Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

AGAMA ISLAM

IPTEK DAN SENI DALAM


PANDANGAN ISLAM

Disusun oleh:

1. Alfain Homis Fadil 185080507111031


2. Gumpita Windy Distiyanti 185080501111039
3. Khalimatus Sya;diyyah 185080501111031
4. Luthfi Wajar Anansa 185080501111017

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peran islam dalam perkembangan iptek pada dasarnya ada 2 macam.
Pertama, menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan.
Paradigma inilah yang seharusnya dimiliki umat islam, bukan paradigma
sekular seperti yang ada sekarang. Paradigma islam ini menyatakan bahwa
Aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran (qa’idah fikriyah) bagi
seluruh ilmu pengetahuan. Kedua, menjadikan Syariah Islam (yang lahir
dari Aqidah Islam) sebagai standar bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan
sehari-hari. Standar Syariah ini mengatur, bahwa boleh tidaknya
pemanfaatan iptek, didasarkan pada ketentuan halal-haram (hukum-hukum
syariah islam).
Kita tentu tau bahwa, perkembangan teknologi dari masa ke masa
semakin maju, salah satu bukti nyata adalah mendapatkan informasi apa
yang kita inginkan melalui sebuah handphone, selain itu perkembangan
teknologi juga mempengaruhi pendidikan, industri, perbankan, dll.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia, yang kini dipimpin oleh
peradaban barat satu abad terakhir ini, mencengangkan banyak orang di
berbagai penjuru dunia. Kesejahteraan dan kemakmuran material (fisikal)
yang dihasilkan oleh perkembangan iptek modern membuat orang lalu
mengagumi dan meniru-niru gaya hidup peradaban barat tanpa dibarengi
sikap kritis terhadap segala dampak negatif yang diakibatkannya.
Oleh karena itu, tentunya agama islam mempunyai peran penting
didalamnya, salah satu diantaranya adalah bagaimana cara agar orang
mukmin bisa menggunakan teknologi tersebut tanpa terpengaruh dengan
hal-hal negatif di dalamnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan iptek dan seni?
2. Apa yang dimaksud paradigma hubungan agama dan iptek?
3. Apa yang dimaksud integrasi iptek dan seni dalam islam?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimakud dengan iptek dan seni.
2. Untuk mengetahui dan memahami hubungan afgama dan iptek.
3. Untuk mengetahui integrasi iptek dan seni dalam islam.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Iptek

Berbagai definisi tentang sains, teknologi dan seni telah diberikan oleh para
filosuf, ilmuwan dan budayawan seolah-olah mereka mempunyai definisi
masing-masing sesuai dengan apa yang mereka senangi.
Sains di-Indonesiakan menjadi ilmu pengetahuan, sedangkan dalam sudut
pandang filsafat ilmu, pengetahuan dengan ilmu sangat berbeda maknanya.
Pengetahuan adalah segala sesusatu yang diketahui manusia melalui tangkapan
panca indera, instuisi, dan diklasifikasi, diorganisasi, disistematisasi dan
diinterprestasi, kebenarannya, dan dapat diuji ulang secara ilmiah. Secara
etimologis kata ilmu berarti “kejelasan”, karena itu segala yang terbentuk dari
akar katanya mempunyai ciri kejelasan.

Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 845 kali dalam al-Qur’an.
Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dari obyek
pengetahuan sehingga memperoleh kejelasan.

Dalam kajian filsafat, setiap ilmu membatasi diri pada salah satu bidang
kajian. Sebab itu seseorang yang memperdalam ilmu tertentu disebut sebagai
spesialis, sedangkan orang yang banyak tahu tetapi tidak mendalam disebut
generalis. Karena keterbatasan kemampuan manusia, maka sangat jarang
ditemukan orang yang menguasai beberapa ilmu secara mendalam.

Teknologi adalah produk ilmu pengetahua. Dalam sudut pandang budaya,


teknologi merupakan salah satu unsur budaya sebagai hasil penerapan praktis
dari ilmu pengetahuan. meskipun pada dasarnya teknologi juga memiliki
karakteristik obyektif dan netral. Dalam situasi tertentu teknologi tidak netral
lagi karena memiliki potensi untuk merusak dan potensi kekuasaan. Di sinilah
letak perbedaan ilmu pengetahuan dengan teknologi.

Teknologi dapat membawa dampak positif berupa kemajuan dan


kesejahteraan bagi manusia juga sebaliknya dapat membawa dampak negatif
berupa ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan manusia dan
lingkungannya yang berakibat kehancuran alam semesta. Netralitas teknologi
dapat digunakan untuk kemanfaatan sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia
atau digunakan untuk kehancuran manusia itu sendiri.

Dalam pemikiran sekuler perennial knowledge (pengetahuan abadi) yang


bersumber dari wahyu Allah tidak diakui sebagai ilmu, bahkan mereka
mempertentangkan antara wahyu dengan akal, agama dipertentangkan dengan
ilmu. Sedangkan dalam ajaran Islam wahyu dan akal, agama dan ilmu sejalan
tidak boleh dipertentangkan. Memang demikian adanya karena hakikat agama
adalah membimbing dan mengarahkan akal.

B. Paradigma Hubungan Agama dan Iptek

Perkembangan iptek adalah hasil dari segala langkah dari pemikiran untuk
memperluas, memperdalam, dan mengembangkan iptek. Agama yang
dimaksud di sini, adalah agama Islam, yaitu agama yang diturunkan Allah
SWT kepada Nabi Muhammad SAW, untuk mengatur hubungan manusia
dengan Penciptanya (dengan aqidah dan aturan ibadah), hubungan manusia
dengan dirinya sendiri (dengan aturan akhlak, makanan, dan pakaian), dan
hubungan manusia dengan manusia lainnya (dengan aturan mu’amalah dan
uqubat/sistem pidana).

Bagaimana hubungan agama dan iptek? Secara garis besar, berdasarkan


tinjauan ideologi yang mendasari hubungan keduanya, terdapat tiga jenis
paradigma:
Pertama, paradigma sekuler, yaitu paradigma yang memandang agama dan
iptek adalah terpisah satu sama lain. Sebab, dalam ideologi sekulerisme Barat,
agama dipisahkan dari kehidupan (fashl al-din ‘an al-hayah). Agama tidak
dinafikan eksistensinya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubugan pribadi
manusia dengan tuhannya. Agama tidak mengatur kehidupan umum (public).
Paradigma ini memandang agama dan iptek tidak bisa mencampuri dan
mengintervensi yang lainnya. Agama dan iptek sama sekali terpisah baik secara
ontologis (berkaitan dengan pengertian atau hakikat dari sesuatu), dan
aksiologis (berkaitan dengan cara menerapkan pengetahuan).

Paradigma ini mencapai kematangan pada akhir abjad XIX di Barat sebagai
jalan keluar dari kontradiksi ajaran Kristen (khususnya teks Bible) dengan
penemuan ilmu pengetahuan modern. Semula ajaran Kristen dijadikan standar
kebenaran ilmu pengetahuan. Tapi ternyata banyak ayat Bible yang
berkontradiksi dan tidak relevan dengan fakta ilmu pengetahuan. Contohnya,
menurut ajaran gereja yang resmi, bumi itu datar seperti halnya meja dengan
empat sudutnya. Padahal faktanya, bumi itu bulat berdasarkan penemuan ilmu
pengetahuan yang diperoleh dari hasil pelayaran Magellan.

“Kemudian daripada itu, aku melihat empat malaikat berdiri pada keempat
penjuru angin bumi dan mereka menahan keempat angina bumi, supaya
jangan ada angina bertiup di darat, atau di laut, atau di pohon-pohon.”
(Wahyu-Wahyu 7:1)
Kalau konsisten dengan teks Bibel, menurut Adian Husaini, maka fakta
sains bahwa bumi bulat tentu harus dikalahkan oleh teks Bibel. Ini tidak masuk
akal dan problematis. Maka, agar tidak problematis, ajaran Kristen dan ilmu
pengetahuan akhirnya dipisah satu sama lain dan tidak boleh saling intervensi.

Kedua, paradigma sosialis, yaitu paradigma dari ideologi sosialisme yang


menafikan eksistensi agama sama sekali. Agama itu tidak ada hubungan dan
kaitan atau hubungan iptek. Iptek bisa berjalan secara independen dan lepas
secara total dari agama. Paradigma ini mirip dengan paradigma sekuler di atas,
tapi lebih ekstrem. Dalam paradigma sekuler, agama berfungsi secara
sekularistik, yaitu tidak dinafikan keberadaannya, tapi hanya dibatasi perannya
dalam hubungan vertikal manusia-tuhan. Sedang dalam paradigma sosialis,
agama dipandang secara ateistik, yaitu dianggap tidak ada (in-exist) dan
dibuang sama sekali dari kehidupan.

Paradigma tersebut didasarkan pada pemikiran Karl Marx yang atheis dan
memandang agama (Kristen) sebagai candu masyarakat, karena agama
menurut membuat orang terbius dan lupa akan penindasan kapitalisme yang
kejam. Karl Marx (1957) mengatakan :

“Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of the heartless world,
just as it is the spirit of a spiritless situation. It is the opium of the people.”

(Agama adalah keluh kesah makhluk tertindas, jiwa dari suatu dunia tak
berjiwa, sebagaimana ia merupakan ruh dari situasi yang tanpa ruh. Agama
adalah candu bagi rakyat).

Berdasarkan paradigma sosial ini, maka agama tidak ada sangkut pautnya
sama sekali dengan iptek. seluruh bangunan ilmu pengetahuan dalam
paradigma sosial didasarkan pada ide dasar matarialisme, khususnya
Matarialisme Dialektis. Paham Materialisme Dialektis adalah paham yang
memandang adanya keseluruhan proses perubahan yang terjadi terus-menerus
melalui proses dialektika, yaitu melalui pertentangan-pertentangan yang ada
pada materi yang sudah mengandung benih perkembangan itu sendiri.

Ketiga, paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama


adalah dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala
ilmu pengetahuan. Aqidah Islam yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam
Al-Quran dan Al-Hadist menjadi qa'idah fikriyah (landasan pemikiran), yaitu
suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu
pengetahuan manusia.

Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala


pemikirannya berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa
kita pahami dari ayat yang pertama kali turun
ْ‫س ِْم ا ْق َرْأ‬
ْ ‫ق الَّذِي َر ِبكَْ ِبا‬
َْ َ‫َخل‬
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan” (al-'Alaq :
1)

Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna


memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya
itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra' haruslah dengan bismillah
rabbika, yaitu tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan asas
aqidah Islam.

Paradigma Islam ini menyatakan bahwa, kata putus dalam ilmu pengetahuan
bukan berada pada pengetahuan atau filsafat manusia yang sempit, melainkan
berada pada ilmu Allah yang mencakup dan meliputi segala sesuatu. Firman
Allah SWT :

َّ ِْ‫هم ِح ي طً ا شَ ْي ءْ ب ِ كهل‬
ْ‫ّللاْه َو كَا َن‬
“Dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.” (al-Nisa' :
126).

ْ‫ّللاَْ َو أ َ َّن‬
َّ ْ‫ِع لْ ًم ا شَ ْي ءْ ب ِ كهلِْ أ َ َح ا طَْ ق َ ْد‬
“Dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.”
(al-Thalaq : 12)

Itulah paradigma yang dibawa Rasulullah SAW yang meletakkan Aqidah


Islam yang berasal La Ilaha illallah Muhammad Rasulullah sebagai asas ilmu
pengetahuan. Beliau mengajak memeluk Aqidah Islam lebih dulu, Lalu setelah
itu menjadikan aqidah tersebut sebagai pondasi dan standar bagi berbagai
pengetahuan. Ini dapat ditunjukkan misalnya dari suatu peristiwa ketika di
masa Rasulullah SAW terjadi gerhana matahari, yang bertepatan dengan
wafatnya putra beliau (Ibrahim). Orang orang berkata, “Gerhana matahari ini
terjadi karena meninggalnya Ibrahim.” Maka Rasulullah SAW segera
menjelaskan :

“Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian


atau kelahiran seseorang, akan tetapi keduanya termasuk tanda-tanda
kekuasaan Allah. Dengannya Allah memperingatkan hamba-hamba-Nya...”
(HR. Muslim)

Dengan jelas kita tahu bahwa Rasulullah SAW dalam meletakkan akidah
Aqidah Islam sebagai dasar ilmu pengetahuan, sebab beliau menjelaskan,
bahwa fenomena alam adalah tanda keberadaan dan kekuasaan Allah, tidak ada
hubungannya dengan nasib seseorang. Hal ini sesuai dengan aqidah muslim
yang tertera dalam Al Quran :

ِ ْ‫تْ َخ ل‬
ْ‫قْ ف ِ ي إ ِ َّن‬ ِ ‫اْل َ ْر‬
ِ ‫ضْ ال سَّ َم ا َو ا‬ ْ ‫فْ َو‬ ِ ‫ارْ ال ل َّ يْ ِلْ َو ا ْخ ت ِ ََل‬
ِ َ‫َو ال ن َّ ه‬
ْ‫اْل َلْ ب َ ا بِْ ِْل هو لِ ي ََل ي َ ات‬
ْ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang
yang berakal.” (Ali Imran : 190).

Inilah paradigma Islam yang menjadikan Aqidah Islam sebagai dasar segala
pengetahuan seorang muslim. Paradigma inilah yang telah mencetak muslim-
muslim yang taat dan shaleh tapi sekaligus cerdas dalam iptek. Itulah hasil dan
prestasi cemerlang dari paradigma Islam ini yang dapat dilihat pada masa
kejayaan iptek Dunia Islam antara tahun 700-1400 M. Pada masa inilah dikenal
nama Jabir bin Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur, al-Khawarzmi
(w. 780) sebagai ahli matematika dan astronomi, al-Battani (w. 858) sebagai
ahli astronomi dan matematika, al-Razi (w. 884) sebagai pakar kedokteran,
ophtalmologi, dan kimia, Tsabit bin Murrah (w. 908) sebagai ahli kedokteran
dan teknik, dan masih banyak lagi.

C. Integrasi Iman, Iptek dan Seni


Iptek terdiri dari 3 kata, ilmu, pengetahuan, dan teknologi. Ilmu adalah
pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Ilmu merupakan keistimewaan yang
menjadikan manusia lebih unggul dibanding dengan makhluk-makhluk lain
dalam menjalankan fungsi kekhalifahan. Menurut pandangan Al-Qur’a,n ilmu
terdiri dari dua macam. Pertama: ilmu ladunni yakni ilmu yang diperoleh tanpa
upaya manusia (Q.S. al-Kahfi : 65). Kedua: ilmu kasbi yakni ilmu yang
diperoleh karena usaha manusia. Pembagian ini disebabkan karena Al-Qur'an
memandang terdapat hal-hal yang “ada” tetapi tidak dapat diketahui melalui
upaya manusia sendiri. Ada wujud yang tidak tampak. Dengan demikian, objek
ilmu meliputi materi dan non materi, fenomena dan non fenomena (M. Quraish
Shihab, 1998)

Pengetahuan adalah paham suatu objek mengenai objek yang dihadapi.


Subjek di sini adalah manusia sebagai kesatuan berbagai macam kesanggupan
(akal, panca indera dan sebagainya) yang digunakan untuk mengetahui sesuatu.
Objek di sini adalah benda atau hal yang diselidiki, yang merupakan realitas
bagi manusia yang menyelidiki (Anshari, 1987). Pengetahuan merupakan
proses dari usaha manusia untuk tahu. Pengetahuan ialah apa yang diketahui
atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar,
insaf, mengerti, dan pandai. Pengetahuan itu semua milik atau isi pikiran
(Burhanuddin Salam, 1995).
Dengan potensi yang ada, manusia dapat membaca, memahami, meneliti
dan menghayati fenomena-fenomena alam yang nantinya dapat menimbulkan
pengetahuan. Fenomena-fenomena alam ini disebut juga ayat-ayat kauniyah.
Fenomena lainnya adalah berupa quraniyah yaitu Al-Qur'an. Ia bukan sekedar
buku atau dokumen sejarah, tetapi juga sebuah kenyataan hidup dan berlaku
dalam kehidupan manusia. Al-Qur’an juga merupakan buku tentang alam.
Semua itu dapat menimbulkan pengetahuan bagi manusia yang mau membaca,
memahami, meneliti dan menghayati fenomena-fenomena tersebut
(Muhaimin, 1993).

Pengetahuan pada hakikatnya adalah salah satu sarana untuk mendekatkan


diri kepada Allah. Tingginya derajat pengetahuan yang dimiliki seseorang
bukan untuk kesombongan, tetapi untuk memperbanyak syukur atas nikmat
pengetahuan yang diberikan. Agar pengetahuan itu dapat membimbing
seseorang menunju Allah, maka pengisiannya harus bersentuhan dengan unsur-
unsur fitri manusia seperti roh, qalbu, akal dan nafsu.
Selanjutnya teknologi adalah ilmu tentang cara menerapkan ilmu
pengetahuan untuk memanfaatkan alam bagi kesejahteraan dan kenyamanan
manusia (M. Quraish Shihab, 2000). Dengan demikian mesin atau alat canggih
yang dipergunakan manusia bukanlah teknologi, tetapi merupakan hasil dari
teknologi walaupun sering diasosiasikan sebagai teknologi. Ketersediaan lahan
yang diciptakan Allah mengantarkan manusia berpotensi untuk memanfaatkan
alam ini yang telah ditundukkan Tuhan. Keberhasilan memanfaatkan alam ini
merupakan hasil dari teknologi.

Adapun seni adalah keindahan. Ia merupakan ekspresi roh dan budaya


manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Ia lahir dari sisi
terdalam manusia yang didorong oleh kecenderungan kepada yang indah.
Kemampuan berseni merupakan salah satu pembeda manusia dengan makhluk
lain. Dengan demikian, Islam mendukung kesenian selama penampilannya
mendukung fitrah manusia yang suci.
Seni identik dengan keindahan. Kawasan keindahan itu sendiri sangat luas
bagi manusia, seluas keanekaragaman dan perkembangan peradaban teknologi,
sosial dan budaya manusia. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keindahan
merupakan bagian dari kehidupan manusia. Keindahan tidak dapat dipisahkan
dengan kehidupan. Di mana dan kapan pun setiap orang dapat menikmati
keindahan.
Fenomena dan kecenderungan kehidupan dunia saat ini memang sangat
dipengaruhi oleh pesatnya kemajuan iptek dengan segala dampaknya, baik
yang bernilai positif maupun yang negatif. Hal itu pula yang telah mendorong
terjadinya arus globalisasi yang mengalir demikian derasnya, serta
mendatangkan berbagai implikasi yang demikian luas di semua aspek
kehidupan manusia.

Dalam keadaan demikian, manusia berhadapan dengan kemajuan iptek yang


berkembang demikian pesat, serta berada di dalam arena percaturan hidup yang
komplek yang ditandai dengan berkembangnya sikap dan gaya hidup global.
Di sini, iman berperan sebagai pengendali sikap dan perilaku kehidupan
manusia, maupun sebagai landasan moral, etika dan spiritual masyarakat suatu
bangsa dalam melaksanakan pembangunan di segala bidang.

Realita membuktikan, bahwa penguasaan, pengembangan dan


pendayagunaan iptek yang tidak disertai dengan keluhuran akhlak atau budi
pekerti, akan dapat membawa manusia atau suatu bangsa menuju kepada
penderitaan dan kesengsaraan, atau bahkan kehancuran. Oleh karena itu,
penguasaan, pengembangan dan pendayagunaan iptek harus senantiasa berada
di dalam jalur nilai-nilai-nilai keimanan dan kemanusiaan yang luhur.

Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang menghendaki manusia bersikap


dan berpikir kritis terhadap fenomena-fenomena alam semesta ini dan terhadap
dirinya sendiri, misalnya Surat Fushshilat ayat 53. Dengan bersikap dan
berpikir kritis tersebut diharapkan akan mengantarkan seseorang kepada iman
yang makin kuat melalui pengakuan akan kebesaran Allah dan kesempurnaan
nikmat-Nya.

Iptek dengan segala hasil-hasilnya di samping harus mengingatkan manusia


kepada Allah, juga harus mengingatkan diri sendiri bahwa manusia adalah
khalifah yang kepadanya semua yang ada di alam semesta ini tunduk.
Berdasarkan petunjuk Al-Qur’an, manusia dapat menerima hasil-hasil iptek
yang tidak menyebabkan maksiat, serta bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Jika penggunaan hasil iptek akan melalaikan seseorang dari dzikir dan tafakur,
serta mengantarkannya kepada keruntuhan nilai-nilai kemanusiaan, maka
ketika itu bukan hasil teknologinya yang ditolak, melainkan manusianya yang
harus diperingatkan dan diarahkan dalam menggunakan teknologi itu. Jika
hasil iptek sejak semula diduga dapat menggeserkan manusia dari jati diri dan
tujuan penciptaan, sejak dini pula kehadirannya ditolak oleh Islam, karena itu
menjadi persoalan besar bagi martabat manusia mengenai cara memadukan
kemampuan mekanik demi penciptaan iptek dengan pemeliharaan nilai-nilai
fitrahnya. Sehingga diharapkan ipktek dapat searah dan seiring sejalan dengan
nilai-nilai Ilahiah.
Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk terus berupaya meningkatkan
kemampuan Ipteknya, misalnya Surat Thaha ayat 114 dan Yusuf ayat 72.
Jangankan manusia biasa, Nabi Muhammad SAW pun diperintahkan agar
berusaha dan berdoa agar selalu ditambahkan ilmu pengetahuan, karena di atas
setiap pemilik pengetahuan ada yang amat mengetahui. Dialah Allah. Hal ini
memotivasi manusia untuk terus mengembangkan iptek dengan memanfaatkan
anugerah Allah yang dikaruniakan kepadanya. Oleh karena itu, perkembangan
iptek memang tidak dapat dibendung. Manusia hanya dapat berusaha
mengarahkan diri agar tidak memperturutkan nafsunya untuk mengembangkan
iptek yang dapat membahayakan diri dan lingkungannya.

Adapun mengenai seni, Islam dapat menerima semua hasil karya manusia
selama sejalan dengan pandangan Islam. al-qur’an memerintahkan manusia
untuk menegakkan kebajikan, memerintahkan perbuatan yang ma’ruf dan
mencegah perbuatan yang munkar. Kesenian yang ma’ruf merupakan budaya
masyarakat yang sejalan dengan nilai-nilai Islam. Sedangkan yang
munkaradalah perbuatan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam.

Beranjak dari itu semua, setiap orang hendaknya memelihara nilai-nilai seni
yang ma’ruf dan sejalan dengan ajaran Islam. Hal ini mengantarkan mereka
untuk memelihara hasil kesenian setiap masyarakat. Seandainya ada pengaruh
yang dapat merusak kebudayaan dan kreasi seni suatu masyarakat, maka
seorang muslim harus tampil mempertahankan yang ma’ruf yang telah ada dan
diakui di masyarakat tersebut.

Dengan demikian, pada hakikatnya Islam sangat menghargai segala kreasi


manusia, termasuk kreasi manusia yang lahir dari penghayatan manusia
terhadap wujud alam semesta ini, selama kreasi tersebut berjalan dengan fitrah
kesucian jiwa manusia.

Dalam pandangan Islam, antara agama, ilmu pengetahuan, teknologi, dan


seni terdapat hubungan yang harmonis dan dinamis yang terintegrasi ke dalam
suatu sistem yang disebut dinul Islam. Di dalamnya terkdang tiga unsur pokok,
yaitu akidah, syari’ah, dan akhlak, dengan kata lain iman, ilmu, dan amal saleh.

Islam merupakan ajaran agama yang sempurna. Kesempurnaannya dapat


tergambar dalam keutuhan inti ajaranya. Ada tiga inti ajaran Islam yaitu Iman,
Islam, dan Ihsan. Ketiga inti ajaran itu terintegrasi di dalam sebuah sistem
ajaran yang disebut Dinul Islam. Dalam Surat Ibrahim 24-25 dinyatakan:

ْ‫فْ ت َ َرْ أ َل َ ْم‬


َ ْ‫بْ كَ ي‬ َّ ْ‫ص ل ه َه ا طَ ي ِ ب َ ةْ كَ شَ َج َر ةْ طَ ي ِ ب َ ةًْ كَ لِ َم ةًْ َم ث َ ًَل‬
َ ‫ّللاْه‬
َ ‫ض َر‬ ْ َ‫أ‬
ْ‫ث َا ب ِ ت‬
.‫ال سَّ َم ا ِءْ ف ِ ي َو ف َ ْر عه َه ا‬
‫بْ ْۗ َر ب ِ َه ا ب ِ إِ ذْ ِنْ ِح ينْ كه لَّْ أ هكه ل َ َه ا ت ه ْؤ ت ِ ي‬ ‫ض ِر ه‬ َّ َْ‫اْل َ ْم ث َا ل‬
ْ َ ‫ّللاْه َو ي‬ ِ َّ ‫لِْل ن‬
ْ ْ‫اس‬
ْ‫ي َ ت َذ َ كَّ هر و َنْ ل َ ع َ ل َّ هه ْم‬
“ Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan
kalimat yang baik (Dinul Islam) seperti sebatang pohon yang baik, akarnya
kokoh (menghujam ke bumi) dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu
mengeluarkan buahnya setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat”.

Ayat di atas menggambarkan keutuhan antara iman, ilmu, dan amal atau
Akidah, Syari’ah dan Akhlak dengan menganalogikan bangunan dinul Islam
bagaikan sebatang pohon yang baik. Akarnya menghujam ke bumi, batangnya
menjulang tinggi ke langit, cabangnya atau dahannya rindang, dan buahnya
amat lebat. Ini merupakan gambaran bahwa anatara iman, ilmu, dan amal
merupakan satu kesatuan yang utuh tidak dapat dipisahkan antara satu sama
lain. Iman diidentikkan dengan akar dari sebuah pohon yang menopang
tegaknya jaran Islam. Ilmu bagaikan batang pohon yang mengeluarkan dahan-
dahan dan cabang-cabang ilmu pengetahuan. Sedangkan amal ibarat buah dari
pohon itu identik dengan teknologi dan seni. Iptek yang dikembangkan di atas
nilai-nilai iman dan ilmu akan menghasilkan amal saleh bukan kerusakan alam.

Dari pernyataan di atas tampak bahwa al-Ghazali sangat menghargai orang


yang berilmu dan mengamalkan ilmunya dengan ikhlas. Salah satu bentuk
pengamalannya adalah mengajarkan kepada orang lain. Orang yang berilmu
dan tidak mengamalkannya, menurut al-Ghazali, termasuk orang yang celaka.
Ia mengatakan “Seluruh manusia akan binasa, kecuali orang-orang berilmu.
Orang-orang berilmupun akan celaka kecuali orang-orang yang mengamalkan
ilmunya. Dan orang-orang yang mengamalkan ilmunya akan binasa kecuali
orang-orang yang ikhlas.

Ada dua fungsi utama manusia di dunia yaitu sebagai abdun (hamba Allah)
dan sebagai Khalidah Allah di bumi. Esensi dari abdun adalah ketaatan,
ketundukan, dan kepatuhan kepada kebenaran dan keadilan Allah, sedangkan
esensi Khalifah adalah tanggung jawab terhadap diri sendiri dan alam
lingkungannya, baik lingkungan social maupun lingkungan alam.

Dalam konteks abdun, manusia menempati posisi sebagai ciptaan Allah.


Posisi ini memiliki konsekuensi adanya keharusan manusia untuk taat dan
patuh kepada penciptanya. Keengganan manusia menghambakan diri kepada
Alladh sebagai pencipta akan menghilangkanrasa syukur atas anugerah yang
diberikan Sang Pencipta berupa potensi yang sempurna yang tidak diberikan
kepada makhluk lainnya yaitu potensi akal. Hilangnya rasa syukur
mengakibatkan manusia menghambakan diri kepada hawa nafsunya.
Keikhlasan manusia menghamba dirinya kepada Allah akan mencegah
penghambaan dirinya kepada sesama manusia termasuk pada dirinya sendiri.

Manusia diciptalkan Allah dengan dua kecenderungan yaitu kecenderungan


kepada ketakwaan dan kecenderungan kepada kefasikan. Sebagaimana firman
Allah :

‫َو ت َقْ َو ا هَ ا ف ه هج و َر هَ ا ف َ أ َلْ َه َم َه ا‬


“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa manusia kefasikan dan ketakwaan’.
(al-Syams : 8)

Dengan adanya dua kecenderungan tersebut, maka Allah memberikan


petunjuk berupa agama sebagai alat bagi manusia untuk mengarahkan
potensinya kepada keimanan dan ketakwaan bukan pada kejahatan yang selalu
didorong oleh nafsu amarah. Untuk itu Allah berfirman:

ْ‫ال ن َّ ْج دَ يْ ِنْ َو هَ دَ يْ ن َ ا هه‬


“Aku tunjukkan kamu dua jalan”. (Al-Balad : 10).

Akal memiliki kemampuan untuk memilih salah satu yang terbaik bagi
dirinya.

Fungsi yang kedua sebagai khalifah (wakil) Allah di muka bumi, ia


memiliki tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan alam dan lingkungan
tempat mereka tinggal. Manusia diberi kebebasan untuk mengeksplorasi,
menggali sumber-sumber daya, serta memanfaatkannya dengan sebesar-besar
‘kemanfaatan. Karena alam diciptakan untuk kehidupan manusia sendiri.
Untuk menggali potensi alam dan memanfaatkannya diperlukan ilmu
pengetahuan yang memadai. Hanya orang-orang yang memiliki ilmu
pengetahuan yang cukuplah atau para ilmuwan dan para intelektual yang dapat
mengeksplorasi sumber alam ini. Akan tetapi para ilmuwan itu harus sadar
bahwa potensi sumber daya alam ini akan habis terkuras untuk pemenuhan
kebutuhan hidup manusia apabila tidak dijaga keseimbangannya.
Oleh sebab itu, tanggung jawab kekhalifahan banyak bertumpu pada para
ilmuwan dan cendekiawan. Mereka mempunyai tanggung jawab jauh lebih
besar dibanding dengan manusia-manusia yang tidak memiliki ilmu
pengetahuan. Bagi mereka yang tidak memiliki ilmu pengetahuan tidak
mungkin mengekploitasi alam ini secara berlebihan, paling hanya sekadar
kebutuhan primernya bukan untuk pemenuhan kepuasan hawa nafsunya,
karena mereka tidak memiliki kemampuan dan kesanggupan untuk
mengeksploitasi secara besar-besaran sumber alam ini, demikian pula mereka
tidak akan sanggup menjaga keseimbangan dan kelestariannya secara
sistematis.
Kerusakan alam dan lingkungan ini lebih banyak disebabkan karena ulah
manusia sendiri. Mereka banyak yang berkhianat terhadap perjanjian dan
sendiri kepada Allah. Mereka tidak menjaga amanat Allah sebagai khalifah
yang bertugas untuk menjaga kelestarian alam ini, sebagaimana firman Allah
SWT:

ْ‫اسْ أ َيْ ِدْي كَ سَ ب َ تْْ ب ِ َم ا َو ا لْ ب َ ْح ِرْ ا لْ ب َ ِرْ ف ِ ي ا لْ ف َ سَ ا دهْ ظَ َه َر‬ ِ َّ ‫ال ن‬


َ ْ‫ي َ ْر ِج ع هو َنْ ل َ ع َ ل َّ هه ْمْ عَ ِم ل هوا ا ل َّ ِذ ي ب َ ع‬
ْ‫ضْ لِ ي ه ِذ ي ق َ هه ْم‬
"Telah nampak kerusakan didarat dan Dilaut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka segera kembali ke jalan yang benar".
(al-Rum : 41)

Dua fungsi diatas merupakan satu kesatuan yang tidak boleh terpisah. Dan
simbol dari kedua fungsi itu adalah dzikir dan fikir.

Untuk melaksanakan tanggung jawabnya, manusia diberi keistimewaan


berupa kebebasan untuk memilih dan berkreasi sekaligus menghadapkannya
dengan tuntutan kodratnya sebagai makhluk psikofisik. Namun ia harus sadar
akan keterbatasannya yang menuntut ketaatan dan ketundukan terhadap aturan
Allah, baik dalam konteks ketaatan terhadap perintah beribadah secara
langsung (fungsi sebagai abdun) maupun dalam konteks ketaatan terhadap
sunatullah di alam ini (fungsi sebagai khalifah). Perpaduan antara tugas ibadah
dan khilafah ini akan mewujudkan manusia yang ideal yakni manusia yang
selamat di dunia dan akhirat.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari penjabaran mengenai IPTEK dan seni dalam Islam dapat
disimpulkan bahwa, belajar dan mengembangkan iptek merupakan bentuk
keimanan seseorang dan menjadi daya penggerak untuk menggali ilmu.
Paradigma Islam yang menjadikan aqidah Islam sebagai dasar segala
pengetahuan seorang muslim telah mencetak muslim-muslim yang taat dan
soleh, tetapi sekaligus cerdas dalam IPTEK.
IPTEK dalam islam memiliki integritas atau keterkaitan yang tinggi,
hal ini erat kaitannya dengan bagaimana tiap manusia memahami esensi dari
ajaran-ajaran islam itu sendiri. Dalam Al-Quran sudah sangat diterangaka
dengan jelas mengenai bagaimana Allah SWT mengarahkan umatnya dalam
menjalani kehidupan termasuk dalam menggali Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi, serta Seni yang ada di setiap sisi kehidupan. Dalam hal ini, Islam
dengan sangat terbuka menerima dan mendukung keberadaan IPTEK dalah
surat-surat yang tercantum dalam Al-Quran. Bahkan Islam dengan jelas
menerangkan bahwa IPTEK perlu digali dan dikaji seiring berkembanganya
zaman. Hal ini bertujuan untuk mengatur kehidupan umat manusia agar
tidak terbawa arus negative dari adanyakemajuan teknologi yang semakin
pesat.

Saran
Sebagai makhluk ciptaan-Nya yang bergitu sempurna dan kompleks
dibandingkan dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain, kita sebagai
manusia haruslah memahami dan mengerti hakikat dari penciptaan kita di
dunia ini. Untuk menuntut dan mengamalkan Ilmu Pengetahuan harus
didasari dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt. agar dapat
memberikan jaminan kemaslahatan bagi kehidupan serta lingkungan sekitar
kita.

Anda mungkin juga menyukai