Anda di halaman 1dari 12

Shalat Fardu (Shalat Lima Waktu)

Shalat yang yang diwajibkan bagi tiap-tiap orang yang dewasa dan berakal adalah lima kali dalam sehari
semalam. Mula-mula turunnya perintah wajib shalat itu adalah pada malam Isra, setahun sebelum tahun
hijriyah.

Terdapat perbedaan pendapat dikalangan Ulama tentang jumlah bilangan shalat yang difardukan.
Jumhur Ulama, termasuk Malik dan Syafi’i, berpendapat Bahwa jumlah shalat yang wajib hanya lima,
sebagai mana yang disebutkan dalam hadist tentang mi’raj, yaitu : subuh, duhur, ashar, maghrib, dan
isya. Disamping hadist mi’raj, terdapat hadist lain yang meriwayatkan seorang arabiy datang kepada Nabi
dan bertanya tentang islam. Beliau bersabda : “ lima shalat sehar semalam ”. ketika orang itu bertanya
lagi : “apakah ada yang wajib bagiku selain itu ?” Nabi menjawab : ” tidak ada, kecuali engkau ber-
tathawu.”

Namun, abu Hanifah dan para pengikutnya menganggap shalat witir termasuk shalat wajib, sehingga
bilangan shalat fardu ada enam. Ia melandasi pendapatnya dari hadist Nabi, diantaranya berasal dari
syu’aib, yang menyatakan bahwa nabi bersabda :

“Allah telah menambahkan sebuah shalat bagi kamu yaitu witir. Oleh kareana itu , hendaklah kamu
memeliharanya.”

Disamping itu, ada hadist dari Buraidah Al-Islamiy yang mengatakan bahwa Rasulullah bersabda :

“shalat witir itu hak (benar) maka barang siapa tidak melakukannya, dia bukan dari (umat) kami.”

Waktu-waktu Shalat

Allah berfirman dalam surat an-Nisa ayat 103: “sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang di
tentukan waktunya bagi orang-orang beriman.”

Ketetapan hukum islam yang diperoleh dari nash al qur’an dan sunnah yag qath’i dan sharih adalah
bersifat universal dan fix, dan nerlaku berlaku untuk seluruh umat mansia sepanjang masa. Namm,
sesuai dengan asas-asas hukum islam yang fleksibel. Praktis, dan tidak menyulitkan dalam batas
jangkauan kemampan manusia sejalan dengan kemaslahatan umm dan kemajuan zaman, dan sesuai
pula dengan rasa keadilan, maka ketentuan waktu shalat berdasarkan al qur’an surat al-isra ayaat 78 dan
al-baqorah ayat 187 tidak berlaku untuk seluruh daerah bumi, melainkan hanya berlaku di zone bumi
yang noramal, yang perbedaan waktu siang dan malamnya relatif kecil, yakni di daerah-daerah
khatulistiwa (ekuator) dan tropis (daerah khatulistiwa sampai garis paralel 45o dari garis lintang utara
dan selatan). Lebih dari tiga perlima bumi yang dihuni manusia termasuk di daerah yang normal, ialah
selruh Afrika, Timur tengah, India, Pakistan, Cina, Asean, Australia, dan seluruh Amerika (Kecuali Canada
dan sedikit daerah selatan dari Argentina- Chili), dan Oceania. Maka waktu Shalat bagi masyarakat Islam
yang tinggal di daerah-daerah normal tersebut adalah waktu setempat ( local time) berdasarkan waktu
terbit dan tenggelam matahari di daerah-daerah yang bersangkutan yang perbedaan waktunya sekitar
satu menit setiap jarak 15 mil.

Adapun waktu shalat bagi masyarakat islam yang tinggal diluar daerah khatulistiwa dan tropis yakni di
daerah-daerah diluar garis paralel 45o dari garis litang utara dan selatan yang abnormal itu, karena
perbedaan siang dan malamnya terlalu besar terutama di daerah sekitar kutub yang 6 bulan dalam
keadaan siang terus menerus dan 6 bulan berikutnya dalam keadaan malam, adalah mengikuti waktu
shalat di daerah normal yang terdekat yakni pada garis paralel 45o dari garis lintang utara dan selatan.

Karena itu bagi masyarakat islam yang tinggal misalnya di negeri Belanda, Inggris, dan negara-negara
Skandivania mengikuti waktu shalatnya dengan waktu bordeaux (Prancis bagian selatan), yang terletak di
garis paralel 45o dari garis lintang utara. Demikian pula bagi masyarakat Islam yang tinggal di Amerika
Utara mengikuti waktu shalat dengan waktu Halifax atau Portland (Canada).

Adapun dalil syar’i yang memberikan dispensasi (hukum rukhsah, istilah Fiqh) bagi masyarakat Islam
yang tinggal di daerah-daerah yang abnormal untuk mengikuti waktu shalat dari daerah normal yang
terdekat, antara lain menurut surat Al-baqarah ayat 286:

‫ل يكلف ا نفسا أل وسعها‬

“Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Masail Fiqhiyyah. 1993:
274-275)
Adapun waktu bagi masing-masing shalat yang 5 waktu tersebut (Fiqih Islam. 2001: 61-62) adalah
sebagai beikut:

1) Shalat Dzuhur. Awal waktunya adalah setelah tergelincir matahari dari pertengaahan langit. Akhir
waktunya apabila bayang-bayang sesuatu telah sama dengan panjangnya selain dari bayang-bayang
ketika matahari menonggak (tepat diatas ubun-ubun).

2) Shalat Ashar. Waktunya dimulai dari habisnya waktu dzuhur; bayang-bayang sesuatu lebih dari pada
panjangnya selain dari bayang-bayang ketika matahari sedang menonggak, sampai terbenam matahari.

3) Shalat Maghrib. Waktunya dari terbenam matahari sampai terbenam syafaq (mega) merah.

4) Shalat Isya. Waktinya mulai dari terbenamnya syafaq merah (sehabis waktu maghrib) sampai terbit
fajar kedua.

5) Shalat Shubuh. Waktunya mulai dari terbit fajar kedua sampai terbit matahari.

Shalat Jama’ah

Apabila dua orang shalat bersama-sama dan salah seorang diantara mereka mengikuti yang lain,
keduanya dinamakan shalat berjama’ah. Orang yang diikuti (di hadapan) dinamakan imam, sedangkan
yang mengikuti dibelakang dinamakan ma’mum. (Fiqih Islam. 2001: 106)

Shalat jama’ah (Fiqih Isalam Praktis. 1995: 198) juga bisa tercapai dengan shalat seorang laki-laki di
rumah bersama istrinya dan yang lainnya. Akan tetapi, di dalam masjid itu lebih utama dengan lebih
banyak orang. Dan seandainya di dekat masjid itu jama’ahnya sedikit dan yang jauh jama’ahnya banyak
maka yang jauh itu lebih utama kecuali dalam dua hal atau keadaan.

Pertama : bila yang dekat sedikit jama’ahnya.

Kedua : bila Imam yang jauh itu orang yang berbuat bid’ah dan orang fasik.

Rasulullah senantiasa melaksanakan shalat fardhu berjama’ah, sebagaimana dijelaskan dalam ayat dan
beberapa hadits berikut:

“apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat
bersama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu.’’ (QS. An-nisa:
102).

Adapun hadits Nabi yang menjelaskan hal ini diantaranya:

“sesungguhnya saya telah bermaksud untuk menyuruh seseorang memimpin dan melaksanakan shalat
dengan orang banyak, kemudian saya pergi dan dengan beberapa orang yang membawa kayu bakar, ke
tempat orang yang tidak menghadiri shalat itu dan membakar rumah-rumah meraka dengan api.’’
( HR.Bukhori dan Muslim)

Dalam hadits lain disebutkan: “ shalat berjama’ah lebih utama ketimbang shalat sendirian dengan dua
puluh tujuh derajat’’ (HR. Bukhari dan Muslim) dalam (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 46)

Shalat ‘Idain
Shalat ‘idain (Shalat dua hari Raya) termasuk sunah muakadah yang disyari’atkan berdasarkan al qur’an,
as-sunnah, dan ijma’. Dalil al-Qur’an dapat dijumpai dalam Q.S Al Kautsar ayat 2 yang artinya:” maka
dirikanlah shalat, karena tuhanmu; dan berkorbanlah.”

shalat dalam ayat tersebut ditafsirkan sebagai perintah shalat idul adha namun, perintah itu tidak
menunjukan wajib, sebab ada hadist riwayat bukhori dan muslim bahwa seseorang (‘arabiy) setelah
mendapatkan penjelasan tentang kewajiban shalat fardu, bertanya kepada Nabi : “apakah masih ada
shalat yang wajib atasku selain itu ?” beliau menjawab : “tidak, kecuali bila engkau hendak melakukan
tatthawu.” (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 48)

Hadits Nabi Saw.:

‫قا ل رسو ل ا صلى ا عليه و سلم أ لفطر يوم يفطر ا لنا س و الضحى يوم يضحى ا لناس ) روه ا‬: ‫عن عا ئشة رضي ا ل عنها قا لت‬
( ‫لتر مذي‬

Artinya: Dari Aisyah r.a. dia berkata: Rasulullah Saw. Bersabda : Fithri itu ialah hari orang-orang berbuka
puasa dan Adha itu ialah hari orang-orang berqurban. (H.R.At Turmudziy)

Dalam Hadits tersebut terkandung dalil bahwa yang perlu di perhatikan dalam penetapan hari raya itu
ialah kesepakatan orang banyak dan orang yang hanya sendirian mengetahui Hari raya dengan melihat
Bulan, harus atasnya di cocokkan dengan oranglain dan dia harus mengikuti keputusan orang banyak
dalam penentuan shalat Hari raya, berbuka dan berkurban. (Terjemahan Subulus salam. 1991: 259)

Pelaksanaan shalat ‘Idain (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 48) ini, menrut kesepakan ulama,
dituntut secara berjama’ah. Abu Hanifah dan ulama lainnya mengatakan tuntutan melakukan shalat ‘id
hanya ditunjukan kepada orang yang bertempat tinggal di kota. Namun, menurut Syafi’i, tuntutan itu
berlaku secara luas, meliputi orang musafir, perempuan dan budak bahkan orang yang sedirian. Waktu
shalat ‘id itu sejak matahari sampai kepada waktu zawal, dan sebaiknya dilaksanakan setelah matahari
naik setinggi tombak.

Shalat Istisqa

Shalat istisqa (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 49) dilakukan dalam rangka memohon turunnya
hujan. Ulama sepakat, bila kebutuhan akan air menjadi sulit karena lama tidak turun hujan, disunahkan
melakukan istisqa, pergi keluar kota, berdo’a, memohon agar Allah menurunkan hujan. Mayoritas
mereka memasukan shalat sebagai istisqa dari upacara istisqa itu, namun Abu Hanifah tidak memandang
demikian.

Hukum shalat Istisqa adalah sunnah muakkad, yaitu apabila shalat itu dilaksanakan ketika membutuhkan
air, dengan tata cara- tata caranya. ( Fiqih empat Madzhab. 1994: 318)

Dalam kitab “al hudan nabawiy” telah dihitung macam-macam cara nabi saw, melakukan minta hujan
itu.

Pertama : keluarnya Nabi saw. menuju tempat shalatnya dan khutbahnya sambil memohon.

Kedua : beliau meminta hujan itu pada hari jum’at di atas mimbar sewaktu tengah khutbahnya.

Ketiga : beliau berdo’a minta hujan di atas mimbar di madinah, dengan do’a minta hujan saja bukan pada
hari jum’at tanpa melakukan shalat meminta hujan.

Keempat : bahwa beliau meminta hujan sewaktu beliau duduk dalam mesjid, beliau mengangkat
tangannya sambil berdo’a kepada Allah SWT.
Kelima : bahwa nabi saw. Pernah berdo’a minta hujan itu dengan duduk pada batu licin dekat zaura
(nama tempat yang menjadi pasar pada masa utsman) yaitu suatu tempat di luar pintu mesjid

Keenam : beliau pernah berdo’a minta hujan pada suatu peperangan, karena sumber mata air sudah
dahulu dikuasai oleh kafir musyrik (musuhnya). Lalu mulai saat itu juga pada daerah yang dikuasai Nabi
saw. diturunkan hujan. (Terjemahan Subulus salam. 1991: 316)

Shalat Tahiyat masjid

Orang yang masuk masjid disunatkan melakukan salat dua raka’at, sebelum duduk, sebagai
penghormatan (tahiyat) masjid, sesuai hadits Nabi:” jika seseorang diantara kamu datang ke masjid,
maka hendaklah ia melakukan shalat dua raka’at.’’ Tatapi, jika ia masuk ketika shalat jama’ah akan
dimulai, ia tidak di tuntut lagi melakukannya. Lagipula, penghormatan terhadap masjid itu telah tercapai
dengan melekukan shalat wajib tersebut.

Jika seseorang masuk ke masjid pada hari jum’at ketika Imam sedang menyampaikan khotbah, hendaklah
ia melakukan shalat tahiyatul masjid dengan ringkas. Dalam suatu riwayat dikatakan:” apabila seseorang
diantara kamu datang ketika Imam sedang berkhotbah, maka hendaklah ia shalat dua raka’at, dan
hendaklah ia melakukannya dengan ringkas.” (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 50)

Sabda Rasulullah Saw:


‫ رواه البخارى و مسلم‬. ‫عن أ بى قتادة قال رسول ا صلى ا ل عليه و سلم أذا دخل أحدكم ا لمسجد فل يجلس حتى يصلى ركعين‬

Dari Abu Qatadah, “Rasulullah Saw. Berkata, ‘Apabila salah seorang diantara kamu masuk ke mesjid,
maka janganlah duduk sebelum shalat dua rakaat dahulu’.“ (Riwayat Bukhari dan Muslim) dalam (Fiqih
Islam. 2001: 146)

Shalat Dhuha

Shalat Dhuha ialah shalat sunnat dua rakaat atau lebih. Sebanyak-banyaknya dua belas rakaat. Shalat ini
dikerjakan ketika waktu dhuha, yaitu waktu matahari naik setinggi tombak yaitu kira-kira pukul 8 atau
pukul 9 sampai tergelincir matahari.

Dari Abu Hurairah, Ia berkata,”Kekasihku (Rasulullah saw.) telah berpesan kepadaku tiga macam pesan:
(1) Puasa tiga hari setiap bulan, (2) Shalat Dhuha dua rakaat, dan (3) Shalat Witir sebelum tidur.” (Riwayat
Bukhari dan Muslim) dalam (Fiqh Islam. 2001: 147)

Shalat Dhuha hukumnya Sunnat menurut pendapat tiga Imam Madzhab. Malikiyyah menyangkal
pendapat itu. Mereka berpendapat bahwa shalat Dhuha itu hukumnya mandub muakkad, bukan sunnat.
Adapun waktunya adalah sejak matahari menyingsing sebatas ketinggian satu tombak hingga tergelincir
(zawal). Yang lebih utama hendaknya ia memulai shalat itu setelah seperempat siang. Batas minimal
shalat dhuha adalah dua rakaat. Sedangkan maksimalnya 8 rakaat. Apabila Ia menambah jummlah
rakaatnya lebih dari batas itu karena sengaja dan tahu dengan berniat shalat dhuha, maka selebihnya
dari 8 rakaat itu tidak sah. Sedangkan apabila hal tersebut ia lakukan karena lupa dan tidak tahu, maka
menurut Syafi’iyah dan Hanabillah ia sah sebagai shalat nafilah mutlak.(Fiqih empat Madzhab. 1994:
269)
Shalat Tahajud

Shalat sunnah tahajud utama dilakukan pada waktu malam setelah tidur terlebih dahulu. Keutamaan ini
terkait dengan beratnya melakukan shalat setelah tidur dan juga terkait dengan pelaksanaannya pada
saat manusia sedang tidur dan lalai mengingat Allah. Waktu yang terbaik baginya pada akhir malam
sesuai dengan ayat 17-18 dari Surat Al-dzariyyat.” Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di
akhir malam-malam mereka memohon (kepada Allah).”

Bila malam dibagi tiga, maka sepertiga bagian setelah tengah malam merupakan waktu terbaik.
Sebagaimana diriwayatlkan Umar bahwa shalat yang paling disukai Allah adalah shalat Nabi Daud. Ia
tidur sepuluh malam, kemudin bangkit berdiri (shalat) sepertiganya, dan tidur lagi seperenamnya.
(Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 49)

Sabda Rasulluh Saw.:

‫ روه مسلم و غيره‬.‫عن أ بي هريرة لما سئل ا لنبى صلى ا ل عليه و سلم أ ى ا لصلة افضل بعد ا لمكتوبة ؟ قا ل ا لصلة فى جوف ا لليل‬

Dari Abu Hurairah, tatkala Nabi Saw. Ditanya orang,’ Apakah shalat yang lebih utama selain dari shalat
fardhu yang lima?’ Jawab Beliau,” Shalat pada waktu tengah malam.” (Riwayat Muslim dan lainnya)
dalam ( Fiqih islam. 2001: 148)

Shalat Jum’at
Shalat Jum’at (Fiqih Islam. 2001: 123) ialah shalat dua raka’at sesudah khatbah pada waktu dzuhur pada
hari jum’at. Hukum shalat jum’at itu adlah fardhu a’in, artinya wajib atas setiap laki-laki dewasa yang
beragama Islam, merdeka, dan tetap di dalam Negeri. Perempuan, kanak-kanak, hamba sahaya, dan
orang yang sedang dalam perjalanan tidak wajib shalat jum’at.

Firman Allah Saw.:

9 : ‫ الجمعه‬.‫يا أ يها ا لذ ين أ منوا أذا نودى للصلوة من يو م الجمعة فا سعو األى ذ كر ا ل و ذرواالبيع‬

“ Hai orang-orang yang beriman, apabila di seru untuk menunaikan shalat pada hari jum’at, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (Al-jumu’ah: 9)

Yang dimaksud ”jual beli” ialah segala pekerjaan selain dari urusan shalat.

Ada sebagian Ulama yang berpendapat bahwa shalat jum’at merupakan fardu kifayah. Bahkan, Imam
Malik menganggapnya sunat. Sebab perbedaan pendapat ini karena shalat jum’at hampir sama dengan
shalat Id (Meteri pendidikan Agama islam. 2001: 41)

Pendapat Ibnu Hanbal (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 42) Orang yang wajib shalat jum’at haram
melakukan Safar, meninggalkan wilayah setelah tergelincir matahari pada hari jum’at, kecuali ia yakin
dapat melaksanakannya di perjalanan. Hukum ini berlaku juga bagi perjalanan sebelum tergelincir
matahari, sebab kewajiban shalat tersebut terkait dengan hari jum’at.

Abu Abdullah bin Hamid (Rahasia di Balik Shalat. 2003: 30) mengatakan: Barang siapa mengingkari
wajibnya jum’at berarti telah kufur. Jika ia mengerjakannya empat rakaat namun meyakini wajibnya,
yaitu dengan mengatakan bahwa shalat jum’at itu adalah shalat dzuhur yang pendek, maka ia tidak
kufur, jika tidak demikian maka ia kufur.
Shalat Rawatib

Shalat Rawatib ialah shalat sunnah yang dikerjakan sebelum dan sesudah shalat fardhu. Seluruh shalat
sunnah rawatib ini ada 22 raka’at, yaitu:

a) 2 raka’at sebelum shalat shubuh (sebelum shalat shubuh tidak ada sunnah ba’diyah)

b) 2 raka’at sebelum shalat zhuhur, 2 atau 4 ra’kaat sesudah shalat dzuhur)

c) 2 raka’at atau 4 raka’at sebelum shalat ashar (sesudah shalat ashar tidak ada sunnah ba’diyah)

d) 2 raka’at sesudah shalat maghrib

e) 2 raka’at sebelum shalat isya

f) 2 raka’at sesudah shalat isya

Di antara shalat-shalat tersebut ada yang di namakan “sunnah muakkad” artinya sunnah yang sangat
kuat, yaitu:

a) 2 raka’at sebelum shalat dzuhur, dengan niatnya:

‫ ا ل أ كبر‬. ‫أ صلى سنة ا لظهر ركعتين قبلية ل تعلى‬

Artinya:

“ aku niat shalat sunnah sebelum dzuhur dua raka’at karena Allah Ta’ala. Allahu akbar.”

b) 2 raka’at sesudah dzuhur

c) 2 raka’at sebelum ashar

d) 2 raka’at sesudah maghrib

e) 2 raka’at sebelum isya

f) 2 raka’at sesudah isya

Shalat-shalat tersebut, yang dikerjakan sebelum shalat fardhu dinamakan “Qabliyyah”, dan yang
dikerjakan sesudah shalat fardhu dinamakan “Ba’diyyah”.
Ketentuan-ketetuan shalat Rawatib:

a) Niatnya menurut macam shalatnya

b) Tidak dengan adzan dan iqamah

c) Dikerjakan tidak dengan berjama’ah

d) Bacaannya tidak dinyaringkan

e) Jika lebih dari dua raka’at, tiap-tiap dua raka’at satu salam

f) Diutamakan sebaiknya tempat mengerjakan pindah bergeser sedikit dari tempat shalat fardhu yang
baru dikerjakan. (Risalah Tuntunan shalat lengkap. 2011: 80-83)

Anda mungkin juga menyukai