net/publication/326414170
0-Filsafat Ilmu
CITATIONS READS
0 2,413
1 author:
Herispon Herispon
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Riau, Pekanbaru
31 PUBLICATIONS 2 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Causes of Micro, Small and Medium Enterprises Do Not Have Financial Reports (Case in Pekanbaru City, Indonesia) View project
All content following this page was uploaded by Herispon Herispon on 16 July 2018.
TUGAS
WORKING PAPER
FILSAFAT ILMU
OLEH
Herispon
1430512002
Kata Pengantar
Puji Syukur penulis kepada Allh SWT, yang telah memberikan karunia kesehatan dan
kemampuan kepada penulis dalam menyelesaikan kertas kerja (work paper) ini. Penulisan kertas
kerja ini berkaitan dengan mata kuliah Filsafat Ilmu yang diasuh oleh Prof. Niki Lukviarman,
SE., MBA., DBA., Ak., C.A., dalam perkuliahan semester genap T.A 2014/2015 program S.3
Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Andalas Padang.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Niki Lukviarman, SE., MBA., DBA., Ak.,
C.A., selaku dosen pengasuh mata kuliah Filsafat Ilmu yang telah memberikan bimbingan,
arahan, sekaligus pencerahan khususnya selama proses perkuliahan dan berguna, serta dapat
penulis aplikasikan dalam penulisan kertas kerja ini, yang mana telah membuka mata hati, mata
pikiran penulis tentang begitu luasnya ilmu-ilmu yang harus dipelajari, dipahami, dimaknai
dalam kehidupan ini, dan menurut hemat penulis pemahaman filsafat ; filsafat ilmu tersebut
dapat digunakan dalam setiap tindakan, perkataan, dan perbuatan, baik untuk kemaslahatan diri
sendiri, orang lain mapun lingkungan dimana kita berada, yang intinya menjadikan diri kita
“orang bijaksana” dan atau “orang bijaksini”.
Penulis menyadari, hasil dari tulisan ini masih jauh kata sempurna yang antara lain sebab
yaitu keterbatasan waktu, keterbatasan literature, maupun keterbatasan telaah dari penulis sendiri.
Untuk itu dengan hati terbuka dan ikhlas penulis menerima kritikan dan masukan yang sifatnya
konstruktif dari pembaca dan pemerhati yang berkaitan dengan tulisan ini.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat, terutama kepada para pembaca dalam kajian-kajian
filsafat dan filsafat ilmu, demikian terima kasih.
HERISPON
NIM 1430512002
2
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
Daftar Isi
Bagian I
Sekilas Tentang Filsafat, 1
A. Pengantar, 1
B. Rumusan Masalah, 3
C. Tujuan Pembahasan, 3
D. Sistematika Penulisan 3
Bagian II
Filsafat ; Sejarah dan Perkembangannya
A. Pengertian Filsafat, 5
B. Filsafat Dari Mitos ke Logos, 7
C. Sejarah dan Munculnya Filsafat, 8
C.1. Klasifikasi Filsafat, 9
C.2. Filsafat Barat, 9
C.3. Filsafat Timur, 23
C.4. Filsafat Islam, 23
D. Pemetaan Cabang Filsafat, 26
E. Metode Filsafat, 27
F. Objek Filsafat, 37
G. Sistematika Filsafat, 38
Bagian III
Filsafat ; Filsafat Ilmu dan Kaitan Dengan Ilmu Pengetahuan
A. Pengertian Filsafat Ilmu, 43
B. Perkembangan Filsafat Ilmu, 55
C. Ciri-Ciri Ilmu Modern, 59
D. Paradigma Ilmu Modern Menurut Beberapa Aliran, 60
E. Bidang Kajian dan Masalah-Masalah Dalam Filsafat Ilmu, 62
F. Kebenaran Ilmu, 64
G. Keterbatasan Ilmu, 66
H. Hubungan Filsafat dengan Ilmu, 68
I. Perbedaan Filsafat dengan Ilmu, 70
J. Pengaruh Filsafat Terhadap Perkembangan Ilmu dan Teknologi 71
3
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
Bagian IV
Filsafat Dalam Perspektif Ilmu Manajemen
A. Latar Belakang, 74
B. Dimensi Filosofis Manajemen, 80
C. Manajemen Yang Filosofis, 82
D. Perumusan Lebih Jauh Dalam Praktek Manajemen, 83
Bagian V
Filsafat : Masa Sekarang dan Masa Datang, 87
Bagian VI
Manfaat Mempelajari Filsafat dan Filsafat Ilmu, 96
Bagian VII
Penutup ; Kesimpulan, 98
4
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
Bagian I
Sekilas Tentang Filsafat
A. Pengantar
Filsafat / filosofi berasal dari kata Yunani yaitu philos (suka) dan sophia (kebijaksanaan),
yang diturunkan dari kata kerja filosoftein, yang berarti : mencintai kebijaksanaan, tetapi arti kata
ini belum menampakkan arti filsafat sendiri karena “mencintai” masih dapat dilakukan secara pasif.
Pada hal dalam pengertian filosoftein terkandung sifat yang aktif. Filsafat adalah pandangan
tentang dunia dan alam yang dinyatakan secara teori. Filsafat adalah suatu ilmu atau metode berfikir
untuk memecahkan gejala-gejala alam dan masyarakat. Namun filsafat bukanlah suatu dogma atau
suatu kepercayaan yang membuta. Filsafat mempersoalkan soal-soal : etika/moral, estetika/seni,
sosial dan politik, epistemology/tentang asal pengetahuan, ontology/tentang manusia, dan lainnya.
Menetapkan suatu definisi nampaknya sulit untuk dilakukan. kenapa? Persoalannya bukan
terletak pada soal bagaimana untuk mengemukakan definisi itu, melainkan soal mengerti atau
tidaknya orang menerima definisi tersebut. Ini adalah persoalan yang tidak bisa dianggap sepele.
Filsafat sebagai proses berpikir yang sistematis dan rasional juga memiliki objek material dan objek
formal. Objek material filsafat adalah segala yang ada. Segala yang ada mencakup ada yang tampak
dan ada yang tidak tampak.
Objek material filsafat atas tiga bagian, yaitu yang ada dalam alam empiris, yang ada dalam
pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan. Adapun objek formal,dan rasional adalah sudut pandang
yang menyeluruh, radikal, dan rasional tentang segala yang ada. Setelah berjalan beberapa lama
kajian yang terkait dengan hal yang empiris semakin bercabang dan berkembang, sehingga
menimbulkan spesialisasi dan menampakkan kegunaan yang praktis. Inilah proses terbentuknya
ilmu secara berkesinambungan. Maka seiring dengan berkembangnya zaman, makin berkembanglah
ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.
Kemajuan pesat ilmu pengetahuan yang dicapai manusia pada ujung pertengahan kedua
abad ke-20, memungkinkan arus informasi menjadi serba cepat; apa dan oleh siapa dari seluruh
muka bumi (bahkan sebagian jagat raya) - menembus ke seluruh lapisan masyarakat dengan bebas
tanpa membedakan siapa dia si penerima. Tanpa mengenal batas jarak dan waktu, negara, ras, kelas
ekonomi, ideologi atau faktor lainnya yang dapat menghambat bertukar pikiran. Pengaruh
5
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
perkembangan ilmu pengetahuan terhadap pola kemasyarakatan alienasi adalah suatu kondisi
psikologis seorang individu yang dinafasi oleh kesadaran semu (tentang misteri keabadian termasuk
Tuhan), keberadaan, dan dirinya sendiri sebagai individu serta komunitas.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin pesat dan cenderung meniru budaya barat
bisa jadi menciptakan sebuah alienasi budaya. Orang merasa asing dengan budayanya sendiri.
Kaum muda tidak lagi at home dengan kebudayaan yang telah membentuk identitas sosialnya.
Kemajuan-kemajuan memungkinkan banyaknya pilihan (multiple options) dan membuka
kesempatan tumbuhnya materialisme dan rasionalisme dengan luar biasa. Tuntutan hidup begitu
tinggi. Kemakmuran yang dicapai tidak terkendali, gaya hidup menjadi konsumtif dan hedonistik.
Manusia pribadi yang menjadi begitu sibuk untuk mempertahankan hidup menyuburkan sosok
individualistik. Kaya dan sukses dari segi materi jadi satu-satunya tujuan hidup. Persaingan
demikian ketat, sehingga penghargaan manusia terhadap waktu mencapai titik tertinggi
dibandingkan masa sebelumnya. Yang tersisa hanya wajah kehidupan tidak manusiawi dimana
bahaya masa depan ialah manusia menjadi robot karena terjadi alienasi diri. Ini merupakan
pengaruh negatif dari kemjuan ilmu jika tidak di dasari dengan akhlak, norma, moral dan landasan
agama yang ada. Jangan sampai perkembangan ilmu menjadikan manusia sebagai objek, menyeret
dan memaksanya pada model kehidupan yang menyimpang.
Tidak dapat kita pungkiri bahwa perkembangan peradaban manusia yang ada pada saat ini
merupakan bentuk desakan dari pengaruh berkembangnya aspek-aspek kehidupan di masa lalu.
Manusia dengan alam pikirannya selalu melahirkan inovasi baru yang pada akhirnya memberikan
efek saling tular serta membentuk sikap tertentu pada lingkungannya. Fenomena ini akan membawa
kita kepada masa depan manusia yang berbeda dan lebih kompleks. Prediksi pada ilmuwan Barat
yang menyatakan bahwa agama formal (organized religion) akan lenyap, atau setidaknya akan
menjadi urusan pribadi, ketika iptek dan filsafat semakin berkembang, ternyata tidak terbukti.
Sebaliknya, dewasa ini sedang terjadi proses artikulasi peran agama (formal) dalam berbagai jalur
sosial, politik, ekonomi, bahkan dalam teknologi. Manusia yang berpikir filsafati, diharapkan bisa
memahami filosofi kehidupan, mendalami unsur-unsur pokok dari ilmu yang ditekuninya secara
menyeluruh sehingga lebih arif dalam memahami sumber, hakikat dan tujuan dari ilmu yang
ditekuninya, termasuk pemanfaatannya bagi masyarakat
Demikian juga filsafat, sulit sekali untuk memberikan suatu batasan yang benar (pasti)
tentang kata filsafat. Buktinya para filsuf selalu berbeda-beda dalam medefinisikan filsafat.
6
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
Layaknya seperti ilmu pengetahuan, filsafat juga mempunyai metode yang digunakan untuk
memecahkan problema-problema filsafat. Selain itu filsafat juga mempunyai obyek dan
sistematika/struktur. Tidak kalah pentingnya dengan cabang ilmu pengetahuan, filsafat juga
mempunyai manfaat dalam mempelajarinya.
B. Rumusan Masalah
Dari Latar belakang di atas dapat di ketahui beberapa rumusan masalah di antara sebagai
berikut :
1. Bagaimana pengertian filsafat secara etimologis dan terminologis serta menurut para ahli ?.
2. Metode apa saja yang digunakan dalam filsafat ?
3. Apa saja objek dalam filsafat ?
4. Bagaimana sistematika/ stuktur dalam filsafat ?
5. Apakah itu filsafat Ilmu ?
6. Apa manfaat mempelajari filsafat dan filsafat ilmu ?
C. Tujuan Pembahasan
Dari Rumusan Masalah di atas dapat diketahui tujuan dari pembahasan adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui dan memahami pengertian filsafat secara etimologis dan terminologis serta menurut
para ahli.
2. Mengetahui dan memahami metode yang digunakan dalam filsafat.
3. Mengetahui dan memahami objek dalam filsafat.
4. Mengetahui dan memahami sistematika/ stuktur dalam filsafat.
5. Mengetahui filsafat dan filsafat ilmu
6. Mengetahui dan memahami manfaat mempelajari filsafat.
D. Sistematika Penulisan
Penulisan kerja kerja ini (work paper) penulis bagi dalam 6 bagian, yang terdiri dari bagian :
Bagian I : Sekilas tentang filsafat, berisikan ; Pengantar, Rumusan Masalah, Tujuan
Pembahasan, dan Sistematika Penulisan.
Bagian II : Filsafat ; Sejarah dan Perkembangannya
Bagian III : Filsafat ; Filsafat Ilmu dan Kaitan Dengan Ilmu Pengetahuan
7
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
8
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
Bagian II
Filsafat ; Sejarah dan Perkembangannya
A. Pengertian Filsafat
Secara etimologis, dalam bahasa Inggris disebut philosophy, dalam bahasa Arab disebut
filsafat, dalam bahasa Yunani disebut falsafah atau philosophia, kata majemuk yang berasal dari
kata Philos yang artinya cinta atau suka, dan kata Sophia yang artinya bijaksana. Dengan demikian
secara etimologis, filsafat memberikan pengertian cinta kebijaksanaan. Di dalam Encyclopedia of
philosophy (1967 : 216) ada penjelasan sebagai berikut: “The creek word Sophia is ordinary
translated as „wisdom‟, and the compound philosophia, from wich philosophy derives, is translated
as the „love of wisdom.” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian
yang dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada,
sebab asal dan hukumnya. Manusia filosofis adalah manusia yang memiliki kesadaran diri dan akal
sebagaimana ia juga memiliki jiwa yang independen dan bersifat spiritual. Abu Bakar Atjeh (1982 : 6)
juga mengutip seperti itu. Berdasarkan kutipan tersebut dapat di ketahui bahwa filsafat ialah
keinginan yang mendalam untuk mendapatkan kebijakan atau untuk menjadi bijak. Secara
terminologis, filsafat mempunyai arti yang bermacam-macam, sebanyak orang yang memberikan
pengertian. Berikut ini dikemukakan beberapa definisi tentang filsafat tersebut :
10
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
pengetahuan yang tidak pernah selesai. Dengan cara ini pemahaman kita tentang segala sesuatu
sebetulnya semakin diperluas dan diperdalam (Akhyar Yusuf Lubis ; 2014, hal 2)
B. Filsafat Dari Mitos ke Logos
Sebelum filsafat lahir dan berkembang pesat, di Yunani telah berkembang mitos-mitos.
Bahkan kalau di pikirkan secara seksama lagi, ternyata filsafat sendiri dilahirkan dan dikembangkan
melalui jalan mitologis, mitos-mitos yang berkembang sendiri merupakan metode yang dilakukan
untuk memahami segala sesuatu yang ada, karena ketidaktahuan dan penasarannya manusia
terhadap alam semesta ini dan pada saat itu jawabannya hanya ada didalam mitos sehingga muncul
anggapan bahwa bumi ini bisa gelap karena ada raksasa yang menggemgam bumi ini, dan menjadi
terang kembali setelah raksasa melepas genggamannya. Khayalan-khayalan itu menjadi
“keyakinan” yang selanjutnya membentuk pemahaman normatif tentang setiap keberadaan dan
kekuatan yang ada didalamnya. Kemudian setelah berkembang jaman manusia pun mulai mencari
kebenaran yang bisa dibuktikan secara rasional yang melahirkan sebuah ilmu pengetahuan, mereka
berhasil mengubah masyarakat yang mitos menjadi logos yang sekarang dikenal dengan “filsafat”.
Bertanya dan mencari jawaban atas berbagai macam pertanyaan telah dilakukan oleh para
filsuf sepanjang sejarah pemikiran selama ribuan tahun. Pertanyaan-pertanyaan itu seperti :
- Dari manakah asal mula alam ?
- Apakah alam ini dengan segala isinya terjadi dari materi belaka ?
- Apakah manusia secara prinsip sama dengan binatang ?
- Ataukah manusia makhluk rasional yang diciptakan Tuhan untuk bertanggung jawab atas
tindakan dan pilihan hidupnya ?
- Apakah bumi ini bulat ?
- Mengapa matahari terbit di Timur, benarkah demikian ?
Pertanyaan-pertanyaan filosofis ini muncul ketika manusia sudah mulai menyadari bahwa
dirinya, keberadaannya dibumi ini berbeda dengan alam dan lingkungan sekitarnya, maka
muncullah tahap-tahap sebagai berikut :
11
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
Penjelasan mitos (mitologi) ini dirasa kurang dan tidak memenuhi tuntutan rasio atau logos,
karena itu para filsuf mencari jawaban yang lebih rasional sehingga lebih dapat dipertanggung
jawabkan kebenarannya. Karena penjelasan mitologi tidak dapat dijelaskan atau dikontrol oleh
rasio, maka tokoh filsafat Yunani abab ke 6 SM mulai memberikan penjelasan tentang berbagai
masalah yang didasarkan atas penjelasan atau argumen yang rasional, karena itu sering disebut
filsafat lahir ketika logos (akal budi atau rasio) menggantikan mitos.
12
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
tentu saja ialah: Socrates, Plato, dan Aristoteles. Socrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles
adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah
“komentar-komentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar
pada sejarah filsafat.
13
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
pertengahan, Periode modern, Periode postmodern / Kontemporer. Adapun para filsuf yang terkenal
pada era atau masanya adalah :
Para Filsuf / pemikir Uraian / definisi / pendapat
1. Periode Yunani Pra Socrates
(600 SM = 400M) Ciri ; Kosmosentris
Bahwa alam itu merupakan suatu susunan yang teratur dan harmonis.
Pada zaman Yunani kuno terdapat 3 masa perkembangan yaitu masa
awal, masa kaum sofis serta masa keemasan (masa Socrates). Pada
masa awal ini, filsafat hanya membahas tentang alam dan kejadian
alamiah terutama dalam hubungannya dalam perubahan-perubahan
yang terjadi. Namun mereka yakin bahwa perubahan-perubahan ini
terdapat suatu unsur yang menentukan, tapi mereka punya perbedaan
pendapat tentang perbedaan unsur-unsur tersebut
Masa awal dengan Filsuf :
- Thales
Bahwa semua makhluk hidup berasal dari air dan manusia
berkembang dari ikan, karena ada satu substansi (zat) tunggal
(monisme) pertama serta hukum alam yang berlaku didunia yang
berfungsi mempertahankan keseimbangan antara berbagai unsur
(multiplicity) fenomena alam yang berbeda. Anaximandros
dengan unsur yang tidak terbatas (to apeiron), Anaximenes dengan
unsur udara. Anaximandros dan Anaximenes adalah kedua murid
Thales namun berbeda pendapat dalam pemahamannya tentang
unsur-unsur tersebut (sumber ; http/www.philosophers.co.uk)
- Pythagoras
Pemikiran Phytaghoras berbeda dengan filosof pada masanya
kecuali Anaximandros dalam memahami unsur tersebut.
Menurutnya unsur tersebut tidak dapat ditentukan dengan
pengenalan indrawi, melainkan dapat diterangkan dengan
perbandingan dasar antar bilangan, karena Phytaghoras terkenal
sebagai pengembang ilmu pasti dengan dalil terkenalnya yaitu
“dalil Phyitaghoras”. Perminides dari Elea mengemukakan
unsure “metafisika”, yaitu mempersoalkan “ada” yang
berkembang menjadi “yang ada, sejauh ada” (being as being,
being as such). Dari yang ada, ada,dan yang tak ada, mempunyai
arti bahwa prulalitas itu tidak ada.
Filosof berikutnya kembali kepada pengalaman indrawi, antara lain
Demokritos dan Leucippus yang bersama-sama memuat teori
“atomisme”. Mereka berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada
terdiri atas bagian-bagian kecil yang tidak bisa dibagi-bagi lagi,
meskipun bentuk atom itu sendiri sangat kecil dan tidak Nampak
oleh indra namun atom selalu bergerak membentuk realitas yang
tampak oleh indra manusia
Bahwa adanya harmoni pada alam karena alam atau benda-benda
dibuat atas dasar prinsip bilangan (matematika).
14
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
Jiwa tidak dapat mati, bila seseorang mati, jiwa akan tetap abadi
dan akan berubah menjadi makhlk lain.
Segala sesuatu pada akhirnya dapat direduksi kedalam perhitungan
angka-angka. (sumber; http/www.tsemrinpoche-.com)
- Heraclitos (orang yang tidak jelas)
Terkenal dengan pernyataannya “panta rhei kai udai menei”
artinya segala sesuatu berada dalam perubahan, dalam pemahaman
bahwa segala sesuatu mengalir dan dalam proses menjadi.
Heraklitos mengatakan unsur tersebut adalah api, menurutnya api
adalah lambang perubahan. Karena tidak ada didunia yang tetap,
definitif dan sempurna, tetapi berubah. Segala sesuatu berada
dalam status “menjadi” kemudian berubah.
Seseorang tidaklah bergerak dalam kehidupan, akan tetapi
kehidupan itulah yang mengalir melalui kita. Kita bukanlah berada
dalam dunia, namun kita adalah bagian dari dunia. Batas-batas
antara diri (self) dan dunia tidaklah absolut akan tetapi mengalir
dalam proses yang saling berhubungan (Howard, 2005 : 13-23.)
Masa Sofis :
Di lanjutkan pada masa kaum sofis, yaitu kaum yang pandai
berpidato yang tidak lagi menaruh perhatian utama kepada alam,
tetapi menjadikan manusia sebagai pusat perhatian studinya.
Tokohnya adalah Protagoras, dia memperlihatkan sifat-sifat
relativisme (kebenaran bersifat relative), tidak ada kebenaran yang
tetap, universal dan definitif. Benar, baik dan bagus selalu
berhubungan dengan manusia, tidak mandiri sebagai kebenaran
mutlak
kejadian jagat raya ini telah ditentukan dan tidak bisa dielakan dan
jiwa manusia merupakan bagian dari logos sehingga mampu
mengenali jagat raya. Manusia dapat hidup bahagia dan bijaksana
jika menggunakan rasionya dalam mengendalikan diri nafsu-
nafsunya secara sempurna. Mati dan hidup merupakan kejadian
yang sudah ditentukan dan sifatnya mutlak.
- Epikurisme dibangun Epikueros (341SM-270SM) yang kembali
memunculkan “Atomisme demokritos” bahwa segala hal terdiri
atas atom yang senantiasa bergerak dan bertabrakan secara
kebetulan sehingga terciptanya segala sesuatu. Dalam ajarannya
terhadap manusia, dia berpendapat manusia bisa bahagia jika
mengakui susunan dunia ini dan tidak ditakut-takuti oleh dewa.
Dengan begini manusia bebas dalam berkehendak untuk mencari
kesenangan sepuas-puasnya tanpa harus memperdulikan dewa.
Namun jika kesenangan yang manusia dapat terlalu banyak maka
ia akan gelisah dan tidak tenang, oleh karena itu yang manusia itu
sendiri harus bisa membatasi diri dalam mencari kesenangan itu
sendiri agar memperoleh kesenangan yang hakiki yaitu kesenangan
rohani.
- Skeptisisme dipelopori oleh Pyrrho (365SM-275SM), aliran ini
mengajarkan keragu-raguan dan kesangsian terhadap sesuatu yang
ada, walaupun sesuatu itu nyata adanya. Karena mereka menyakini
bahwa kemampuan manusia tidak akan sampai bisa menemukan
kebenaran yang mutlak.
- Ekletisisme, Cicero (106SM-43SM). Aliran ini hanya sebagai
penengah berbagai aliran filsafat bagi masyarakat dalam
menghadapi berbagai permasalahan namun tidak sampai
menggabungkan segala aliran filsafat itu kedalam satu pemikiran
namun hanya menggunakan aliran-aliran tertentu pada kondisi
tertentu dan tidak memihak kepada aliran apapun.
- Neoplatoisme,sesuai dengan namanya aliran ini mencoba
menghidupkan kembali filsafat Plato, tetapi dipengaruhi juga oleh
aliran filsafat setelahnya seperti Aristoteles dan Stoa, oleh karena
itu tidaklah heran jika aliran ini mensintesiskan semua aliran
filsafat saat itu. Tokoh nya adalah Plotinos, aliran ini mengajarkan
tentang hakikat adanya “yang satu” yaitu Allah. Artinya semuanya
berasal dan kembali kepada “yang satu” sehingga menimbulkan
gerakan dari atas kebawah dan dari bawah keatas. Pada gerakan
dari atas kebawah, artinya taraf yang paling tinggi yaitu Allah
mengelurkan taraf-taraf yang ada dibawahnya melalui jalan
emanasi yang berarti tidak merubah dan mengurangi
kesempurnaan “yang satu”. Prosesnya adalah seperti ini, dari yang
satu dikeluarkan akal budi sesuai dengan gagasan Plato. Didalam
akal budi ada dualitas yaitu yang memikirkan dan yang dipikirkan.
Dari akal budi melahirkan jiwa dunia (psyche) dan darinya
dikeluarkan materi (hyle) bersama dengan psykhe terciptalaj jagat
17
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
25
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
26
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
27
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
Tokoh-tokoh filosof ini adalah Ibnu Taimiyah, Ibnu Rusyd (averros), Ibnu Sina (avicenna),
dan Al-Farabi. Imbas filsafat masuk ke lingkungan islam adalah munculnya ilmu-ilmu pengatahuan
baru seperti ilmu falak, astronomi, pengobatan bahkan para ulama ahli dalam bidang tersebut
berhasil membuat karya yang sangat berguna bagi manusia sampai saat ini. Bahkan Ibnu Sina dan
Ibnu Rusyd terkenal di kalangan dunia barat.
Filsafat Islam ini sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. Sebab dilihat dari sejarah,
para filosof dari tradisi ini sebenarnya bias dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat
Barat (Yunani).
Terdapat dua pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam terhadap filsafat dan ilmu
pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa orang
Eropa belajar filsafat dari filosof Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang disalin oleh
St. Agustine (354–430 M), yang kemudian diteruskan oleh Anicius Manlius Boethius (480–524 M)
dan John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat orang-orang
Yunani dari buku-buku filsafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh filosof
Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi. Terhadap pendapat pertama Hoesin (1961) dengan tegas
menolaknya, karena menurutnya salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories, dan
Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi mati terhadap
Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya
dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan
filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropa, maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di
Universitas Paris, tidak akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari
terjemahanterjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam (Haerudin, 2003).
Majid Fakhri cenderung mengangap filsafat Islam sebagai mata rantai yang menghubungkan
Yunani dengan Eropa modern. Kecenderungan ini disebut europosentris yang berpendapat filsafat
Islam telah berakhir sejak kematian Ibn Rusyd. Pendapat ini ditentang oleh Henry Corbin dan Louis
Massignon yang menilai adanya eksistensi filsafat Islam. Menurut Kartanegara (2006) dalam
filsafat Islam ada empat aliran yakni:
1. Peripatetik (memutar atau berkeliling) merujuk kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan
mengelilingi muridnya ketika mengajarkan filsafat. Ciri khas aliran ini secara metodologis atau
epistimologis adalah menggunakan logika formal yang berdasarkan penalaran akal (silogisme),
serta penekanan yang kuat pada daya-daya rasio. Tokoh-tokohnya yang terkenal yakni: Al Kindi
28
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
(w. 866), Al Farabi (w. 950), Ibnu Sina (w. 1037), Ibn Rusyd (w. 1196), dan Nashir al Din
Thusi (w.1274).
2. Aliran Iluminasionis (Israqi). Didirikan oleh pemikir Iran, Suhrawardi Al Maqtul (w. 1191).
Aliran ini memberikan tempat yang penting bagi metode intuitif (irfani). Menurutnya dunia ini
terdiri dari cahaya dan kegelapan. Baginya Tuhan adalah cahaya sebagai satu-satunya realitas
sejati (nur al anwar), cahaya di atas cahaya.
3. Aliran Irfani (Tasawuf). Tasawuf bertumpu pada pengalaman mistis yang bersifat supra-
rasional. Jika pengenalan rasional bertumpu pada akal maka pengenalan sufistik bertumpu pada
hati. Tokoh yang terkenal adalah Jalaluddin Rumi dan Ibn Arabi.
4. Aliran Hikmah Muta’aliyyah (Teosofi Transeden). Diwakili oleh seorang filosof syi‟ah
yakni Muhammad Ibn Ibrahim Yahya Qawami yang dikenal dengan nama Shadr al Din al
Syirazi, Atau yang dikenal dengan Mulla Shadra yaitu seorang filosof yang berhasil
mensintesiskan ketiga aliran di atas.
Dalam Islam ilmu merupakan hal yang sangat dianjurkan. Dalam Al Quran kata al-ilm dan
kata-kata jadiannya digunakan lebih 780 kali. Hadist juga menyatakan mencari ilmu itu wajib bagi
setiap muslim. Dalam pandangan Allamah Faydh Kasyani dalam bukunya Al Wafi: ilmu yang
diwajibkan kepada setiap muslim adalah ilmu yang mengangkat posisi manusia pada hari akhirat,
dan mengantarkannya pada pengetahuan tentang dirinya, penciptanya, para nabinya, utusan Allah,
pemimpin Islam, sifat Tuhan, hari akhirat, dan hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam pandangan keilmuan Islam, fenomena alam tidaklah berdiri tanpa relasi dan
relevansinya dengan kuasa ilahi. Mempelajari alam berarti akan mempelajari dan mengenal dari
dekat cara kerja Tuhan. Dengan demikian penelitian alam semesta (jejak-jejak ilahi) akan
mendorong kita untuk mengenal Tuhan dan menambah keyakinan terhadapnya. Fenomena alam
bukanlah realitas-realitas independen melainkan tanda-tanda Allah SWT. Fenomena alam adalah
ayat-ayat yang bersifat qauniyyah, sedangkan kitab suci ayat-ayat yang besifat qauliyah. Oleh
karena itu ilmu-ilmu agama dan umum menempati posisi yang mulia sebagai obyek ilmu.
29
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
E. Metode Filsafat
Ada tiga metode berfikir yang digunakan untuk memecahkan problema-problema filsafat,
yaitu: metode deduksi, induksi dan dialektika.
1) Metode Deduktif
adalah, suatu metode berpikir dimana kesimpulan ditarik dari prinsip-prinsip umum dan kemudian
diterapkan kepada semua yang bersifat khusus. Contohnya sebagai berikut:
- Semua manusia adalah fana (prinsip umum)
- Semua raja adalah manusia (peristiwa khusus)
- Karena itu semua raja adalah fana (kesimpulan)
2) Metode Induksi
adalah suatu metode berpikir dimana suatu kesimpulan ditarik dari prinsip khusus kemudian
diterapkan kepada sesuatu yang bersifat umum. Contoh:
- Bagus adalah manusia (prinsip khusus)
- Dia akan mati (prinsip umum)
- Seluruh manusia akan mati (kesimpulan)
31
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
3) Metode Dialektika
Yaitu suatu cara berpikir dimana suatu kesimpulan diperoleh melalui tiga jenjang penalaran:
tesis, antitesis dan sintesis. Metode ini berusaha untuk mengembangkan suatu contoh argument
yang didalamnya terjalin implikasi bermacam-macam proses (sikap) yang saling mempengaruhi
argument tersebut akan menunjukkan bahwa tiap proses tidak menyajikan pemahaman yang
sempurna tentang kebenaran.
Dengan demikian, timbullah pandangan dan alternatif yang baru. Pada setiap tahap dari
dialektik ini kita memasuki lebih dalam pada problema asli. Dan dengan demikian ada ada
kemungkinan untuk mendekati kebenaran.
Hegel menganggap bahwa metode dialektik merupakan metode berpikir yang benar ia
maksudkan ialah hal-hal yang sebenarnya sering kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
kehidupan sehari-hari kerap kali kita mengalami perlunya mendamaikan hal-hal yang bertentangan.
Tidak jarang terjadi bahwa kita mesti mengusahakan kompromi antara beberapa pandapat atau
keadaan yang berlawanan satu sama lain. Nah, maksud Hegel mirip dengan pengalaman kata itu.
Hegel sangat mengagumi filsuf Yunani Herakleitos yang mengatakan bahwa “pertentangan
adalah bapak segala sesuatu”. Proses dialektik selalu tradisi dari tiga fase. Fase pertama disebut
tesis yang menampilkan “lawan” dari fase kedua yaitu antitesis. Akhirnya, disebut fase ketiga
disebut sintesis, yang mendamaikan antara tesis dan antitesis yang saling berlawanan. Sintesis yang
telah dihasilkan dapat menjadi tesis pula yang menampilkan antitesis lagi dan akhirnya kedua-
duanya dinamakan menjadi sintesis baru. Demikian selanjutnya setiap sintesis dapat menjadi tesis.
Contoh tesis, antitesis dan sintesis.
Dalam keluarga, suami istri adalah dua makhluk yang berlainan yang dapat berupa tesis dan
antitesis. Bagi suami, anak dapat merupakan bagian dari dirinya sendiri. Demikian juga dari sang
istri, dengan demikian si anak merupakan sintesis bagi suami istri tadi.
Karya G.W Frendrich Hegel
Dalam karya besarnya, salah satunya ialah The Encyclopedia of the Philosophical
Sciences, Hegel membagi sistem filosofisnya ke dalam tiga bagian: logika, filsafat alam, dan
filsafat roh. Dalam logika bukan dalam pengertian tradisional dia menjelaskan struktur kategorial
idea yang mendasari segala yang ada. Dua bagian yang lain merupakan penjelasan dari struktur
konseptual yang lebih spesifik yang mewujud dalam alam dan roh; dimana keduanya adalah area
manifestasi idea.
32
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
Metode yang digunakan Hegel untuk membuktikan tesisnya tentang pengetahuan rasional
tentang yang absolut adalah metode dialektika. Metode ini muncul sebagai reaksi atas pembatasan
Kant atas pengetahuan hanya pada yang sensible dan pendapat Kant yang memustahilkan
pengetahuan rasional murni atas yang absolut. Tidak seperti Kant yang membatasi pengetahuan
pada pengalaman (phenomena), Hegel memilih untuk memahami keseluruhan yang menjadi dasar
semua pengalaman. Metode dialektik yang diadopsi Hegel berbeda dengan dialektika yang dikenal
sebelumnya. Karena, bagi Hegel, dialektika Plato, misalnya, tidaklah murni dialektik karena ia
bermula dari proposisi yang telah diasumsikan, yang karenanya tidak bersumber dari masing-
masing elemen dialektik.
Menurut Hegel, dialektik terdiri dari tiga aspek secara berurutan. Yang pertama adalah
aspek abstraksi, dimana pemahaman mengasumsikan bahwa sebuah konsep adalah tidak terikat dan
sepenuhnya terlepas dari hal lain. Aspek kedua adalah aspek negasi ketika pemahaman menemukan
bahwa ternyata konsepnya tidaklah sepenuhnya terlepas dari yang lain, ia harus dipahami dalam
kaitannya dengan hal lain. Pada titik ini, pemahaman terperangkap dalam kontradiksi; disatu sisi ia
harus mengasumsikan ada yang tak terikat untuk mengakhiri rangkaian ikatan-ikatan, tapi disisi lain
ia tidak bisa mengasumsikan yang tak terikat karena ia selalu menemukan batasan yang
mengikatnya. Tahap ketiga adalah tahap spekulatif atau rasional yang mengakhiri kontradiksi antar
dua tahapan sebelumnya dengan memandang bahwa yang tak terikat bukanlah sesuatu yang
tersendiri melainkan keseluruhan dimana segala yang terbatas hanyalah bagian darinya.
Dengan demikian bagi Hegel, keseluruhan mendahului bagian-bagiannya. Dalam kaitannya
dengan agama, Hegel meyakini bahwa filsafat adalah pemahaman rasional terhadap keimanan
keagamaan. Sesuatu yang oleh seni dan agama dipahami pada tingkat intuisi, oleh filsafat dipahami
pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu level konsep atau pemikiran sistematis. Konsep Hegel tentang
yang absolut dalam batas tertentu setara dengan konsep Tuhan dalam konsep agama tradisional.
Bahkan Hegel sering merujuk pada yang absolut dengan kata Tuhan.
Beberapa segi konsep Hegel juga mendukung konsep yang dikenal dalam agama tradisional, seperti
konsep teleologinya yang merestorasi konsep perhatian ilahiah (providence) dalam agama Kristen.
Konsep perkembangan yang dijabarkan Hegel mendukung doktrin trinitas, yang baginya sang bapa
merepresentasikan momen kesatuan, sang anak momen perbedaan, dan roh kudus momen kesatuan
dalam perbedaan. Tapi dalam beberapa hal yang lain, Hegel juga menolak beberapa aspek agama
Kristen. Misalnya, dia menolak doktrin Tuhan transenden yang melampaui alam dan sejarah.
33
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
Baginya, yang absolut tidak dapat melampaui alam dan sejarah karena ia mewujud hanya di dalam
dan melalui keduanya.
Filsafat idealisme & Pemikiran Georg Wilhelm Friedrich Hegel.
a) Filsafat Idealisme Hegel.
Tokoh idealisme Jerman terbesar pasca Kant adalah Hegel dengan idealisme absolutnya, satu
generasi lebih muda dari Kant. Hegel dikenal dengan idealisme absolut yang dengannya dia
mencoba merehabilitasi metafisika.
Tulisan ini akan secara singkat memaparkan idealisme absolut menurut Hegel disertai beberapa
penjelasan konsep kunci yang terkait dengannya. Penjelasan Istilah Menurut sebuah kamus
filsafat, idealisme adalah aliran filsafat yang berpendapat bahwa objek pengetahuan yang
sebenarnya adalah ide (idea); bahwa ide-ide ada sebelum keberadaan sesuatu yang lain; bahwa
ide-ide merupakan dasar dari ke-ada-an sesuatu. Dalam kamus lain dijelaskan bahwa idealisme
adalah sistem atau doktrin yang dasar penafsirannya yang fundamental adalah ideal. Berlawanan
dengan materialisme yang menekankan ruang, sensibilitas, fakta, dan hal yang bersifat
mekanistik, idealisme menekankan supra-ruang, non-sensibilitas, penilaian, dan ideologis.
Dalam tataran epistemologis, idealisme berpendapat bahwa dunia eksternal hanya dapat
dipahami hanya dengan merujuk pada ide-ide dan bahwa pandangan kita tentang alam eksternal
selalu dimediasi oleh tindakan pikiran.
b) Dialektika.
Dalam menjelaskan sistem filsafat Hegel, kurang begitu lengkap jika tidak menyinggung triadik
Hegel : tesa, antitesa, dan sintesa. Namun, sebelum menjelaskan lebih jauh tentang ketiga hal
ini, ada baiknya kita pahami walau selintas, istilah “ide” dan “dialektika” sebagai dasar
pemahaman awal kita menuju pengertian tiga istilah di atas.
Sebagaimana tersirat dalam uraian sebelumnya, dialektika merupakan suatu “irama” yang
memerintahkan seluruh filsafat Hegel. Menurut Llyod Spencer dan Andrzej Krauze, dialektika
bukan merupakan “metode” atau suatu sistem yang prinsip, sebab yang menyebabkan ia begitu
rumit untuk dijelaskan karena proses dialektika hanya mudah dimengerti dalam hal yang
bersifat konkret . Barangkali karena alasan demikian , Hegel tetap bersikukuh pada
keyakinannya bahwa antara “idealitas” dan “realitas” tidak ada perbedaan. Pengertian ini, oleh
Hadiwijono, justru dipahami sebagai pengertian ontologis dialektika itu sendiri. Bahwa
34
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
terbatas”. Adanya sesuatu “yang terbatas” ini bisa menjadi tesis baru, dan karenanya mengandaikan
suatu “yang tidak terbatas”, atau antitesis baru. Dengan demikian, keduanya akan mengahasilkan
sistesis baru sebagai aufhebung.
Kata aufhebung atau aufheben dari Hegel berkaitan dengan fase ketiga dari dialektika yang
dikenal dengan fase sintesis itu. Di dalam fase ini, terjadi aufheben yang berarti terjadinya negasi
dan pengangkatan. Terjadinya negasi berarti bahwa tesis dan antitesis sudah lewat dan tidak ada
lagi, sedangkan pengangkatan memiliki arti bahwa walaupun tesis dan antitesis dinegasikan, tetapi
kebenaran daripada tesis dan antitesis tetap dipertahankan dan disimpan di dalam sintesis dengan
bentuk yang lebih sempurna.
Pengertian dialektika
Dialektika adalah Ilmu Pengetahuan tentang hukum yang paling umum yang mengatur
perkembangan alam, masyarakat dan pemikiran. Sedangkan metode dialektis berarti investigasi dan
interaksi dengan alam, masyarakat dan pemikiran.
Pengertian dialektika menurut Aristoteles dalam buku Cecep Sumarna (2006:132) adalah
“Menyelidiki argumentasi-argumentasi yang bertitik tolak dari hipotesa atau putusan yang tidak
pasti kebenarannya” Cecep Sumarna (2006 : 132).
Pada dasarnya menurut K. Bertens (1989:137-138) logika dimaknai sebagai seni berdebat
dan muncul pada era Zeno da Citium. (Cecep Sumarna, 2006: 131). Logika pada masa Aritoteles
belum dikenal namun, logika pada masa ini sering disebut dengan analitik dan istilah lainnya adalah
dialektika.
Dialektik adalah “ theori and practice of weighing and reconciling jucta posedoe
contratoctory argument for the purpose of arriving at truth, espescially throught discussion and
debate”... Aristotelenism adalah “ method of arguing with probability on any given problems as an
art intermediate between rhetoric and strict demonstration”. (Webster, 1993:1993 dalam Joko
Suwarno.)
Metode dialektika-dialog dari Socrates merupakan metode atau cara memahami suatu
dengan melakukan dialog. Dialog berarti komunikasi dua arah, ada seseorang berbicara dan ada
seseorang lain yang mendengarkan. Dalam pembicaraan yang terus menerus dan mendalam
diharapkan orang dapat menyelesaikan probelem yang ada. Ada proses pemikiran seseorang yang
mengalami perkembangan karena mempertemukan ide yang satu dengan ide yang lain antara orang
36
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
yang berdialog. Tujuannya mengembangkan cara berargumentasi agar posisi yang bersifat dua arah
dapat diketahui dan diharapkan satu sama lain.
Metode dialektika menurut Hegel adalah suatu metode atau cara memahami dan
memecahkan persoalan atau problem berdasarkan tiga elemen yaitu tesa, antitesa dan sintesa. Tesa
adalah suatu persoalan atau problem tertentu, sedangkan antitesa adalah suatu reaksi, tanggapan,
ataupun komentar kritis terhadap tesa (argumen dari tesa). Dari dua elemen tersebut diharapkan
akan muncul sintesa, yaitu suatu kesimpulan. Metode ini bertujuan untuk mengembangkan proses
berfikir yang dinamis dan memecahkan persoalan yang muncul karena adanya argumen yang
kontradiktif atau berhadapan sehingga dicapai kesepakatan yang rasional (Irmayanti, M Budianto,
2002:14 dalam Joko Suwarno).
Dialektika tumbuh dari logika formal di dalam perkembangan sejarah. Logika formal adalah
sistem pengetahuan ilmiah besar pertama dari proses pemikiran. Adalah puncak karya filosofis dari
Yunani Kuno, mahkota kejayaan pemikiran bangsa Yunani. Pemikir- pemikir Yunani awal
membuat banyak penemuan penting tentang alam dari proses berpikir dan hasil-hasilnya. Pesintesa
pemikiran Yunani, Aristoteles, mengumpulkan, mengklasifikasikan, mengkritik, mensistematiskan
hasil-hasil positif dari pemikiran tentang pikiran, dan lalu menciptakan logika formal. Euclides
melakukan hal yang sama untuk geometri dasar. Archimedes untuk mekanik dasar. Ptolomeus dari
Alexandria kemudian untuk astronomi dan geografi.
Untuk mendapat pengetahuan yang dikemukakan benar atau logis ada tiga faktor yang
diperhatikan yaitu memiliki pengetahuan (menguasai masalah), mengambil keputusan
(menyampaikan pikiran dengan lancar), memberi pembuktian (argumentasi atas pendapat). Ketiga
faktor diatas merupakan bagian dari filsafat yang disebut logika formal atau berpikir logik. Logika
formal disebut juga logika minor atau dialektika.
Dialektika materialisme
Dialektika dimulai dengan materialisme, oleh karenanya, sangat tidak mungkin untuk
mengerti dialektika tanpa mengerti dulu pandangan materialis. Dan tidak mungkin untuk mengerti
cara berfungsi suatu materi tanpa mengerti dialektika. Dan tanpa dialektika, materialisme tidak
dapat menerangkan dunia realis yang tidak idealis.
37
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
Dialektika menjelaskan alam suatu materi (benda). Khususnya mempelajari fenomena akan
'pergerakan' dan 'interelasi' mereka, bukannya keterasingan dan kestatisannya. 'Pergerakan' dan
'interrelasi' (saling berhubungan) adalah dua prinsip paling general dari dialektika.
Konsep 'interelasi' adalah prinsip paling umum untuk menerangkan tentang perkembangan dan
fungsi suatu materi. Bahwa sifat saling bergantungan adalah bentuk universal dari semua kenyataan.
Semua yang nampak di dunia ini merupakan rangkaian dari satu materi. Misalnya, perbedaan
fenomena alam atau sosial, saling bergantung dengan perbedaan alam atau masyarakatnya.
Baru pada abad 19, seorang filsuf Jerman, Hegel, Berhasil menemukan semua hukum dasar
dialektika, dengan studinya tentang Logika. Dan dipakainya untuk menyerang metode Metafisik dan
kaum borjuis dan feodal.
Metafisik dapat digunakan sebagai studi atau pemikiran tentang sifat tertinggi atau terdalam
(ultimate nature) dari keadaan atau kenyataan yang tampak nyata dan variatif. Melalui pengkajian
dan penghayatan terhadap metafisika, manusia akan dituntun pada jalan dan penumbuhan moralitas
hidup. Oleh karena itu tidak salah jika K. Bertens (1975:154) menyebut metafisika sebagai
kebijaksanaan (Sophia) tertinggi (Cecep Sumarna, 2006:64-65).
Yaitu tentang perubahan hukum kwantitatif menjadi kwalitatif, hukum kontradiksi sebagai
motif prinsip untuk semua perkembangan dan hukum spiral, yang menangkap semua arah maju dari
proses sejarah dunia. Menurut Engels, tentang penemuan Hegel: “untuk pertama kali di seluruh
dunia, alam, sejarah, intelektual, dinyatakan sebagai proses, misalnya, seperti dalam gerakan,
perubahan, transformasi, perkembangan yang konstan dan kecenderungan untuk dibuat untuk
menemukan hubungan internal yang membentuk keseluruhan gerakan dan perkembangan yang
berkesinambungan.” (Engels, anti-Duhring, p. 37-38) sebenarnya Hegel seorang Idealis, dan tidak
pernah mengungkapkan ini secara eksplisit. Dia percaya bahwa dasar pergerakan dan interelasi
adalah konsep pikiran (mind), yang pada akhirnya menjadi gerakan perkembangan alam dan
masyarakat. Tapi ide ini justru akhirnya bertentangan dengan pandangan idealis. Yang pada
akhirnya, dipakai oleh Marx dan Engels untuk membangun dasar metode dialektika dan fondasi
materialis.
Marx dan Engels mampu mengkritik Metode dialektis Hegel. Mereka menunjukkan bahwa
hukum dialektik pertama-tama beroperasi dalam alam, termasuk masyarakat, lalu kemudian pikiran
manusia sebagai refleksi akan realitas material. Engels menyimpulkan : "Tidak akan ada pertanyaan
lagi tentang pembangunan hukum-hukum dialektik kedalam alam (seperti yang dilakukan Hegel),
38
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
tapi adalah penemuan mereka didalam alam dan keterlibatan mereka dari alam". Maka metode
dialektis dari Marx dan Engels disebut Dialektis “Materialis”.
Marx berpendapat bahwa dialektika merujuk pada pertentangan, kontadiksi, anagonism, atau
konflik antara tesis dengan antitesis yang kemudian melahirkan sintesis. Pandangan Karl Marx
hampir sama dengan Hegel, perbedaannya bahwa proses dialektis itu terjadi bukan di dunia gagasan
atau ide melainkan di dunia material.
Kegunaan dialektika
Plato terkesan sangat idealistik dan meyakini sejatinya esksistensi berada diluar aspek fisik.
Sementara bagi muridnya, Aristoteles sejatinya eksistensi itu melekat pada sesuatu yang fisik. Bagi
Plato kebenaran yang ditangkap oleh pancaindera dan dibenarkan secara rasional oleh rasio, tidak
lebih dari jarak sebuah bayang-bayang yang bukan saja memiliki nilai jarak dengan sejatinya
kebenaran, tetapi bahkan bukan kebenaran itu sendiri. (Cecep Sumarna, 2006:11-12)
39
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
Dialektika antara Plato dan Aristoteles, penting untuk disebut sebagai pendorong lahirnya
ilmu di Yunani, sebab melalui dialektika ini, ilmu bukan saja menjadi lebih dinamis, tetapi juga dari
setiap wacana dialektik, pasti akan menghasilkan sesuatu yang baru. Sifat ini pula dalam
perkembangannya akan melahirkan wacana keilmuan. Tinggi rendahnya dialektika keilmuan dalam
suatu negara, akan berpengaruh terhadap tinggi rendahnya kemungkinan suatu negara yang
dimaksud dalam melahirkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan. (Cecep Sumarna 2006:12)
“Georg Wilhelm Friederich Hegel menggunakan metode dialektis yang berupaya memahami
realitas dengan mengikuti gerakan pikiran atau konsep asal berpangkal pada pemikiran yang benar
sehingga pemahaman akan dibawa oleh dinamika pikiran itu sendiri” (Hakim, A.A. & Saebani,
B.A. 2008: 38)
Pemikiran Hegel yang senantiasa berdialektika terhadap realitas dan memandang adanya
realitas mutlak atau roh mutlak atau idealisme mutlak dalam kehidupan, sangat mempengaruhi
dalam memandang sejarah secara global. Hal itu terbukti saat dialektikanya mampu memasukkan
pertentangan di dalam sejarah.
Pada dasarnya dialektika digunakan untuk mencari kebenaran dalam teori Socrates maupun
Aristoteles. Namun dalam perkembangannya dialektika digunakan oleh Hegel untuk menentang
ajaran metafisika. Ajaran Hegel kemudian ditentang oleh Marx dan melahirkan dialektika
materialisme.
Pentingnya dialektika
Dialektika digunakan untuk mencari kebenaran melalui diskusi atau tanya jawab. Dialektika
berguna sebagai pemerdalam dalam memahami masalah dan dalam pemecahan masalah.
Dialektika menghasilkan pemikiran-pemikiran baru berdasarkan penambahan-penambahan
dialog. Dari yang tidak tahu menjadi tahu. Dari yang belum mengerti menjadi mengerti.
Metode yang digunakan memecahkan problem-problem filsafat, berbeda dengan metode
yang digunakan untuk mempelajari filsafat. Ada tiga macam metode untuk mempelajari filsafat,
diantaranya :
Metode Sistematis
Metode ini bertujuan agar perhatian pelajar/ mahasiswa terpusat pada isi filsafat, bukan pada tokoh
atau pada metode. Misalnya, mula-mula pelajar atau mahasiswa menghadapi teori pengetahuan
yang berdiri atas beberapa cabang filsafat. Setelah itu mempelajari teori hakikat, teori nilai atau
40
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
filsafat nilai. Pembagian besar ini dibagi lebih khusus dalam sistematika filsafat untuk membahas
setiap cabang atau subcabang itu, aliran-aliran akan terbahas.
Metode Histories
Metode ini digunakan untuk mempelajari filsafat dengan cara mengikuti sejarahnya dapat
dibicarakan dengan demi tokoh menurut kedudukannya dalam sejarah. Misal dimulai dari
pembicarakan filsafat thales, membicarakan riwayat hidupnya, pokok ajarannya, baik dalam teori
pengetahuan, teori hakikat, maupun dalam teori nilai. Lantas dilanjutkan dalam membicarakan
Anaxr mandios Socrates, lalu Rousseau Kant dan seterusnya sampai tokoh-tokoh kontemporer.
Metode Kritis
Metod ini digunakan oleh orang-orang yang mempelajari filsafat tingkat intensif. Sebaiknya metode
ini digunakan pada tingkat sarjana. Disini pengajaran filsafat dapat mengambil pendekatan
sistematis ataupun histories. Langkah pertama ialah memahami isi ajaran, kemudian pelajar
mencoba mengajukan kritikannya, kritik itu mungkin dalam bentuk menentang. Dapat juga berupa
dukungan. Ia mungkin mengkritik mendapatkan pendapatnya sendiri ataupun menggunakan
pendapat filusuf lain. Jadi, jadi jelas tatkala memulai pelajaran amat diperlukan dalam belajar
filsafat dengan metode ini.
F. Objek Filsafat
Isi filsafat ditentukan oleh objek yang dipikirkan. Ada dua objek apa yang dipikirkan. Ada
dua objek dalam filsafat diantaranya : Objek material filsafat yaitu segala yang ada dan mungkin
ada, jadi luas sekali dan tidak terbatas. Objek material antara filsafat dengan sains (ilmu
pengetahuan) sama, yaitu sama-sama menyelidiki segala yang ada dan mungkin ada. Tapi ada dua
hal yang membedakan diantaranya:
a. Sains menyelidiki objek material yang empiris. Sedangkan filsafat menyelidiki bagian yang
abstraknya.
b. Ada objek material filsafat yang memang tidak dapat diteliti oleh sains seperti Tuhan, hari akhir
(hal-hal yang tidak empiris). Jadi objek material filsafat lebih luas daripada sains. Objek Formal
(sikap penyelidikan) Objek formal filsafat adalah penyelidikan yang mendalam atau ingin
mengetahui bagian dalamnya. Kata mendalam artinya ingin tahu tentang objek yang tidak
empiris. Objek ini hanya dimiliki oleh filsafat saja. Sains tidak mempunyai objek forma. Karena
objek sains hanya terbatas pada sesuatu yang bisa diselidiki secara ilmiah saja, dan jika tidak
41
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
dapat diselidiki maka akan terhenti sampai disitu. Tetapi filsafat tidaklah demikian, filsafat akan
terus bekerja hingga permasalahannya dapat ditemukan sampai akar-akarnya.
G. Sistematika Filsafat
Hasil berpikir tentang segala sesuatu yang ada dan mungkin ada telah banyak terkumpul dan
disusun secara teratur dan sistematis dikenal dengan istilah sistematika filsafat atau struktur filsafat.
Struktur filsafat berkisar pada tiga cabang filsafat yaitu teori pengetahuan, teori hakikat dan teori
nilai. Berikut ini akan diuraikan lebih rinci lagi.
Teori Pengetahuan
Teori pengetahuan membicarakan cara memperoleh pengetahuan (norma-norma atau teori-
teorinya) dan membicarakan pula tentang bagaimana cara mengatur pengetahuan yang benar dan
berarti. Posisi terpenting dari pengetahuan telah membicarakan tentang apa sebenarnya hakikat
pengetahuan itu, cara berpikir dan hukum berpikir agar mendapatkan hasil yang sebenar-benarnya.
Cabang teori pengetahuan yaitu Epistimologi dan logika.
Epistimologi
Epistimologi berasal dari bahasa Yunani, Episteme yang berarti Knowledge atau pengetahuan
dan logy berarti pengetahuan atau filsafat ilmu. Terdapat empat persoalan pokok dalam bidang ini:
1. Apa pengetahuan itu?
2. Apa sumber-sumber pengetahuan itu?
3. Darimanakah sumber yang benar itu datang dan bagaimana mengaturnya?
4. Apakah pengetahuan tersebut benar? Persoalan pertama (tentang definisi pengetahuan) sudah
dibahas pada uraian sebelumnya. Sekarang pada persoalan berikutnya yaitu sumber pengetahuan
manusia.
Lours Q. Kattsof mengatakan bahwa sumber pengetahuan ada lima macam yaitu: Empiris,
rasionalisme, fenomena, intuisi dan metode ilmiah.
1) Empirisme
Kata ini berasal dari bahasa yunani empeirikos dari kata emperra, artinya pengalaman menurut
aliran ini, manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya, pengalaman yang
dimaksud adalah pengalaman inderawi, manusia tahu es dingin karena menyentuhnya, gula
manis karena mencicipinya. Jhonh Locke (1632-1704) bapak aliran ini pada zaman modern
mengemukakan teori tabula rasa. Maksudnya bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari
42
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, dan akhirnya ia memiliki
pengetahuan. Tidak terasa, uraian tadi sudah menjawab pertanyaan yang ke-3. Dari manakah
pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimanakah mengetahuinya? Pengetahuan diperoleh
dari pengalaman dan dengan perantara panca indera. Kelemahan aliran ini cukup banyak ,
diantaranya ; Keterbatasan indra, Indera Menipu, Objek yang menipu dan Kelemahan yang
berasal dari indra dan objek sekaligus. Kesimpulannya adalah empirisme lemah karena
keterbatasan indera manusia.
2) Rasionalisme
Aliran ini menyatakan bahwa sumber ilmu pengetahuan terletak pada akal. Rasionalisme
memandang pengalaman sebagai jenis perangsang bagi pikiran. Jika kebenaran mengandung
makna dan mempunyai ide yang sesuai dengan kenyataan. Maka kebenaran hanya ada di dalam
pikiran dan hanya diperoleh dengan akal budi saja. Descartes adalah bapak dari rasionalisme. Ia
berusaha menemukan kebenaran yang tidak dapat diragukan, sehingga dengan memakai metode
deduktif dapat disimpulkan semua pengetahuan kita. Bagi rasionalisme, kekeliruan pada aliran
emperisme yang disebabkan kelmahan alat indra tadi, dapat dikoreksi seandainya akal
digunakan. Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indera dalam memperoleh pengetahuan,
pengalaman indera dilakukan untuk merangsang akal dan memberikan objek sehingga
kebenaran adalah seman-mata dengan akal. Laporan indera menurut rasionalisme merupakan
bahan yang belum jelas, kacau. Bajan ini kemudian dipertimbangkan dengan teratur oleh akal
dalam pengalaman berpikir sehingga terbentuk pengetahuan yang benar. Jadi, akal bekerja
karena ada bahan dari indera. Akan tetapi, akal dapat juga mengahasilkan pengetahuan yang
tidak berdasarkan inderawi sama sekali. Jadi akal dapat juga menghasilkan penetahuan tentang
objek yang betul-betul abstrak. Gabungan antara emperis dan rasionalisme melahirkan suatu
metode baru yaitu metode sains dan dari metode ilmiah ini melahirkan pengetahuan sains yang
disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan. Pengetahuan sains/ilmu pengetahuan ialah
jenis pengetahuan yang logis dan memiliki bukti empiris (pengetahuan yang logis-empiris). Jika
hanya digunakan rasio (akal) maka pengetahuan yang diperoleh ialah pengetahuan filsafat.
3) Positivisme
Tokoh aliran ini adalah August Compete (1798-1857). Ia penganut empiris. Ia berpendapat
bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan
alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen seperti panas di ukur dengan derajat panas,jauh
43
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
diukur dengan meteran, berat dengan timbangan neraca, dan sebagainya. Kita tidak cukup
mengatakan.
4) Fenomenalis
Tokoh aliran ini adalah Immanuel kant, seorang filsuf jerman abad ke-18. Dia berpendapat
bahwa sebab-akibat tentu mruapakan hubungan yang bersifat niscaya. Kant membuat uraian
lebih lanjut tentang pengalaman. Barang sesuatu bagimana terdapat dalam dirinya sendiri
merangsang alat inderawi kita dengan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman
dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Bagi Kant para penganut emperisme
benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan didasarkan pada pengalaman. Tetapi para
penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksa bentuknya sendiri terhadap barang
sesuatu serta pengalaman.
5) Intersionisme (intuisi)
Herin Bergson (1859-1941) adalah tokok aliran ini. Ia menganggap tidak hanya indera yang
terbatas, akal juga terbatas aliran ini mengkritik aliran empirisme dan rasionalisme. Objek-objek
yang kita tangkap adalah objek yang selalu berubah. Jadi pengetahuan kita tentunya tidak tetap.
Intelek atau akal juga terbatas. Akal hanya dapat memahami suatu objek bila ia
mengkonsentrasikan dirinya pada objek itu, jadi dalam hal seperti itu manusiatidak mengetahui
keseluruhan (unique) tidak juga memahami sifat tetap pada objek. Dengan menyadari
keterbatasn indera dan akal, Bergson mengembangkan suatu kemampuan tingkat tinggi yang
dimiliki manusia, yaitu intuisi. Ini adalah hasil evolusi pemahaman tertinggi. Pengembangan
kemampuan ini (intiusi) memerlukan suatu usaha, kemampuan ini dapat memahami kebenaran
yang utuh, tetap dan unique.
6) Metode Ilmiah
Gabungan antara empirisme dan rasionalisme melahirkan suatu metode baru yaitu metode sains
(metode imiah) dari metode ini melahirkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan ialah jenis
pengetahuan yang logis dan memiliki bukti empiris (pengetauan yang logis-empiris). Jika hanya
menggunakan rasio (akal) maka pengetahuan yang diperoleh ialah pengetahuan filsafat.
Teori Hakikat
Teori hakikat membicarakan pengetahuan itu sendiri disebut ontologis. Apa itu hakikat?
Hakikat ialah realist. Realitas ialah ke-real-an; real artinya kenyataan yang sebenarnya; jadi hakikat
adalah keadaan yang sebenarnya, bukan keadaan sementara atas kesadaran sementara atau
44
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
kesadaran yang menipu bukan keadaan yang berubah. Kalau teori pengetahuan mempunyai cabang
epistimologi dan logika, maka teori hakikat mempunyai cabang sebagai berikut : ontology,
konsmologi, antropologi, theodologi, filsafat agama, filsafat umum, filsafat pendidikan dan lain-
lain. Ontologi merupakan cabang teori yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada. Apa
sebenarnya hakikat dan sesuatu yang ada?
Ada empat aliran filsafat yang mecoba memberikan jawaban atas persoalan tersebut, yaitu :
1. Materialisme 2. Idelisme 3. Dualisme 4. Agnostralisme
a. Materialisme
Materialism adalah suatu airan dalam filsafat yang pandanganya bertitik pada meteri (benda)
Materialism modern mengatakan bahwa materi itu ada sebelum jiwa ada (mains) jadi materi itu
primer dan ide/pemikiran terletak pada sekundernya. materialisme beranggapan bahwa hakikat
benda adalah benda itu sendiri.
b. Idealisme
Arti filsafat dari kata idealism ditentukan oleh artu biasa dari kata ide. Ringkasnya, idelaimse
mengatakan bahwa realitas terdiri dari atas ide-ide, pikiran-pikiran, akal (mind) atau jiawa (selp)
dan bukan benda (materi). Idealism juaga mengatakan bahwa mind sebagai hal yang lebih
dahulu dari pada materi. Idealism dam ,ateri adalah produk sampingan. Dengan demikian,
idealism beranggapan bahwa hakikat benda-benda yang ada itu adalah ide atau akal jiwa bukan
materi.
c. Dualisme
Dualisme adalah aliran yang mencoba memadukan antara dua faham yang saling bertentangan,
yaitu materialisme dengan idealisme. Materialism mengatakan bahwa materi itulah yang
hakikat, sedangkan idelaisme sebaliknya justru ide-lah yang hakikat. Menurut materialism ruh
muncul jika tanpa ada meteri, sedangkan menurut idealisme justru munculnya materi karena
adanya ruh. Materi tidak aka nada jika tidak ada ruh. Dualism mengatakan bahwabaik materi
maupun ruh sama-sama hakikat. Materi muncul bukan karena adanya ruh, begtu pla ruh muncul
bukan Karena materi. Tetapi dualism juga masih mempunyai masalah yaitu tentang hubungan
antara materi dan ruh, bagaimana bisa terjadi keselarasan antara materi dengan ruh atau ide.
Kita lihat contoh jika jiwa sehat maka badan pun sehat kelihatannya. Sebaliknya jika jiwa
seseorang sedang berduka biasanya badanpun ikut sedih, maka murunglah wajahnya orang
tersebut. Contoh di atas menggambarkan adanya hubungan atau kerjasama atara jiwa dan badan.
45
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
Masalahnya, kenapa terjadi bentuk kerjasama dan hubungan sedemikian rupa dan siapa yang
memadukannya? Ini adalah masalah dualisme.
d. Agnostraisme
Agnostraisme adalah aliran yang mengatakan bahwa manusia tidak mungkin mengetahui
hakikat sesuatu di balik kenyataan ini. Manusia tidak mungkin mengetahui apa hakikat batu, air,
api dan lain sebagainya. Sebab menurt faham ini kemampuan manusia sangat terbatas dan tidak
mungkin tahu apa hakikat sesuatu yang ada, baik oleh indera maupun pikirannya. Aliran ini
mempunyai masalah yaitu tentang siapa sebenarnya yang bisa mengetahui hakikat sesuatu yang
ada? Aliran ini tidak memberikan jawaban.
Teori Nilai
Teori nilai mencakup dua cabang, yaitu cabang filsafat yang cukup terkenal; etika dan
estetika, nilainya artinya harga, sesuatu mempunyai nilai bagi seseorang karena ia berharga bagi
dirinya.pada umumnya orang menyatakan bahwa nilai sesuatu melekat pada benda dan bukan di
luar benda, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa bila itu ada di luar benda.
a. Etika
Etika merupakan penyelidikan filsafat mengenai kewajiban manusia serta tingkah laku manusia
dilihat dari sisi baik dan buruknya tingkah laku tersebut. Atas dasar hak apa orang menuntut kita
unutk tunduk terhadap norma-norama yang berupa ketentuan, kewajiban, larangan dan lain
sebagainya. Bagimana kita bisa menilai norma tersebut? Pertanyaan-pertanyaan tersebuat timbul
karena hidup kita seakan-akan terentang dalam suatu jaringan norma-norma. Jaringan itu
seolah-olah membelenggu kita, mencegah kita bertindak sesuai keinginan kita dan memaksa
kita berbuat apa yang sebenarnya kita benci.
b. Estetika
Estetika membahas/membicarakan soal nilai rendah dan tidak rendah. Nilai baik dan buruk
sering diterpkan orang kepada perbuatan atau tindakan menusia, sedangkan nilai rendah da tidak
rendah lebih cenderung unutk diterapkan kepada soal seni. Estetika berusaha untuk menemukan
nilai yang indah secara umum sehingga tidak mustahil kalau akhirnya timbul beberapa teori
yang membicarakan hal itu.
46
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
Bagian III
Filsafat ; Filsafat Ilmu dan Kaitan Dengan Ilmu Pengetahuan
Filsafat Ilmu
A. Pengertian Filsafat Ilmu
Meskipun secara historis antara ilmu dan filsafat pernah merupakan suatu kesatuan, namun
dalam perkembangannya mengalami divergensi, dimana dominasi ilmu lebih kuat mempengaruhi
pemikiran manusia, kondisi ini mendorong pada upaya untuk memposisikan ke duanya secara tepat
sesuai dengan batas wilayahnya masing-masing, bukan untuk mengisolasinya melainkan untuk
lebih jernih melihat hubungan keduanya dalam konteks lebih memahami khazanah intelektual
manusia.
Filsafat mengambil peran penting karena dalam filsafat kita bisa menjumpai pandangan-
pandangan tentang apa saja (kompleksitas, mendiskusikan dan menguji kesahihan dan akuntabilitas
pemikiran serta gagasan-gagasan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan intelektual
(Bagir, 2005).
Menurut kamus Webster New World Dictionary, kata science berasal dari kata latin, scire
yang artinya mengetahui. Secara bahasa science berarti “keadaan atau fakta mengetahui dan sering
diambil dalam arti pengetahuan (knowledge) yang dikontraskan melalui intuisi atau kepercayaan.
Namun kata ini mengalami perkembangan dan perubahan makna sehingga berarti pengetahuan yang
sistematis yang berasal dari observasi, kajian, dan percobaan-percobaan yang dilakukan untuk
menetukan sifat dasar atau prinsip apa yang dikaji. Sedangkan dalam bahasa Arab, ilmu (ilm)
berasal dari kata alima yang artinya mengetahui. Jadi ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda
dengan science yang berasal dari kata scire. Namun ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda
dengan science (sains). Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang empirisme-positiviesme sedangkan
ilmu melampuinya dengan nonempirisme seperti matematika dan metafisika (Kartanegara, 2003).
Berbicara mengenai ilmu (sains) maka tidak akan terlepas dari filsafat. Tugas filsafat
pengetahuan adalah menunjukkan bagaimana “pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya”.
Will Duran dalam bukunya The story of Philosophy mengibaratkan bahwa filsafat seperti pasukan
marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri inilah sebagai
pengetahuan yang di antaranya ilmu. Filsafat yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan
47
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
keilmuan. Semua ilmu baik ilmu alam maupun ilmu sosial bertolak dari pengembangannya sebagai
filsafat. Nama asal fisika adalah filsafat alam (natural philosophy) dan nama asal ekonomi adalah
filsafat moral (moral philosophy). Issac Newton (1642-1627) menulis hukum-hukum fisika sebagai
Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (1686) dan Adam Smith (1723-1790) Bapak Ilmu
Ekonomi menulis buku The Wealth Of Nation (1776) dalam fungsinya sebagai Professor of Moral
Philosophy di Universitas Glasgow. Agus Comte dalam Scientific Metaphysic, Philosophy, Religion
and Science, 1963 membagi tiga tingkat perkembangan ilmu pengetahuan yaitu: religius, metafisic
dan positif. Dalam tahap awal asas religilah yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu
merupakan deduksi atau penjabaran religi. Tahap berikutnya orang mulai berspekulasi tentang
metafisika dan keberadaan wujud yang menjadi obyek penelaahan yang terbebas dari dogma religi
dan mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar postulat metafisik. Tahap terakhir adalah
tahap pengetahuan ilmiah (ilmu) di mana asas-asas yang digunakan diuji secara positif dalam proses
verifikasi yang obyektif. Tahap terakhir Inilah karakteristik sains yang paling mendasar selain
matematika.
Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau sering juga disebut epistimologi.
Epistimologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcmc yang berarti knowledge, pengetahuan dan
logos yang berarti teori. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854 yang
membuat dua cabang filsafat yakni epistemology dan ontology (on = being, wujud, apa + logos =
teori ), ontology ( teori tentang apa). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah
dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti
bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tak-ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang
disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuan yang telah
disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa; sehingga memenuhi asas pengaturan secara
prosedural, metologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya
sehingga memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.
Sedang pengetahuan tak-ilmiah adalah yang masih tergolong prailmiah. Dalam hal ini
berupa pengetahuan hasil serapan inderawi yang secara sadar diperoleh, baik yang telah lama
maupun baru didapat. Di samping itu termasuk yang diperoleh secara pasif atau di luar kesadaran
seperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi).
48
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
Pengetahuan Manusia
Pengetahuan Objek Paradigma Metode Kriteria
Sains Empiris Sains Metode Ilmiah Rasional
Empiris
Filsafat Abstrak Rasional Metode Rasional Rasional
rasional
Mistis Abstrak Mistis Latihan Percaya Rasa, Iman,
suprarasional Logis, kadang
empiris
Sumber ; Tafsir, Ahmad, 2006, Filsafat Ilmu
Dengan lain perkataan, pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas
prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri dengan
verifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya. Sedangkan pengetahuan yang prailmiah,
walaupun sesungguhnya diperoleh secara sadar dan aktif, namun bersifat acak, yaitu tanpa metode,
apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak dimasukkan dalam ilmu. Dengan demikian, pengetahuan
pra-ilmiah karena tidak diperoleh secara sistematis-metodologis ada yang cenderung menyebutnya
sebagai pengetahuan “naluriah”.
Dalam sejarah perkembangannya, di zaman dahulu yang lazim disebut tahap-mistik, tidak
terdapat perbedaan di antara pengetahuanpengetahuan yang berlaku juga untuk obyek-obyeknya.
Pada tahap mistik ini, sikap manusia seperti dikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya,
sehingga semua obyek tampil dalam kesemestaan dalam artian satu sama lain berdifusi menjadi
tidak jelas batas-batasnya. Tiadanya perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan itu mempunyai
implikasi sosial terhadap kedudukan seseorang yang memiliki kelebihan dalam pengetahuan untuk
dipandang sebagai pemimpin yang mengetahui segala-galanya. Fenomena tersebut sejalan dengan
tingkat kebudayaan primitif yang belum mengenal berbagai organisasi kemasyarakatan, sebagai
implikasi belum adanya diversifikasi pekerjaan. Seorang pemimpin dipersepsikan dapat merangkap
fungsi apa saja, antara lain sebagai kepala pemerintahan, hakim, guru, panglima perang, pejabat
pernikahan, dan sebagainya. Ini berarti pula bahwa pemimpin itu mampu menyelesaikan segala
masalah, sesuai dengan keanekaragaman fungsional yang dicanangkan kepadanya.
Tahap berikutnya adalah tahap-ontologis, yang membuat manusia telah terbebas dari
kepungan kekuatan-kekuatan gaib, sehingga mampu mengambil jarak dari obyek di sekitarnya, dan
dapat menelaahnya. Orang-orang yang tidak mengakui status ontologis obyek-obyek metafisika
pasti tidak akan mengakui status-status ilmiah dari ilmu tersebut. Itulah mengapa tahap ontologis
dianggap merupakan tonggak ciri awal pengembangan ilmu. Dalam hal ini subyek menelaah obyek
49
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
dengan pendekatan awal pemecahan masalah, semata-mata mengandalkan logika berpikir secara
nalar. Hal ini merupakan salah satu ciri pendekatan ilmiah yang kemudian dikembangkan lebih
lanjut menjadi metode ilmiah yang makin mantap berupa proses berpikir secara analisis dan
sintesis.
Dalam proses tersebut berlangsung logika berpikir secara deduktif, yaitu menarik
kesimpulan khusus dari yang umum. Hal ini mengikuti teori koherensi, yaitu perihal melekatnya
sifat yang terdapat kebenarannya, dengan kesimpulan yang pada gilirannya otomatis mempunyai
kepastian kebenaran. Dengan lain perkataan kesimpulan tersebut praktis sudah diarahkan oleh
kebenaran premis-premis yang bersangkutan. Walaupun kesimpulan tersebut sudah memiliki
kepastian kebenaran, namun mengingat bahwa prosesnya dipandang masih bersifat rasional abstrak,
maka harus dilanjutkan dengan logika berpikir secara induktif. Hal ini mengikuti teori
korespondensi, yaitu kesesuaian antara hasil pemikiran rasional dengan dukungan data empiris
melalui penelitian, dalam rangka menarik kesimpulan umum dari yang khusus. Sesudah melalui
tahap ontologis, maka dimasukan tahap akhir yaitu tahap fungsional.
Pada tahap fungsional, sikap manusia bukan saja bebas dari kepungan kekuatan-kekuatan
gaib, dan tidak semata-mata memiliki pengetahuan ilmiah secara empiris, melainkan lebih daripada
itu. Sebagaimana diketahui, ilmu tersebut secara fungsional dikaitkan dengan kegunaan langsung
bagi kebutuhan manusia dalam kehidupannya. Tahap fungsional pengetahuan sesungguhnya
memasuki proses aspel aksiologi filsafat ilmu, yaitu yang membahas amal ilmiah serta
profesionalisme terkait dengan kaidah moral.
Sementara itu, ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan pengetahuan dalam
satu nafas tercakup pula telaahan filsafat yang menyangkut pertanyaan mengenai hakikat ilmu.
Pertama, dari segi ontologis, yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. Ini
berarti sejak awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial. Dalam hal ini menyangkut yang
mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman inderawi.
Dengan demikian, meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya dapat
diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik kesimpulan. Dengan lain perkataan, tidak menggarap
hal-hal yang gaib seperti soal surga atau neraka yang menjadi garapan ilmu keagamaan.
Telaahan kedua adalah dari segi epistimologi, yaitu meliputi aspek normatif mencapai
kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek prosedural, metode dan teknik
memperoleh data empiris. Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi langkahlangkah
50
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
pokok dan urutannya, termasuk proses logika berpikir yang berlangsung di dalamnya dan sarana
berpikir ilmiah yang digunakannya. Telaahan ketiga ialah dari segi aksiologi, yang sebagaimana
telah disinggung di atas terkait dengan kaidah moral pengembangan penggunaan ilmu yang
diperoleh.
Harold H. Titus mengakui kesulitan untuk menyatakan secara tegas dan ringkas mengenai
hubungan antara ilmu dan filsafat, karena terdapat persamaan sekaligus perbedaan antara ilmu dan
filsafat, disamping dikalangan ilmuwan sendiri terdapat perbedaan pandangan dalam hal sifat dan
keterbatasan ilmu, dimikian juga dikalangan filsuf terdapat perbedaan pandangan dalam
memberikan makna dan tugas filsafat.
Adapun persamaan (lebih tepatnya persesuaian) antara ilmu dan filsafat adalah bahwa
keduanya menggunakan berfikir reflektif dalam upaya menghadapi/memahami fakta-fakta dunia
51
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
dan kehidupan, terhadap hal-hal tersebut baik filsafat maupun ilmu bersikap kritis, berfikiran
terbuka serta sangat konsern pada kebenaran, disamping perhatiannya pada pengetahuan yang
terorganisisr dan sistematis.
Sementara itu perbedaan filsafat dengan ilmu lebih berkaitan dengan titik tekan, dimana
ilmu mengkaji bidang yang terbatas, ilmu lebih bersifat analitis dan deskriptif dalam
pendekatannya, ilmu menggunakan observasi, eksperimen dan klasifikasi data pengalaman indra
serta berupaya untuk menemukan hukum-hukum atas gejala-gejala tersebut, sedangkan filsafat
berupaya mengkaji pengalaman secara menyeluruh sehingga lebih bersifat inklusif dan mencakup
hal-hal umum dalam berbagai bidang pengalaman manusia, filsafat lebih bersifat sintetis dan
sinoptis dan kalaupun analitis maka analisanya memasuki dimensi kehidupan secara menyeluruh
dan utuh, filsafat lebih tertarik pada pertanyaan kenapa dan bagaimana dalam mempertanyakan
masalah hubungan antara fakta khusus dengan skema masalah yang lebih luas, filsafat juga
mengkaji hubungan antara temuan-temuan ilmu dengan klaim agama, moral serta seni.
Dengan memperhatikan ungkapan di atas nampak bahwa filsafat mempunyai batasan yang
lebih luas dan menyeluruh ketimbang ilmu, ini berarti bahwa apa yang sudah tidak bisa dijawab
oleh ilmu, maka filsafat berupaya mencari jawabannya, bahkan ilmu itu sendiri bisa dipertanyakan
atau dijadikan objek kajian filsafat (Filsafat Ilmu), namun demikian filsafat dan ilmu mempunyai
kesamaan dalam menghadapi objek kajiannya yakni berfikir reflektif dan sistematis, meski dengan
titik tekan pendekatan yang berbeda.
Dengan demikian, Ilmu mengkaji hal-hal yang bersifat empiris dan dapat dibuktikan, filsafat
mencoba mencari jawaban terhadap masalah-masalah yang tidak bisa dijawab oleh Ilmu dan
jawabannya bersifat spekulatif, sedangkan Agama merupakan jawaban terhadap masalah-masalah
yang tidak bisa dijawab oleh filsafat dan jawabannya bersifat mutlak/dogmatis. Menurut Sidi
Gazlba (1976), Pengetahuan ilmu lapangannya segala sesuatu yang dapat diteliti (riset dan/atau
eksperimen) ; batasnya sampai kepada yang tidak atau belum dapat dilakukan penelitian.
Pengetahuan filsafat : segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh budi (rasio) manusia yang alami
(bersifat alam) dan nisbi; batasnya ialah batas alam namun demikian ia juga mencoba memikirkan
sesuatu yang diluar alam, yang disebut oleh agama “Tuhan”. Sementara itu Oemar Amin Hoesin
(1964) mengatakan bahwa ilmu memberikan kepada kita pengetahuan, dan filsafat memberikan
hikmat. Dari sini nampak jelas bahwa ilmu dan filsafat mempunyai wilayah kajiannya sendiri-
sendiri
52
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
Meskipun filsafat ilmu mempunyai substansinya yang khas, namun dia merupakan bidang
pengetahuan campuran yang perkembangannya tergantung pada hubungan timbal balik dan saling
pengaruh antara filsafat dan ilmu, oleh karena itu pemahaman bidang filsafat dan pemahaman ilmu
menjadi sangat penting, terutama hubungannya yang bersifat timbal balik, meski dalam
perkembangannya filsafat ilmu itu telah menjadi disiplin yang tersendiri dan otonom dilihat dari
objek kajian dan telaahannya.
Filsafat ilmu diperkenalkan sekitar abad XIX oleh sekelompok ahli ilmu pengetahuan dari
Universitas Wina. Para ahli ilmu pengetahuan yang dipelopori oleh Moris Schlick membentuk
suatu perkumpulan yang disebut Wina Circle untuk menyatukan semua disiplin ilmu
(kimia,fisika,matematika) pada suatu bahasa ilmiah dan cara bekerja ilmiah yang pasti dan logis.
Bidang keilmuan membutuhkan proses kerja ilmiah yang relevan dengan pokok perhatian yang
lebih spesifik. Karena itu saat ini filsafat ilmu sudah semakin berkembang dan menjadi filsafat
modern yang dibutuhkan dalam setiap ilmu.
Setelah mengenal pengertian dan makna apa itu filsafat dan apa itu ilmu, maka pemahaman
mengenai filsafat ilmu tidak akan terlalu mengalami kesulitan. Hal ini tidak berarti bahwa dalam
memaknai filsafat ilmu tinggal menggabungkan kedua pengertian tersebut, sebab sebagai suatu
istilah, filsafat ilmu telah mengalami perkembangan pengertian serta para akhli pun telah
memberikan pengertian yang bervariasi, namun demikian pemahaman tentang makna filsafat dan
makna ilmu akan sangat membantu dalam memahami pengertian dan makna filsafat ilmu
(Philosophy of science).
Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian filsafat
ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam Filsafat Ilmu, yang disusun oleh Ismaun (2001)
1) Robert Ackerman “philosophy of science in one aspect as a critique of current scientific
opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy of science is clearly not a
discipline autonomous of actual scientific paractice”. (Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah
suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan
terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi
filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
2) Lewis White Beck “Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific
thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole.
53
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
(Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba
menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan)
3) A. Cornelius Benjamin “That philosopic disipline which is the systematic study of the nature of
science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general
scheme of intellectual discipines. (Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah
sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-
praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual.)
4) Michael V. Berry “The study of the inner logic if scientific theories, and the relations between
experiment and theory, i.e. of scientific methods”. (Penelaahan tentang logika interen dari teori-
teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.)
5) May Brodbeck “Philosophy of science is the ethically and philosophically neutral analysis,
description, and clarifications of science.” (Analisis yang netral secara etis dan filsafati,
pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.
6) Peter Caws “Philosophy of science is a part of philosophy, which attempts to do for science
what philosophy in general does for the whole of human experience. Philosophy does two sorts
of thing: on the other hand, it constructs theories about man and the universe, and offers them
as grounds for belief and action; on the other, it examines critically everything that may be
offered as a ground for belief or action, including its own theories, with a view to the
elimination of inconsistency and error”. Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang
mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman
manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang
manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan
tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai
suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan
pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan.
7) Stephen R. Toulmin “As a discipline, the philosophy of science attempts, first, to elucidate the
elements involved in the process of scientific inquiry observational procedures, patens of
argument, methods of representation and calculation, metaphysical presuppositions, and so on
and then to veluate the grounds of their validity from the points of view of formal logic,
practical methodology and metaphysics”. (Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba
pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah
54
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
bahkan ada yang menyatakan telah terjadi upaya perceraian antara filsafat dengan ilmu, meski hal
itu sebenarnya hanya upaya menyembunyikan asal usulnya atau perpaduannya seperti terlihat dari
ungkapkan Husein Nasr (1996) bahwa :
“Meskipun sains modern mendeklarasikan independensinya dari aliran filsafat tertentu, namun
ia sendiri tetap berdasarkan sebuah pemahaman filosofis partikular baik tentang karakteristik
alam maupun pengetahuan kita tentangnya, dan unsur terpenting di dalamnya adalah
Cartesianisme yang tetap bertahan sebagai bagian inheren dari pandangan dunia ilmiah
modern”.
Dominasi ilmu terutama aplikasinya dalam bentuk teknologi telah menjadikan pemikiran-
pemikiran filosofis cenderung terpinggirkan, hal ini berdampak pada cara berfikir yang sangat
pragmatis-empiris dan partial, serta cenderung menganggap pemikiran radikal filosofis sebagai
sesuatu yang asing dan terasa tidak praktis, padahal ilmu yang berkembang dewasa ini di dalamnya
terdapat pemahaman filosofis yang mendasarinya sebagaimana kata Nasr .
Perkembangan ilmu memang telah banyak pengaruhnya bagi kehidupan manusia, berbagai
kemudahan hidup telah banyak dirasakan, semua ini telah menumbuhkan keyakinan bahwa ilmu
merupakan suatu sarana yang penting bagi kehidupan, bahkan lebih jauh ilmu dianggap sebagai
dasar bagi suatu ukuran kebenaran. Akan tetapi kenyataan menunjukan bahwa tidak semua masalah
dapat didekati dengan pendekatan ilmiah, sekuat apapun upaya itu dilakukan, seperti kata
Leenhouwers yang menyatakan:
“Walaupun ilmu pengetahuan mencari pengertian menerobos realitas sendiri, pengertian
itu hanya dicari di tataran empiris dan eksperimental. Ilmu pengetahuan membatasi
kegiatannya hanya pada fenomena-fenomena, yang entah langsung atau tidak langsung,
dialami dari pancaindra. Dengan kata lain ilmu pengetahuan tidak menerobos kepada inti
objeknya yang sama sekali tersembunyi dari observasi. Maka ia tidak memberi jawaban
prihal kausalitas yang paling dalam”.
Pernyataan di atas mengindikasikan bahwa adalah sulit bahkan tidak mungkin ilmu mampu
menembus batas-batas yang menjadi wilayahnya yang sangat bertumpu pada fakta empiris,
memang tidak bisa dianggap sebagai kegagalan bila demikian selama klaim kebenaran yang
disandangnya diberlakukan dalam wilayahnya sendiri, namun jika hal itu menutup pintu refleksi
radikal terhadap ilmu maka hal ini mungkin bisa menjadi ancaman bagi upaya memahami
kehidupan secara utuh dan kekayaan dimensi di dalamnya.
56
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
Meskipun dalam tahap awal perkembangan pemikiran manusia khususnya jaman Yunani
kuno cikal bakal ilmu terpadu dalam filsafat, namun pada tahap selanjutnya ternyata telah
melahirkan berbagai disiplin ilmu yang masing-masing mempunyai asumsi filosofisnya (khususnya
tentang manusia) masing-masing. Ilmu ekonomi memandang manusia sebagai homo economicus
yakni makhluk yang mementingkan diri sendiri dan hedonis, sementara sosiologi memandang
manusia sebagai homo socius yakni makhluk yang selalu ingin berkomunikasi dan bekerjasama
dengan yang lain, hal ini menunjukan suatu pandangan manusia yang fragmentaris dan kontradiktif,
memang diakui bahwa dengan asumsi model ini ilmu-ilmu terus berkembang dan makin
terspesialisasi, dan dengan makin terspesialisasi maka analisisnya makin tajam, namun seiring
dengan itu hasil-hasil penelitian ilmiah selalu berusaha untuk mampu membuat generalisasi, hal ini
nampak seperti contradictio in terminis (pertentangan dalam istilah)
Dengan demikian eksistensi ilmu mestinya tidak dipandang sebagai sesuatu yang sudah
final, dia perlu dikritisi, dikaji, bukan untuk melemahkannya tapi untuk memposisikan secara tepat
dalam batas wilayahnya, hal inipun dapat membantu terhindar dari memutlakan ilmu dan
menganggap ilmu dan kebenaran ilmiah sebagai satu-satunya kebenaran, disamping perlu terus
diupayakan untuk melihat ilmu secara integral bergandengan dengan dimensi dan bidang lain yang
hidup dan berkembang dalam memperadab manusia. Dalam hubungan ini filsafat ilmu akan
membukakan wawasan tentang bagaimana sebenarnya substansi ilmu itu, hal ini karena filsafat ilmu
merupakan pengkajian lanjutan, yang menurut Beerleng, sebagai Refleksi sekunder atas illmu dan
ini merupakan syarat mutlak untuk menentang bahaya yang menjurus kepada keadaan cerai berai
serta pertumbuhan yang tidak seimbang dari ilmu-ilmu yang ada, melalui pemahaman tentang asas-
asas, latar belakang serta hubungan yang dimiliki/dilaksanakan oleh suatu kegiatan ilmiah.
Dilihat dari segi katanya filsafat ilmu dapat dimaknai sebagai filsafat yang berkaitan dengan
atau tentang ilmu. Filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat pengetahuan secara umum, ini
dikarenakan ilmu itu sendiri merupakan suatu bentuk pengetahuan dengan karakteristik khusus,
namun demikian untuk memahami secara lebih khusus apa yang dimaksud dengan filsafat ilmu,
maka diperlukan pembatasan yang dapat menggambarkan dan memberi makna khusus tentang
istilah tersebut.
Pengertian-pengertian di atas menggambarkan variasi pandangan beberapa akhli tentang
makna filsafat ilmu. Peter Caw memberikan makna filsafat ilmu sebagai bagian dari filsafat yang
kegiatannya menelaah ilmu dalam kontek keseluruhan pengalaman manusia, Steven R. Toulmin
57
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
memaknai filsafat ilmu sebagai suatu disiplin yang diarahkan untuk menjelaskan hal-hal yang
berkaitan dengan prosedur penelitian ilmiah, penentuan argumen, dan anggapan-anggapan metafisik
guna menilai dasar-dasar validitas ilmu dari sudut pandang logika formal, dan metodologi praktis
serta metafisika. Sementara itu White Beck lebih melihat filsafat ilmu sebagai kajian dan evaluasi
terhadap metode ilmiah untuk dapat difahami makna ilmu itu sendiri secara keseluruhan, masalah
kajian atas metode ilmiah juka dikemukakan oleh Michael V. Berry setelah mengungkapkan dua
kajian lainnya yaitu logika teori ilmiah serta hubungan antara teori dan eksperimen, demikian juga
halnya Benyamin yang memasukan masalah metodologi dalam kajian filsafat ilmu disamping posisi
ilmu itu sendiri dalam konstelasi umum disiplin intelektual (keilmuan).
Menurut The Liang Gie, filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-
persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan
segala segi kehidupan manusia. Pengertian ini sangat umum dan cakupannya luas, hal yang penting
untuk difahami adalah bahwa filsafat ilmu itu merupakan telaah kefilsafatan terhadap hal-hal yang
berkaitan/menyangkut ilmu, dan bukan kajian di dalam struktur ilmu itu sendiri. Terdapat beberapa
istilah dalam pustaka yang dipadankan dengan Filsafat ilmu seperti : Theory of science, meta
science, methodology, dan science of science, semua istilah tersebut nampaknya menunjukan
perbedaan dalam titik tekan pembahasan, namun semua itu pada dasarnya tercakup dalam kajian
filsafat ilmu .
Sementara itu Gahral Adian mendefinisikan filsafat ilmu sebagai cabang filsafat yang
mencoba mengkaji ilmu pengetahuan (ilmu) dari segi ciri-ciri dan cara pemerolehannya. Filsafat
ilmu selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar/radikal terhadap ilmu seperti tentang
apa ciri-ciri spesifik yang menyebabkan sesuatu disebut ilmu, serta apa bedanya ilmu dengan
pengetahuan biasa, dan bagaimana cara pemerolehan ilmu, pertanyaan - pertanyaan tersebut
dimaksudkan untuk membongkar serta mengkaji asumsi-asumsi ilmu yang biasanya diterima begitu
saja (taken for granted), Dengan demikian filsafat ilmu merupakan jawaban filsafat atas pertanyaan
ilmu atau filsafat ilmu merupakan upaya penjelasan dan penelaahan secara mendalam hal-hal yang
berkaitan dengan ilmu, apabila digambarkan hubungan tersebut nampak sebagai berikut :
58
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
Menjawab
Bertanya
Secara historis filsafat merupakan induk ilmu, dalam perkembangannya ilmu makin
terspesifikasi dan mandiri, namun mengingat banyaknya masalah kehidupan yang tidak bisa
dijawab oleh ilmu, maka filsafat menjadi tumpuan untuk menjawabnya, filsafat memberi penjelasan
atau jawaban substansial dan radikal atas masalah tersebut, sementara ilmu terus mengembangakan
dirinya dalam batas-batas wilayahnya, dengan tetap dikritisi secara radikal, proses atau interaksi
tersebut pada dasarnya merupakan bidang kajian Filsafat Ilmu, oleh karena itu filsafat ilmu dapat
dipandang sebagai upaya menjembatani jurang pemisah antara filsafat dengan ilmu, sehingga ilmu
tidak menganggap rendah pada filsafat, dan filsafat tidak memandang ilmu sebagai suatu
pemahaman atas alam secara dangkal.
59
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
Albert Einstein, sehingga hal itu telah menimbulkan keprihatinan filosof tentang arah kemajuan
peradaban manusia sebagai akibat perkembangan ilmu (Iptek) .
Untuk itu nampaknya para filosof dan ilmuan perlu merenungi apa yang dikemukakan
Harold H Titus dalam bukunya Living Issues in Pilosophy (1959), beliau mengutif beberapa
pendapat cendikiawan seperti Northrop yang mengatakan “ it would seem that the more civilized we
become , the more incapable of maintaining civilization we are”, demikian juga pernyataan Lewis
Mumford yang berbicara tentang “the invisible breakdown in our civiliozation : erosion of value, the
dissipation of human purpose, the denial of any dictinction between good and bad, right or wrong,
the reversion to sub human conduct” (Harold H Titus, 1959 : 3)
Ungkapan tersebut di atas hanya untuk menunjukan bahwa memasuki dasawarsa 1960-an
kecenderungan mempertanyakan manfaat ilmu menjadi hal yang penting, sehingga pada periode ini
(1960-1970) dimensi aksiologis menjadi perhatian para filosof, hal ini tak lain untuk meniupkan
ruh etis dan agamis pada ilmu, agar pemanfaatannya dapat menjadi berkah bagi manusia dan
kemanusiaan , sehingga telaah pada fakta empiris berkembang ke pencarian makna dibaliknya atau
seperti yang dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Ismaun, M.Pd (2000 : 131) dari telaah positivistik ke
telaah meta-science yang dimulai sejak tahun 1965.
Memasuki tahun 1970-an , pencarian makna ilmu mulai berkembang khususnya di kalangan
pemikir muslim , bahkan pada dasawarsa ini lahir gerakan islamisasi ilmu, hal ini tidak terlepas dari
sikap apologetik umat islam terhadap kemajuan barat, sampai-sampai ada ide untuk melakukan
sekularisasi, seperti yang dilontarkan oleh Nurcholis Majid pada tahun 1974 yang kemudian banyak
mendapat reaksi keras dari pemikir-pemikir Islam seperti dari Prof. H.M Rasyidi dan Endang
Saifudin Anshori.
Mulai awal tahun 1980-an, makin banyak karya cendekiawan muslim yang berbicara
tentang integrasi ilmu dan agama atau islamisasi ilmu, seperti terlihat dari berbagai karya mereka
yang mencakup variasi ilmu seperti karya Ilyas Ba Yunus tentang Sosiologi Islam, serta karya-
karya dibidang ekonomi, seperti karya Syed Haider Naqvi Etika dan Ilmu Ekonomi, karya Umar
Chapra Al Qur‟an, menuju sistem moneter yang adil, dan karya-karya lainnya , yang pada intinya
semua itu merupakan upaya penulisnya untuk menjadikan ilmu-ilmu tersebut mempunyai landasan
nilai islam.
Memasuki tahun 1990-an , khususnya di Indosesia perbincangan filsafat diramaikan dengan
wacana post modernisme, sebagai suatu kritik terhadap modernisme yang berbasis positivisme
60
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
yang sering mengklaim universalitas ilmu, juga diskursus post modernisme memasuki kajian-kajian
agama.
Post modernisme yang sering dihubungkan dengan Michael Foccault dan Derrida dengan
beberapa konsep/paradigma yang kontradiktif dengan modernisme seperti dekonstruksi,
desentralisasi, nihilisme dsb, yang pada dasarnya ingin menempatkan narasi-narasi kecil ketimbang
narasi-narasi besar, namun post modernisme mendapat kritik keras dari Ernest Gellner dalam
bukunya Post modernism, Reason and Religion yang terbit pada tahun1992. Dia menyatakan bahwa
post modernisme akan menjurus pada relativisme dan untuk itu dia mengajukan konsep
fundamentalisme rasionalis, karena rasionalitas merupakan standar yang berlaku lintas budaya.
Disamping itu gerakan meniupkan nilai-nilai agama pada ilmu makin berkembang, bahkan
untuk Indonesia disambut hangat oleh ulama dan masyarakat terlihat dari berdirinya BMI, yang
pada dasarnya hal ini tidak terlepas dari gerakan islamisasi ilmu, khususnya dalam bidang ilmu
ekonomi.
Dan pada periode ini pula teknologi informasi sangat luar biasa , berakibat pada makin
pluralnya perbincangan/diskursus filsafat, sehingga sulit menentukan diskursus mana yang paling
menonjol, hal ini mungkin sesuai dengan apa yang digambarkan oleh Alvin Tofler sebagai The third
Wave, dimana informasi makin cepat memasuki berbagai belahan dunia yang pada gilirannya akan
mengakibatkan kejutan-kejutan budaya tak terkecuali bidang pemikiran filsafat.
Meskipun nampaknya perkembangan Filsafat ilmu erat kaitan dengan dimensi axiologi atau
nilai-nilai pemanfaatan ilmu, namun dalam perkembangannya keadaan tersebut telah juga
mendorong para akhli untuk lebih mencermati apa sebenarnya ilmu itu atau apa hakekat ilmu,
mengingat dimensi ontologis sebenarnya punya kaitan dengan dimensi-dimensi lainnya seperti
ontologi dan epistemologi, sehingga dua dimensi yang terakhir pun mendapat evaluasi ulang dan
pengkajian yang serius.
Diantara tonggak penting dalam bidang kajian ilmu (filsafat ilmu) adalah terbitnya Buku
The Structure of Scientific Revolution yang ditulis oleh Thomas S Kuhn, yang untuk pertama
kalinya terbit tahun 1962, buku ini merupakan sebuah karya yang monumental mengenai
perkembangan sejarah dan filsafat sains, dimana didalamnya paradigma menjadi konsep sentral,
disamping konsep sains/ilmu normal. Dalam pandangan Kuhn ilmu pengetahuan tidak hanya
pengumpulan fakta untuk membuktikan suatu teori, sebab selalu ada anomali yang dapat
mematahkan teori yang telah dominan.
61
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
62
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
Sains Normal
Paradigma
Anomali
Paradigma Baru
Pencapaian sain normal dan paradigma baru bukanlah akhir , tapi menjadi awal bagi proses
perubahan paradigma dan revolusi sains berikutnya, bila terdapat anomali atas prediksi sains normal
yang baru tersebut. Pendapat Kuhn tersebut pada dasarnya mengindikasikan bahwa secara
substansial kebenaran ilmu bukanlah sesuatu yang tak tergoyahkan, suatu paradigma yang berlaku
pada suatu saat, pada saat yang lain bisa tergantikan dengan paradigma baru yang telah mendapat
pengakuan dari masyarakat ilmiah, itu berarti suatu teori sifatnya sangat tentatif sekali.
kemasyarakatan, serta telah menjadi dasar penting yang mempengaruhi penentuan prilaku manusia.
Keadaan ini berakibat pada karakterisasi ciri ilmu modern, adapun ciri-ciri tersebut adalah :
1) Bertumpu pada paradigma positivisme. Ciri ini terlihat dari pengembangan ilmu dan teknologi
yang kurang memperhatikan aspek nilai baik etis maupun agamis, karena memang salah satu
aksioma positivisme adalah value free yang mendorong tumbuhnya prinsip science for science.
2) Mendorong pada tumbuhnya sikap hedonisme dan konsumerisme. Berbagai pengembangan
ilmu dan teknologi selalu mengacu pada upaya untuk meningkatkan kenikmatan hidup,
meskipun hal itu dapat mendorong gersangnya ruhani manusia akibat makin memasyarakatnya
budaya konsumerisme yang terus dipupuk oleh media teknologi modern seperti iklan besar-
besaran yang dapat menciptakan kebutuhan semu yang oleh Herbert Marcuse didefinisikan
sebagai kebutuhan yang ditanamkan ke dalam masing-masing individu demi kepentingan sosial
tertentu dalam represinya (M. Sastrapatedja, 1982 : 125)
3) Perkembangannya sangat cepat . Pencapaian sain ddan teknologi modern menunjukan
percepatan yang menakjubkan , berubah tidak dalam waktu tahunan lagi bahkan mungkin
dalam hitungan hari, ini jelas sangat berbeda denngan perkembangan iptek sebelumnya yang
kalau menurut Alfin Tofler dari gelombang pertama (revolusi pertanian) memerlukan waktu
ribuan tahun untuk mencapai gelombang ke dua (revolusi industri, dimana sebagaimana
diketahui gelombang tersebut terjadi akibat pencapaian sains dan teknologi.
4) Bersifat eksploitatif terhadap lingkungan. Berbagai kerusakan lingkungan hidupdewasa ini tidak
terlepas dari pencapaian iptek yang kurang memperhatikan dampak lingkungan.
64
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
positivisme sebagai reaksi atas pendirian positivisme, dimana dalam pandangan ini, kebenaran
bukan sesuatu yang tunggal (it is an increasing complexity) sebagaimana diyakini positivisme.
Namun demikian paradigma yang paling menonjol di jaman modern ini nampaknya adalah
positivisme, meskipun ada beberapa sempalan dalam positivisme itu (Ahmad Sanusi, Majalah
Matahari : 12). Untuk lebih mengetahui berbagai paradigma sains modern, penulis sajikan tabel
berikut yang dikutip oleh Ahmad Sanusi dalam Majalah Matahari halaman 12 sebagai berikut :
Macam-macam paradigma ilmu
Sumber/Daya
Aliran Titik
/Potensi Bentuk Pengetahuan Model Modalitas Esensi
Paradigma Berat
Pengertian Dan Dan Tugasnya Verifikasi Menyeluruh Ontologis
Wacana Ilmu Pada
Tugasnya
Positivistik Akal sehat dan Empirikal statistik Fakta Konsistensi Obyek yang Realitas
melakukan dan memilih metoda dan kepastian spesifik dan terukur yang
observasi yang memisah/
empirikal, khusus
rasional/logis
Formalistik/ Nalar reflektif Empirikal statistikal Metode Konsistensi Obyek yang Realitas
Strukturalistik dan menemukan dan menyusun fakta empirikal spesifik dan terukur yang
makna melanjut
Penafsiran Intuisi dan Teoritikal filosofis Makna Kohesi Identitas obyek ya- Realitas
(Interpretatif) menemukan subyektivitas teoritik ng masuk akal dan yang
metoda Transendental, dan kemampuan men- melanjut
menjelaskan teori transformasikan
Teoritis Intuisi dan Teoritikal filosofis Teori Kohesi Identitas obyek Realitas
menemukan nilai menemukan makna teoritik yang masuk akal yang
dan karakteristik menyatu
yang unggul
Kritis Intuisi dan Personal sosial dan Nilai Konsensus Identitas obyek Realitas
menemukan teori melakukan atas dasar yang masuk akal yang
observasi pengalaman dan karakteristik menyatu
yang unggul
Pengamat Akal sehat dan Personal sosial dan Observas Konsensus Identitas obyek Realitas
Partisipan menemukan fakta menemukan fakta i atas dasar yang masuk akal yang
pengalaman dan fungsi yang memisah
khas
Paradigma-paradigma yang tercantum dalam tabel tersebut masih dapat dikelompokan pada
kategori yang sama atau mendekati. Dilihat dari esensi ontologisnya paradigma positivistik sama
dengan pengamat partisipan yakni bahwa realitas itu terpisah, paradigma teoritis sama dengan
paradigma kritis, sedang paradigma formalistik strukturalis sama dengan paradigma interpretatif.
Dilihat dari sumber, positivistik sama dengan pengamat partisipan dan mendekati paradigma
interpretatif serta formalistik strukturalis, sedangkan paradigma teoritis sama dengan paradigma
kritis.
65
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
Dari segi bentuk pengetahuan, positivistik sama dengan formalistik, interpretatif sama
dengan teoritis, sedangkan paradigma kritis sama dengan paradigma pengamat partisipan , demikian
juga dilihat dari segi model verifikasi banyak kesamaannya, hanya dari tugas dan titik berat keenam
paradigma itu berbeda.
Namun demikian paradigma yang paling menonjol sekarang ini adalah paradigma
positivistik, dimana kenyataan menunjukan paradigma ini banyak memberikan sumbangan bagi
perkembangan teknologi dewasa ini , akan tetapi tidak berarti paradigma lainnya tidak berperan ,
peranannya tetap ada terutama dalam hal-hal yang tak dapat dijelaskan oleh paradigma positivistik ,
hal ini terlihat dengan berkembangnya paradigma naturalistik yang telah mendorong
berkembangnya penelitian kualitatif . oleh karena itu nampaknya paradigma-paradigma tersebut
tidak bersifat saling menghilangkan tapi lebih bersipat saling melengkapi , hal ini didasari
keyakinan betapa kompleksnya realitas dunia dan kehidupan di dalamnya.
pengetahuan dalam arti umum baik itu kajian mengenai pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah,
maupun pengetahuan filosofis, metodologi ilmu adalah telaahan atas metode yang dipergunakan
oleh suatu ilmu, baik dilihat dari struktur logikanya, maupun dalam hal validitas metodenya.
Masalah logis berkaitan dengan telaahan mengenai kaidah-kaidah berfikir benar, terutama
berkenaan dengan metode deduksi. Problem etis berkaitan dengan aspek-aspek moral dari suatu
ilmu, apakah ilmu itu hanya untuk ilmu, ataukah ilmu juga perlu memperhatikan kemanfaatannya
dan kaidah-kaidah moral masyarakat. Sementara itu masalah estetis berkaitan dengan dimensi
keindahan atau nilai-nilai keindahan dari suatu ilmu, terutama bila berkaitan dengan aspek
aplikasinya dalam kehidupan masyarakat.
F. Kebenaran Ilmu
Ilmu pada dasarnya merupakan upaya manusia untuk menjelaskan berbagai fenomena
empiris yang terjadi di alam ini, tujuan dari upaya tersebut adalah untuk memperoleh suatu
pemahaman yang benar atas fenomena tersebut. Terdapat kecenderungan yang kuat sejak
berjayanya kembali akal pemikiran manusia adalah keyakinan bahwa ilmu merupakan satu-satunya
sumber kebanaran, segala sesuatu penjelasan yang tidak dapat atau tidak mungkin diuji, diteliti, atau
diobservasi adalah sesuatu yang tidak benar, dan karena itu tidak patut dipercayai.
Akan tetapi kenyataan menunjukan bahwa tidak semua masalah dapat dijawab dengan ilmu,
banyak sekali hal-hal yang merupakan konsern manusia, sulit, atau bahkan tidak mungkin
dijelaskan oleh ilmu seperti masalah Tuhan, Hidup sesudah mati, dan hal-hal lain yang bersifat non
– empiris. Oleh karena itu bila manusia hanya mempercayai kebenaran ilmiah sebagai satu-satunya
kebenaran, maka dia telah mempersempit kehidupan dengan hanya mengikatkan diri dengan dunia
empiris, untuk itu diperlukan pemahaman tentang apa itu kebenaran baik dilihat dari jalurnya
(gradasi berfikir) maupun macamnya.
Bila dilihat dari gradasi berfikir kebenaran dapat dikelompokan kedalam empat gradasi
berfikir yaitu :
1) Kebenaran biasa. Yaitu kebenaran yang dasarnya adalah common sense atau akal sehat.
Kebenaran ini biasanya mengacu pada pengalaman individual tidak tertata dan sporadis
sehingga cenderung sangat subjektif sesuai dengan variasi pengalaman yang dialaminya. Namun
demikian seseorang bisa menganggapnya sebagai kebenaran apabila telah dirasakan manfaat
praktisnya bagi kehidupan individu/orang tersebut.
68
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
2) Kebenaran Ilmu. Yaitu kebenaran yang sifatnya positif karena mengacu pada fakta-fakta
empiris, serta memungkinkan semua orang untuk mengujinya dengan metode tertentu dengan
hasil yang sama atau paling tidak relatif sama.
3) Kebenaran Filsafat. Kebenaran model ini sifatnya spekulatif, mengingat sulit/tidak mungkin
dibuktikan secara empiris, namun bila metode berfikirnya difahami maka seseorang akan
mengakui kebenarannya. Satu hal yang sulit adalah bagaimana setiap orang dapat
mempercayainya, karena cara berfikir dilingkungan filsafatpun sangat bervariasi.
4) Kebenaran Agama. Yaitu kebenaran yang didasarkan kepada informasi yang datangnya dari
Tuhan melalui utusannya, kebenaran ini sifatnya dogmatis, artinya ketika tidak ada kefahaman
atas sesuatu hal yang berkaitan dengan agama, maka orang tersebut tetap harus mempercayainya
sebagai suatu kebenaran.
Dari uraian di atas nampak bahwa maslah kebenaran tidaklah sederhana, tingkatan-
tingkatan/gradasi berfikir akan menentukan kebenaran apa yang dimiliki atau diyakininya, demikian
juga sifat kebenarannya juga berbeda. Hal ini menunjukan bahwa bila seseorang berbicara
mengenai sesuatu hal, dan apakah hal itu benar atau tidak, maka pertama-tama perlu dianalisis
tentang tataran berfikirnya, sehingga tidak serta merta menyalahkan atas sesuatu pernyataan, kecuali
apabila pembicaraannya memang sudah mengacu pada tataran berfikir tertentu.
Dalam konteks Ilmu, kebenaran pun mendapatkan perhatian yang srius, pembicaraan
masalah ini berkaitan dengan validitas pengetahuan/ilmu, apakah pengetahuan yang diliki seseorang
itu benar/valid atau tidak, untuk itu para akhli mengemukakan berbagai teori kebenaran (Theory of
Truth), yang dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis teori kebenaran yaitu :
1) Teori korespondensi (The Correspondence theory of truth). Menurut teori ini kebenaran, atau
sesuatu itu dikatakan benar apabila terdapat kesesuaian antara suatu pernyataan dengan faktanya
(a proposition-or meaning-is true if there is a fact to which it correspond, if it expresses what is
the case). Menurut White Patrick “truth is that which conforms to fact, which agrees with
reality, which corresponds to the actual situation. Truth, then can be defined as fidelity to
objective reality”. Sementara itu menurut Rogers, keadaan benar (kebenaran) terletak dalam
kesesuaian antara esensi atau arti yang kita berikan dengan esensi yang terdapat di dalam
objeknya. Contoh : kalau seseorang menyatakan bahwa Jakarta adalah ibukota Indonesia, maka
pernyataan itu benar kalau dalam kenyataannya memang ibukota Indonesia itu Jakarta.
69
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
2) Teori Konsistensi (The coherence theory of truth). Menurut teori ini kebenaran adalah keajegan
antara suatu pernyataan dengan pernyataan lainnya yang sudah diakui kebenarannya, jadi suatu
proposisi itu benar jika sesuai/ajeg atau koheren dengan proposisi lainnya yang benar.
Kebenaran jenis ini biasanya mengacu pada hukum-hukum berfikir yang benar. Misalnya
Semua manusia pasti mati, Uhar adalah Manusia, maka Uhar pasti mati, kesimpulan uhar pasti
mati sangat tergantung pada kebenaran pernyataan pertama (semua manusia pasti mati).
3) Teori Pragmatis (The Pragmatic theory of truth). Menurut teori ini kebenaran adalah sesuatu
yang dapat berlaku, atau dapat memberikan kepuasan, dengan kata lain sesuatu pernyataan atau
proposisi dikatakan benar apabila dapat memberi manfaat praktis bagi kehidupan, sesuatu itu
benar bila berguna.
Teori-teori kebenaran tersebut pada dasarnya menunjukan titik berat kriteria yang berbeda, teori
korespondensi menggunakan kriteria fakta, oleh karena itu teori ini bisa disebut teori kebenaran
empiris, teori koherensi menggunakan dasar fikiran sebagai kriteria, sehingga bisa disebut sebagai
kebenaran rasional, sedangkan teori pragmatis menggunakan kegunaan sebagai kriteria, sehingga
bisa disebut teori kebenaran praktis.
G. Keterbatasan Ilmu
Hubungan antara filsafat dengan ilmu yang dapat terintegrasi dalam filsafat ilmu, dimana
filsafat mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ilmu, menunjukan adanya
keterbatasan ilmu dalam menjelaskan berbagai fenomena kehidupan. Disamping itu dilingkungan
wilayah ilmu itu sendiri sering terjadi sesuatu yang dianggap benar pada satu saat ternyata disaat
lain terbukti salah, sehingga timbul pertanyaan apakan kebenaran ilmu itu sesuatu yang mutlak ?,
dan apakah seluruh persoalan manusia dapat dijelaskan oleh ilmu ?. pertanyaan-pertanyaan tersebut
sebenarnya menggambarkan betapa terbatasnya ilmu dalam mengungkap misteri kehidupan serta
betapa tentatifnya kebenaran ilmu.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya diungkapkan pendapat para ahli berkaitan
dengan keterbatasan ilmu, para akhli tersebut antara lain adalah :
a) Jean Paul Sartre menyatakan bahwa ilmu bukanlah sesuatu yang sudah selesai terfikirkan,
sesuatu hal yang tidak pernah mutlak, sebab selalu akan disisihkan oleh hasil-hasil penelitian
dan percobaan baru yang dilakukan dengan metode-metode baru atau karena adanya
70
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
perlengkapan-perlengkapan yang lebih sempurna, dan penemuan baru tiu akan disisihkan pula
oleh akhli-akhli lainnya.
b) D.C Mulder menyatakan bahwa tiap-tiap akhli ilmu menghadapi soal-soal yang tak dapat
dipecahkan dengan melulu memakai ilmu itu sendiri, ada soal-soal pokok atau soal-soal dasar
yang melampaui kompetensi ilmu, misalnya apakah hukum sebab akibat itu ?, dimanakah batas-
batas lapangan yang saya selidiki ini?, dimanakah tempatnya dalam kenyataan seluruhnya ini?,
sampai dimana keberlakuan metode yang digunakan?. Jelaslah bahwa untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut ilmu memerlukan instansi lain yang melebihi ilmu yakni filsafat.
c) Harsoyo menyatakan bahwa ilmu yang dimiliki umat manusia dewasa ini belumlah seberapa
dibandingkan dengan rahasia alam semesta yang melindungi manusia. Ilmuwan-ilmuwan besar
biasanya diganggu oleh perasaan agung semacam kegelisahan batin untuk ingin tahu lebih
banyak, bahwa yang diketahui itu masih meragu-ragukan, serba tidak pasti yang menyebabkan
lebih gelisah lagi, dan biasanya mereka adalah orang-orang rendah hati yang makin berisi makin
menunduk. Selain itu Harsoyo juga mengemukakan bahwa kebenaran ilmiah itu tidaklah absolut
dan final sifatnya. Kebenaran-kebenaran ilmiah selalu terbuka untuk peninjauan kembali
berdasarkan atas adanya fakta-fakta baru yang sebelumnya tidak diketahui.
d) J. Boeke menyatakan bahwa bagaimanapun telitinya kita menyelidiki peristiwa-peristiwa yang
dipertunjukan oleh zat hidup itu, bagaimanapunjuga kita mencoba memperoleh pandangan yang
jitu tentang keadaan sifatzat hidup itu yang bersama-sama tersusun, namun asas hidup yang
sebenarnya adalah rahasiah abadi bagi kita, oleh karena itu kita harus menyerah dengan
perasaan saleh dan terharu.
Dengan memperhatikan penjelasan di atas, nampak bahwa ilmu itu tidak dapat dipandang
sebagai dasar mutlak bagi pemahaman manusia tentang alam, demikian juga kebenaran ilmu harus
dipandang secara tentatif, artinya selalu siap berubah bila ditemukan teori-teori baru yang
menyangkalnya. Dengan demikian dapatlah ditarik kesimpulan berkaitan dengan keterbatasan ilmu
yaitu :
a) Ilmu hanya mengetahui fenomena bukan realitas, atau mengkaji realitas sebagai suatu
fenomena (science can only know the phenomenal, or know the real through and as
phenomenal (R. Tennant)
b) Ilmu hanya menjelaskan sebagian kecil dari fenomena alam/kehidupan manusia dan
lingkungannya
71
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
72
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
1. Filsafat mempunyai objek yang lebih luas, sifatnya universal, sedangkan ilmu objeknya terbatas,
khusus lapangannya saja.
2. Filsafat hendak memberikan pengetahuan, insight/pemahaman lebih dalam dengan
menunjukkan sebab-sebab yang terakhir. Sedangkan ilmu juga menunjukkan sebab-sebab, tetapi
yang tak begitu mendalam. Dengan satu kalimat dapat dikatakan:
- Ilmu mengatakan “bagaimana” barang-barang itu (to know ..., technical know how,
managerial know how ..., secundary causes, and proximate explanation)
- Filsafat mengatakan “apa” barang-barang itu (to know `what` and `why` ..., first causes,
highest principles, and ultimate explanation)
3. Filsafat memberikan sintesis kepada ilmu-ilmu yang khusus, mempersatukan, dan
mengkoordinasikannya.
4. Lapangan filsafat mungkin sama dengan lapangan ilmu, tetapi sudut pandangnya berlainan.
Jadi, merupakan dua pengetahuan yang tersendiri.
Keduanya (filsafat dan ilmu) penting, serta saling melengkapi, juga saling menghormati dan
mengakui batas-batas dan sifatnya masing-masing. Inilah yang sering dilupakan sehingga ada
ilmuan yang ingin menjadi tuan tanah atas kavling pengetahuan lain. Misalnya, apabila ada seorang
dokter berkata, “Setiap saya mengoperasi seorang pasien belum pernah saya melihat jiwanya. Jadi
manusia itu tidak memiliki jiwa.” Maka dokter itu menginjak ke lapangan lain dari lapangan ilmu
ke lapangan filsafat, sehingga kesimpulannya tidak benar lagi.
Untuk melihat hubungan antara filsafat dan ilmu, ada baiknya kita lihat pada perbandingan
antara ilmu dengan filsafat dalam bagan di bawah ini, (disarikan dari ; Agraha Suhandi, 1992)
Ilmu Filsafat
Segi-segi yang dipelajari dibatasi agar dihasilkan Mencoba merumuskan pertanyaan atas jawaban.
rumusan-rumusan yang pasti Mencari prinsip-prinsip umum, tidak membatasi
segi pandangannya bahkan cenderung
memandang segala sesuatu secara umum dan
keseluruhan
Obyek penelitian yang terbatas Keseluruhan yang ada
Tidak menilai obyek dari suatu sistem nilai Menilai obyek renungan dengan suatu makna,
tertentu. misalkan , religi, kesusilaan, keadilan dsb
Bertugas memberikan jawaban Bertugas mengintegrasikan ilmu-ilmu
73
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
Kita telah mengadakan perenungan tentang pengertian yang sedalam-dalamnya dari sumber
atau wadah kebenaran (obyektivitas) yaitu ilmu dan filsafat. Berikutnya kita akan melihat
bagaimana hubungan keduanya dengan agama, sebagai berikut :
1. Ketiganya baik ilmu, filsafat maupun agama merupakan sumber atau wadah kebenaran
(obyektivitas) atau bentuk pengetahuan.
2. Dalam pencarian kebenaran (obyektivitas) ketiga bentuk pengetahuan itu masing-masing
mempunyai metode, sistem dan mengolah obyeknya selengkapnya sampai habis-habisan.
3. Ilmu bertujuan mencari kebenaran mikrokosmos (manusia), makro-kosmos (alam) dan
eksistensi Tuhan/Allah.
Agama bertujuan untuk kebahagiaan umat manusia dunia akhirat dengan menunjukkan
kebenaran asasi dan mutlak itu, baik mengenai mikro-kosmos (manusia), makro-kosmos (alam)
maupun Tuhan/Allah itu sendiri.
74
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
- Filsafat memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan pada pengalaman
realitas sehari-hari, sedangkan ilmu bersifat diskursif, yaitu menguraikan secara logis, yang
dimulai dari tidak tahu menjadi tahu.
- Filsafat memberikan penjelasan yang terakhri, yang mutlak, dan mendalam sampai
mendasar (primary cause) sedangkan ilmu menunjukkan sebab-sebab yang tidak begitu
mendalam, yang lebih dekat, yang sekunder (secondary cause)
- Filsafat selalu berpikir kritis atau selalu mempertanyakan segala hal tanpa ada eksperimen.
Sedangkan ilmu selalu dengan eksperiman untuk menemukan jawaban dari pertanyaannya.
mencapai tujuan hidupnya. Maka, patutlah dikatakan, bahwa peradaban manusia sangat bergantung
kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini, pemenuhan kebutuhan manusia bisa
dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah (Jujun, 2003). Secara lebih spesifik, Eugene Staley
menegaskan bahwa teknologi adalah sebuah metode sistematis untuk mencapai setiap tujuan insani
(Siti, 2001).
Seiring dengan perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan turunannya yang berbentuk teknologi ini, meluas bukan hanya untuk memenuhi
kebutuhan manusia secara sempit. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat mendorong
manusia mendayagunakan sumber daya alam lebih efektif dan efisien. Pemanfaatan teknologi
meluas pada upaya penghapusan kemiskinan, penghapusan jam kerja yang berlebihan, penciptaan
kesempatan untuk hidup lebih lama dengan perbaikan kualitas kesehatan manusia, membantu
upaya-upaya pengurangan kejahatan, peningkatan kualitas pendidikan, dan sebagainya (Keraf dan
Dua, 2001).
Bahkan secara lebih komprehensif, ilmu pengetahuan dan teknologi juga dimanfaatkan
pemerintah dalam menunjang pembangunannya. Puncaknya, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi bukan saja membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Perkembangan ilmu pengetahuandan teknologi dapat menaikkan kualitas manusia dalam
keterampilandan kecerdasannya untuk meningkatkan kemakmuran serta inteligensimanusia. Lebih
jauh, ilmu pengetahuan dan teknologi berhasil mendatangkan kemudahan hidup bagi manusia
(Mas‟ud dan Paryono, 1998).
Pada tahap selanjutnya, seiring dengan perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi, pemanfaatan ilmu pengetahuan dan turunannya yang berbentuk teknologi ini, meluas
bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia secara sempit. Pemanfaatan teknologi meluas
pada upaya penghapusan kemiskinan, penghapusan jam kerja yang berlebihan, penciptaan
kesempatan untuk hidup lebih lama dengan perbaikan kualitas kesehatan manusia, membantu
upaya-upaya pengurangan kejahatan, peningkatan kualitas pendidikan, dan sebagainya (Sonny dkk.,
2001).
Bahkan secara lebih komprehensif, ilmu pengetahuan dan teknologi juga dimanfaatkan
pemerintah dalam menunjang pembangunannya. Misalnya dalam perencanaan dan programing
pembangunan, organisasi pemerintah dan administrasi negara untuk pembangunan sumber-sumber
insani, dan teknik pembangunan dalam sektor pertanian, industri, dan kesehatan.
76
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
Puncaknya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan saja membantu manusia
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Lebih jauh, ilmu pengetahuan dan teknologi
berhasil mendatangkan kemudahan hidup bagi manusia. Bendungan, kalkulator, mesin cuci,
kompor gas, kulkas, OHP, slide, TV, tape recorder, telephon, komputer, satelit, pesawat terbang,
merupakan produk-produk teknologi yang, bukan saja membantu manusia memenuhi kebutuhan
hidupnya, tetapi membuat hidup manusia semakin mudah (Ibnu, 1998).
Manfaat-manfaat inilah yang mula-mula menjadi tujuan manusia mengembangkan ilmu
pengetahuan hingga menghasilkan teknologi. Mulai dari teknologi manusia purba yang paling
sederhana berupa kapak dan alat-alat sederhana lainnya. Sampai teknologi modern saat ini, yang
perkembangannya jauh lebih pesat dari perkembangan teknologi sebelumnya. Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi ini sanggup membawa berkah bagi umat manusia berupa kemudahan-
kemudahan hidup, yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan dalam benak manusia.
Kembali kesistem pengajaran, bahwa dalam dunia pendidikan yang sekarang berbeda
dengan sistem pengajaran di masa yang lalu. Inilah bukti bahwa ilmu telah mengalami
perkembangan yang signifikan. Jika di masa yang lalu guru /dosen dituntut untuk lebih aktif dalam
mengajari para siswanya, sehingga setiap pertanyaan yang diajukan oleh para siswa terfokus pada
jawaban guru tersebut. Dapat dikatakan bahwa setiap pertanyaan tersebut mutlak akan dijawab oleh
guru.
Tetapi sistem pengajaran di zaman sekarang telah sangat berbeda dan mengalami
perkembangan. Pihak-pihak yang berperan penting dalam dunia pendidikan telah berfikir
kefilsafatan sehingga muncullah ide-ide baru yang lebih efektif dalam proses belajar mengajar di
dunia pendidikan yang sekarang. Jika di masa yang lalu guru mutlak menjawab segala pertanyaan
siswa, di zaman sekarang siswa dituntut untuk lebih aktif. Jika ada siswa yang mengajukan
pertanyaan, maka guru akan mengembalikan pertanyaan tersebut kepada siswa yang lain lagi untuk
menjawabnya. Jika tidak ada satupun dari seluruh siswa yang dapat menjawab, maka barulah guru
tersebut mengambil alih pertanyaan tersebut kemudian menjawabnya, tetapi tetap dituntut untuk
memancing pendapat para siswanya untuk lebih mengembangkan kemampuan berfikir mereka. Di
sinilah proses berfikir secara filsafat dapat kita temukan lagi. Jadi, dari pemaparan di atas dapat
disimpulkan bahwa filsafat telah memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
77
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
Bagian IV
Filsafat Dalam Perspektif Ilmu Manajemen
A. Latar Belakang
Manajemen telah menjadi bagian dari kehidupan manusia, semenjak jaman purbakala. Era
bercocok tanam pada manusia purba mengharuskan kelompok untuk mengatur anggota dan
menerapkan teknik pertanian ataupun perburuan sedemikian rupa sehingga tujuan kelompok dapat
tercapai. Para ahli paleoantropologi mengemukakan tentang nenek moyang manusia homo hobilis
yang merupakan spesies yang terampil dalam menggunakan peralatan, homo erectus yang pertama
kali berdiri tegak dan homo sapiens yang merupakan mahluk pemikir (Wren &
Bedeian,2009;10/Dalam Baskara, 2013)
Perkembangan evolusi umat manusia sejalan dengan perkembangan kemampuan dalam
keterampilan hidup, pengorganisasian kelompok dan spesialisasi dalam kelompok yang merupakan
fondasi dasar dari teknik manajemen. Walaupun praktek manajemen telah lama berlangsung, tetapi
studi formal tentang pengetahuan manajemen merupakan sesuatu yang relatif baru.
Studi terkait sejarah pemikiran manajemen merupakan salah satu studi yang banyak
diperdebatkan, baik dalam ranah kaijan ilmiah maupun dalam ranah aplikasi praktis. Pertanyaan
mengenai apakah studi sejarah ini relevan dengan studi manajemen yang lebih menitikberatkan
pada metode, teknik, maupun model-model baru dalam manajemen cukup sering dikemukakan oleh
para pakar. Namun para pakar sejarah manajemen berpendapat bahwa, dengan mengetahui apa yang
terjadi atau apa yang menjadi pemikiran di masa lalu akan dapat memperkaya masa kini, dan juga
sebagai acuan dalam memprediksi masa depan.
Salah satu kunci sukses dalam manajemen adalah kemampuan untuk memahami dan
mengaplikasikan prinsip dan teknik manajemen secara efektif. Para manajer dan pemimpin harus
mempunyai pengetahuan yang cukup terkait teori dan model-model baik yang sudah lama
digunakan maupun yang baru.
Dari perspektif sejarah, pemikiran tentang manajemen telah banyak menghasilkan teori dan
konsep dalam pengelolaan organisasi. Daniel Wren dalam bukunya yang berjudul “The evolution of
management thought” mengemukakan bahwa manajemen telah dipelajari dan dipraktekkan oleh
hampir semua individu, dimana hal ini dapat memberikan kekuatan serta keyakinan bahwa
manajemen memiliki sejarah panjang. Untuk mengelola berbagai upaya, manajemen dipandang
78
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
sebagai aktivitas dengan fungsi-fungsi tertentu untuk mencapai akuisisi, alokasi dan utilisasi yang
efektif dari sumberdaya manusia dan fisik untuk mencapai sejumlah tujuan. Sedangkan, apa yang
dimaksud dengan pemikiran manajemen adalah pengetahuan tentang aktivitas, fungsi-fungsi, tujuan
dan cakupan manajemen. Pelajaran masa lalu yang ada sebaiknya didekati sebagai perspektif
sejarah, bukan riset sejarah (Wren & Bedeian,2009;3/Dalam Baskara, 2013).
Lebih lanjut Arthur Bedeian menyatakan bahwa literatur sejarah pemikiran manajemen
dapat dibedakan dalam tiga kategori yakni : general reference works (referensi standar), academics
treaties (kajian akademik), dan biographical atau autobiographical nature (Wren &
Bedeian,2009;4/Dalam Baskara, 2013). Sejarah pemikiran manajemen akan memberikan cetak biru
bagi perusahaan yang modern, dari Sumber Daya Manusia (SDM) ke Research and Development
(R&D) hingga keuangan dan manufacturing.
Temuan tertua terkait teknik manajemen ditemukan di wilayah Irak, yakni di kota Ur.
Temuan tersebut diperkirakan berasal dari masa 3000 tahun sebelum masehi. Para pendeta Sumeria
(kerajaan yang menguasai wilayah tersebut) mencatat transaksi keuangan terkait perdagangan pada
sebuah plat yang terbuat dari tanah liat. Di wilayah Mesir yang merupakan situs arkeologi tertua
setelah wilayah Mesopotamia di Irak, ditemukan papirus yang berisi catatan tentang pengelolaan
organisasi dan administrasi dalam birokrasi kerajaan. Papirus ini diperkirakan berasal dari masa
1300 tahun sebelum masehi. Penemuan-penemuan serupa juga banyak ditemukan di China, yang
juga merupakan salah satu peradaban tertua di dunia (Pindur et.al,1995;59/Dalam Baskara, 2013).
Sekitar masa 400 tahun sebelum masehi, Socrates seorang filsuf Yunani mendeskripsikan
manajemen sebagai sebuah gabungan dari keterampilan teknis dan pengalaman (Higgins,
1991:33/Dalam Baskara, 2013). Seorang filsuf Yunani lain yakni Plato dalam karyanya yang
terkenal berjudul “The Republic” menguraikan tentang pentingnya pengembangan keterampilan
dan pengetahuan pada para generasi muda yang berbakat untuk dipersiapkan sebagai seorang
pemimpin. Dalam karyanya tersebut Plato juga mendeskripsikan manajemen sebagai sebuah seni
dan penekanan pada prinsip spesialisasi (Griffin, 1990:29/Dalam Baskara, 2013).
Catatan formal berikutnya yang ditemukan terkait teknik dan model manajemen adalah dari
era kejayaan bangsa Romawi yang menggunakan teknik manajemen dalam pengelolaan wilayah
kerajaan mereka yang amat luas. Teknik manajemen juga diterapkan pada pengorganisasian bala
tentara yang digunakan untuk melakukan penaklukan wilayah-wilayah yang jauh. Diocletian
seorang kaisar romawi yang berkuasa pada era sekitar tahun 284, diketahui melakukan reorganisasi
79
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
kekaisarannya menjadi 101 propinsi, dan mengelompokkannya menjadi 13 dioceses (istilah untuk
keuskupan). Hal ini menandakan dimulainya pemikiran dan praktik terkait delegasi wewenang dan
rantai komando (Osigweh, 1985;5-6/Dalam Baskara, 2013).
Di India pada sekitar tahun 332-298 SM muncul sebuah karya yang berjudul “Arthasastra”
yang disusun oleh Chanakya Kautilya, yang merupakan seorang menteri yang disegani oleh
Chandragupta Maurya seorang negarawan besar India. Dalam karyanya tersebut Kautilya
menguraikan tentang administrasi publik di India pada jaman itu dan bagaimana membangun serta
mengelola aspek ekonomi, politik dan sosial masyarakat. Dimana disebutkan bahwa untuk
mengatur pegawai di kerajaan dalam bekerja sepenuhnya guna kepentingan raja, dibutuhkan closed
control, severe punishment, dan jaringan pengawasan. Dalam Arthasastra juga dijelaskan mengenai
bagaimana memilih pegawai melalui interview dan analisis referensi atau latar belakang seorang
calon karyawan. Seorang calon pegawai juga harus melalui serangkaian test untuk menguji loyalitas
mereka (Wren & Bedeian,2009;15-16/Dalam Baskara, 2013).
Berbagai temuan tersebut memperlihatkan kepada kita bahwa praktek manajemen dengan
menerapkan metode, teknik dan sistem yang terstruktur telah lama dilakukan. Kajian sejarah
diperlukan untuk mengidentifikasi dan merevitalisasi berbagai temuan terkait konsep-konsep
manajemen jaman dulu agar dapat diperbandingkan dengan keadaan sekarang. Walaupun praktek
manajemen telah lama dilakukan, namun secara formal kajian praktek manajemen berkembang
pesat saat terjadinya revolusi industri.
Revolusi industri (terjadi kurang lebih 200 ratus tahun lalu) merubah secara drastis
bagaimana dunia menghasilkan barang secara massal dan dalam waktu yang secara signifikan
sangat cepat dibanding dengan jaman sebelumnya, yang dikerjakan secara manual. Keadaan ini
sekaligus merubah masyarakat yang kebanyakan menyandarkan hidupnya dari hasil pertanian
kemudian beralih pekerjaan di industri dan perusahaan manufaktur.
Sebagai suatu disiplin ilmiah, manajemen masih tergolong muda usianya. Praktek bisnis
yang dilakukan oleh perusahaan-perusahan dengan menggunakan modal raksasa juga sama. VOC
Belanda adalah perusahaan multinasional dengan modal besar yang kiranya pertama kali muncul
tercatat di dalam sejarah. Di Eropa pada masa yang sama, perusahaan produsen Katun di
Manchester milik Friedrich Engels adalah yang terbesar. Jika anda ingat Engels adalah sahabat
dekat Karl Marx. Selamat bertahun-tahun Engels membantu Marx dalam urusan finansial. Mereka
bahkan pernah menulis buku bersama. Engels adalah seorang pengusaha katun. Di perusahaannya
80
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
tidak ada manajer, dalam arti seperti yang kita kenal sekarang ini. (Drucker, 2001, 3) Yang ada
adalah mandor, yang sebenarnya juga adalah pekerja. Sang mandor menjaga efektivitas dan displin
pekerjanya. Marx menyebut kelompok pekerja saat itu sebagai “kelompok proletar”.
Dapat juga dikatakan bahwa perusahaan katun milik Engels belumlah mengenal manajemen.
Yang mereka kenal adalah pembagian kerja, yang sebenarnya hanya merupakan satu aspek kecil
dari manajemen. Sekarang ini manajemen sebagai ilmu sudah berkembang begitu pesat. Bahkan
menurut Drucker, manajemen adalah salah satu displin ilmu yang berkembang paling pesat dalam
sejarah. (Drucker, 2001, 4) Dalam waktu singkat yakni sekitar 150 tahun, manajemen sebagai
displin telah memberikan pengaruh yang begitu besar bagi peradaban manusia. Praktek manajemen
telah mengubah kegiatan penataan bisnis di negara-negara Barat. “Praktek manajemen”, demikian
Drucker, “telah menciptakan ekonomi global dan membuat peraturan-peraturan baru untuk negara-
negara yang hendak berpartisipasi di dalam ekonomi sebagai orang-orang yang setara.” (Drucker,
2001). Orang yang tidak memahami manajemen akan mengalami kegagapan menghadapi berbagai
perubahan dan tantangan yang muncul di abad ke-21 ini.
Tujuan dasar dari manajemen adalah untuk membuat beragam orang bekerja sama untuk
tujuan yang sama, berpijak pada nilai-nilai yang sama, struktur kerja yang sama, pelatihan yang
sama, dan perkembangan bersama yang diarahkan untuk menanggapi berbagai perubahan yang
terjadi di dalam masyarakat. (Drucker, 2001, 5). Sampai sekarang tujuan itu masih sama. Namun
yang berubah sekarang adalah ukuran dan kualitas dari tata bisnis yang dilakukan. Dulu manajemen
hanya berfokus untuk mengatur sekumpulan orang yang tidak memiliki keahlian apapun, dan hanya
bekerja untuk tujuan-tujuan jangka pendek saja. Sekarang dan akan terus berkembang di masa
depan, manajemen digunakan untuk mengatur orang-orang yang memiliki pendidikan dan keahlian
yang tinggi. Mereka mengabdi tidak hanya untuk memenuhi tujuan-tujuan jangka pendek, tetapi
untuk masa depan kebudayaan manusia dan memiliki pengaruh yang sangat luas ke seluruh dunia.
(Drucker, 2001)
Para pemimpin dunia dan pemikir di bidang akademik mulai menyadari pentingnya praktek
dan analisis manajemen sejak awal perang dunia pertama. Namun jumlah mereka masihlah sangat
sedikit. Menurut Drucker sekarang ini sepertiga dari penduduk dunia adalah mereka yang juga
dikenal sebagai “para manajer yang profesional” di bidangnya masing-masing. (Drucker, 2001, 5)
Dalam arti ini para manajer profesional tersebut juga menjadi agen perubahan yang signifikan, baik
dalam segi kualitas maupun kuantitas. “Manajemen”, demikian tulis Drucker, “telah menjelaskan
81
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
mengapa, untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, kita dapat mempekerjakan orang-orang
yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang besar dalam jumlah banyak untuk melakukan
suatu kerja yang produktif.” (Drucker, 2001) Memang tidak ada masyarakat sebelumnya yang bisa
melakukan hal ini. Tidak hanya dulu pada awal abad kedua puluh, belum ada orang yang sungguh-
sungguh mengerti, bagaimana mengatur orang-orang yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan
yang berbeda-beda untuk mewujudkan tujuan bersama.
Drucker lebih jauh menulis, bahwa Cina telah maju lebih dahulu dalam hal manajemen, jika
dibandingkan dengan peradaban Barat. Kekaisaran Cina kuno mampu menyediakan lapangan
pekerjaan bagi semua orang, baik yang berpendidikan ataupun tidak. Pada waktu itu tidak ada
satupun negara Eropa yang mampu melakukan hal yang sama. Sekarang ini menurut Drucker,
Amerika Serikat memiliki jumlah penduduk yang sama dengan Kekaisaran Cina Kuno dulu. Sekitar
1 juta mahasiswa lulus dari perguruan tinggi setiap tahunnya. Hanya sedikit diantara mereka yang
mampu menemukan pekerjaan yang tepat dengan pendapatan yang juga tepat. (Drucker, 2001, 5)
Sekarang ini pengetahuan seorang ahli adalah pengetahuan yang sangat terspesialisasi.
Seorang bisa sangat memahami struktur tulang binatang tertentu, tetapi bisa buta sama sekali
terhadap bidang lainnya. Jika bekerja sendirian seorang ahli tidak akan menghasilkan apapun.
Dalam hal ini praktek manajemen memungkinkan beberapa ahli yang memiliki pengetahuan
berbeda untuk mencapai tujuan yang sama secara produktif. Praktek bisnis modern mempekerjakan
sepuluh ribu orang yang memiliki pengetahuan dan keahlian yang beragam, serta mengarahkannya
untuk mewujudkan suatu tujuan secara produktif. Mereka adalah para ahli yang berasal dari sekitar
60 displin ilmu yang berbeda, seperti para insinyur dengan bidang-bidangnya masing-masing,
desainer, ahli marketing, ahli ekonomi, akuntan, ahli sumber daya manusia, dan sebagainya. Tanpa
praktek manajemen yang tepat, kecil kemungkinan para ahli tersebut mampu menghasilkan sesuatu
yang signifikan bagi kehidupan bersama. Dengan demikian praktek manajemen, yang didasarkan
pada teori yang tepat, dapat membuat beragam pengetahuan yang berbeda, yang dimiliki juga oleh
orang yang berbeda, menjadi efektif dan produktif. “Berkembangnya praktek manajemen”,
demikian Drucker, “telah mengubah pengetahuan dari hanya ornamen sosial menjadi modal utama
untuk ekonomi.” (Drucker, 2001)
Menurut Adam Smith setiap masyarakat membutuhkan waktu setidaknya seratus tahun
untuk menciptakan tradisi tumbuhnya pekerja ahli pada level teknis dan manajerial, dan terciptanya
masyarakat yang siap menjadi konsumen dari produk-produk mereka. Akan tetapi realitasnya
82
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
berbicara berbeda. Pada waktu perang dunia pertama meletus, banyak sekali pekerja yang tidak
memiliki keahlian apapun „dipaksa‟ untuk menjadi pekerja profesional di pabrik-pabrik nyaris
dalam waktu sekejap mata. Banyak perusahaan di Eropa menerapkan suatu paradigma ekonomi
baru, yakni mempekerjakan banyak orang dalam skala pekerjaan yang juga masif. Para manajer
pabrik besar melakukan analisis atas tipe-tipe pekerjaan yang mungkin, dan membaginya ke dalam
bagian-bagian kecil, sehingga teknik yang dibutuhkan untuk memenuhi bagian kecil itu bisa
dipelajari dalam waktu singkat.
Misalnya sebuah pabrik ingin memproduksi mobil. Tidak perlu ada sekelompok orang yang
membuat mobil. Mobil dibagi ke dalam bagian-bagian, seperti roda, kaca, badan mobil, dan
sebagainya. Roda pun dibagi lagi ke dalam bagian kecil-kecil, seperti karetnya, mur, ataupun bagian
cat. Bagian kecil-kecil tersebut dipegang oleh beberapa orang. Mereka bisa mempelajari teknik
membuat bagian yang kecil-kecil tersebut dalam waktu singkat. Cara berpikir dan praktek
manajemen semacam ini juga dipraktekkan oleh Jepang beberapa waktu setelah perang dunia
pertama. Dua puluh tahun setelah perang dunia kedua berakhir, Korea Selatan menerapkan cara
yang sama. Akibatnya mereka memperoleh kemajuan industri dalam waktu singkat, dan bisa
merebut pasar di negara-negara lain.
Pada dekade 1930-an beberapa ahli manajemen dari Harvard Business School, seperti
Thomas Watson, Robert E. Wood, Roebuck, an George Mayo, mulai mempertanyakan kembali
mekanisme produksi dan manajemen yang tengah berlangsung. Mereka pun berpendapat bahwa
cara berpikir dan praktek manajemen yang lama tersebut sudah tidak lagi memadai. Walaupun
produktif tetapi manajemen semacam itu tidak fleksibel, menguras banyak modal, tidak
memanfaatkan aspek sumber daya manusia secara maksimal, dan memiliki pengaturan yang tidak
tepat. Oleh karena itu dibutuhkan suatu cara manajemen baru. Para ahli tersebut berpaling para
sistem manajemen berbasis pengetahuan (knowledge based management). “Setiap orang di dalam
sistem inovatif ini”, demikian Drucker, “akan menerapkan pengetahuan ke dalam pekerjaan, sistem
dan informasi akan menggantikan kerja tangan dan kerja alat.” (Drucker, 2001, 7) Dalam arti ini
mereka menggantikan semboyan “kerja keras” menjadi “kerja cerdas”. (Drucker, 2001)
Jadi kita sudah melihat lahirnya sebuah displin ilmiah dan praktek baru, yakni praktek
manajemen. Suatu teknik yang sebenarnya sudah lama berkembang di dalam peradaban manusia,
tetapi baru sungguh menjadi bagian dari pengetahuan pada awal abad kedua puluh ini. Manajemen
telah berubah paradigma, mulai dari manajemen berbasis bagian-bagian kecil dengan skala masif
83
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
menjadi manajemen yang berbasis pada pengetahuan dalam bentuk informasi dan komunikasi yang
sistematis.
Pertanyaan tetaplah sama apa sebenarnya yang dimaksudkan sebagai manajemen ini?
Apakah manajemen itu melulu terkait dengan teknik dan tips-tips praktis untuk mengatur orang?
Atau ada yang lain? Apa dimensi filosofis dari manajemen?
- Kedua, karena manajemen terkait dengan integrasi dari beragam orang untuk mencapai tujuan
yang sama, maka praktek tersebut berakar kuat di dalam kultur. Praktek manajemen di
manapun tempat dilakukannya, pada hakekatnya, adalah sama. Akan tetapi pola
penerapannyalah yang berbeda. Menurut Drucker salah satu tantangan terbesar bagi para
praktisi manajemen sekarang ini adalah menemukan pola manajerial yang cocok dengan kultur
tempat mereka hidup dan berkembang. Pola itulah yang bisa dijadikan tititk tolak untuk
melakukan praktek manajemen secara tepat. (Drucker, 2001) Salah satu kunci sukses Jepang
meraih kemajuan pesat di bidang manajerial adalah kemampuan mereka menemukan pola
praktek manajemen yang sesuai dengan kultur yang mereka miliki. Pola manajemen berbasis
kultur inilah yang mendorong mereka mengembangkan berbagai bidang kehidupan, baik
ekonomi, politiks, sosial, dan budaya.
- Ketiga, setiap organisasi apapun bentuknya selalu membutuhkan komitmen tertentu pada tujuan
bersama (common goal), dan diikat oleh nilai-nilai bersama (common values). “Sebuah
perusahaan”, demikian Drucker, “haruslah memiliki tujuan yang jelas, sederhana, dan
menyatukan.” (Drucker, 2001, 12) Tanpa komitmen kepada tujuan tersebut, tidak ada
organisasi. Yang ada adalah gerombolan (mob). Tujuan bersama tersebut juga haruslah jelas,
bersifat publik, dan secara konsisten diingatkan serta dipastikan kembali. Tugas utama seorang
manajer adalah untuk memikirkan secara mendalam, merumuskan, dan mewujudkan tujuan
serta nilai-nilai bersama tersebut.
- Keempat, Drucker lebih jauh menjelaskan bahwa praktisi manajemen haruslah mampu
membawa organisasi untuk berkembang dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada. Ia
harus mampu membaca situasi, dan memanfaatkan semua peluang yang mungkin diraih. Dalam
arti ini setiap organisasi adalah sebuah tempat, di mana aktivitas belajar dan mengajar terjadi.
Pelatihan dan pengembangan haruslah dilakukan terus menerus di semua jenjang organisasi.
(Drucker, 2001)
- Kelima, setiap organisasi selalu terdiri dari beragam orang dengan beragam pengetahuan dan
ketrampilan. Mereka melakukan pekerjaan yang berbeda-beda, sesuai dengan kemampuannya.
Semua aktivitas tersebut haruslah dilakukan atas dasar komunikasi dan tanggung jawab individu
yang kokoh. Dalam hal ini semua anggota organisasi haruslah sungguh memahami tujuan dari
aktivitas yang mereka lakukan. Tujuan tersebut haruslah diresapi tidak hanya oleh pimpinan
organisasi, tetapi oleh seluruh anggotanya. Setiap anggota harus memahami dan meresapi tujuan
85
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
organisasi ini. Setiap anggota juga harus memikirkan apa kaitan aktivitas mereka dengan
aktivitas anggota lainnya, dan memastikan bahwa anggota lain juga melakukan hal yang sama,
yakni mempertimbangkan kepentingan anggota lainnya. Dengan demikian ontologi dari praktek
manajemen adalah komunikasi dan tanggung jawab individual yang saling terkait satu sama lain
tanpa bisa terlepaskan. (Drucker, 2001, 12)
- Keenam, bagaimana menilai kemajuan suatu organisasi? Kriteria apa yang dapat kita gunakan
untuk melakukan itu? Memang produktivitas, luasnya pasar, status finansial, dan pengembangan
sumber daya manusia sangatlah penting bagi keberlangsungan suatu organisasi. Akan tetapi
menurut Drucker, sama seperti penilaian atas kesehatan dan perkembangan manusia tidak bisa
hanya dibuat dengan satu kriteria, begitu pula penilaian atas kinerja organisasi tidak bisa dibuat
hanya dengan satu kriteria. Kriteria yang ada haruslah beragam dan terus berkembang sesuai
dengan perubahan situasi. (Drucker, 2001)
- Ketujuh, daya guna dan hasil suatu organisasi terletak di luar organisasi itu sendiri. “Hasil dari
praktek bisnis”, demikian Drucker, “adalah konsumen yang puas.” (Drucker, 2001, 12)
Misalnya daya guna dari rumah sakit adalah pasien yang telah sembuh. Daya guna dari sekolah
adalah murid yang telah mempelajari sesuatu, dan menggunakannya untuk bekerja sepuluh
tahun kemudian. Itu semua adalah hasil dan daya guna dari suatu organisasi. Semua itu bisa
ditemukan di luar organisasi. Di dalam organisasi yang ada hanyalah biaya dan pengeluaran.
Inilah prinsip dasar dan alasan keberadaan dari sebuah manajemen organisasi.
86
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
Drucker bahkan menyebut manajemen sebagai bagian dari liberal art, atau seni liberal.
Disebut liberal karena manajemen terkait dengan pengetahuan, baik tentang diri maupun tentang
dunia, kebijaksanaan, dan kepemimpinan. Disebut sebagai seni karena manajemen terkait erat
dengan tindakan dan penerapan praktis. “Setiap manajer”, demikian tulis Drucker, “mengambil
semua pengetahuan dan inspirasi dari ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu sosial, seperti
psikologi, filsafat, ekonomi, sejarah, dan etika, dan juga dari ilmu-ilmu alam. Akan tetapi, para
manajer membuat semua pengetahuan ini menjadi fokus dan menghasilkan hasil yang efektif,
seperti menyembuhkan orang sakit, mengajar siswa, membangun jembatan,…” (Drucker, 2001)
Dengan alasan-alasan yang telah dikemukanan di atas, manajemen adalah suatu praktek
yang berfokus pada kemanusiaan. Tujuan utama manajemen adalah supaya kemanusiaan diakui dan
dijadikan prinsip utama. Tanpa aspek kemanusiaan manajemen hanyalah alat untuk membenarkan
penindasan, atau selubung yang menutupi ketidakadilan.
organisasi biasanya mencerminkan kultur tertentu yang melatarbelakanginya. Dalam arti ini
maka praktek manajemen haruslah berangkat dan berkembang di dalam kultur sosiologis suatu
masyarakat. Jika tidak begitu praktek manajemen akan terasa asing, dan justru membuat orang
terasing dari kultur yang membuat hidupnya bermakna.
Pola manajemen di Eropa Barat dan di Cina berbeda, karena keduanya berangkat dari kultur
yang juga berbeda. Jika kita mengatur sebuah organisasi yang berasal dari Cina dengan tata
kelola gaya Eropa Barat, maka pengaturan tersebut tidak akan bermakna. Orang-orang Cina
yang kita pimpin bisa menanggapi itu sebagai suatu penindasan. Tata kelola atau praktek
manajemen tidak akan berjalan. Dengan demikian pengandaian sosiologis dari pratek
manajemen adalah kultur, di mana praktek tersebut lahir dan berkembang.
- Pengandaian ontologis dari praktek manajemen adalah hakekat dari praktek manajemen.
Hakekat itu merupakan “ada” nya dari manajemen. Inilah esensi dari praktek manajemen. Tanpa
hakekat ini praktek manajemen menjadi tidak bermakna. Ontologi dari manajemen adalah
jaringan komunikasi intensif antar individu yang memiliki perbedaan keterampilan dan ilmu,
namun bekerja untuk mewujudkan tujuan yang sama. Jadi ontologi dari praktek manajemen
adalah jaringan komunikasi yang saling bertautan satu sama lain. Jaringan komunikasi itu tidak
anonim, melainkan tertata dan mengarah pada tujuan yang jelas. Jaringan komunikasi itu juga
mengandaikan adanya tanggung jawab masing-masing individu untuk berkomitmen pada tugas
dan tujuan yang ada. Seperti yang juga diingatkan oleh Drucker, tujuan bersama tersebut
haruslah terus diingatkan dan dipastikan kembali. Tujuan itu haruslah menjadi bagian dari
identitas dan cita-cita bersama. Tanpa itu organisasi tidak lebih dari sebuah gerombolan.
Bagaimana pengandaian ontologis tersebut dapat diketahui? Jawaban atas pertanyaan ini
membawa kita pada pengandaian epistemologis dari praktek manajemen. Fakta bahwa
manajemen merupakan suatu jaringan komunikasi terarah pada tujuan tertentu dapatlah
langsung diuji secara empiris maupun analitis. Keluarga, dalam arti keluarga inti ataupun klan,
merupakan bentuk organisasi tertua. Bentuk itu berkembang menjadi masyarakat, kota, negara,
dan kini berkembang menjadi perusahaan-perusahaan bisnis. Penelitian empiris atas berbagai
tipe masyarakat menunjukkan pola yang kurang lebih serupa, walaupun memang karakter
hakikinya berbeda-beda. Dengan demikian ontologi manajemen, yakni sebagai jaringan
komunikasi intensif antar individu yang memiliki beragam ketrampilan berbeda namun
mengabdi pada tujuan yang sama, dapatlah diuji secara inderawi melalui pengalaman langsung.
88
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
- Pengandaian epistemologi dari praktek manajemen adalah pengalaman empiris dan historisitas
manusia. Konsep manajemen sebagai jaringan komunikasi intensif antar beragam individu
tersebut juga bisa diuji secara analitis. Konsep jaringan komunikasi sudah ada di dalam konsep
manajemen. Manajemen adalah komunikasi, sekaligus lebih dari itu, yakni komunikasi intensif
untuk mewujukan suatu tujuan tertentu secara efektif. Definisi ini tidak perlu melulu diuji
melalui pengalaman, tetapi dapat dipahami secara analitis dengan akal budi. Seperti
pengetahuan bahwa anak dari paman saya adalah sepupu saya, begitu pula konsep manajemen
dapat dipahami secara analitis sebagai jaringan komunikasi intensif antar beragam inividu yang
mengabdi pada tujuan bersama. Pengetahuan ini bisa diuji secara empiris, historis, maupun
analitis.
- Pengandaian aksiologi adalah cabang dari filsafat yang mempelajari tentang hakekat nilai.
Aksiologi mau memahami arti nilai secara umum, dan bukan hanya nilai moral saja. Aksiologi
mau mengakui fakta, bahwa banyak nilai yang berkembang di dalam masyarakat, dan nilai
tersebut saling berbeda dan bahkan bertentangan satu sama lain. Di dalam praktek manajemen,
pada hemat penulis, ada lima nilai yang kiranya menjadi titik tolak, yakni nilai pengabdian,
kemanusiaan, ekonomi, lingkungan hidup, dan estetika. Seperti sudah disinggung sebelumnya,
tujuan utama dari sebuah organisasi terletak di luar organisasi tersebut. Dan itu adalah sebentuk
pengabdian pada masyarakat yang lebih luas. Di dalam organisasi yang ada adalah pengeluaran.
Sementara di hadapan masyarakat luas, organisasi bisa memberikan sumbangan yang besar.
Organisasi juga berhadapan dengan manusia yang memiliki daging, darah, dan historisitas
masing-masing. Dan mereka itu bukan hanya pekerja, tetapi juga manusia yang memiliki harkat
dan martabat. Dalam hal ini prinsip kemanusiaan menjadi pemandu semua kegiatan
berorganisasi. Manusia haruslah dipandang sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan bukan alat
untuk tujuan-tujuan lainnya. Setiap pimpinan suatu organisasi, apapun bentuknya, haruslah
mampu melawan cara berpikir rasionalitas instrumental strategis yang banyak terjadi sekarang
ini. Inilah cara berpikir yang mau menjadikan manusia sebagai alat untuk tujuan-tujuan lain di
luar manusia itu sendiri.
Tentu saja organisasi tentu butuh uang untuk mempertahankan eksistensinya. Dalam hal ini nilai
ekonomis juga sangat perlu untuk menjadi perhatian. Praktek organisasi bisnis yang tidak
menjadikan nilai ekonomi sebagai tolok ukur adalah praktek yang absurd. Bahkan meminjam
metafor yang digunakan oleh Drucker, jika seorang malaikat agung yang tidak memiliki
89
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
kepentingan pribadi memimpin sebuah perusahaan, maka sama seperti para pelaku bisnis
lainnya, ia harus menjadikan nilai ekonomi sebagai salah satu tolok ukur kerjanya. Jika tidak
organisasinya bisa hancur. Runtuhnya suatu organisasi berarti hilangnya salah satu peran sosial
yang bisa memberikan kontribusi besar bagi kehidupan masyarakat.
Sekarang ini lingkungan ekosistem manusia sedang terancam musnah. Banyak binatang yang
sudah punah. Hutan dibabati. Cuaca semakin panas karena lapisan atmosfer yang melindungi
manusia dari radiasi matahari sudah berkurang. Efek rumah kaca pun menambah parah keadaan.
Dalam hal ini jelaslah, bahwa praktek manajemen organisasi harus memberikan perhatian pada
kelangsungan ekosistem. Nilai pelestarian ekosistem haruslah menjadi salah satu pertimbangan
utama di dalam praktek-praktek organisasi. Jika nilai ini tidak diperhatikan, maka ekosistem
akan terancam musnah. Jika ekosistem rusak yang musnah tidak hanya organisasi-organisasi
terkait, tetapi juga masyarakat sebagai keseluruhan.
Nilai terakhir dari praktek manajemen yang menjadi pengandaian aksiologisnya adalah nilai
estetika. Seperti ditulis oleh Drucker, manajemen adalah suatu seni. Oleh karena itu manajemen
haruslah memperhatikan aspek estetik dari semua kegiatannya, mulai dari produksi, distribusi,
marketing, sampai pengelolaan sumber daya manusia. Itu semua adalah praktek-pratek yang
memerlukan kepekaan seni yang bersifat intuitif, dan bukan hanya kalkulasi strategis rasional.
Jika praktek manajemen di dalam organisasi mengabaikan aspek estetik, maka organisasi itu
tidak lebih dari sekedar organisasi para robot. Robot tidak memiliki kepekaaan intuitif dan
estetik. Oleh karena itu robot tidak bisa kreatif dan menciptakan inovasi. Perlahan tapi pasti
organisasi itu akan hancur.
Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa praktek manajemen sangatlah terkait dengan
filsafat. Tanpa filsafat praktek manajemen adalah praktek para robot yang pucat, miskin inovasi,
dan miskin kreatifitas. Mungkin yang banyak terjadi sekarang ini, para pimpinan organisasi kita,
apapun bentuknya, mulai menjadi pimpinan para robot-robot. Mereka merasa diri mereka sebagai
robot, memandang anak buahnya sebagai robot, dan bekerja juga secara mekanis seperti robot. Jika
praktek seperti itu terus dilakukan, maka mereka akan ketinggalan jaman. Mereka kehilangan
kemampuan kompetitif. Sudah saatnya para filsuf menengok ke dunia bisnis dan manajemen. Kita
perlu lebih banyak “Peter Drucker-Peter Drucker” lainnya, tentu saja yang sungguh memahami
kondisi Indonesia khususnya.
90
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
Bagian V
Filsafat : Masa Sekarang dan Masa Datang
Kajian di bidang filsafat pada dasarnya berpijak pada gaya inventif yaitu mencari
pemahaman baru terhadap model pemikiran dan berusaha memberikan pemecahan masalah yang
belum terselesaikan menyangkut masa depan manusia. Russel (1961) menulis sebuah artikel
berjudul “Has Man a Future?” Menurut Jacob (1986) manusia adalah satu-satunya makhluk yang
sadar bahwa ada masa depan yang akan datang, dan masa ini cepat atau lambat akan tiba sebagai
masa sekarang. Pada awalnya masa depan selalu mengejutkan manusia, karena mengandung hal-hal
yang tidak diduga, yang kadang-kadang dapat menggembirakan, ada pula yang tidak enak baginya.
Maka manusia berusaha agar masa depan lebih baik dari masa sekarang, pada umumnya enak
baginya. Ini dapat dilakukannya dengan upacara-upacara di gua-gua, lukisan-lukisan ritual di atas
pasir, mungkin pula dengan jampi-jampi dan jimat-jimat, agar masa depan, terutama yang
menyangkut hidupnya lebih ramah terhadapnya, seperti terjadi pada peradaban lama, tempat kita
dibesarkan, dan mempengaruhi hidup kita. Berikut penulis tampilkan kutipan yang cukup panjang
sebagai berikut :
Eckhart Tolle (2010) menulis buku berjudul Jetzt, die Kraft der Gegenwart. Tolle
mengajak kita untuk kembali ke “saat ini”, yakni sepenuhnya berada pada momen, dimana kita
ada sekarang. Di dalam “saat ini”, kita akan menemukan kebahagiaan, kebenaran, cinta,
kedamaian, Tuhan, kebebasan. Di “saat ini”, kita akan menemukan semua tujuan hidup kita.
Ketika orang meninggalkan “saat ini”, maka ia masuk kembali ke dalam lingkaran penderitaan,
kecemasan dan ketakutan dalam hidupnya. Jika kita berpikir secara jernih, kita akan sadar, bahwa
yang ada hanyalah saat ini. Tidak ada masa lalu dan tidak ada masa depan. Masa lalu hanya
merupakan kenangan. Masa depan hanya merupakan harapan. Keduanya tidak nyata.
Masa lalu memberikan identitas pada diri kita. Masa depan memberikan janji tentang
hidup yang lebih baik. Namun, jika dipikirkan secara jernih dan mendalam, keduanya tidak ada.
Keduanya adalah ilusi. Banyak orang mengira, bahwa waktu adalah uang. Mereka juga mengira,
bahwa waktu adalah hal yang amat berharga. Namun, sejatinya, waktu adalah ilusi. Ia tidak
memiliki nilai pada dirinya sendiri.
Yang justru amat berharga, menurut Tolle, adaah “saat ini”. “Saat ini” adalah suatu
keadaan yang lepas dari waktu. Ketika kita memikirkan waktu, berarti juga memikirkan masa lalu
dan masa depan, kita akan kehilangan “saat ini”. Kita akan kehilangan sesuatu yang amat
berharga. Banyak orang juga mengira, bahwa sukses itu ada di masa depan. Jika kita belajar dan
bekerja keras saat ini, maka kita akan sukses di masa depan. Kita akan bahagia di masa depan. Ini
adalah pikiran yang salah. Ini hanya menciptakan kecemasan dan penderitaan hidup. Sukses
hidup yang sejati adalah dengan menyadari “saat ini”. Kebahagiaan hidup yang tak akan goyah
adalah dengan menyadari “saat ini”. Orang yang kehilangan “saat ini” akan kembali masuk ke
91
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
dalam kecemasan dan penderitaan hidup. Padahal, yang ada sejatinya hanyalah “saat ini”. Yang
lain hanya ilusi.
Orang yang pikirannya dilempar antara masa lalu dan masa depan tidak akan pernah
menemukan kebahagiaan yang sejati. Sayangnya, banyak orang hidup dengan pola semacam ini.
Hampir setiap detik, pikiran mereka dibuat cemas oleh apa yang telah terjadi. Mereka juga terus
memutar otak untuk merencanakan masa depan. Mereka hidup dalam tegangan. Stress dan
depresi pun akhirnya menimpa mereka. Namun, ketika mereka melepaskan keterikatan pada
masa lalu dan masa depan, mereka lalu bisa kembali ke “saat ini”. Lalu, mereka akan menemukan
kedamaian dan kebahagiaan yang sejati. Dengan hati yang damai dan bahagia, mereka bisa
memberikan cinta dan perhatian kepada orang lain melalui tindakannya.
Berada “disini” juga amatlah penting. Ketika kita berada di satu tempat, kita harus
berusaha untuk berada di tempat itu sepenuhnya. Namun, seringkali, karena berbagai alasan, kita
tidak suka pada tempat kita berada. Ada tiga pilihan: pindah tempat, ubah situasi yang ada
semampunya, atau tinggalkan tempat itu. Mudah bukan? Berada “disini” berarti juga berada di
“saat ini”. Ini membutuhkan penerimaan atas apa yang ada sekarang ini. Apakah menerima berari
pasrah dan menyerah pada keadaan? Apakah berarti kita menjadi pengecut? Ketika kita
menerima keadaan sepenuhnya, segala pikiran cemas dan takut lenyap. Kita lalu bisa tenang dan
damai mengalami apa yang terjadi. Pada titik ini, kesadaran kita akan meningkat. Kita akan
memiliki pikiran jernih untuk menanggapi apa pun yang terjadi.
Pikiran menciptakan analisis dan pemahaman. Namun, keduanya kerap berujung pada
ketakutan dan kecemasan. Ketika orang hidup “disini dan saat ini”, pikiran lenyap. Kesadaran
pun muncul dan berkembang, guna menanggapi secara tepat dan jernih apa yang sedang terjadi.
Kekuatan terbesar manusia, menurut Tolle, adalah kesadarannya. Orang bisa melakukan apapun
secara tepat sesuai dengan keadaan yang ada, ketika ia mampu menggunakan kesadarannya
secara penuh. Jadi, rumusnya adalah: terima keadaan yang ada, lalu bertindak! Kesadaran bisa
digunakan, jika orang hidup di “saat ini”. Ia lalu bisa hidup dengan perasaan mengalir yang
penuh kedamaian dan kebahagiaan, walaupun banyak tantangan menghadang.
Kehidupan adalah sebuah jaringan. Tidak ada satu hal pun di alam semesta ini yang
berada sendirian. Semuanya saling terhubung satu sama lain, tanpa bisa dipisahkan. Perasaan
kesepian dan sendiri hanyalah ilusi, karena sejatinya, kita tak pernah sendirian. Segala masalah
yang datang juga adalah bagian dari jaringan kehidupan ini. Semuanya berguna dan berharga,
asal ditanggapi tidak melulu dengan pikiran yang analitis, tetapi juga dengan kesadaran. Pikiran
untuk menganalisis digunakan seperlunya saja. Sisanya, orang perlu hidup dengan menggunakan
kesadarannya.
Pikiran itu memisahkan. Ia menganalisis dan memberi penilaian baik-buruk, benar-salah,
dan sebagainya. Ia adalah alat yang berguna. Namun, jika orang hidup hanya dengan
menganalisis dan memisahkan, ia akan terus menderita dalam hidupnya. Pikiran (Gedanken)
adalah bagian dari kesadaran (Bewusstsein). Kesadaran lebih besar dari pikiran. Di dalam
kesadaran, orang berhenti untuk menganalisis dan memisahkan. Ia hanya ada “disini dan saat ini”
dalam hubungan dengan segala sesuatu yang ada. Orang yang bisa menemukan dan
menggunakan kesadarannya tidak akan pernah merasa takut. Ia hidup tanpa penilaian baik-buruk,
benar-salah dan enak-tidak enak. Ia melihat dan menerima apa yang ada “saat ini” sepenuhnya. Ia
lalu menemukan kekuatan dan kedamaian hati untuk bertindak sesuai dengan keadaan yang ada.
Orang yang hidup di “saat ini” tidak akan pernah merasa susah. Ia akan sadar, bahwa
hidup tidaklah perlu terlalu ngotot. Ia sadar akan aspek santai dan lucu dari kehidupan. Bahkan, ia
bisa sengaja merasa sedih, supaya bisa menikmati kesedihan itu. Ia juga sadar, bahwa
92
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
kebahagiaan dan cinta yang sejati tidak bisa dicari di luar sana. Keduanya ada di dalam hati
manusia. Cinta bukanlah perasaan, melainkan cara hidup “saat ini”. Ia selalu ada. Tinggal kita
saja yang mencoba meraihnya. Cinta dan kebahagiaan tidak pernah bisa hilang. Tidak ada yang
bisa mengambilnya, karena ia ada di dalam hati setiap manusia. Ketika orang hidup “saat ini”,
maka otomatis cinta dan kebahagiaan akan muncul. Kesadaran akan “saat ini” juga menghasilkan
cinta dan kejernihan pikiran dalam hidup. Penderitaan, kecemasan dan ketakutan akan muncul,
ketika orang meninggalkan “saat ini”. Ketika orang mengira, bahwa masa lalu dan masa depan
adalah nyata, maka ia akan terjebak di dalam penderitaan. Pikirannya sibuk. Ia akan
menganalisis, memisahkan dan menilai. Ini menciptakan penderitaan.
Pikiran menciptakan penilaian. Penilaian lalu melahirkan keluhan atau pujian. Keduanya
sama saja, karena keduanya tidak berakar pada “saat ini”. Keduanya lahir dari penolakan pada
“saat ini”. Ketika keadaan menjadi sulit, ada tiga hal, entah ubah situasinya, terima atau
tinggalkan. Mengeluh adalah tindakan sia-sia.
Kita harus belajar untuk hidup tanpa pikiran. Kita harus belajar untuk menunda semua analisis
dan penilaian kita. Pikiran, analisis dan penilaian hanya digunakan seperlunya saja untuk
keperluan praktis, misalnya memasak, bekerja, dan sebagainya. Ketika pikiran ditunda, yang
muncul adalah kesadaran. Kesadaran adalah “saat ini”, yakni sumber dari segala kedamaian dan
kebahagiaan manusia.
Masa lalu dan masa depan hanyalah alat yang bersifat sementara. Kita perlu masa lalu,
supaya kita bisa belajar dari apa yang telah terjadi. Kita juga perlu masa depan, supaya kita bisa
membuat rencana kerja dan rencana hidup yang tepat. Namun, keduanya perlu ditinggalkan,
ketika kita tidak lagi memerlukannya. Kita bisa meninggalkannya dengan memasuki kesadaran
kita, yakni “saat ini”.
Sejatinya, kita adalah manusia. Kita bukanlah mahluk pekerja atau mahluk berpikir.
Bekerja dan berpikir hanya merupakan bagian dari diri kita. Kesadaran kita sebagai manusia lebih
luas dan lebih besar daripada pekerjaan dan pikiran kita. Banyak orang hidup hanya untuk
bekerja dan berpikir. Mereka bekerja terlalu banyak. Mereka berpikir terlalu banyak. Kesadaran
mereka tidak tersentuh. Mereka pun lalu hidup dalam penderitaan. Kita juga senang sekali
dengan definisi. Kita ingin memberi nama pada segala sesuatu. Memberi nama, menurut Tolle,
juga berarti mengurung sesuatu itu. Memberi nama berarti juga membangun penjara.
Di dalam definisi, kita juga memberi penilaian. Kita berpikir, bahwa orang itu baik.
Orang itu jahat. Hidup kita pun dipenuhi dengan definisi dan penilaian. Kita tidak akan pernah
bahagia dengan cara hidup semacam ini. Kita perlu belajar untuk menunda semua definisi dan
penilaian. Kita perlu belajar untuk membiarkan apa adanya, tanpa definisi dan penilaian. Kita
tidak perlu takut. Sebaliknya, tanpa definisi dan penilaian, hidup kita akan damai dan bahagia.
Bukankah ini yang diinginkan semua orang? Lalu, bagaimana jika ada orang yang sibuk menilai
hidup kita? Bagaimana jika ada orang yang mendefinisikan kita melulu dengan pikiran mereka?
Kita tidak perlu takut. Kita bisa menanggapi, jika diperlukan. Jika tidak, kita bisa membiarkan
saja.
Orang yang menilai kita membangun penjara dalam pikiran mereka. Mereka membatasi
pikiran mereka sendiri. Mereka tidak akan bisa menemukan kedamaian dan kebahagiaan. Mereka
kehilangan “saat ini”. Mereka juga kehilangan kesadaran dirinya. Dalam hubungan dengan orang
lain, kita juga perlu sadar akan “saat ini”. Dengan ini, kita bisa hadir sepenuhnya untuk orang
lain. Kita bisa memberikan diri kita seutuhnya untuk membantu dia. Ketika kita kehilangan “saat
ini”, hubungan kita dengan orang lain pun dipenuhi dengan ingatan akan masa lalu serta
kecemasan akan masa datang. Ini bisa merusak hubungan kita dengan orang itu. Banyak orang
93
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
sibuk mencari kebahagiaan di luar dirinya. Mereka berpikir, uang, harta dan nama baik bisa
memberikan kebahagiaan. Namun, pikiran ini salah. Ia hanya menghasilkan penderitaan.
Sejatinya, menurut Tolle, setiap orang sudah penuh dan bahagia di dalam dirinya. Yang ia
perlukan hanyalah kesadaran akan “saat ini”. “Saat ini” akan menghasilkan kesadaran. Orang
yang hidup melulu dengan pikirannya akan kehilangan kesadarannya. Ia akan hidup dalam
kecemasan, ketakutan dan penderitaan. Kita bukanlah pikiran kita. Kita bukanlah kecemasan dan
ketakutan yang dihasilkan pikiran kita. Pikiran kita sementara. Ia akan segera berlalu. Kita adalah
kesadaran kita. Itu lebih besar dan lebih agung dari pikiran yang kita punya. Kesadaran kita
memberikan kedamaian. Ia memberikan cinta. Ia tidak menilai dan mendefinisikan. Ia
membiarkan segalanya ada dengan ketulusan hati.
Orang yang bisa menunda semua pikirannya akan mencapai pencerahan batin. Pencerahan
batin berarti orang sudah paham akan hakekat dari segala yang ada, termasuk hakekat dari dirinya
sendiri. Hakekat dari segala yang ada, menurut Tolle, adalah kesadaran. Kesadaran itu merawat
dan membangun. Ia tidak menilai dan memisahkan. Orang yang hidup dengan kesadarannya
berarti hidup dalam keterhubungan dengan alam semesta. Ia terhubung dengan manusia lain. Ia
terhubung dengan semua hewan. Ia terhubung dengan semua tumbuhan. Ia terhubung dengan
semua benda yang ada.
Ia menggunakan pikirannya hanya pada saat-saat tertentu saja. Ia tidak melihat dirinya
sama dengan pikirannya. Ia melihat dirinya lebih besar dari pikirannya. Ia akan mampu hidup
dalam aliran yang alamiah dalam hubungan dengan orang lain. Pikiran membuat orang tak
mampu mencintai sepenuhnya. Sebaliknya, kesadaran “saat ini” sejatinya adalah cinta tanpa
syarat. Ia memberikan tanpa mengharap apapun. Ia tidak mengikat dan memenjara, melainkan
merawat dan membiarkan berkembang.
Dengan kesadarannya akan “saat ini”, orang bisa hidup secara alamiah. Artinya, ia tidak
melawan kehidupan, melainkan mengalir bersama kehidupan itu sendiri. Ia tidak sibuk menilai,
apakah sesuatu itu baik atau buruk, benar atau salah. Jika orang sampai pada kesadaran akan
“saat ini”, tidak ada tegangan dan penderitaan lagi dalam hidupnya. Apapun yang kita lawan pasti
akan menguat. Apapun yang kita tentang dan tolak justru semakin menguasai kita. Sebaliknya,
jika kita membiarkan segala sesuatu ada secara alamiah, justru kita akan tidak akan mengalami
tegangan dan pertentangan. Jika kita tidak menolak apapun, maka kita akan bisa mencapai
kejernihan pikiran dan kedamaian hati.
Kita juga sering melihat orang-orang yang suka menjajah orang lain. Mereka ingin
dipatuhi. Mereka kerap sekali bersembunyi di balik agama. Mereka juga suka memanfaatkan
orang lain, guna memuaskan diri mereka.
Menurut Tolle, orang-orang semacam ini hidup dalam penderitaan yang besar. Mereka
lemah dan menderita, maka mereka menindas orang lain. Harapannya, dengan menindas orang
lain, penderitaan mereka berkurang. Namun, ini tak akan pernah terjadi. Banyak juga orang yang
mengalami kecanduan. Mereka kecanduan narkoba, alkohol, seks, belanja dan sebagainya.
Mereka seolah tidak dapat hidup, jika tidak memuaskan kecanduannya. Kecanduan berakar pada
penderitaan dan berakhir pada penderitaan juga, jika dipuaskan. Akar dari kecanduan adalah
ketidakmampuan untuk hidup di “saat ini”. Orang menjadi kecanduan untuk mengobati luka,
akibat masa lalunya. Orang menjadi kecanduan, karena ia cemas akan masa depannya. Ketika ia
melepaskan masa lalu dan masa depannya, ia lalu bisa memasuki kesadaran akan “saat ini”. Di
detik itu, kecanduannya hilang.
Banyak orang juga mencari Tuhan di luar dirinya. Ini salah. Tuhan ada di dalam hati
setiap orang. Tuhan ada di dalam kesadaran setiap orang. Tuhan ada di “saat ini”. Segala ritual
94
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
dan aturan agama hanya ada untuk membantu kita menemukan Tuhan di dalam hati kita. Itu
semua hanya alat. Ia tidak boleh menjadi tujuan utama. Di dalam kesadaran akan “saat ini”, kita
akan menemukan surga, nirvana, Tuhan dan kebahagiaan yang sejati.
Ketika kita sadar sepenuhnya akan “saat ini”, kita akan berhenti berpikir. Kita berhenti
menilai. Kita berhenti cemas akan masa lalu dan masa depan. Kita akan sepenuhnya sadar. Pada
keadaan itu, kita akan menjadi cinta itu sendiri. Cinta sejati itu seperti matahari. Ia bersinar untuk
semua, tanpa kecuali. Cinta yang sejati diberikan untuk semua, tanpa kecuali. Cinta yang sejati
dapat diperoleh, jika orang hidup di “saat ini”. Cinta sejati berakar pada kesadaran. Ia tidak dapat
hilang. Ia tidak dapat diambil. Orang yang hidup di “saat ini” berarti hidup secara asli. Ia tidak
memiliki kepura-puraan. Ia tidak memiliki kemunafikan. Ia tidak takut akan penilaian dan
definisi dari orang lain. Ia sepenuhnya bebas dan damai. Lalu, ia bisa memberikan kedamaian dan
cinta pada orang lain dengan tulus.
Banyak orang juga berusaha mencari kebahagiaan. Namun, sejatinya, kebahagiaan tidak
bisa dicari. Orang yang mencari kebahagiaan justru tidak akan pernah menemukan kebahagiaan.
Kebahagiaan hanya muncul, jika orang hidup dengan kesadaran akan “saat ini”. Kesadaran ini
sudah ada di dalam diri manusia. Ia tidak akan bisa hancur, atau diambil orang lain.Dunia adalah
cerminan dari kesadaran. Sejatinya, tidak ada perbedaan antara kesadaran dan dunia. Keduanya
adalah satu dan sama. Pikiran dan bahasa yang memisahkan keduanya.Namun, banyak orang lupa
dengan kesadarannya. Mereka sibuk dengan pikirannya. Mereka sibuk menganalisis, menebak,
merencanakan dan mengkhawatirkan segalanya. Ketika pikiran ditunda dan dihentikan,
kesadaran muncul, yakni kesadaran “saat ini”. Jika kesadaran dicapai, maka dunia tidak lagi
memiliki masalah dan penderitaan.
Lalu, apakan pikiran harus dibuang? Apakah kita harus berhenti berpikir? Berhenti
berpikir, menurut Tolle, tidaklah mungkin dilakukan. Berpikir adalah bagian dari kodrat manusia.
Namun, pikiran tidak boleh menguasai manusia. Manusia adalah kesadarannya. Ini lebih luas dari
pikiran. Pikiran digunakan seperlunya saja untuk memenuhi kebutuhan praktis. Selebihnya, orang
perlu belajar untuk hidup dengan kesadaran akan “saat ini”. Ia lalu akan menemukan kebebasan
yang sejati.
Sekarang ini, kita, sebagai manusia, harus mengubah cara hidup kita. Kita harus
melakukan revolusi hidup! Kita harus belajar untuk menjaga jarak dari pikiran kita. Kita lalu
harus belajar untuk hidup dengan kesadaran akan “saat ini” di dalam diri kita. Hanya dengan ini,
kita bisa hidup dalam hubungan yang damai dengan segala hal yang ada. Alternatifnya adalah
kehancuran.
Sumber : Reza A.A Wattimena, 2015
Atas dasar itulah untuk merancang suatu kajian filsafat tentang masa depan, perlu kiranya
kita memahami bagaimana kedudukan filsafat dalam memahami dimensi realitas, agar tidak terjadi
tumpang tindih dengan ranah disiplin ilmu dan dengan ilmu lain. Dimensi realitas merupakan
pengertian tentang kenyataan yang terjadi dalam hidup sehari-hari. Para filsuf mempunyai
pengertian yang berbeda-beda, tentang hal ini dari suatu masa ke masa yang lain.
Dari sejarah ilmu pengetahuan telah kita ketahui bahwa semula hanya ada satu ilmu
pengetahuan yaitu filsafat, yang mempunyai objek material alam semesta ini (kosmos) dan manusia,
maka filsafat sebagai ilmu pengetahuan merupakan ilmu pengetahuan yang umum.
95
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
Tentu muncul pertanyaan dalam diri kita apakah peran filsafat itu? Filsafat berperan sebagai
dasar dan sumber dari ilmu yang lain. Peursen (1974) mengatakan filsafat mempertanyakan kembali
apa yang telah ditemukan atau yang telah dijawab oleh ilmu pengetahuan, oleh karena itu filsafat
tidak pernah berhenti mengajukan pertanyaan mendasar, yang tentunya pertanyaan tersebut muncul
dan perenungan jiwa dan pemikiran yang mendalam dari masa ke masa.
Jacob (1982) mengatakan bahwa pemikiran dan bahasa memungkinkan manusia berbicara
tentang sesuatu di luar ruang dan waktu yang sedang dialaminya, soal-soal yang bukan sini dan
bukan kini (nicht-hier und nicht-jetzt). Dengan otaknya manusia dapat meramal masa depannya dan
mempengaruhi evolusinya. Disinilah letak kemanusiaannya, sedangkan Bakker (1984) mengatakan
bahwa pengertian manusia mempunyai lingkungan natural dalam tindakannya yang praktis, dalam
rangka suatu tindakan manusia, maka pengertian menjadi sungguh-sungguh suatu pengertian yang
hidup.
Masyarakat yang maju, seperti dikatakan oleh Rostow (1972) dikutip dari Jacob (1982)
membentuk akademi dan universitas untuk memikirkan dan mempersiapkan masa depannya,
membiayai kalangan akademika, kadang-kadang cukup tinggi, agar mereka leluasa melakukan
pemikiran fundamental, bebas dari gejolak-gejolak hidup sehari-hari agar akal mereka dapat
menenawang membuat tinjauan jarak jauh, mempersoalkan hal-hal yang terlupakan, memikirkan
yang belum ada, yang berbeda dan lebih baik daripada yang sekarang, mencipta gagasan-gagasan
ilmiah yang revolusioner, yang membeni arah baru, gagasangagasan yang kini kelihatannya
mustahil dan tak terpikirkan, yang membuka vista baru menuju pemahaman alam dan hayat yang
lebih sempurna. Tujuan ini merupakan tugas khas kalangan akademika dan universitas, yang kalau
tidak ditunaikan, akan tertinggal terbengkalai. Bekerja dalam pendidikan, penelitian mengharuskan
pula perguruan tinggi memikirkan masa depan. Peranan universitas dalam peruhahan-perubahan
dunia merupakan masalah yang tak kunjung punah. Pada masa lalu (dan sebagian orang pada masa
kini) menganggap bahwa universitas sebagai sentra perubahan dunia ini maju seperti adanya
sekarang, adalah berkat daya dorong universitas. Dengan semua potensi dan fungsinya, universitas
dianggap orang sebagai kekuatan dan jiwa perubahan-perubahan dunia ini. Universitas menurut
anggapan ini, adalah roh perubahan dunia melalui aktivitas yang dilakukannya.
Menurut Peursen (1992) pengetahuan adalah kekuasaan, tapi hanya dalam masyarakat
modernlah akibat praktis dan kenyataan ini benar-benar tampak dalam apa yang kita sebut sifat siap
pakai atau operasional dari pengetahuan. Begitu manusia mengenal keteraturan atau struktur dalam
96
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
sekelompok fenomena, mereka mengembangkan suatu sistem kontrol. Hasil-hasil penelitian yang
semula sama sekali bersit teoritis (misalnya dalam struktur atom, atau genetika, pola tingkah laku
suku primitif), ternyata dapat diterapkan sebagai suatu cara yang berguna untuk membuka sumber-
sumber energi yang menakjubkan atau mengubah struktur organisme yang hidup secara luar biasa.
Kebudayaan modern mendapatkan kemungkinan yang tidak terduga untuk mengatur diri sendiri.
Kehidupan dewasa ini makin lama makin ditentukan oleh mekanisme yang berasal dan pengetahuan
akademis, baik mengenai disiplin ilmu maupun sastra dan filsafat.
Dari sisi lain muncul pandangan yang pesimis terhadap peranan universitas terhadap masa
depan, hal ini disebabkan tertinggalnya penelitian universitas dan badan-badan usaha atau
perusahaan besar untuk memangsa konsumennya. Persoalannya adalah apakah perubahan yang
akan terjadi dimasa depan disebabkan oleh kerja filsafat masa kini? Sebuah pertanyaan yang sulit
dijawab, karena filsafat tidak sendiri dan perlu berdialog dengan ilmu lain, para filsuf akan
mempertanyakan kembali apakah yang dimaksud perubahan tersebut? Perubahan telah terjadi sejak
manusia menjinakkan dirinya, menjinakkan kosmos serta isinya, sehingga dapat berjalan secara
mekanistis.
Kerja manusia yang digantikan oleh mesin-mesin, dan mengakibatkan manusia kehilangan
pekerjaan dan kehilangan kepuasan kerja dan makna hidup. Namun segi positifnya perkembangan
ilmu pengetahuan tersebut juga dikemukakan oleh A. B. Shah (1986) bahwa ilmu pengetahuan
membebaskan manusia dari kendala-kendala alam dan ketidaktahuannya sendiri. Sekarang orang
tahu bahwa fenomena perputaran alam benda di langit, sikius musim, kelahiran, dan kematian,
bentuk kehidupan dan bahkan cara pikiran manusia diatur oleh hukum-hukum yang memang sudah
melekat padanya.
Hukum itu menyikapkan suatu tingkat determinisme yang tidak bisa didamaikan dengan
kepercayaan tentang adanya suatu kekuatan yang adimanusiawi atau adikodrati yang
mengontrolnya dari luar. Walaupun demikian determinisme yang intrinsik dari dunia alam dan
manusia tidak anti tesis terhadap kebebasan. Ia tidak mereduksi manusia menjadi sekedar sebuah
gigi dan jentera raksasa alam semesta.
Sebab pengetahuan ilmiah memungkinkan manusia bukan untuk melanggar melainkannya
untuk mengetahui lebih dulu konsekuensikonsekuensi perbuatannya dan dengan demikian untuk
merencanakan perbuatanperbuatannya sehingga kehidupannya tidak merupakan sekedar suatu
selingan yang tak bermakna antara ketiadaan diri, dari mana manusia berasal dan ketiadaan, ke
97
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
mana ia akan kembali. Dengan demikian self-determinisme telah memperluas kebebasan manusia
dan merupakan kebalikan dari fatalisme yang terkandung dalam kepercayaan akan Tuhan Yang
Maha Kuasa.
Selanjutnya dikatakan oleh Syah bahwa selain mengajar manusia menjinakkan alam dan
memanfaatkannya untuk kepentingannya, ilmu pengetahuan telah memberikan kepadanya suatu
pemahaman yang lebih baik mengenai kodratnya sendiri. Hal tersebut telah menunjukkan
kepadanya bahwa manusia merupakan alat pembuat alat pembangun jembatan-jembatan dan
membuat pesawat-pesawat jet, ia pun merupakan hewan pembuat simbol yang bermimpi dan
menyusun rencana, yang sedih dan suka-ria, yang menuangkan puisi dan jadwal kereta-api, menulis
filsafat dan pornografi, membunuh sesamanya demi suatu ide dan juga bersedia mati untuk itu.
Seperti gempa bumi, pembuatannya sendiri pun mungkin tidak selalu dapat diramalkan.
Akan tetapi, apa yang ia lakukan dapat dimengerti secara rasional dan dihubungkan dengan apa
yang terjadi berikutnya dan apa yang terjadi mengenai dunia lahirnya, merupakan hasil ilmu
pengetahuan dan metode ilmiah. Dan kalau memang demikian halnya, apa sesungguhnya metode
ilmiah?
Menurut Delfgaauw (1972) di dalam kehidupan kemasyarakatan serta kehidupan ilmiah
sekarang, filsafat tidak penting artinya, jika dipandang hanya sebagai faktor yang berdiri sendiri,
tetapi arti yang dipunyainya sulit untuk dikatakan berlebihan, setelah kita simak bahwa, dimana-
mana baik dalam kegiatan ilmiah maupun dalam susunan kemayarakatan, faktor-faktor kefilsafatan
ikut menentukan arah yang dicari oleh ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Pelukisan serta lontaran kecaman terhadap nilai-nilai serta pengertian yang menggerakkan
manusia serta memberi bentuk kepada manusia dalam hidup kita sekarang ini, lebih diperlukan
dibanding di masa-masa yang Iampau. Oleh karena itu yang dapat menjadi ilmuwan maupun filsuf
bukanlah seseorang yang dalam peristiwa-peristiwa, menentukan sikapnya sendiri, pribadi yang
memiliki kepedulian terhadap semua peristiwa, fakta dan nilai yang terjadi maupun nilai yang
tersembunyi.
Pengertian filsafat dalam tindakan merupakan persoalan sepanjang masa, karena yang
sentral dalam hidup manusia adalah tindakan. Begitu juga pengertian manusia tentang dirinya, tidak
pernah ada pengertian yang melulu mewujudkan pengertian saja, selalu berfungsi dalam rangka
tindakan. Dalam tindakannya menurut Jacob (1982) manusia membagi waktu atas masa lampau,
masa sekarang dan masa depan. Biasanya manusia silau dan terpukau oleh masa sekarang,
98
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
walaupun tak jarang ia mengenangkan masa lampau dan mengeluh tentang masa depan. Ia memang
harus memikirkan apa yang harus ia makan hari ini. (dikutip dari ; http://ariplie.blogspot.com/2015
/04/arti-pentingnya-penelitian-filsafat.html)
Kemarin sudah berlalu dan besok terserah pada nasib. Segala sesuatu harus relevan dengan
masa kini, harus berguna bagi masyarakat masa kini dan di sini. Dengan demikian masa depan
mendapat prioritas rendah sekali, sehingga tidak jarang kita bertanya lagi apakah masyarakat masa
depan tidak akan terugikan oleh segala usaha kita yang didasarkan atas relevansi masa kini?
Padahal pada masa kini sangat singkat, segera berlalu. Masa kini sebenarnya hanya batas tipis yang
terus bergerak antara masa lampau yang panjang dan masa depan yang mudahmudahan panjang
pula. Dengan demikian jelaslah dengan memikirkan tentang masa depan, akan merupakan suatu
kebenaran yang manusiawi apabila sungguh-sungguh dilaksanakan.
99
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
Bagian VI
Manfaat Mempelajari Filsafat dan Filsafat Ilmu
Sesuatu di atas awan dan mencari rahasia di bawah bumi, sedangkan lubang di depan
rumahnya pun tidak tahu. Kalau begitu, apa ada faidahnya mempelajari filsafat? Sekurang-
kurangnya ada empat macam manfaat mempelajari filsafat: agar terlatih berpikir serius, agar
mampu memahami filsafat, agar mungkin menjadi filosofi, dan agar menjadi warga negara yang
baik. Disamping itu manfaat/kegunaan belajar filsafat bisa didasarkan pada dua pertimbangan, dari
sisi ilmu pengetahuan dan kehidupan sehari-hari.
Jan Hendrik Rappar membagi kegunaan filsafat ke dalam dua hal, yakni bagi ilmu
pengetahuan dan bagi kehidupan sehari-hari.
a) Kegunaan Filsafat Bagi Ilmu Pengetahuan
Tatkala filsafat lahir dan mulai tumbuh, ilmu pengetahuan masih merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari filsafat. Pada masa itu, para pemikir yang terkenal sebagai filsuf adalah juga
ilmuwan. Para filsuf pada masa itu adalah ahli-ahli matematika, astronomi, ilmu bumi, dan
berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Bagi mereka, ilmu pengetahuan itu adalah filsafat, dan
filsafat adalah ilmu pengetahuan. Dengan demikian jelas terlihat bahwa pada mulanya filsafat
mencakup keseluruhan ilmu pengetahuan. Berkat ilmu pengetahuanlah manusia dapat meraih
kemajuan yang sangat menakjubkan dalam segal bidang kehidupan. Teknologi canggih yang
semakin mencengangkan dan fantastis adalah salah satu produk dari ilmu pengetahuan. Bahkan
pada abad-abad terakhir ini dalam peradapan dan kebudayaan barat, ilmu pengetahuan telah
berperan sedemikian rupa sehingga telah menjadi tumpuan harapan banyak orang.
b) Kegunaan Filsafat Bagi Kehidupan Sehari-Hari
Meskipun filsafat itu abstrak, bukan berarti ia sama sekali tidak bersangkut paut dengan
kehidupan sehari-hari yang kongret. Keabstrakan filsafat tidak berarti bahwa filsafat itu tidak
memiliki hubungan apa pun dengan kehidupan nyata sehari-hari. Kendati tidak memberi
petunjuk praktis tentang bagaimana bangunan yang artistik dan elok, filsafat sanggup membantu
manusia dengan memberi pemahaman tentang apa itu artistik dan elok dalam kearsitekturan
sehingga nilai keindahan yang diperoleh lewat pemahaman itu akan menjadi patokan utama bagi
pelaksanaan pekerjaan pembangunan tersebut. Dengan demikian, filsafat menggiring manusia
100
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
ke pengertian yang terang dan pemahaman yang jelas. Tak hanya itu, ia pun menuntun manusia
ke dalam tindakan dan perbuatan yang kongret. Berdasarkan pengertian yang terang dan
pemahaman yang jelas.
Disisi lain filsafat ilmu berusaha mengkaji hal tersebut guna menjelaskan hakekat ilmu yang
mempunyai banyak keterbatasan, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang padu mengenai
berbagai fenomena alam yang telah menjadi objek ilmu itu sendiri, dan yang cenderung
terfragmentasi. Untuk itu filsafat ilmu juga bermanfaat untuk :
a) Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran.
Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk
suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem
politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-
teori filsafat ilmu.
b) Filsafat sebagai pandangan hidup.
Filsafat dalam posisi ini semua teori ajarannya diterima kebenaranya dan dilaksanakan dalam
kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam
menjalani kehidupan.
c) Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.
Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batu didepan pintu, setiap keluar
dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak
bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, mulai
dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan amat sederhana
maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas, penyelesaian yang detail itu biasanya
dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.
d) Melatih berfikir radikal tentang hakekat ilmu
e) Melatih berfikir reflektif di dalam lingkup ilmu
f) Menghindarkan diri dari memutlakan kebenaran ilmiah, dan menganggap bahwa ilmu sebagai
satu-satunya cara memperoleh kebenaran
g) Menghindarkan diri dari egoisme ilmiah, yakni tidak menghargai sudut pandang lain di luar
bidang ilmunya
101
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
Bagian VII
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan diantaranya :
1. Secara etimologis, filsafat diambil dari bahasa Arab, falsafah-berasal dari bahasa Yunani,
Philosophia, kata majemuk yang berasal dari kata Philos yang artinya cinta atau suka, dan kata
Sophia yang artinya bijaksana. Dengan demikian secara etimologis, filsafat
memberikanpengertian cinta kebijaksanaan.
2. Secara terminologis, filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya
ilmu-ilmu; metafisika, logika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
3. Ada tiga metode yang digunakan untuk memecahkan problema-problema Filsafat yaitu: metode
deduksi, induksi dan metode dialektik.
4. Obyek penyelidikan filsafat adalah segala yang ada dan yang mungkin ada, tidak terbatas.
5. Struktur/sistematika filsafat berkisar pada tiga cabang flsafat yaitu teori pengetahuan, teori
hakikat dan teori nilai.
6. Manfaat mempelajar filsafat diantaranya adalah manfaat dari sisi pengetahuan dan manfaat
dalam kehidupan sehari-hari. Dari sisi pengetahuan filsafat disebuat sebagai induk dari setiap
disiplian ilmu pengetahuan, maka untuk memahami ilmu pengetahuan dan mampu me-
interdisipliner-kan kita butuh filsafat. Filsafat dalam kehidupan sehari-hari bisa dijadikan
patokan utama dalam mengembangan kebutuhan-kebutuhan manusia serta piranti dalam
memahami proses keseharian secara mendalam dan jelas.
7. Tokoh idealisme Jerman terbesar pasca Kant adalah Hegel dengan idealisme absolutnya, satu
generasi lebih muda dari Kant. Hegel dikenal dengan idealisme absolut yang dengannya dia
mencoba merehabilitasi metafisika.
8. Idealisme adalah aliran filsafat yang berpendapat bahwa objek pengetahuan yang sebenarnya
adalah ide (idea).
9. Proses dialektika menurut Hegel terdiri dari tiga fase, yaitu: Fase pertama (tesis) dihadapi
antitesis (fase kedua), dan akhirnya timbul fase ketiga (sintesis).
102
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
10. Berfikir filsafati berarti berfikir untuk menemukan kebenaran secara tuntas. Analisis filsafati
tentang filsafat ilmu harus ditekankan pada upaya keilmuan dalam upaya mencari kebenaran.
Kebenaran terkait erat dengan aspek-aspek moral, seperti kejujuran. Analisis filsafati ilmu tidak
bolah berhenti pada upaya untuk meningkatkan penalaran keilmuan, tetapi sekaligus harus
mencakup pendewasaan moral keilmuan.
11. Filsafat ilmu mempunyai wilayah lebih luas dan perhatian lebih transenden dari pada ilmu-ilmu.
Oleh karena itu, filsafatpun mempunyai wilayah lebih luas daripada peyelidikan tentang cara
kerja ilmu-ilmu. Filsafat ilmu bertugas meneliti hakekat ilmu. Diantaranya paham tentang
kepastian, kebenaran dan objektifitas.
12. Filsafat ilmu harus merupakan pengetahuan tentang ilmu yang disepakati secara filsafati dengan
tujuan untuk lebih memfungsionalkan wujud keilmuan, baik secaa moral, intelektual, maupun
sosial. Filsafat ilmu harus mencakup bukan saja pembahasan mengenai ilmu itu sendiri beserta
segenap perangkatnya, melainkan sekaligus kaitan ilmu dengan beberapa aspek kehidupan,
seperti pendidikan, kebudayaan, moral sosial, dan politik. Demikian juga pembahasan yang
bersifat analitis dari tiap-tiap unsur bahasan harus diletakkan dalam kerangka berfikir secara
keleseluruhan.
13. Dengan menunjukkan sketsa umum hubungan filsafat dan ilmu pengetahuan serta garis besar
mengenai kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan yang pada gilirannya melahirkan
suatu cabang filsafat ilmu kiranya menjadi jelas bahwa filsafat ilmu bukanlah sekedar metode
atau tata-cara penulisan karya ilmiah ataupun penelitian. Filsafat ilmu adalah refleksi filsafati
yang tidak pernah mengenal titik henti dalam menjelajahi kawasan ilmiah untuk mencapai
kebenaran atau kenyataan, sesuatu yang memang tidak pernah akan habis dipikirkan dan tidak
pernah akan selesai diterangkan.
14. Hakikat ilmu adalah sebab fundamental dan kebenaran universal yang implisit melekat di dalam
dirinya. Dengan memahami Filsafat Ilmu, berarti memahami seluk-beluk ilmu yang paling
mendasar sehingga dapat dipahami pula perspektif ilmu, kemungkinan perkembangannya,
keterjalinan antar (cabang) ilmu yang satu dengan yang lain, simplifikasi dan artifisialitasnya.
Memasukkan mata kuliah Filsafat Ilmu ke dalam kurikulum adalah tepat, dalam kerangka
peningkatan mutu akademik. Sebab filsafat ilmu adalah implisit dalam upaya meningkatkan
mutu pendidikan tinggi, dan implisit dalam paradigma “manusia Indonesia seutuhnya” yang di
dalam penalarannya pertama-tama dan terutama harus mampu dan sanggup melakukan
103
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
terobosan ke kawasan yang paling mendasar, ke kawasan untuk memahami hakikat ilmu sampai
batas ultimate. Dengan memahami seluk-beluk ilmu secara ilmiah-filsafati, tanpa harus menjadi
seorang filsuf, akan menjadikan masing-masing orang sebagai ilmuwan atau sarjana yang arif,
terhindar dari kecongkakan intelektual, dan terhindar dari arus yang memandang kebenaran
ilmiah sebagai barang jadi, selesai dan buntu dalam kebekuan normatif untuk diulang-ulang
sebagai barang hafalan.
104
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
Daftar Pustaka
105
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
Jujun S. Suriasumantri, 1993. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan
Jujun S Suriasumantri, 1996. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta Pustaka Sinar
Harapan,
Jujun S Suriasumantri, 1999. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta Pustaka Sinar
Harapan,
Kenny, Anthony. An Illustrated Brief History of Western Philosophy. Oxford: Blackwell.
Magnis Soeseno, Franz, 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta, Kanisius
Oemar Amin Hoesen. 1964. Filsafat Islam. Jakarta. Bulan Bintang
Peter Drucker, 2001, The Essential Drucker, Harper Collins Publisher, hal. 3- 56.
Praja, Juhaya S. 2003. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Prenada Media, Jakarta
Rosda. Kattsoff, Louis O. 2004. Pengantar Filsafat. Yogyakarta :Tiara Wacana Yogyakarta.
Salam, Burhanuddin. 2000, Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Sastrapratedja. (ed). 1982. Manusia Multi Dimensional. Jakarta. Gramedia
Suharsaputra, U., 2004. Filsafat Ilmu. Universitas Kuningan.
Siswomihardjo, Koentowibisono, dkk. 1997. Filsafat Ilmu sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan. Yogyakarta: Intan Pariwara
Tafsir, Ahmad.2000. Filsafat Umum.Bandung :
Tafsir, Ahmad.2006. Filsafat Umum.Bandung :
Van der Weij, P.A. Dr. 2000. Filsuf-filsuf Besar Tentang Manusia, Kanisius,Yogyakarta
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/13/hubungan-antara-filsafat-dengan-ilmu/
http://pakguruonline.pendidikan.net/buku_tua_pakguru_dasar_kpdd_11.html
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/08/pengertian-filsafat/
http://filsafat-ilmu.com/2008/06/persamaan-dan-perbedaan-filsafat-dan.html
http://www.google.co.id/#hl=id&q=definisi+ilmu+pengetahuan&meta=&aq=
f&oq=definisi+ilmu+pengetahuan&fp=7e99b3a5df14a093
http://tanbihun.com/pendidikan/definisi-atau-pengertian-filsafat-dan-ilmu-pengetahuan-
serta-perbedaannya/
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20090913053818AA54TO6
106
Working Paper filsafat ilmu by Herispon 2015
https://www.google.co.id/?gws_rd=cr,ssl&ei=Isa1Vfy3HYyOuATP1r2IAg#q=kaitan+filsaf
at+dengan+ilmu+pengetahuan, 27 Juli 2015
http://ow.ly/KNICZ
http://www.saberweb.com.br/estados-unidos-da-america/administradores-dos-estados-
unidos-da-america/images/Peter-Drucker.jpg
http://rumahfilsafat.com/2010/07/06/filsafat-dan-manajemen-bisnis-dua-sisi-dari-satu-koin-
yang-sama/, 27 Juli 2015
http://meja-miftah.com/2011/06/masa-depan-filsafat.html
http://masykurara.com/2015/02/makalah-filsafat-ilmu-tantangan-dan.html, 10 Agustus 2015
107