Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh


Mycobakterium tuberkulosis. WHO menyatakan bahwa sepertiga penduduk dunia
telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi
tuberkulosis. Sejak tahun 1993 World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberculosis sebagai Global Emergency. WHO pada tahun 2013
memperkirakan bahwa sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman
tuberculosis dan setiap tahunnya menimbulkan penyakit pada sekitar 9 juta orang,
serta membunuh 1,5 juta pasiennya . Laporan terakhir dari WHO pada tahun 2014
menyatakan bahwa Indonesia menempati urutan ke-5 terbanyak kasus TB di dunia
setelah India, Cina, Nigeria dan Pakistan dengan perkiraan prevalensi TB sebesar
520.000 dan 410.000 kasus baru pertahun. Selain itu kasus resistensi terhadap
obat anti tuberkulosis merupakan masalah baru yang penting dalam program
penanggulangan tuberculosis. 1,2
Di Indonesia pemberantasan penyakit tuberkulosis telah dimulai sejak
tahun 1950 dan sesuai rekomendasi WHO sejak tahun 1986 regimen pengobatan
yang semula 12 bulan diganti dengan pengobatan selama 6-9 bulan. Strategi
pengobatan ini disebut DOTS (Directly Observed Treatment Short Course
Chemotherapy). Cakupan pengobatan dengan strategi DOTS tahun 2000 dengan
perhitungan populasi 26 juta, baru mencapai 28%. Berdasarkan Global
Tuberkulosis Kontrol tahun 2011 angka prevalensi semua tipe TB adalah sebesar
289 per 100.000 penduduk atau sekitar 690.000 kasus. Insidensi kasus baru TBC
dengan BTA positip sebesar 189 per 100.000 penduduk atau sekitar 450.000
kasus. Kematian akibat TB di luar HIV sebesar 27 per 100.000 penduduk atau 182
orang per hari. 1
Pasien gagal, putus pengobatan dan kambuh setelah mendapatkan
pengobatan TB kategori I, untuk mendapatkan pengobatan selanjutnya
dikelompokkan WHO sebagai kategori II dengan rejimen obat (2HRZES +

1
1HREZ + 5HRE). Ada berbagai faktor yang dianggap sebagai penyebab
kegagalan pengobatan atau kekambuhan kasus tuberkulosis yaitu kemiskinan,
intoleransi terhadap obat, ketidaktahuan tentang lama pengobatan, ketidaktahuan
tentang cara mengkomsumsi obat, dan penyakit penyerta seperti diabetes
mellitus.3,4
Melihat dari banyaknya prevalensi kasus TB paru kasus baru di indonesia
maka penting bagi kita untuk mengetahui, mencegah dan menangani TB paru
berdasarkan kategori pengobatannya.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TUBERKULOSIS PARU
1. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex. Tuberkulosis paru adalah
tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput
paru). 5

2. Epidemiologi
Pada tahun 2013 WHO mencatat insiden TB di dunia yaitu sebesar 9
juta kasus, dengan 1,5 juta kematian (1,1 juta penderita TB dengan HIV
negative dan 0,4 juta penderita TB dengan HIV positif ). Tuberkulosis saat
ini banyak menyerang usia produktif dan meningkatkan angka kematian
terutama di negara berkembang. Hasil survey terakhir WHO tahun 2014
mencatat Indonesia sebagai negara dengan pasien tuberkulosis (TB)
terbanyak ke-5 di dunia perkiraan jumlah pasien TB sekitar 10% dari
seluruh pasien TB di dunia. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 2001 didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan
merupakan penyebab kematian kedua setelah sistem sirkulasi. Pada SKRT
1992 disebutkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian kedua,
sementara SKRT 2001 menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab
kematian pertama pada golongan penyakit infeksi. 2,5

3. Etiologi
Penyebab penyakit TB paru adalah bakteri Mycobacterium
tuberculosis kompleks. Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus
atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini
berukuran lebar 0,3 – 0,6 μm dan panjang 1 – 4 μm. Dinding M.tuberculosis
sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun

3
utama dinding sel M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks
(complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut “cord factor”, dan
mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Unsur lain yang
terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti
arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur ini menurunkan permeabilitas
dinding sel sehingga mengurangi efektivitas terhadap antibiotik. Struktur
dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M.tuberculosis
bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai, tahan terhadap upaya
penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam – alcohol. Sifat lain
bakteri ini adalah aerob, menunjukkan bahwa bakteri ini lebh menyenangi
jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen
pada bagian apeks paru lebih tinggi dari bagian lain,sehingga apeks paru
menjadi predileksi TB paru. 5,6,7

Gambar 1.1 : Gambaran mikroskopik kuman M.Tuberculosis

4. Gejala Klinis
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 – 3
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa

4
kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala – gejala tersebut
diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain Tb, seperti
bronkiektasis, bronchitis kronis, asma, kanker paru dan lain – lain.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap
orang yang datang ke Fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap
sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan
pemeriksaan dahak mikroskopik langsung. 8

5. Patogenesis
a. Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan
bersarang di jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang
pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini
mugkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang
reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah
bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh
pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek
primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks
primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai
berikut :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad
integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon,
garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya Salah satu contoh adalah
epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat penekanan bronkus,
biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar
sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan,
dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang
bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan

5
peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai
epituberkulosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke
paru sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini
sangat bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil.
Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila
tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan
keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa,
typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan
tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal,
genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin
berakhir dengan :
• Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalo meningitis,
tuberkuloma) atau
• Meninggal
Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.5

b. Tuberkulosis Post-Primer
Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul bertahun-tahun
kemudian biasanya pada usia 15-40 tahun sebagai infeksi endogen menjadi
tuberkulosis dewasa (Tuberkulosis post primer = TB pasca primer = TB
sekunder). Tuberkulosis pasca primer ini dimulai dengan sarang dini yang
berlokasi di regio atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior atau
inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus
hiler paru. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil.
Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut:
1) Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan
cacat

6
2) Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan
dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri
menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk
perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali,
membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju
dibatukkan keluar.
3) Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa).
Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti
awalnyaberdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti
sklerotik). Nasib kaviti ini :
• Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru.
Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang
disebutkan diatas.
• Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan
disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh,
tapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi
• Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open
healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri,
akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang
terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate
shaped).5,7

6. Klasifikasi Tuberkulosis Paru


1). Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi dalam :
a. Tuberkulosis Paru BTA (+)
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya positif
 Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks
menunjukkan gambaran tuberkulosis
 Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman
positif

7
 Satu atau lebih spesimen dahak SPS hasilnya positif setelah 3
spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA
negative dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika
b. Tuberkulosis Paru BTA (-)
 Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
 Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberculosis
 Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, pasien
dengan HIV negative
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
M.tuberculosis positif
2). Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu :
a. Kasus baru
Pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan
BTA bisa positif atau negatif
b. Kasus yang sebelumnya diobati
 Kasus kambuh (relaps)
Pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
positif atau biakan positif. Bila hanya menunjukkan perubahan pada
gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus
dipikirkan beberapa kemungkinan.
 Infeksi sekunder
 Infeksi jamur
 TB paru kambuh
 Kasus setelah putus berobat (default)
Pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif

8
 Kasus setelah gagal (failure)
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan
c. Kasus pindahan (Transfer In)
Pasien yang dipindahkan ke register lain untuk melanjutkan
pengobatannya. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat
rujukan/pindah
d. Kasus lain :
Semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti yang
 tidak dikertahui riwayat pengobatan sebelumnya,
 pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya,
 kembali diobati dengan BTA negative.5

7. Diagnosis
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan gambaran klinis,
pemeriksaan fisis, gambaran radiologis, pemeriksaan laboratorium dan uji
tuberkulin.
a. Pemeriksaan Klinis
Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya
tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada
umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan
segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan
fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara
napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan
mediastinum. 8
Pada pleuritis TB, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi
yang terdapat cairan. Pada limfadenitis TB, terlihat pembesaran kelenjar
getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis

9
tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut
dapat menjadi “cold abscess”. 8
b. Pemeriksaan Bakteriologik
1) Bahan pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman
tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan
diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal
dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus,
bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar
lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum
halus/BJH). 6
2) Cara pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Cara pemeriksaan dahak mikroskopis langsung diperiksa contoh
uji dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) setiap pagi 3 hari berturut-
turut.
 Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
 Pagi ( keesokan harinya )
 Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan
ialah bila :
2 kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif
1 kali positif, 2 kali negatif → ulang BTA 3 kali , kemudian
bila 1 kali positif, 2 kali negatif → Mikroskopik positif
bila 3 kali negatif → Mikroskopik negatif. 5,7,9
c. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto
lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-
Scan. Pada gambaran foto toraks, lokasi lesi tuberculosis umumnya di
daerah apeks paru (segmen apical lobus atas atau segmen apical lobus
bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau di

10
daerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya pada tuberkulosis
endobronkial). 5,7
Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang – sarang
pneumonia, gambaran radiologis berupa bercak – bercak seperti awan
dan dengan batas – batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi
jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas tegas
(tuberkuloma). 7
Secara umum, gambaran radiologis TB Paru dapat berupa :
1) Kelainan terutama pada lapangan atas paru
2) Bayangan bercak – bercak atau noduler
3) Adanya kavitas (cavernae)
4) Adanya kalsifikasi
5) Kelainan bilateral lapangan atas
6) Kelainan menetap setelah beberapa minggu
7) Bayangan milier
8) Bayangan fibrosis. 7
d. Pemeriksaan Penunjang
1) Polymerase chain reaction (PCR)
2) Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda
- Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
- Mycodot
- Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
- Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis)
Saat ini pemeriksaan serologi belum bisa dipakai sebagai pegangan
untuk diagnosis.
3) Pemeriksaan BACTEC
4) Pemeriksaan Cairan Pleura
5) Pemeriksaan histopatologi jaringan
6) Pemeriksaan darah
7) Uji tuberculin. 5

11
Gambar 1.2 Alur Diagnostik Tuberkulosis Paru. 5

8. Penatalaksanaan
a. Tujuan Pengobatan TB
1) Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas
hidup
2) Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk
selanjutnya

12
3) Mencegah terjadinya kekambuhan TB
4) Menurunkan penularan TB
5) Mencegah terjadinya TB resistan obat. 9

Tabel 1.1 Pengelompokan OAT 10

Tabel 1.2 Jenis, Sifat, dan dosis OAT lini pertama 9

13
b. Prinsip Pengobatan TB
Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip :
1) Pengobatan diberikan dalam bentuk panduan OAT (Obat Anti
Tuberkulosis) yang tepat mengandung minimal 4 macam obat untuk
mencegah terjadinya resistensi
2) Diberikan dalam dosis yang tepat
3) Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO
(Pengawas Menelan Obat) sampai selesai pengobatan
4) Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam
tahap awal serta lanjutan untuk mencegah kekambuhan.
Tahap Awal
 Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat
 Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu
 Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negative
(konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
 Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktyu yang lebih lama
 Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan. 9
c. Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya
 Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :
 Pasien baru TB paru BTA positif
 Pasien TB paru BTA negative foto thoraks positif
 Pasien TB ekstra paru.

14
Tabel 1.3 Dosis untuk Paduan OAT KDT untuk Kategori 1

Tabel 1.4 Dosis Paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1

 Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya :
 Pasien kambuh
 Pasien gagal
 Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Tabel 1.5 Dosis untuk Paduan OAT KDT Kategori 2

15
Tabel 1.6 Dosis Paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2

 OAT sisipan (HRZE)


Paduan OAT ini diberikan kepada pasien BTA positif yang pada
akhir pengobatan intensif masih tetap BTA positif. Paket sisipan KDT
adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang
diberikan selam sebulan (28 hari).
Tabel 1.7 Dosis KDT untuk sisipan

Tabel 1.8 Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan

16
d. Efek Samping OAT
Tabel 1.9 Efek Samping Ringan OAT

Tabel 1.10 Efek Samping Berat OAT

Penanganan efek samping obat:


 Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi
secara simptomatik\
 Gangguan sendi karena pirazinamid dapat diatasi dengan pemberian
salisilat / allopurinol
 Efek samping yang serius adalah hepatits imbas obat. Penanganan seperti
tertulis di atas.
 Penderita dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit
yang umumnya disebabkan oleh INH dan rifampisin, dapat dilakukan
pemberian dosis rendah dan desensitsasi dengan pemberian dosis yang
ditingkatkan perlahan-lahan dengan pengawasan yang ketat. Desensitisasi
ini tidak bisa dilakukan terhadap obat lainnya

17
 Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia,
syok atau gagal ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena
etambutol, gangguan nervus VIll karena streptomisin dan dermatitis
exfoliative dan agranulositosis karena thiacetazon
 Bila sesuatu obat harus diganti maka paduan obat harus diubah hingga
jangka waktu pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik. 5,9

e. Evaluasi Pengobatan
1) Klinis. Biasanya dikontrol dalam 1 minggu pertama selanjutnya setiap 2
minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir
pengobatan. Secara klinis, hendaknya terdapat perbaikan keluhan-
keluhan pasien seperti batuk-batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu
makan bertambah, berat badan meningkat dan lain-lain.
2) Bakteriologis. Biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA
mulai menjadi negatif. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan
sekali sebulan. WHO menganjurkan kontrol sputum BTA langsung
dilakukan pada akhir bulan 2, 4 dan 6. Biakan BTA dilakukan pada
permulaan, akhir bulan ke-2 dan akhir pengobatan. Pemeriksaan
resistensi dilakukan pada pasien baru yang BTA-nya masih positif
setelah tahap intensif dan pada awal terapi bagi pasien yang mendapatkan
pengobatan ulang.
3) Radiologis. Evaluasi radiologis juga diperlukan untuk melihat kemajuan
terapi. Jika keluhan pasien tetap tidak berkurang (misalnya tetap batuk-
batuk), dengan pemeriksaan radiologis dapat dilihat keadaan tuberkulosis
parunya atau adakah penyakit lain yang menyertainya. Karena perubahan
gambaran radiologis tidak secepat perubahan bakteriologis, evaluasi foto
dada dilakukan setiap 3 bulan sekali.
Bila secara bakteriologis ada perbaikan tetapi klinis dan radiologis
tidak, harus dicurigai ada penyakit lain disamping TB paru. Bila secara
klinis, bakteriologis dan radiologis tetap tidak ada perbaikan padahal pasien

18
sudah diobati dengan dosis yang adekuat serta teratur, perlu dipikirkan
adanya gangguan imunologis pada pasien tersebut, antara lain AIDS. 7

f. Hasil Pengobatan TB
Tabel 1.11 Hasil Pengobatan TB 9

9. Komplikasi
Penyakit tuberculosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan
menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan
komplikasi lanjut.
a. Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, emphiema, laringits, usus, Poncet’s
arthropathy.
b. Komplikasi lanjut : Obstruksi Jalan napas > SPOT (Sindrom Obstruksi
Pasca Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat > fibrosis paru, sindrom
gagal napas dewasa (ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.7

19
10. TUBERKULOSIS MULTI DRUGS RESISTENT (TB MDR)
Resistensi ganda atau Multi Drugs Resistant adalah M. Tuberculosis yang
resisten minimal terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT
lainnya. Tuberkulosis MDR menurut WHO adalah resistensi terhadap 2 obat
TB lini pertama yaitu isoniazid dan rifampicin. Pada umumnya, pasien yang
didiagnosis dengan TB- MDR direkomendasikan oleh WHO untuk diterapi
selama 24 bulan dengan obat anti tuberculosis lini kedua. 11, 12
Secara umum resistensi terhadap obat anti tuberkulosis dibagi menjadi :
 Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat
pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1
bulan.
 Resistensi initial ialah apabila tidak diketahui pasti apakah pasien belum
atau sudah pernah menjalani pengobatan OAT sebelumnya.
 Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat
pengobatan OAT minimal 1 bulan. 11
Pada tahun 2003 WHO menyatakan insidens TB-MDR meningkat secara
bertahap rerata 2% pertahun. Prevalensi TB diperkirakan WHO meningkat
4,3% di seluruh dunia dan lebih dari 200.000 kasus baru terjadi di dunia. Di
negara berkembang prevalens TB-MDR berkisar antara 4,6%-22,2%. Saat ini
menurut WHO Indonesia menduduki peringkat ke 8 dari 27 negara dengan
jumlah kasus MDR tertinggi. Di Indonesia, data awal survei resistensi obat
OAT lini pertama yang dilakukan di Jawa Tengah menunjukkan angka TB-
MDR yang rendah pada kasus baru (1-2%), tetapi angka ini meningkat pada
pasien yang pernah diobati sebelumnya (15%). Hasil Survei terbaru yang
dilakukan di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2010 menunjukkan angka 2%
untuk kasus baru dan 9,7% untuk kasus pengobatan ulang. 10,11,12,13
Menurut Program Nasional, terdapat 9 kriteria pasien yang menjadi
suspek TB-MDR yaitu: 13
a. Kasus kronik atau pasien gagal pengobatan kategori 2
b. Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah bulan ke 3
dengan kategori 2

20
c. Pasien yang pernah diobati TB termasuk OAT lini kedua seperti kuinolon
dan kanamisin
d. Pasien gagal pengobatan kategori 1
e. Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan
kategori 1
f. Kasus TB kambuh
g. Pasien yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1 dan
atau kategori 2
h. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR
konfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang bertugas di bangsal TB-
MDR.
i. ODHA dengan gejala TB-HIV
Terdapat lima jenis kategori resistensi terhadap obat TB : 14
a. Mono-resistance : kebal terhadap salah satu OAT.
b. Poly-resistance : kebal terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi
isoniazid dan rifampisin.
c. Multidrug-resistance (MDR) : kebal terhadap sekurang-kurangnya isoniazid
dan rifampisin.
d. Extensive drug-resistance (XDR) : TB-MDR ditambah kebal terhadap salah
salah satu obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu dari OAT
injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, amikasin).
e. TB Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap rifampisin
(monoresistan, poliresistan, TB MDR, TB XDR) yang terdeteksi
menggunakan metode fenotip atau genotip dengan atau tanpa resistan OAT
lainnya.
Diagnosis TB Resistan obat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan uji
kepekaan obat dengan metode standar yang tersedia di Indonesia. Uji kepekaan
obat ini bertujuan untuk menentukan ada atau tidaknya resistensi
Mycobacterium tuberkulosis terhadap OAT. Pemeriksaan laboratorium untuk
uji kepekaan M.tuberculosis dilakukan dengan metode standar yang tersedia di
Indonesia yaitu metode konvensional dan metode tes cepat (rapid test). 10

21
a. Metode konvensional
 Menggunakan media padat (Lowenstein Jensen/LJ) atau media cair
(MGIT).
 Digunakan untuk uji kepekaan terhadap OAT lini pertama dan OAT lini
kedua
b. Tes Cepat (Rapid Test).
 MenggunakanXpert MTB/RIF atau lebih dikenal dengan GeneXpert.
 Merupakan tes amplifikasi asam nukleat secara otomatis sebagai
sarana deteksi TB dan uji kepekaan untuk rifampisin.
 Hasil pemeriksaan dapat diketahui dalam waktu kurang lebih 2 jam.
 Digunakan untuk uji kepekaan terhadap Rifampisin
 Menggunakan Line probe assay (LPA):
 Dikenal sebagai Hain test/Genotype MTB DR plus
 Hasil pemeriksaan dapat diperoleh dalam waktu kurang lebih 24 - 48
jam tergantung ketersediaan sarana dan sumber daya yang ada.
 Digunakan untuk uji kepekaan terhadap Rifampisin dan Isoniasid.

22
Gambar 1.3 Alur Diagnostik TB Resistan Obat. 10
Kelompok OAT yang digunakan dalam pengobatan TB-MDR digunakan
secara hirarki; pilih dahulu kelompok satu, kemudian secara berurutan pilihan
terakhir kelompok 5, perlu diketahui kelompok 4 tidak tersedia di Indonesia.
a. Kelompok 1 : OAT lini 1. Isoniazid (H), Rifampisin (R), Etambutol (E),
Pirazinamid (Z), Rifabutin (Rfb).
b. Kelompok 2 : Obat suntik. Kanamisin (Km), Amikasin (Am), Kapreomisin
(Cm), Streptomisin (S).
c. Kelompok 3 : Fluorokuinolon. Moksifloksasin (Mfx), Levofloksasin (Lfx),
Ofloksasin (Ofx).

23
d. Kelompok 4 : Bakteriostatik OAT lini kedua : Etionamid (Eto), Protionamid
(Pto), Sikloserin (Cs), Terzidone (Trd), PAS.
e. Kelompok 5: Obat yang belum diketahui efektivitasnya : Klofazimin (Cfz),
Linezolid (Lzd), Amoksiclav (Amx/clv), Tiosetazone (Thz),
Imipenem/cilastin (Ipm/cln), H dosis tinggi, Klaritromisin (Clr). 11
Pilihan paduan OAT TB MDR saat ini adalah paduan terstandar, yang
pada permulaan pengobatan akan diberikan sama kepada semua pasien TB
MDR (standardized treatment). Adapun paduan yang akan diberikan adalah :10

Km – Eto – Lfx – Cs – Z(E)/ Eto – Lfx – Cs – Z – (E)


- Paduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR secara
laboratories
- Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan
tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama
paling sedikit 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Apabila
hasil pemeriksaan biakan bulan ke-8 belum terjadi konversi maka disebut
gagal pengobatan. Tahap lanjutan adalah pemberian paduan OAT tanpa
suntikan setelah menyelesaikan tahap awal.
- Etambutol tidak diberikan jika terbukti sudah resisten
- Paduan OAT akan disesuaikan paduan atau dosis pada :
 Pasien TB MDR yang didiagnosis awal menggunakan Rapid Test, setelah
ada konfirmasi hasil uji resistensi M. tuberculocis dengan cara
konvensional, paduan OAT akan disesuaikan
 Bila ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut di atas sebelumnya
sehingga dicurigai telah ada resistensi, misalnya : pasien sudah pernah
mendapat kuinolon pada pengobatan TB sebelumnya, maka diberikan
levofloksasin dosis tinggi. Apabila sudah terbukti resisten terhadap
levofloksasin maka paduan pengobatan ditambah PAS dan levofloksasin
diganti dengan moksifloksasin, hal tersebut dilakukan dengan
pertimbangan dan persetujuan dari tim ahli klinis atau tim ad hoc.

24
 Terjadi efek samping berat akibat salah satu obat yang sudah dapat
diidentifikasi sebagai penyebabnya.
 Terjadi perburukan keadaan klinis, sebelum maupun setelah konversi
biakan. Hal – hal yang harus diperhatikan adalah kondisi umum, batuk,
produksi dahak, demam, penurunan berat badan.
 Penentuan perpindahan ke tahap lanjutan ditentukan oleh tim ahli klinis
 Jika terbukti resisten terhadap kanamisin, maka paduan standar
disesuaikan sebagai berikut :

Cm – Lfx – Eto – Cs – Z – (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)

 Jika terbukti resisten terhadap kuinolon, maka paduan standar


disesuaikan sebagai berikut ;

Km – Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E)/ Mfx – Eto – Cs- PAS – Z – (E)

 Jika moxifloksasin tidak tersedia maka dapat digunakan levofloksasin


dengan dosis tinggi. Dilakukan pemantauan ketat keadaan jantung dan
waspada terhadap kemungkinan tendinitis/rupture tendon bila
menggunakan levofloksasin dosis tinggi.
 Jika pada pengobatan TB BDR tidak dapat menggunakan sikloserin,
maka penggunaan sikloserin dapat diganti dengan PAS
 Jika terbukti resisten terhadap kanamisin dan kuinolon (TB XDR), atau
pasien TB-MDR/HIV memerlukan penatalaksanaan khusus

Prinsip Paduan Pengobatan TB MDR


- Setiap paduan obat TB MDR terdiri dari minimal 4 macam obat dengan
efektifitas yang pasti atau hampir pasti
- Dosis obat berdasarkan berat badan
- Obat suntikan (kanamisin atau capreomisin) digunakan minimal selama 6
bulan dan 4 bulan setelah terjadi konversi biakan

25
- Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan. Setiap
pemberian suntikan maupun obat oral dibawah pengawasan petugas
kesehatan yang ditunjuk sebagai PMO
- Pada pasien yang mendapat sikloserin harus ditambahkan piridoxin (vitamin
B6), dengan dosis 50 mg untuk setiap 250 mg sikloserin.
- Semua obat sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal, kecuali jika terjadi
efek samping ataupun pada pasien TB MDR/HIV yang mendapatkan ARTY
maka beberapa jenis obat diberikan dalam dosis terbagi seperti : PAS,
sikloserin dan etionamid.
Lama dan cara pemberian pengobatan
- Lama pengobatan adalah minimal 18 bulan setelah konversi biakan.
Pengobatan dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan.
Satuan bulan dimaksud adalah bulan sesuai dosis bukan bulan kalender.
Satu bulan pengobatan adalah apabila pasien mendapatkan 28 dosis
pengobatan (1 bulan = 4 minggu = 28 hari)
- Cara Pemberian Obat
 Tahap awal : suntikan diberikan 5 kali seminggu, baik selama rawat
inap dan rawat jalan. Obat peroral diminum / ditelan 7 kali dalam
seminggu didepan petugas kesehatan.
 Tahap lanjutan : obat oral diberikan dan diminum/ditelan setiap 6 kali
dalam seminggu di depan petugas kesehatan.
- Cara menentukan lama pengobatan
 Tahap awal, lama pengobatan adalah :
Rumus : a + 4 bulan,
Dimana a = bulan pertama tercapai konversi biakan
Lama tahap awal minimal 6 bulan. Bila sampai bulan ke 8 pasien tidak
konversi maka pengobatan dinyatakan gagal.
 Tahap lanjutan, lama pengobatan tahap lanjut adalah total lama
pengobatan dikurangi dengan lama pengobatan tahap awal
 Total lama pengobatan adalah :
Rumus : a + 18 bulan

26
Dimana a = bulan pertama tercapai konversi biakan
Setiap pemberian suntikan maupun obat oral selama masa pengobatan
dibawah pengawasan petugas kesehatan yang berperan sebagi PMO.
Untuk peran pengawasan ini dapat dibantu oleh pendamping PMO yang
bisa berasal dari pasien yang sudah sembuh, kader kesehatan atau
sukarelawan lain yang terlatih. 10

27
BAB III
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
 Nama : Ny. I
 Umur : 70 Tahun
 Jenis kelamin : Perempuan
 Alamat : Desa Tawaeli
 Pekerjaan : IRT
 Agama : Islam
 Pendidikan Terakhir : SMA
II. Anamnesis
 Keluhan Utama : Sesak Napas
 Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien masuk dengan keluhan sesak napas
sejak 3 hari yang lalu, pasien juga mengalami batuk yang dialami sejak ±
7 bulan lalu, batuk disertai dahak berwarna kuning, pernah disertai darah
sekitar 2 bulan yang lalu namun hanya berupa bercak – bercak.
Berkeringat malam (+), penurunan berat badan (+), dan mudah lelah.
Demam (+) dialami sekitar 5 hari SMRS, mual (-), muntah (-), nyeri ulu
hati (+), pusing (+), sakit kepala (-), BAB dan BAK lancar.
 Riwayat Penyakit terdahulu: Riwayat TB BTA (+) dan menjalani
pengobatan OAT sejak 5 bulan yang lalu namun putus 1 minggu yang
lalu.
 Riwayat Penyakit Keluarga: DM (-), HT (-), Kolesterol (-), As. Urat (-)
III. Pemeriksaan Fisis
 Keadaan umum :
SP : CM/SS/UNDERWEIGHT
BB: 37 Kg / TB: 150 cm / IMT: 16,4 kg/m2
 Vital Sign:
Tekanan Darah : 110/60mmHg Pernapasan : 34 Kali/Menit
Nadi : 92 Kali/Menit Suhu : 37,9℃

28
 Kepala:
Wajah : Tampak pucat, Oedem palpebra (-)
Deformitas : (-)
Bentuk : Normocepal
Mata : - Konjungtiva : Anemis -/-
- Sklera : Ikterik -/-
- Pupil : Isokor  kiri = kanan (2-3 mm)
Mulut : Sianosis (-), Stomatitis (-)
 Leher:
Kelenjar Getah Bening : Pembesaran Kelenjar Getah Bening (-)
Kelenjar Tiroid : Pembesaran Kelenjar Tiroid (-)
JVP : R5 +2 cmH2O
Massa Lain : (-)
 Thorax:
Paru – paru :
- Inspeksi : Bentuk simetris ki=ka, Retraksi otot pernapasan (+)
- Palpasi : Vokal fremitus ka = ki, Nyeri tekan (-), Massa lain (-)
- Perkusi : Sonor pada semua lapang paru, Nyeri ketok (-)
- Auskultasi : Vesikuler+/+, Rh +/+, Wh -/-
Jantung:
- Inspeksi : Ictus Cordis terlihat
- Palpasi : Ictus Cordis teraba
- Perkusi : Pekak,
Batas jantung atas linea sternalis sinistra SIC2
Batas jantung kanan parasternal dextra SIC4
Batas jantung kiri Axillaris Anterior sinistra SIC5
- Auskultasi : Bunyi jantung I & II murni reguler
Bunyi jantung tambahan (-)
 Abdomen:
Inspeksi : Cekung, Massa (-), Cicatrix (-)
Auskultasi : Peristaltik Usus (N), Bising Aorta Abdominalis (-)

29
Perkusi : Timpani pada seluruh regio abdomen
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+), Pembesaran Organ (-),
Massa Lain (-)
 Extremitas:
Atas : Akral hangat, oedem (-), ulcus (-)
Bawah : Akral hangat, Oedem (-), ulcus (-)
IV. Resume :
 Pasien perempuan usia 70 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan
sesak napas yang dialami sejak 3 hari yang lalu, batuk disertai dahak
berwarna kuning sejak 7 bulan lalu, hemoptisis 2 bulan yang lalu
namun hanya berupa bercak – bercak. Berkeringat malam (+),
penurunan berat badan (+), dan mudah lelah. Febris (+) dialami sekitar
5 hari SMR, nausea (+), nyeri epigastrium (+). Pasien memiliki
riwayat diagnosis TB BTA (+) dengan pengobatan OAT selama 5
bulan putus 1 minggu yang lalu, Dari pemeriksaan TTV ditemukan
TD: 110/60 mmHg, N: 92x/menit, P: 34x/menit, S: 37,9°C, IMT:
16,4. Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi otot pernapasan, auskultasi
didapatkan bunyi rhonki positif pada kedua apeks paru, dan
didapatkan nyeri tekan pada regio epigastrium.
V. Diagnosis Kerja : TB paru gagal terapi + suspek TB MDR + Dyspepsia
VI. Diagnosis Banding : Bronkhitis Kronik, bronkiektasis
VII. Penatalaksanaan : IVFD RL 24 tpm
O2 3-4 L
Inj. Ranitidin amp 1 amp/12 jam/IV
Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam/IV
Inj. Dexamethason /8 jam/IV
Codein 20 mg 3 x 1/2
Neurodex 2 x 1
OAT kategori II
 Rifampisin
 Izoniazid

30
 Pirazinamid
 Etambutol
 Streptomisin
VIII. Pemeriksaan Penunjang :
 Darah Rutin
- WBC : 18,8 103/mm3
- RBC : 4,38 106/mm3
- HCT : 33,1 %
- PLT : 451 103/mm3
- HB : 10,2 g/dl
 Kimia Darah
GDS : 121 mg/dl
Ureum : 27,3 mg/dl
Kreatinin : 0,72 mg/dl
 Foto thoraks : KP dupleks lama aktif
Sputum BTA (++)
IX. Anjuran Pemeriksaan : GenXpert

XI. Diagnosis Akhir : TB Paru Failure Treatment

XII. Prognosis : Dubia

31
BAB IV

DISKUSI

Pada kasus ini pasien masuk dengan keluhan sesak napas yang dialami
sejak 3 hari yang lalu, batuk disertai dahak berwarna kuning sejak 7 bulan lalu,
hemoptisis 2 bulan yang lalu namun hanya berupa bercak – bercak. Pasien juga
mengeluh berkeringat malam, penurunan berat badan, mudah lelah, sesak nafas,
nyeri dada, dan demam. Hal ini sesuai dengan Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis bahwa gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2
– 3 minggu bahkan lebih, dan dapat juga disertai dengan gejala tambahan seperti
batuk disertai darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, dan demam.
Gejala – gejala ini merupakan mekanisme reaksi tubuh terhadap agen infektif
yang menyerang sistem tubuh.
Berdasarkan riwayat penyakit terdahulu pasien, diperoleh data bahwa
pasien telah didiagnosis positif menderita TB paru sejak 6 bulan lalu dan telah
menjalani pengobatan sejak 5 bulan yang lalu namun putus seminggu yang lalu
sebelum masuk rumah sakit. Pasien didiagnosis TB gagal terapi berdasarkan hasil
pemeriksaan BTA (++) pada bulan ke-5 pengobatan dan foto thoraks yang
menunjukkan gambaran KP dupleks aktif pada kedua apeks paru. Maka dari itu
pasien ini di berikan terapi OAT kategori 2 yaitu 2[HRZE]S/HRZE/5[H3R3E3]
Regimen obat yang diberikan pada pasien ini adalah OAT kategori 2
yaitu 2 [HRZE]S/HRZE/5[H3R3E3]. Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pyrazinamide
(Z), dan Ethambutol (E) diminum setiap hari selama 2 bulan sedangkan
Streptomisin (S) disuntikkan setiap hari selama 2 bulan. Setelah itu, Isoniazid (H),
Rifampisin (R), Pyrazinamide (Z), dan Ethambutol (E) diminum setiap hari
selama 1 bulan , dan Isoniazid (H), Rifampisin (R) bersama Ethambutol yang
diminum setiap tiga kali seminggu selama 5 bulan berikutnya.
Isoniazid dan rifampisin disebut sebagai bakterisid yang lengkap
(complete bactericidal drug) oleh karena kedua obat ini dapat masuk ke seluruh
populasi kuman. Isoniazid merupakan obat yang paling aktif untuk mengobati

32
tuberkulosis yang disebabkan oleh strain – strain yang rentan dengan cara
menghambat sintesis dari mycolic acid, yang merupakan komponen penting dari
dinding sel mikrobakteri.
Rifampisin berkhasiat bakterisid luas terhadap fase pertumbuhan
M.tuberkulosis juga mematikan kuman yang “dorman” selama fase pembelahan
singkat. Penggunaannya pada terapi TBC dibatasi oleh harganya yang cukup
mahal. Manfaat utamanya terletak pada terapi yang dapat dipersingkat dari 2
tahun menjadi 6-12 bulan. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan spesifik
dari suatu enzim bakteri RNA-polymerase, sehingga sintesa RNA terganggu . Efek
sampingnya yang terpenting tetapi tidak sering adalah penyakit kuning (icterus),
terutama bila dikombinasikan dengan isoniazid yang juga agak toksik terhadap
hati.
Pyrazinamid bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada
dalam sel dengan suasana asam (pH 5 – 6). Mekanisme kerjanya berdasarkan
pengubahannya menjadi asam pirazinatoleh enzim pyrazinamidase yang berasal
dari basil TBC. Begitu PH dalam makrofag diturunkan, maka kuman yang berada
di sarang infeksi yang menjadi asam akan mati. Khasiatnya diperkuat oleh
isoniazid. Obat ini khusus digunakan pada fase intensif; pada fase pemeliharaan
hanya bila terdapat multiresistensi.
Etambutol bersifat bakteriostatik, dengan menekan pertumbuhan kuman
TB yang telah resisten terhadap Isoniazid dan streptomisin. Mekanisme kerjanya
berdasarkan penghambatan sintesa RNA pada kuman yang sedang membelah,
juga menghindarkan terbentuknya mycolic acid pada dinding sel. Ethambutol
digunakan sebagai terapi kombinasi tuberkulosis dengan obat lain, sesuai regimen
pengobatan jika diduga ada resistensi. Jika risiko resistensi rendah, obat ini dapat
ditinggalkan. 15,16
Pada kasus kronik atau gagal pengobatan seperti pada kasus ini hal yang
harus dilakukan adalah dengan metode diagnosis konfirmatif TB melalui
pemeriksaan kultur. Semua pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB
sebelumnya (pasien TB gagal baik kategori 1 atau kategori 2, loss to follow up,
dan relaps/kambuh) harus diperiksa dengan GeneXpert terlebih dahulu sebelum

33
memulai pengobatan TB kategori-2. Jika tidak memungkinkan sekaligus
dilakukan pemeriksaan GeneXpert, maka pemberian OAT kategori-2 diberikan
sambil menunggu hasil pemeriksaan GeneXpert. Jika hasil pemeriksaan
GeneXpert memberikan hasil TB RR, maka paduan OAT langsung diganti dengan
OAT MDR. Demikian juga untuk pasien TB yang tidak mengalami konversi,
harus segera diperiksa GeneXpertnya, sambil meneruskan pengobatan tahap
lanjutan. 10
Metode kultur standar untuk diagnosis TB, selain berguna untuk diagnosis
konfirmatif atau definitif juga berperan penting pada uji kepekaan Mycobacterium
tuberculosis terhadap anti tuberkulosis (OAT). Selain itu, dapat digunakan
sebagai monitoring maupun deteksi kasus resistensi – MDR (Multi Drug
Resistant) dan untuk mengatasi kesulitan diagnosa pada kasus TB koinfeksi HIV
yang sering dilaporkan dengan BTA negatif. Pemeriksaan laboratorium secara
kultur dilakukan dengan metode standar yang tersedia di Indonesia yaitu metode
konvensional dan metode tes cepat (rapid test). Metode konvensional
menggunakan media padat maupun cair, berfungsi untuk uji kepekaan terhadap
OAT lini pertama dan OAT lini kedua. Sedangkan tes cepat (rapid test)
menggunakan 2 metode yaitu Xpert MTB/RIF atau GeneXpert yang merupakan
tes amplifikasi asam nukleat secara otomatis sebagai sarana deteksi TB dan uji
kepekaan untuk rifampisin dimana hasil pemeriksaan dapat diketahui dalam
waktu kurang lebih 2 jam dan digunakan untuk uji kepekaan terhadap rifampisin.
Metode kedua yaitu menggunakan Line Probe Assay (LPA) atau Hain
test/Genotype MTB DR plus dimana hasil pemeriksaan dapat diperoleh dalam waktu
kurang lebih 24 - 48 jam tergantung ketersediaan sarana dan sumber daya yang ada
dan digunakan untuk uji kepekaan terhadap rifampisin dan isoniasid. 10,17

34
BAB V

DAFTAR PUSTAKA

1. Suharyo. Determinasi Penyakit Tuberkulosis Di Daerah Pedesaan. Jurnal


Kesehatan Masyarakat Volume 9: 85-91; 2009.

2. World Health Organization. Global tuberculosis Report 2014. Geneva :


World Health Organization; 2014.

3. Dooley, K, et al. Risk Factors for tuberculosis Treatment Failure, default, or


relapse and Outcomes of Retreatment in Morocco. BMC Public Health 11:
40; 2011.

4. Behera D, Balamugesh. Profile of Treatment Failure in Tuberculosis-


Experience from as Tertiary Care Hospital. Lung India 23:103-105:83-
85;2006

5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia;
2011.

6. Wijaya, A,A. Merokok dan Tuberkulosis. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. 8:


18 -22;2012

7. Amin, Z., & Bahar, A., 2009. Tuberkulosis Paru. Dalam: Sudoyo, A. W.,
Setyohadi, B., Alwi, I., & Setiati, S.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Interna Publishing, 2230-2239

35
8. Wijaya, I Made K. Infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) Pada
Pasien Tuberkulosis. Seminar Nasional FMIPA UNDIKSHA III 2013.

9. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian


Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2014.

10. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Manajemen


Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resisten Obat. Jakarta : Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; 2014.

11. Soepandi, P.Z. Diagnosis dan Penatalaksaan TB – MDR. CDK edisi


180;2010.
12. World Health Organization. Multidrug and extensively drug-resistant TB
(M/XDR-TB) Global report on surveillance and response. Geneva: WHO
Press; 2010.

13. Burhan, Erlina. Tuberkulosis Multi-Drug Resistance (TB-MDR). Majalah


Kedokteran Indonesia Voume 60 Nomor 12; 2010.

14. World Health Organization. Definitions and Reporting Framework for


Tuberculosis. Geneva: WHO Press; 2013.

15. Departemen Farmakologi Dan Terapeutik Fakultas Kedokteran-Universitas


Indonesia. Farmakologi Dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI;2011

16. Tjay, T.H., Kirana R. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek-Efek
Sampingnya Edisi Ke Enam. Jakarta: Gramedia;2009.

17. Suliati. Kultur Bifasik Agar-Darah Sebagai Alternatif Metode Cepat dan
Sensitif Untuk Deteksi Mycobacterium Tuberculosis. Jurnal Terpadu Ilmu
Kesehatan Jilid 1;2012

36

Anda mungkin juga menyukai