan aliran darah sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot jantung. Otot
jantung menjadi kekurangan oksigen dan berada dalam kondisi iskemia yang memicu
pengeluaran zat-zat asam, seperti asam laktat, atau produk-produk yang menimbulkan
nyeri lainnya, seperti histamin, kinin, atau enzim proteolitik seluler. Produk-produk ini
tidak cepat dibawa pergi oleh aliran darah koroner yang bergerak lambat sehingga akan
merangsang ujung-ujung saraf nyeri di otot jantung. Nyeri ini akan dihantarkan melalui
serabut saraf aferen yang berjalan ke atas menuju susunan saraf pusat melalui rami
cardiaci truncus symphaticus dan masuk ke medulla spinalis melalui radix posterior
keempat nervi thoracici bagian atas. Nyeri ini akan dialihkan ke daerah kulit yang juga
disarafi dari saraf spinal yang sama yakni yang dipersarafi oleh keempat nervi thoracici
bagian atas dan nervus intercostobrachialis (T2). T2-T4 mempersarafi juga daerah kulit
dipunggung yang menyebabkan nyeri iskemia yang menjalar pada kasus ini.

c. Bagaimana mekanisme sesak nafas?


Akibat adanya sumbatan di arteri koroner, suplai darah ke otot jantung menjadi menurun
atau bahkan tidak ada sama sekali. Hal ini menyebabkan terjadinya iskemia pada otot-otot
jantung dan dapat berlanjut menjadi infark. Sebagian serabut otot sama sekali tidak
berfungsi sehingga menyebabkan kemampuan pemompaan ventrikel juga ikut berkurang
dan akhirnya terjadi penurunan volume sekuncup. Aliran darah ke perifer berkurang dan
kemudian menyebabkan terjadinya hipoksia jaringan. Karbon dioksida menumpuk dan
memicu batang otak untuk mengompensasi dan meningkatkan usaha bernapas yang
bermanifestasi menjadi sesak napas. Selain itu, sesak napas ini juga disebabkan tekanan
ventrikel kiri yang meningkat terus menerus akibat darah yang tidak bisa dipompa secara
optimal. Tekanan ventrikel ini juga akan meningkatkan tekanan atrium dan berujung pada
peningkatkan tekanan diparu-paru. Peningkatan tekanan diparu-paru menyebabkan
terjadinya edema atau kongestif paru yang mengganggu pertukaran oksigen di alveolus.
Pertukaran oksigen menjadi tidak optimal dan memicu terjadinya sesak napas pada pasien
ini.

d. Bagaimana mekanisme keringat yang banyak?


e. Bagaimana mekanisme gelisah?
Penurunan fungsi ventrikel karena otot miokard yang nekrosis akibat iskemia seperti yang
dijelaskan sebelumnya akan menyebabkan hilanganya daya kontraksi ventrikel. Terjadi
penurunan kemampuan ventrikel untuk mengosongkan diri dan menyebabkan stroke
volume menurun sehingga timbul respon simpatis yang merangsang kelenjar keringat dan
menyebabkan keringat banyak pada pasien ini.
Gelisah yang pasien alami akibat rasa tidak nyaman akibat nyeri dan sesak napas yang
dirasakan oleh pasien.

f. Apa saja jenis-jenis(karakteristik) dari angina pectoris?

3. Penderita mempunyai riwayat merokok sejak ia SMA, dan riwayat hipertensi sejak 6 tahun yang
lalu namun tidak patuh makan obat.
a. Bagaimana hubungan riwayat merokok dengan keluhan utama?

b. Bagaimana hubungan riwayat hipertensi yang tidak terkontrol dengan keluhan


utama? (atia, ivandra, nuriasani)
Hipertensi vasokonstriksi pembuluh darah dinding pembuluh darah menjadi kaku 
endotel rusak dan tidak elastis  aterosklerosis  ruptur plak aterosklerosis  memicu
aktivasi trombosit  terbentuknya trombus  sumbatan / oklusi arteri coronaria  ↓
supply O2 ke miokard  perfusi ke miokard inadekuat  iskemia  jika iskemik tidak
ditangani maka akan terjadi kerusakan sel ireversibel dan nekrosis jaringan  infark
miokard  penurunan fungsi ventrikel karena otot miokard yang nekrosis kehilangan
daya kontraksi  keluhan
4. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran komposmentis, terlihat pucat, gelisah, dispneu,
ortopneu, Tekanan darah 80/60mmHg, nadi 118x/menit dan teraba halus, RR 28x/menit, T
36,2oC. Tekanan vena jugularis normal, terdapat ronki basah di kedua paru, HR 108x/menit,
bunyi jantung I/II terdengar menjauh, ekstremitas dingin. Pada pemeriksaan EKG didapatkan:
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal pada pemeriksaan fisik?
 Tekanan darah 80/60 mmHg :
Hipertensi, Merokok  vasokonstriksi pembuluh darah dinding pembuluh darah
menjadi kaku  endotel rusak dan tidak elastis  aterosklerosis ruptur plak
aterosklerosis  memicu aktivasi trombosit  terbentuknya trombus  sumbatan
/ oklusi arteri coronaria  ↓ supply O2 ke miokard  perfusi ke miokard
inadekuat  iskemia  kerusakan sel ireversibel dan nekrosis jaringan  infark
miokard  penurunan fungsi ventrikel karena otot miokard yang nekrosis
kehilangan daya kontraksi  penurunan kemampuan ventrikel untuk
mengosongkan diri  stroke volume menurun  hipotensi dan kompensasi untuk
meningkatkan CO  takikardi
Interpretasi : menandakan telah terjadi komplikasi dari STEMI berupa disfungsi
ventricular.
 Bunyi jantung 1 dan 2 menjauh
Mekanisme : infark miokard kontraktilitas ventrikel menurun mengurangi
kekuatan membuka dan mentup katup mitral dan semilunar aorta bunyi jantung
1 dan 2 menjauh
 Ekstremitas dingin
Infark miokard  penurunan fungsi ventrikel karena otot miokard yang nekrosis
kehilangan daya kontraksi  penurunan kemampuan ventrikel untuk
mengosongkan diri  stroke volume menurun  perfusi perifer terganggu
gangguan termoregulasi pada kulit di ekstremitas  ekstremitas dingin

b. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal pada pemeriksaan EKG?


 Terdapat Q patologis pada V1, V2 dan V3.
 Terdapat ST depresi pada lead III
 Terdapat ST elevasi pada lead I, aVL, V1-V6
 Infark miokard anterior ekstensif
ST segment adalah masa dimana akan terjadinya repolarisasi masa ventrikel. Repolarisasi
membutuhkan ATP, dan jika tidak terdapat ATP karena block dari arteri coronaria,
repolarisasi akan gagal dan akan tetap terjadi kontraksi ventrikel, sehingga ST segment
akan terelevasi. EKG ini menunjukkan infark pada anterolateral sisi jantung.

5. Saat perawat selesai memberi O2 kanula nasal dan pemasangan akses i.v, tiba-tiba penderita
dilaporkan tidak sadarkan diri, tidak bernafas dan nadi tidak teraba, pada monitor EKG
didapatkan gambaran:
a. Bagaimana interpretasi dari gambaran EKG? (ferina, atia, ivandra)
Hasil EKG 2:
o Irama = aritmia (fibrilasi ventrikel)
o Heart Rate tidak dapat ditentukan
o Tidak ada gelombang P
o Tidak ada gelombang QRS
o Tidak ada interval PR
o Ventrikular fibrilasi
Ventrikel fibrilasi terjadi akibat iskemia atau infark miokard akut (merefleksikan
instabilitas elektrik yang disebabkan oleh ketidakseimbangan biokimiawi pada
miokard). Ventrikular fibrilasi kemungkinan merupakan aritmia dasar pada mayoritas
pasien dengan kematian jantung mendadak

KILLIP Score :
KILLIP 1 : Pasien tanpa gejala klinis gagal jantung
KILLIP 2 : pasien dengan rales atau crackles di paru, bunyi S3(+), dan Tekanan Vena
Jugular meningkat.
KILLIP 3 : Pasien dengan edema pulmonary akut
KILLIP 4 : Pasien dengan shok kardiogenik atau hipotensi ( tekanan darah sistol <90 mmhg),dan
terdapat vasokonstriksi peripheral (oliguria, sianosis atau berkeringat lebih)
Pada pasien ini termasuk kedalam killip 4 karena ditemukan:
 Berkeringat lebih
 Tekanan darah 80/60 (sistol <90)
 Shock kardiogenik

b. Apa makna klinis tidak sadarkan diri, tidak bernafas dan nadi tidak teraba setelah
diberi O2 kanula nasal?

6. DD
Perikarditis akut, emboli paru, diseksis aorta akut, kostokondirtis,dan gangguan gastrointestinal.
Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada STEMI. Infrak miokard akut dengan elevasi ST(STEMI)
tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes melitus dan usia lanjut.

7. HTD (pemeriksaan penunjang)


8. WD (ferina, atia)
Tn. Rozak, 65 tahun mengalami stemi anterior ekstensif killip 4 dengan komplikasi fibrilasi
ventrikel
9. Etiologi dan Faktor Risiko
1. Faktor biologis yang tidak dapat diubah:
 Usia lebih dari 40 tahun
 Jenis kelamin laki-laki lebih sering dari pada wanita, tetapi insiden pada wanita meningkat
setelah menopause
 Hereditas
 Ras: lebih tinggi insiden pada kulit hitam
2. Faktor risiko yang dapat diubah:
a. Mayor
 Hiperlipidemia
 Hipertensi
 Merokok
 Diabetes
 Obesitas
 Diet tinggi lemak jenuh dan kalori tinggi
b. Minor
 Inaktifasi fisik
 Pola kepribadian tipe A (emosional, agresif, ambisius, dan kompetitif)
 Stress psikologis berlebihan

10. Pathogenesis
Diawali dengan terbentuknya plak aterosklerotik yang terdiri dari inti yang mengandung
banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotik (fibrotic cap) dan adanya

infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima
yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi,
adhesi, dan agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Inti lemak
merupakan bahan terpenting dalam pembentukan trombus yang kaya trombosit, sedangkan sel
otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan dengan ekspresi faktor
jaringan dalam plak tidak stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan berinteraksi
dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan
trombin dan fibrin. Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet dan
platelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokontriksi, dan
pembentukan trombus.
Infrak mikard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika aliran darah koroner
menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu
STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus
arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskular, di mana injuri ini dicetuskan oleh
beberapa faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infrak terjadi jika plak ateroskelorosis mengalami fisur, ruptur
atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistematik memicu trombogenesis, sehingga terjadi
trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis
menunjukkan plak koroner cenderung mangalami ruptur jika mempunyai fiborus cap yang tipis
dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich
red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respons terhadap terapi
trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen,ADP,epinefrin, serotonin)
memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2
( vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi
reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai
afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor
von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat
mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan
agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak. Faktor
VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin, yang kemudian
mengkonservasi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit) kemudian akan
mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang
jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli
koroner, abnormalitas kongenita, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistematik.

11. Penatalaksanaan
Terapi awal
Defibrilasi harus dilakukan secepat mungkin. Jika defibrilasi ridak berhasil, berikan energi
lanjutan sebesar 200 J, kemudian 360 J bila VF masih terjadi. Setelah pemberian kejutan, monitor
EKG sering memperlihatkan garis lurus isoelektrik selama beberapa detik, jadi tunggu beberapa
saat sebelum menilai efeknya. Jika aritmia tetap berlanjut, identifikasi dan koreksi semua faktor
reversible (hipoksemia, hiperkalemia, dan asidosis berat) dan berikan epinefrin IV (1 mg = 1 ml
dari larutan 1:1000 atau 10 ml dari lanjutan 1:10.000) tiap 2-3 menit selama terjadi VF/VT untuk
memperbaiki perfusi koroner dan serebral. Lanjutkan kompresi dada selama 1 menit, kemudia
coba defibrilasi lagi hingga berhasil atau usaha resusitasi gagal. Setelah 2 atau 3 siklus atau 1
menit gagal, pertimbangkan untuk memberi obat antiaritmia seperti lidokain 100 mg IV. Terapi
oksigen pada 6 jam pertama. Morfin untuk mengurangi nyeri dada

Terapi lanjutan
 Terapi reperfusi dini.
Reperfusi farmakologis dengan menggunakan obat-obat fibrinolitik, antara lain tissue
plasminogen activator, streptokinase, tenekteplase, dan reteplase. Jika terapi reperfusi dini
tidak dilakukan dapat dilakukan intervensi koroner perkutan (PCI). PCI efektif dalam
mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan pada jam-jam pertama infark miokard
akut. Pada kasus ini terdapat syok kardiogenik, sehingga tindakan PCI lebih dipilih
dibandingkan terapi reperfusi.
 Terapi farmakologis berikutnya (diluar ruang emergensi) dapat diberikan obat antiplatelet
standar seperti aspirin, beta blocker, dan obat-obat golongan ACE inhibitor.
 Terapi non farmakologi dan preventif agar tidak kembali terulang infark miokard akut yakni
dengan mengurangi asupan makanan yang tinggi kolesterol dan lemak jenuh, mengonsumsi
produk dengan lemak tak jenuh. Selain itu, menghentikan merokok, mengontrol tekanan
darah dengan minum obat secara teratur, serta memperbanyak olahraga aerobik.

12. Pencegahan
13. Komplikasi (ferina, atia)
Disfungsi ventrikular, Gangguan haemodinamik  kongesti paru (ditandai dengan adanya ronkhi
basah diparu dan bunyi jantung S3 dan S4), Syok kardiogenik, Infark ventrikel kanan, Aritmia
pasca STEMI, Ekstrasistol ventrikel, Takikardi dan fibrilasi ventrikel, Takikardia ventrikel,
Fibrilasi ventrikel, Fibrilasi atrium, Aritmia supraventrikular, Asistol ventrikel, Bradiaritmia dan
blok.

Komplikasi mekanik
Ruptur musculus papillaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventrikel

14. Prognosis
15. SKDI
3B

IV. Learning Issue


1. Angina (atia, natasha, addien)
Angina pektoris adalah jenis nyeri dada yang perlu diperhatikan karena merupakan
petunjuk ke arah penyakit jantung koroner dan indikasi untuk mengirim penderita ke Rumah Sakit
guna pemeriksaan lebih lanjut. Untuk mengenal indikasi yang tepat pada penatalaksanaan angina
selanjutnya yaitu kapan silakukan arteriografi koroner, angioplasti koroner ataupun cedah koroner
maka perlu diketahui lebih dulu mengenai jenis angina, prevalensi angina, patigenesa dan perjalanan
penyakitnya serta pemeriksaan yang perlu dilakukan.

A. Jenis Angina
Ada 3 dasar jenis angina yaitu angina stabil, angina tak stabil dan angina variant sebagian besar
penderita angina, kelainan disebabkan karena adanya pembuluh darah koroner yang obstruktif serta
kemungkinan timbul spasme koroner dengan derajat yang bervariasi. Pada angina variant (angina
Prinzmetal) yaitu jenis angina yang jarang, nyeri timbul akibat spasme pembuluh darah koroner
yang normal ataupun ketidak seimbangan antara kebutuhan O2 miokard dengan aliran darah juga dapat
terjadi bukan karena faktor koroner yang dapat menimbulkan angina non-koroner seperti pada :
- Penyakit katup jantung terutama pada stenosis aorta
- Stenosis aorta akibat klasifikasi (non-rematik) yang terjadi pada orang tua atau karena penggantian
katup
- Tahikardi yang intermiten atau menetapkan seperti fibrilasi atrial terutama pada orang tua
- Hipertensi, anemi dan DM yang tidak terkontrol.

B. Prevalansi Angina
Penelitian dari Framingham di Amerika Serikat melaporkan setiap tahunnya 1% dari laki
– laki 30-62 tahun tanpa gejala pada permulaan pemeriksaan akan timbul kemudian gejala
penyakit jantung koroner yaitu dari jumlah tersebut 38 % dengan angina stabil dan
7 % dengan angina tak stabil (Dawber, 1980). Penelitian dari Irlandia mendapatkan insedens angina
pertahun 0,44% pada laki –laki umur 45-54 tahun, sedangkan pada perempuan separuhnya (Greig dkk,
1980).
Diamond dan Forrester 1979 telah mengadakan penelitian untuk mengetahui prevelansi
penyakit jantung koroner dengan nyeri dada jenis angina tipikal, angina apitikal dan nonangina
berdasarkan umur dan jenis kelamin.

Gambar 1. Prevalensi penyakit Jantung koroner pada kelompok gejala yang berbeda berdasarkan umur
dan jenis kelamin

C. Potogenesa
Pola penyakit jantung koroner dapat diketahui berdasarkan hubungan antara jala klinis dengan patologi
endotelial yang dilihat secara angioskopi. Pada perulaan penyakit akan
tampak lapisan lemak pada permukaan pembuluh darah. Bila licin. Bila plak bertambah
besar aliran koroner akan berkurang yang menyebabkan kumpulan platelet pada tempat tersebut.
Kumpulan platelet tersebut akan mengakibatkan lepasnya vasokonstriktor
koroner secara periodik dari aliran darah dan menyebabkan angina yang laju (accelerated
angina) yaitu bentuk peralihan dari angina stabil ke angina tidak stabil. Bila trombus
menyebabkan obstruksi yang total akan terjadi infark miokard. Setelah terjadi infark,
trombus akan lisis oleh proses endogen. Ulserasi endotelial menyembuh dalam beberapa
minggu. Proses penyembuhan kadang – kadang tidak seluruhnya sempurna, seringkali
trombus yang tersisa membentuk sumbatan ke dalam pembuluh darah .

D. Pemeriksaan Khusus pada angina


Pemeriksaan darah rutin, kadar glukosa, lipid dan EKG waktu istirahat perlu dilakukan.
Hasilnya meungkin saja normal walaupun ada penyakit jantung koroner yang berat. EKG
bisa didapatkan gambaran iskemik dengan infark miokard lama atau depresi ST dan T
yang terbalik pada penyakit yang lanjut.
Test exercise selanjutnya perlu dipertimbangkan dengan indikasi sebagai berikut:
- Untuk menyokong diagnosa angina yang dirangsang akibat nyeri dengan perubahan
iskemik pada EKG
- Untuk menilai penderita dengan resiko tinggi serta prognosa penyakit
- Untuk menilai kapasitas fungsional dan menentukan kemampuan exercise
- Untuk evaluasi nyeri dada yang atipik
Jenis test exercise bermacam-macam antara lain test treadmill, protokol Bruce, test
Master dan Sepeda ergometri. Test exercise tidak perlu dilakukan untuk diagnostik pada
wanita dengan nyeri dada non anginal karena kemungkinan penyakit jantung koroner
sangat rendah, sedangkan pada laki-laki dengan angina tipikal perlu dilakukan untuk
menentukan penderita dengan resiko tinggi dimana sebaliknya perlu dibuat arteriografi
koroner. Penderita dengan angina atau perubahan iskemik dalam EKG pada tingkat
exercise yang rendah biasanya penderita yang mencapai beban kamsimum yang rendah
biasanya menderita kelainan pembuluh darah yang multipel dan bermanfaat bila
dilakukan bedah koroner. Bila tekanan darah turun waktu exercise perlu dicurigai adanya
obstruksi pada pembuluh darah utama kiri yang juga merupakan indikasi untuk
pembedahan. Penderita dengan angina atipikal terutama wanita sering memberi hasil
false positif yang tinggi. Sedangkan hasil test yang negatif pada angina atipikal dan non-
angina besar kemungkinannya tidak ada kelainan koroner. Bila hasil exercise test
meragukan perlu dilakukan pemeriksaan radionuklir karena jarang sekali didapatkan hasil
false positif. Thallium scintigrafi menggambarkan perfusi miokard saat istirahat maupun
exercise ataupun gangguan fungsi ventrikel kiri yang timbul akibt exercise.

Pemeriksaan arteriografi koroner sangat akurat untuk menentukan luas dan beratnya
penyakit jantung koroner. Angiografi koroner dilakukan dengan keteterisasi arterial di
bawah anastesi lokal, biasanya pada a. femoralis atau pad a. rakialis. Kateter
dimaksudkan di bawah kontrol radiologis ke ventrikel kiri dan a. koronaria kiri dan
kanan, kemudian dimasukkan kontras media. Lesi yang sering tampak pada angiogram
koroner adalah stenosis atau oklusi oleh ateroma yang bervariasi derajat luas dan
beratnya.

Tidak semua penderita angina harus dilakukan test exercise dan angiografi koroner.
Indikasi penderita angina yang harus dikirim ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih
lanjut adalah sebagai berikut:
- angina yang menyebabkan terbatasnya aktifitas walaupun dengan pemakaian obat-
obatan.
- Angina progresif dan tak stabil
- Angina baru yang timbul terutama bila tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
- Angina dengan kapasitas exercise yang buruk dibandingan dengan penderita pada
umur dan jenis kelamin yang sama.
- Angina dengan gagal jantung
- Angina atipikal pada laki-laki dan wanita di atas 40 tahun.
- Angina post-infark
- Nyeri dada non-anginal yang menetapkan dan tidak dapat didiagnosa pada penderita
usia tua terutama bila ada risiko yang multipel
- Keadaan lainnya seperti keadaan non-kardial yang serius dan umur tua.

E. Penerangan Angina
Penerangan angina bertujuan untuk:
- memperlambat atau menghentikan progresifitas penyakit.
- Memperbaiki kualitas hidup dengan mengurangi frekuensi serangan angina
- Mengurangi atau mencegah infark miokard dan kematian mendadak.

a. Memperbaiki faktor risiko


Walaupun masih diperdebatkan ternyata menurunkan kolesterol darah dalam
jangka lama dapat mengurangi progresifitas penyakit. Pencegahan primer dengan
diet ternyata bermanfaat, bila tidak ada respons dapat diberikan obat-obatan anti
lipid. Exercise dapat menurunkan kolesterol LDL. Pngobatan hipertensi juga
dapat mengurangi progresifits penyakit, demikian juga merokok perlu dilarang.

b. Pemberian obat-obatan
1. Nitrat
Nitrat meningkatkan pemberian D2 miokard dengan dialatasi arteri epikardial
tanpa mempengaruhi, resistensi arteriol arteri intramiokard. Dilatasi terjadi
pada arteri yang normal maupun yang abnormal juga pada pembuluh darah
kolateral sehingga memperbaiki aliran darah pada daerah isomik. Toleransi
sering timbul pada pemberian oral atau bentuk lain dari nitrat long-acting
termasuk pemberian topikal atau transdermal. Toleransi adalah suatu keadaan
yang memerlukan peningkatan dosis nitrat untuk merangsang efek
hemodinamik atau anti-angina. Nitrat yang short-acting seperti gliseril trinitrat
kemampuannya terbatas dan harus dipergunakan lebih sering. Sublingual dan
jenis semprot oral reaksinya lebih cepat sedangkan jenis buccal mencegah
angina lebih dari 5 am tanpa timbul toleransi.
2. Beta- Bloker
Beta –Bloker tetap merupakan pengobatan utama karena pada sebagian besar
penderita akan mengurangi keluhan angina. Kerjanya mengurangi denyut
jantung, kontasi miokard, tekanan arterial dan pemakaian O2. Beta Bloker
lebih jarang dipilih diantara jenis obat lain walaupun dosis pemberian hanya
sekali sehari. Efek samping jarang ditemukan akan tetapi tidak boleh diberikan
pada penderita dengan riwayat bronkospasme, bradikardi dan gagal jantung.
3. Ca-antagonis
Kerjanya mengurangi beban jantung dan menghilangkan spasma koroner,
Nifedipin dapat mengurangi frekuensi serangan anti-angina, memperkuat efek
nitrat oral dan memperbaiki toleransi exercise. Merupakan pilihan obat
tambahan yang bermanfaat terutama bila dikombinasi dengan beta-bloker
sangat efektif karena dapat mengurangi efek samping beta bloker. Efek anti
angina lebih baik pada pemberian nifedipin ditambah dengan separuh dosis
beta-bloker daripada pemberian beta-bloker saja.

Jadi pada permulaan pengobatan angina dapat diberikan beta-bloker di samping


sublingual gliseril trinitrat dan baru pada tingkat lanjut dapat ditambahkan
nifedi-pin. Atau kemungkinan lain sebagai pengganti beta-bloker dapat diberi
dilti azem suatu jenis ca-antagonis yang tidak merangsang tahikardi. Bila
dengan pengobatan ini masih ada keluhan angina maka penderita harus
direncanakan untuk terapi bedah koroner. Pengobatan pada angina tidak stabil
prinsipnya sama tetapi penderita harus dirawat di rumah sakit. Biasanya
keluhan akan berkurang bila ca-antagonis ditambah pada beta-bloker akan
tetapi dosis harus disesuaikan untuk mencegah hipertensi. Sebagian penderita
sengan pengobatan ini akan stabil tetapi bila keluhan menetap perlu dilakukan
test exercise dan arteriografi koroner. Sebagian penderita lainnya dengan risiko
tinggi harus diberi nitrat i.v dan nifedipin harus dihentikan bila tekanan darah
turun. Biasanya kelompok ini harus segera dilakukan arteriografi koroner untuk
kemudian dilakukan bedah pintas koroner atau angioplasti.

4. Antipletelet dan antikoagulan


Segi lain dari pengobatan angina adalah pemberian antipletelet dan
antikoagulan. Cairns dkk 1985 melakukan penelitian terhadap penderita
angina tak stabil selama lebih dari 2 tahun, ternyata aspirin dapat menurunkan
mortalitas dan insidens infark miokard yang tidak fatal pada penderita angina
tidak stabil. Pemberian heparin i.v juga efeknya sama dan sering diberikan
daripada aspirin untuk jangka pendek dengan tujuan menstabilkan keadaan
penderita sebelum arteriografi. Terdapat obat-obatan pada angina pektoris tak
stabil secara praktis dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Heparin i.v dan aspirin dapat dianjurkan sebagai pengobatan rutin selama
fase akut maupun sesudahnya
- Pada penderita yang keadaannya cenderung tidak stabil dan belum
mendapat pengobatan, beta-bloker merupakan pilihan utama bila tidak ada
kontra indikasi. Tidak ada pemberian kombinasi beta-bloker dengan ca-
antagonis diberikan sekaligus pada permulaan pengobatan.
- Pada penderita yang tetap tidak stabil dengan pemberian beta-bloker dapat
ditambah dengan nifedipin.
- Pengobatan tunggal dengan nifedipin tidak dianjurkan.
c. Bedah pintas koroner (Coronary Artery Bypass Graft Surgery)
Walupun pengobatan dengan obat-obatan terbaru untuk pengobatan angina dapat
memeperpanjang masa hidup penderita, keadaan tersebut belum dapat dibuktikan
pada kelompok penderita tertentu terutama dengan penyakit koroner proksimal
yang berat dan gangguan fungsi ventrikel kiri dengan risiko kerusakan mikardium
yang luas (Rahimtoola 1985).
Pembedahan lebih bagus hasilnya dalam memperbaiki gejala dan kapasitas
exercise pada angina sedang sampai berat. Perbaikan gejala angina didapatkan
pada 90% penderita selama 1 tahun pertama dengan kekambuhan setelah itu 6%
pertahun. Kekambuhan yang lebih cepat biasanya disertai dengan penutupan graft
akibat kesulitan teknis saat operasi sedangkan penutupan yang lebih lama terjadi
setelah 5 – 12 tahun sering karena adanya graft ateroma yang kembali timbul
akibat pengaruh peninggian kolesterol dan diabetes.

Penelitian selama 10 tahun mendapatkan kira-kira 60% graft vena tetap baik
dibandingkan dengan 88% graft a. mamaria interna. Mortalitas pembedahan
tidak lebih dari 2% akibat risiko yang besar pada penderita angina tak stabil
dengan fungsi ventrikel kiri yang buruk. Resiko meninggi pada umur lebih dari 65
tahun akibat penyakit yang lebih berat terutama pada kerusakan ventrikel kiri
walaupun memberikan respons yang baik dengan graft dan sekarangpun
pembedahan biasa dilakukan pada penderita umur 20 tahun. Morbiditas
pembedahan juga tidak sedikit yaitu sering didapatkan perubahan neuropsikiatrik
sementara dan insidens stroke 5%. Akan tetapi kebanyakan penderita lambat laun
akan kembali seperti semula.

d. Ercutaneous transluminal Coronary Angioplasaty (PTCA)


Pada bebrapa negara 30% penderita dilakukan dilatasi stenosis koroner dengan
balon. Mula-mula indikasinya terbatas pada lesi koroner yang tunggal akan tetapi
sekarang juga dilakukan pada penyakit pembuluh darah multipel. Tekhnik ini
dilakukan dengan anestesi lokal dan biasanya perawatan di rumah sakit tidak
lebih dari 3 hari. Risiko oklusi pembuluh darah dan infark miokard didapatkan
5%. 25% stenosis kembali dalam waktu 6 bulan dan perlu diulang kembali,
sedangkan 75% berhasil untuk waktu yang lama. Pemilihan penderita yang tepat
untuk dilakukan PTCA memberi hasil yang aman dan sangat efektif untuk
memperbaiki angina stabil dan angina tak stabil walaupun belum ada percobaan
kontrol yang membandingkan dengan bedah koroner.

e. Penderita penanganan angina berdasarkan tingkatan risiko


Penanganan secara sistematik dan rasional pada penderita angina pektoris dapat
disimpulkan sebagai berikut:
Penderita yang telah ditentukan kelompok risiko tinggi dengan parameter non-
invasif merupakan indikasi untuk arteriografi koroner. Bila arteriografi
menunjukkan kelainan a.koronaris pada 3 pembuluh darah atau pembuluh darah
uatama kiri dan diperkirakan dengan pembedahan dapat mempebaiki prognosa
maka merupakan indikasi untuk CABG. PTCA dipertimbangkan pada lesi
proksimal yang kritis walaupun manfaatnya belum dapat dilakukan operasi karena
risiko operasi yang tinggi atau alasan lainnya.
Penderita yang secara non-invasif ditentukan sebagai kelompok risiko tinggi dan
pada arteriografi koroner dengan 1 atau 2 kelaianan pembuluh darah serta fungsi
ventrikel kiri yang normal, tetapi bila gejala tidak terkontrol, pilihan pertama
adalah PTCA tidak berhasil atau tidak dapat dilakukan karena alasan lain.

2. Sindrom Koroner (ivandra, amir, nuriasani)


3. PJK (yusti, yoga, maya, ferina)

Hipotesis
Tn. Rozak, umur 65 tahun, datang ke ruang emergensi dengan keluhan nyeri dada kiri sejak 3
jam sebelum masuk rumah sakit diduga disebabkan oleh sindrom koroner akut.

Anda mungkin juga menyukai