A. Latar Belakang
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman
Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para
sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada
periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak
diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau
pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad
adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin
kompleks problematikanya.
Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang
itu disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti
Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu
tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya
untuk menemukan hukum yang terbaik. Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes,
dinamis, fleksibel, cocok dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan
ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi problematika
kehidupan yang semakin kompleks.
Sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melalui
dalil-dalil agama yaitu Al-Qur'an dan Al-hadits dengan jalan istimbat. Adapun
mujtahid itu ialah ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh
kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum
agama. Oleh karena itu kita harus berterima kasih kepada para mujtahid yng telah
mengorbankan waktu,tenaga, dan pikiran untuk menggali hukum tentang masalah-
masalah yang dihadapi oleh umat Islam baik yang sudah lama terjadi di zaman
Rasullullah maupun yang baru terjadi.
B. Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, penulis merumuskan beberapa masalah diantaranya
sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan Ijtihad?
2. Apa saja yang menjadi dasar hukum Ijtihad?
3. Apakah fungsi dari Ijtihad?
4. Sebutkan beberapa macam Ijtihad!
5. Apa yang menjadi objek Ijtihad?
6. Sebutkan beberapa tingkatan dari mujtahid!
7. Bagaimana syarat dan hukum melakukan Ijtihad!
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian Ijtihad
2. Untuk mengetahui dasar dan fungsi Ijtihad
3. Untuk mengetahui syarat dan hukum melakukan Ijtihad
4. Untuk mengetahui macam, objek dan tingkatan mujtahid
5. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Qur’an
6. Menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai Ijtihad
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-
masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan
kemampuan).[1] Dengan kata lain, Ijtihad secara etimologi adalah pencurahan
segenap kesanggupan untuk mendapatkan sesuatu urusan atau sesuatu
perbuatan.[2] Dalam Al-Qur’an disebutkan:
… … َوالَّذِينَ ََل يَ ِجد ُونَ إِ ََّل ُج ْهدَ ُه ْم
Artinya:
“…Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan)
selain kesanggupan.” Q.S. At-Taubah:79)
Kata al-jahd bbeserta seluruh derivasinya menunjukkan pekerjaan yang
dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi.
Dalam pengertian inilah, Nabi mengungkapkan kata-kata:
اء َّ َصلُّ ْوا َعل
ِ ي َوجْ ت َ ِهدُا ْو فِى الد ُّ َع َ
Artinya:
“Bacalah salawat padaku dan bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.”
ُّ َوأَ َّماال
ِ س ُج ْودُ فَاجْ تَ ِهد ُْوا ِفى الدُّ َع
اء
Artinya:
“Pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.”
Demikian pula pada jihad (perang) yang derivasinya sama dengan ijtihad
mengandung arti sungguh-sungguh dan tidak disenangi.[3]
Ijtihad adalah masdar dari fiil madzi ijtahada. Penambahan hamzah dan ta’
pada kata ja-ha-da menjadi ijtahada pada wajan if-ta-a’-la berarti, “usaha itu lebih
sungguh-sungguh”. Seperti halnya ka-sa-ba menjadi iktasaba, yang berarti “usaha
lebih kuat dan sungguh-sungguh”. Oleh sebab itu, ijtihad berarti usaha keras atau
pengerahan daya upaya (istifragh al-wus’ atau badzl al-wus’). Dengan demikian,
ijtihad berarti usaha maksimal untuk mendapatkan atau memperoleh sesuatu.
Sebaliknya, suatu usaha yang dilakukan tidak maksimal dan tidak menggunakan
daya upaya yang keras tidak disebut ijtihad, melainkan daya nalar biasa, ar-ra’y
atau at-tafkir.[4]
Adapun definisi ijtihad secara terminologi cukup beragam dikemukakan
oleh ulama ushul fiqih, namun intinya adalah sama. Sebagai berikut:
1. Ibnu Abd al-Syakur, dari kalangan Hanafiyah mendefinisikannya sebagai:
“Pengerahan kemampuan untuk menemukan kesimpulan hukum-hukum syara’
sampai ke tingkat zhanni (dugaan keras) sehingga mujtahid itu merasakan tidak bisa
lagi berupaya lebih dari itu.”
2. Al-Baidawi (w. 685 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah
mendefinisikannya sebagai: “Pengerahan seluruh kemampuan dalam upaya
menemukan hukum-hukum syara’.”
3. Abu Zahra, ahli Ushul Fiqh yang hidup pada awal abab kedua puluh ini
mendefinisikan ijtihad sebagai: “Pengerahan seorang ahli fikih akan
kemampuannya dalam upaya menemukan hukum yang berhubungan dengan amal
perbuatan dari satu per satu dalilnya.”[5]
Pada definisi ketiga ini, ditegaskan bahwa pihak yang mengerahkan
kemampuannya itu adalah ahli fikih, yaitu mujtahid, dan tempat menemukan
hukum-hukum itu adalah dalil-dalilnya. Pada definisi pertama dan kedua hal seperti
ini tidak ditegaskan karena dianggap sudah dimaklumi bahwa orang yang akan
melakuka ijtihad itu mestilah ahli fikih atau mujtahid. Demikian pula pada definisi
kedua dan ketiga, tidak ditegaskan bahwa kesimpulan-kesimpulan fikih yang akan
ditemukan oleh kegiatan ijtihad itu hanya sampai ke tingkay zhanni (dugaan kuat),
sebagaimana ditegaskan pada definisi kedua, karena sudah dimaklumi bahwa setiap
hasil ijtihad bobotnya hanya sampai ke tingkat zhanni, tidak sampai ke tingkat yang
lebih meyakinkan.[6]
Abdul Wahhab Khallaf menerangkan ijtihad dalam arti luas yang meliputi
beberapa hal berikut:
a. Pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syarak yang
dikehendaki oleh nas yang zanni dalalahnya.
b. Pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syarak yang
amali dengan menetapkan kaidah syar’iyah kulliyah.
c. Pencurahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan hukum syarak yang
‘amali mengenai masalah yang tidak ditunjuki hukumnya oleh nas dengan sarana-
sarana yang diperbolehkan oleh syarak guna ditetapkan hukumnya. [7]
Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa Ijtihad adalah
suatu pekerjaan yang mempergunakan segala kesanggupan daya rohaniah untuk
mendapatkan hukum syara’ atau menyusun suatu pendapat dari suatu masalah
hukum yang bersumber dari Al Qur’an dan hadis.
D. Macam-macam Ijtihad
Dikalangan ulama, terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah ijtihad. Iman
Syafi’I menyamakan ijtihad dengan qiyas, yakni dua macam, tetapi maksudnya
satu. Dia tidak mengakui ra’yu yang didasarkan pada istihsan atau maslahah
mursalah. Sementara itu, para ulama lainnya memiliki pandangan lebih luas tentang
ijtihad. Menurut mereka, ijtihad itu mencakup ra’yu, qiyas, dan akal.
Pemahaman mereka tentang ra’yu sebagaimana yang diungkapkan oleh para
sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh seorang
mujtahi, atau setidak-tidaknya mendekati syari’at, tanpa melihat apakah hal itu ada
dasarnya atau tidak. Berdasarkan pendapat tersebut, Dr. Dawalibi membagi ijtihad
menjadi kitab Al-Muwafakat, yaitu:
a. Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dari
nash.
b. Ijtihad Aal-qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat
dalam Al-Qur’an dan As-Sunah dengan menggunakan metode qiyas.
c. Ijtihad al-istislah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat
dalam Al-Qur’an dan As-Sunah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah
istishlah.[14]
Pembagian di atas masih belum sempurna, seperti yang diungkapkan oleh
Muhammad Taqiyu al-Hakim dengan mengemukakan beberapa alas an,
diantaranya jami’ wal mani. Menurutnya, ijtihad itu dapat dibagi menjadi dua
bagian saja, yaitu:
1. Ijtihad al-aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal, tidak
menggunakan dalil syara’. Mujtahid dibebaskan untuk berpikir, dengan mengikuti
kaidah-kaidah yang pasti. Misalnya, menjaga kemadaratan, hukuman itu jelek bila
tidak disertai penjelasan, dan lain-lain.
2. Ijtihad syari’, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’, termasuk dalam
pembagian ini adalah ijma’, qiyas, istihsan, Istishlah, ‘urf, istishhab, dan lain-
lain.[15]
Ijtihad dilihat dari sisi jumlah pelakunya dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Ijtihad Fardi, menurut al-Thayyib Khuderi al-Sayyid, yaitu ijtihad yang
dilakukan oleh perorangan atau hanya beberapa orang ijtihad. Misalnya, ijtihad
yang dilakukan oleh para iman mujtahid besar: iman Abu Hanifah, Iman Malik,
Iman Syafi’I, dan Ahmad bin Hanbal.
2. Ijtihad Jama’i, adalah apa yang dikenal dengan ijma’ dalam kitab-kitab Ushul
Fiqh, yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad SAW setelah
Rasulullah wafat dalam masalah tertentu. Dalam sejarah Ushul Fiqh, ijtihad jama’I
dalam pengertian ini hanya melibatkan ulama-ulama dalam satu disiplin ilmu, yaitu
fikih. Dalam perkembangannya, apa yang dimaksud dengan ijtihad jama’i, seperti
dikemukakan al-Thayyib Khuderi al-Sayyid, disamping bukan berarti melibatkan
seluruh ulama mujtahid, juga bukan dalam satu disiplin ilmu.[16]
E. Syarat-syarat Ijtihad
Ulama ushul berbeda pendapat dalam menetapkan syarat-syarat ijtihad atau
syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid (orang yang melakukan
ijtihad). Secara umum, pendapat mereka tentang persyaratan seorang mujtahid
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-
Qur’an, baik menurut bahasa maupun syari’ah. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus
menghafal, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya saja, sehingga
memudahkan baginya apabila ia membutuhkan. Aman Ghazali, Ibnu Arabian, dan
Ar-Razi membatasi ayat-ayat hukum tersebut sebanyak 500 ayat.
2. Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik menurut bahasa
maupun syari’at. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghafal, melainkan cukup
mengetahui letak-letaknya secara pasti, untuk memudahkannya jika ia
membutuhkannya. Ibnu Arabian membatasinya sebanyak 3000 hadis. Menurut
Ibnu Hanbal, dasar ilmu yang berkaitan dengan hadis Nabi berjumlah sekitar 1.200
hadis. Oleh karena itu, pembatasan tersebut dinilai tidak tepat karena hadis-hadis
hukum itu tersebar dalam berbagai kitab yang berbeda-beda.[17]
Menurut Asy-Syaukani, seorang mujtahid harus mengetahui kitab-kitab
yang menghimpun hadis dan bisa membukanya dengan cepat, misalnya dengan
menggunakan kamus hadis. Selain itu, ia pun harus mengetahui persambungan
sanad dalam hadis.
Sedangkan menurut At-Taftaji, sebaiknya mujtahid mengambil referensi
dari kitab-kitab yang sudah manshyur kesahihannya, seperti Bukhari, Muslim,
Baghawi, dan lain-lain.
3. Mengetahui nasakh dan mansukh dari Al-Qur’an dan As-Sunah, supaya tidak
salah dalam menetapkan hukum, namun tidak disyaratkan harus menghafalnya. Di
antara kitab-kitab yang bisa dijadikan rujukan dalam nasakh dan mansukh adalah
kitab karangan Ibnu Khujaimah, Abi Ja’far An-Nuhas, Ibnu Jauzi, Ibnu Hajm, dan
lain-lain.
4. Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama,
sehingga ijtihad-nya tidak bertentangan dengan ijma’. Kitab yang bisa dijadikan
rujukan di antaranya Kitab Maratibu al-Ijma’.
5. Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratan serta meng-istinbatnya,
karenaqiyas merupakan kaidah dalam berijtihad.
6. Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan
bahasa, serta berbagai problematikanya. Hal ini antara lain karena Al-Qur’an dan
As-Sunnah ditulis dengan bahasa Arab. Namun, tidak disyaratkan untuk betul-betul
menguasainya atau menjadi ahlinya, melainkan sekurang-kurangnya mengetahui
maksud yang dikandung dari Al-Qur’an atau Al-Hadis.
7. Mengetahui ilmu Ushul Fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad. Bahkan,
menurut Fakhru Ar-Razi, ilmu yang paling penting dalam ber-ijtihad adalah ilmu
Ushul Fiqih
8. Mengetahui maqashidu Asy-Syari’ah (tujuan syari’at) secara umum, karena
bagaimanapun juga syari’at itu berkaitan dengan maqashidu Asy-Syari’ah atau
rahasia disyari’atkannya suatu hukum. Sebaiknya, mengambil rujukan pada
istihsan, maslahah mursalah, urf, dan sebagainya yang menggunakan maqashidu
Asy-Syari’ah sebagai standarnya.
Maksud dari maqashidu al-Syari’ah, antara lain menjaga kemaslahatan
manusia dari menjauhkan dari kemadaratan. Namun, standarnya adalah syara’,
bukan kehendak manusia, karena manusia tidak jarang menganggap yang hak
menjadi tidak hak dan sebaliknya.[18]
Syarat-syarat tersebut diperlukan bagi mujtahid mutlak yang bermaksud
mengadakan ijtihad dalam segala masalah fikih di masa lampau. Dengan
perkembangan ilmu pengetahuan di masa sekarang, syarat-syarat tersebut tentu
belum mencukupi. Untuk melakukan ijtihad, diperlukan pula pemahaman terhadap
ilmu pengetahuan secara umum dan segala cabangnya. Akan tetapi, usaha itu
bukanlah suatu hal yang mudah dan memerlukan kerja keras dan keseriusan. Ijtihad
yang dilakukan secara kolektif sangat membantu untuk melakukan ijtihad yang
efektif.[19]
F. Tingkatan Mujtahid
Dalam menbicarakan masakah tingkatan ijtihad, tidak terlepas dari
perbedaan pendapat di kalangan para ulama ushul tentang telah tertutupnya
menurut pintu ijtihad.
Menurut As-Suyuthi “Umat sekarang (pada zamannya) telah terjebak pada
pemikiran bahwa mujtahid mutlaq itu sudah tidak ada lagi dan yang ada sekarang
hanyalah mujtahid muqayyad. Pernyataan seperti itu adalah salah besar dan tidak
sesuai dengan pendapat para ulama. Mereka tidak mengetahui apa sebenarnya
perbedaan antara mujtahid mutlaq, mujtahid muqayyad, dan mujtahid muntasib
yang semuanya berbeda.[20]
Dilihat dari luas atau sempitnya cakupan bidang ilmu yang diijtihadkan,
tingkatan mujtahid terdiri atas mujtahid fisy syar’i, mujtahid fil masa’il, mujtahid
fil mazhab, dan mujtahid muqayyad.
a. Mujtahid Fisy Syar’i
Mujtahid fisy syar’I adalah orang-orang yang berkemampuan mengijtihadkan
seluruh masalah syariat yang hasilnya diikuti dan dijadikan pedoman oleh orang-
orang yang tidak sanggup berijtihad. Merekalah yang membangun mazhab-mazhab
tertentu. Ijtihad yang mereka lakukan semata-mata hasil usahanya sendiri tanpa
mengambil pendapat orang lain. Oleh karena itu, mereka disebut dengan mujtahid
mustaqil (berdiri sendiri). Mereka yang termasuk mujtahid fisy syar’i antara lain
Imam Hanafi, Iman Malik, Iman Syafi’i Iman Ahmad bin Hambal, Iman Al Auza’i
dan Ja’far As Siddiq.
b. Mujtahid Fil Masa’il
Mujtahid fil masa’i adalah mujtahid yang mengarahkan ijtihadnya kepada masalah
tertentu dari suatu mazhab, bukan kepada dasar-dasar pokok yang bersifat umum.
Misalnya, At Tahawi merupakan mujtahid dalammazhab Hanafi, Imam Al Gazali
merupakan mujtahid dalam mazhab Syafi’i, dan Al Khiraqi merupakan mujtahid
dalam mazhab Hambali.
c. Mujtahid Fil Mazhab
Mujtahid yang ijtihadnya tidak sampai membentuk mazhab tersendiri.
Akan tetapi, mereka cukup mengikuti salah seorang imam mazhab yang telah ada
dengan beberapa perbedaan, baik dalam beberapa masalah yang utama maupun
dalam beberapa masalah cabang. Misalnya, Imam Abu Yusuf dan Muhammad
Ubnul Hasan adalah mujtahid fil mazhab Hanafi dan Imam Al Muzanniy adalah
mujtahid fil mazhab Syafi’i.
d. Mujtahid Muqayyad
Mujtahid muqayyad adalah mujtahid yang mengikatkan diri dan menganut
pendapat-pendapat ulama salaf dengan mengetahui sumber-sumber hukum dan
dalalah-dalalahnya. Mereka mampu menetapkan pendapat yang lebih utama di
antara pendapat yang berbeda-beda dalam suatu mazhab dan dapat membedakan
antara riwayat yang kuat dan yang lemah. Mereka adalah Al Karakhi yang
merupakan mujtahid dalam mazhab Hanafi serta Ar Rafi’i dan An Nawawi yang
merupakan mujtahid dalam mazhab Syafi’i.[21]
G. Objek Ijtihad
Menurut Al-Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak
memiliki dalil yang qathi’. Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang
tidak bisa dijadikan objek ijtihad.
Dengan demikian, syari’at Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi
dalam dua bagian:
1. Syari’at yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang
telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil
yang qathi’, seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat, puasa, ibadah haji, atau
haramnya melakukan zina, mencuri, dan lain-lain. Semua itu telah ditetapkan
hukumnya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunah.
Kewajiban shalat dan zakat berdasarkan firman Allah SWT.
َّ َوأَقِي ُموا ال
…. ص َلة َ َوآتُوا
َّ
َالزكَاة
Artinya:
“Dan dirikanlah shalat tunaikanlah zakat….” (Q.S. An-Nur ayat 56)
Ayat tersebut tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad untuk mengetahui
maksud shalat.
2. Syari’at yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan
pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, baik maksudnya, petunjuknya, ataupun
eksistensinya (tsubut), serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma’ para
ulama.[22]
Apabila ada nash yang keberadaanya masih zhanni, hadis ahad misalnya, maka
yang menjadi lapangan ijtihad di antaranya adalah meneliti bagaimana sanadnya,
derajat para perawinya, dan lain-lain.
Dan nash yang petunjuknya masih zhanni, maka yang menjadi lapangan ijtihad,
antara lain bagaimana maksud dari nash tersebut, misalnya dengan memakai kaidah
‘am, khas, mutlaq muqayyad, dan lain-lain.
Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada nashnya, maka yang menjadi
lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang bersumber
dari akal, seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan lain-lain. Namun,
permasalahan ini banyak diperdebatkan di kalangan para ulama.[23]
H. Hukum Melakukan Ijtihad
Menurut para ulama, bagi seseorang yang sudah memenuhi persyaratan ijtihad di
atas, ada lima hukum yang bisa dikenakan pada orang tersebut berkenaan dengan
ijtihad, yaitu:
a. Orang tersebut dihukumi fardu ain untuk berijtihad apabila ada permasalahan
yang menimpa dirinya, dan harus mengamalkan hasil dari ijtihad-nua dan tidak
boleh taqliq kepada orang lain. Karena hukum ijtihad itu sama dengan hukum Allah
terhadap permasalahan yang ia yakini bahwa itu termasuk hukum Allah.
b. Juga dihukumi fardu ‘ain ditanyakan tentang suatu permasalahan yang belum
ada hukumnya. Karena jika tidak segera dijawab, dikhawatirkan akan terjadi
kesalahan dalam melaksanakan hukum tersebut atau habis waktunya dalam
mengetahui kejadian tersebut.
c. Dihukumi fardu kifayah, jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak
dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada orang lainselain dirinya yang sama-
sama memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid.
d. Dihukumi sunah apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik
ditanya ataupun tidak.
e. Dihukumi haram apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang sudah
ditetapkan secara qathi’, sehingga hasil ijtihadnya itu bertentangan dengan dalil
syara’.[24]
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan
berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk
menggali dan mengetahui hukum Islam. Tujuan ijtihad dilakukan adalah upaya
pemenuhan kebutuhan akan hukum karena permasalahan manusia semakin hari
semakin kompleks di mana membutuhkan hukum Islam sebagai solusi terhadap
problematika tersebut. Ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an
dan Al-hadits yang mendapatkan legitimasi dari keduanya. Sebenarnya ijtihad
bukanlah suatu yang baru, melainkan sudah ada pada masa Rasulullah. Hal ini
sudah dilakukan oleh Nabi, sahabat, tabi’in dan para ulama klasik, namun tidak
sembarangan orang diperbolehkan untuk melakukan ijtihad, akan tetapi harus
memenuhi criteria tertentu.
Melakukan ijtihad bagi seorang mujtahid dapat mencapai hukum wajib ain, fardhu
kifayah, dan sunnat. Adapun untuk menjadi mujtahid disyaratkan memiliki
pengetahuan dan pemahaman tentang Al-Quran dan As-Sunnah dari berbagai
aspeknya, memahami masalah yang sudah disepakati ulama, memahami bahasa
Arab, dan mengetahui ushul fiqh.
Mujtahid dibedakan pada mujtahid mutlaq dan mujtahid muntasib. Pendekatan
dalam ijtihad dilakukan dengan ijma, qiyas, maslahat, istihsan, istishab, syaru’ man
qablana, dilalah iqtiran, sadudzarai’, madzhab sahabi, ‘urf, ta’adul dan tarjih.
B. Saran
Para pembaca hendaknya memahami betul masalah-masalah mengenai ijtihad.
Karena dengan ijtihad seseorang mampu menetapkan hukum syara' dengan jalan
menentukan dari kitab dan sunnah.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. 1980. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Margiono, dkk. 2007. Pendidikan Agama Islam 1. Jakarta: Yudhistira
Matsum, Hasan. Diktat Ushul Fiqh. Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara Medan
2012
Syafa’I, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia
Syuhada, Harjan, dkk. 2010. Fikih Madrasah Aliyah. Jakarta: Bumi Aksara
http://elhumania.wordpress.com/tag/ijtihad/ 03-01-2014/ 20.25 WIB