Oleh
Kelompok IV
Maya Wahyuning Dewanti (080911003)
Onny Zharkasy (080911014)
M. Rihanza Virahmadi (080911019)
Andianto Satriyo Prakoso (080911031)
Rr. Mutiara Adhi Sarasati (080911032)
Ery Bagus Kusuma (080911036)
Aulia Hanum (080911037)
1.2 Tujuan
1. Dapat melakukan teknik sampling air permukaan dengan benar
sesuai dengan variabel yang dianalisis.
2. Dapat mengetahui kualitas air permukaan berdasarkan variabel suhu,
kekeruhan, pH, dan oksigen terlarut di Sungai Jalan Srikana.
Air yang kita gunakan berasal dari dua sumber yaitu, air permukaan
(surface water) dan air tanah (ground water). Air permukaan adalah air yang
berasal dari hujan yang jatuh ke permukaan tanah, sebagian menguap dan
sebagian lainnya mengalir ke sungai, saluran air, lalu disimpan di dalam danau,
waduk dan rawa-rawa yang terdapat dalam suatu wilayah yang disebut
watershed (daerah aliran sungai atau DAS) (Soegianto, 2005).
Air permukaan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1. Epilimnion
Lapisan atas danau atau waduk yang suhunya relatif sama.
2. Termoklin atau metalimnion
Lapisan danau atau waduk yang mengalami penurunan suhu yang cukup
besar ( lebih dari 1˚C/m)
3. Hipolimnion
Lapisan bawah danau atau waduk yang mempunyai suhu relatif sama dan
lebih dingin dari lapisan di atasnya, biasanya lapisan ini mengandung kadar
oksigen yang rendah dan relatif stabil (SNI 6989.57, 2008).
Perubahan kondisi permukaan air sungai dalam jangka waktu yang
panjang dapat diketahui dengan mengadakan pengamatan permukaan air sungai
secara rutin.
Sifat-sifat air permukaan ditunjukkan dengan besaran, nilai atau kadar
bahan pencemar dan komponen lain yang terkandung di dalam air. Maka perlu
dilakukan pemantauan terhadap kualitas air yang dapat mewakili kondisi air
permukaan tersebut, menurut Anonim (2008) ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan yaitu:
Alat pengambil contoh harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Terbuat dari bahan yang tidak mempengaruhi sifat contoh.
b. Mudah dicuci dari bekas contoh sebelumnya.
c. Contoh mudah dipindahkan ke dalam wadah penampung tanpa ada sisa
bahan tersuspensi di dalamnya.
d. Mudah dan aman di bawa.
e. Kapasitas alat tergantung dari tujuan pengujian.
2.2.1 pH
Derajat keasaman merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion
hidrogen dalam perairan. Secara umum nilai pH menggambarkan seberapa besar
tingkat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Perairan dengan nilai pH = 7
adalah netral, pH<7 dikatakan kondisi perairan bersifat asam, sedangkan pH>7
dikatakan kondisi perairan bersifat basa (Anonim, 2008).
Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan mempunyai pH
sekitar 6,5 – 7,5. Air akan bersifat asam atau basa tergantung besar kecilnya pH.
Bila pH di bawah pH normal, maka air tersebut bersifat asam, sedangkan air
yang mempunyai pH di atas pH normal bersifat basa. Air limbah dan bahan
buangan industri akan mengubah pH air yang akhirnya akan mengganggu
kehidupan biota akuatik (Warlina, 2004).
Nilai pH tentunya mempengaruhi kandungan hingga toksisitas pada
perairan. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan
menunjukkan nilai pH sekitar 7 – 8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses
biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir pada pH rendah.
Toksisitas logam memperlihatkan peningkatan pada pH rendah (Novotny dan
Olem dalam Effendi, 1994).
2.2.2 DO
Keberadaan oksigen dalam perairan sangat penting untuk diketahui sebab
oksigen sangat penting bagi kehidupan. Pengukuran oksigen di air sangat rentan
terhadap perubahan oksigen atmosfer. Oksigen yang terlarut dalam air sendiri
sebagian juga berasal dari difusi oksigen atmosfer dan sebagian lainnya adalah
produk proses biologi dalam air. Banyaknya O 2 terlarut (DO) dipengaruhi oleh
banyak faktor antara lain suhu dan arus.
Untuk mengetahui banyaknya O2 terlarut, sekarang ini sudah banyak alat
elektronik yang dapat mengukur kadar oksigen dengan tepat dan cepat. Bila
tidak ada alat tersebut, dapat juga menggunakan metode titrasi yang dikenalkan
oleh Winkler (1888) sehingga disebut dengan Metode Winkler (Sucipto dkk,
2008).
2.2.3 Kekeruhan
Kekeruhan biasanya disebabkan oleh adanya zat-zat tersuspensi seperti
bahan organik dan zat-zat halus lainnya, tetapi pada umumnya sistem
pengambilan sampel air yang kurang memenuhi syarat (peralatan dan metode)
dapat mengakibatkan kekeruhan yang lebih besar dari nilai seharusnya.
Kekeruhan dapat mengganggu kebersihan wadah penampungan air sehingga
harus sering dibersihkan (Sutapa, 2000).
Kekeruhan dinyatakan dalam satuan unit turbiditas yang setara dengan 1
mg/liter SiO2. Kekeruhan sering diukur dengan metode Nephelometric, dimana
pada metode ini sumber cahaya dilewatkan pada sampel dan intensitas cahaya
yang dipantulkan oleh bahan-bahan penyebab kekeruhan diukur dengan
menggunakan suspensi polimer formazin sebagai larutan standar. Satuan
kekeruhan yang diukur dengan metode Nephelometric adalah NTU
(Nephelometric Turbidity Unit) (Sawyer dan McCarty dalam Effendi, 1978).
Peningkatan nilai turbiditas pada perairan dangkal dan jernih sebesar 25
NTU dapat mengurangi 13% - 50% produktivitas primer. Peningkatan turbiditas
sebesar NTU di danau dan sungai dapat mengurangi produktivitas primer
berturut-turut sebesar 75% dan 3% - 13% (Lloyd dalam Effendi, 1985).
2.2.4 Kecerahan
Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan
secara visual dengan menggunakan secchi disk. Kecerahan perairan sangat
dipengaruhi oleh keberadaan padatan tersuspensi, zat-zat terlarut, partikel-
partikel dan warna air. Pengaruh kandungan lumpur yang dibawa oleh aliran
sungai dapat mengakibatkan tingkat kecerahan air danau menjadi rendah,
sehingga dapat menurunkan nilai produktivitas perairan (Anonim, 2008).
2.2.5 Suhu
Suhu merupakan syarat yang diperlukan organisme untuk hidup.
Temperatur lingkungan adalah ukuran dari intensitas panas dalam unit standar
dan biasanya diekspresikan dalam skala derajat Celsius (oC).
Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude),
ketinggian dari air permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara,
penutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air. Suhu juga berperan
mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Organisme akuatik memiliki kisaran
tertentu (batas atas dan bawah) yang disukai bagi pertumbuhannya. Misalnya
algae dari filum Cholorphyta dan diatom akan tumbuh degan baik pada kisaran
suhu berturut-turut 30 oC-35 oC dan 20 oC-30 oC. Cyanophyta lebih dapat
bertoleransi terhadap kisaran suhu yang lebih tinggi dibandingkan Chlorophyta
dan diatom (Haslam dalam Effendi, 1995).
Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia,
evaporasi, dan volatilisasi. Peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan
kelarutan gas dalam air, misalnya gas O2, CO2, N2, CH4, dan sebagainya,
(Haslam, 1995). Selain itu peningkatan suhu juga menyebabkan peningkatan
kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air, dan selanjutnya
mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan
sebesar 10oC menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh
organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Namun, peningkatan suhu ini disertai
dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaaan oksigen sering
kali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk
melakukan proses metabolisme dan respirasi. Peningkatan suhu juga
menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba.
Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah 20 oC -
30 oC (Effendi, 2003).
Alat pengukur suhu yaitu termometer. Ketika melakukan pengukuran
suhu, ketelitiannya adalah sampai 0,1˚C dengan satuan suhu yang digunakan
adalah Celcius atau sering disebut centigrade, satuan lainnya adalah Kelvin (˚K)
dan Reamur (˚R).
BAB III
METODOLOGI
Lokasi A Lokasi B
Waktu 14.35 WIB 14.00 WIB
Lebar 3,99 m 3,77 m
Kedalaman 26 cm 36 cm
Debit 0,121 m3/s 0,06 m3/s
DO 6,33 mg/L 6,51 mg/L
Suhu 32,50˚C 34˚C
pH 6,30 6,51
Kekeruhan 43,6 NTU 50 NTU
Halaman ini sengaja dikosongkan
BAB V
Air permukaan adalah air yang berada di sungai, danau, waduk, rawa, dan
badan air lain yang tidak mengalami infiltrasi ke bawah tanah. Areal tanah yang
mengalirkan air ke suatu badan air disebut watersheds. Air yang mengalir dari
daratan menuju suatu badan air disebut limpasan permukaan (surface run off)
dan air yang mengalir di sungai menuju laut disebut aliran air sungai (river run
off) (Effendi, 2003).
Kualitas aliran air sungai dapat diketahui dengan melakukan pengujian
analisis terhadap parameter-parameter. Dimana parameter merupakan uji
kualitas terhadap keseluruhan dari contoh yang akan diuji. Namun, pada
pengujian kualitas aliran air sungai yang dilakukan di Jalan Srikana ini,
dilakukan pengujian dengan mengambil variabel dari sampel air sungai di dua
titik lokasi pengujian. Hal tersebut dianggap mampu mewakili populasi kualitas
aliran air sungai pada lokasi pengujian.
Praktikum air permukaan ini bertujuan untuk melakukan teknik sampling
air permukaan dengan benar sesuai dengan variabel yang akan dianalisis
sehingga dapat mengetahui kualitas air permukaan berdasarkan variabel suhu,
kekeruhan, pH, dan oksigen terlarut di Sungai Jalan Srikana.
Pada praktikum ini, dilakukan pengambilan sampel air dengan titik lokasi,
debit dan arah aliran air sungai yang berbeda, yaitu pada lokasi A dan lokasi B.
Dimana pada masing-masing lokasi, sebelumnya pengambilan sampling
dilakukan terlebih dahulu penentuan titik pengambilan sampling air sungai
berdasarkan pengukuran debit air sungai dan mengacu pada ketentuan yang telah
dijelaskan sebelumnya. Dari data analisis debit aliran air sungai dapat diketahui
pada lokasi A nilai debitnya yaitu 0,121 m 3/s dan lokasi B yaitu 0,06 m 3/s
(debit air sungai didapatkan dari hasil praktikum kelompok sebelumnya), maka
dapat diketahui debit sungai kurang dari 5 m3/detik, sehingga sampel atau contoh
yang diambil yaitu pada satu titik ditengah sungai pada kedalaman 0,5 kali
kedalaman dari permukaan. Kemudiaan sampel air diambil tepat pada 0,5 kali
kedalaman air sungai dengan menggunakan alat bantu water sampler dan
dituangkan pada wadah penyimpan sampel, digunakan botol sampel. Proses
penuangan air sampel ke dalam wadah perlu diperhatikan secara perlahan-lahan
dan dialirkan melalui dinding botol guna menghindari adanya aerasi yaitu
pengaliran udara ke dalam air untuk meningkatkan kandungan oksigen dengan
memancarkan air atau melewatkan gelembung udara ke dalam air sehingga
dapat menyebabkan ketidakakuratan analisis DO karena aerasi tersebut akan
menambah kandungan oksigen yang terlarut di dalam air.
Sampel yang telah diambil tersebut kemudiaan dianalisis terhadap
beberapa variabel-variabel pengujian secara langsung guna mengetahui lebih
lanjut kualitas air sungai yang ditunjukkan. Adapun beberapa variabel yang
diuji, antara lain :
1. Kekeruhan atau Turbiditas
Pada pengukuran kekeruhan yang dilakukan pada dua titik di Jalan
Srikana. Nilai turbiditas pada Lokasi A sebesar 43,6 NTU dan pada Lokasi B
sebesar 50 NTU menunjukan bahwa aliran sungai berada diatas ambang
batas kejernihan yaitu diatas 25 NTU. Pada dasarnya kekeruhan adalah
ukuran yang menggunakan efek cahaya sebagai dasar untuk mengukur
keadaan air baku dengan skala NTU (Nephelometric Turbidity Unit),
kekeruhan berkolerasi dengan padatan yang tersuspensi, semakin tinggi nilai
padatan tersuspensi maka nilai kekeruhan juga akan semakin tinggi.
Sedangkan kekeruhan yang terjadi pada lokasi pengambilan sampel sebagian
besar disebabkan oleh adanya benda tercampur atau benda koloid di dalam
air yaitu limbah domestik yang berasal dari penduduk di sekitar sungai
seperti sisa-sisa bahan makanan yang banyak mengandung lemak, deterjen
sisa aktivitas rumah tangga dan sampah rumah tangga yang dibuang
langsung ke sungai. Selain itu, di sepanjang pengaliran sungai berdiri
beberapa tempat pencucian motor yang menambah akumulasi buangan
deterjen pada aliran sungai, sehingga akan meningkatkan kekeruhan pada
aliran sungai tersebut. Hal ini membuat perbedaan nyata dari segi estetika
maupun dari segi kualitas air itu sendiri.
2. pH
Berdasarkan Tabel F. Pengaruh pH Terhadap Komunitas Biologi
Perairan pada lampiran maka dapat diketahui hubungan nilai pH terhadap
komunitas biologi pada perairan tersebut dengan data pengamatan
pengukuran pH dari dua titik pengambilan sampel dengan nilai pH Lokasi A
pH 6,30 sedangkan pada lokasi B pH 6,51 menujukan beberapa pengaruh
umum bagi perairan air sungai, antara lain keanekaragaman plankton dan
bentos sedikit menurun, serta kelimpahan total, biomassa, serta produktivitas
tidak mengalami perubahan. Plankton dan bentos memiliki kisaran pH
tertentu untuk dapat hidup dengan baik pada habitatnya dan pada kisaran pH
tersebut, plankton dan bentos tidak dapat tumbuh dengan baik karena pH
yang terlalu rendah (asam). Keberadaan plankton dan bentos memberikan
indikator kualitas suatu perairan, semakin banyak plankton dan bentos pada
perairan tersebut maka kualitas perairan tersebut dapat dikatakan baik atau
tidak tercemar. Plankton dan bentos akan hidup dengan baik pada kisaran pH
7,0 atau pH netral. Pada perairan sungai Jalan Srikana ini dapat dikatakan
tercemar karena pH 6,30 dan 6,51 tidak sesuai dengan kisaran hidup plankton
dan bentos sehingga menyebabkan organisme tersebut tidak dapat hidup
dengan baik.
3. Suhu
Pada hasil pengukuran menggunakan termometer menunjukkan nilai
suhu pada Lokasi A sebesar 32,50˚C dan pada lokasi B sebesar 34˚C. Pada
kisaran suhu ini filum Chlorophyta dapat tumbuh dengan baik karena
orgnisme ini memiliki kisaran suhu antara 30˚C - 35˚C untuk dapat hidup
dalam suatu perairan. Sedangkan kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan
fitoplankton di perairan adalah 20 oC - 30 oC. Kisaran suhu 32,50°C dan 34°C
termasuk kedalam kisaran suhu yang cukup tinggi sehingga mengakibatkan
peningkatan kebutuhan terhadap konsumsi oksigen di perairan guna
memenuhi aktivitas metabolisme dan respirasi yang semakin meningkat pada
keadaan suhu yang semakin meningkat. Kelarutan oksigen dalam air akan
menurun pada suhu yang semakin meningkat, hal ini akan mengakibatkan
pemenuhan kebutuhan oksigen untuk proses metabolisme organisme perairan
yang semakin meningkat pada suhu yang semakin tinggi menjadi tidak dapat
tercukupi sehingga menyebabkan organisme mati. Organisme yang mati akan
mempengaruhi penurunan kualitas perairan tersebut yang menyebabkan
perairan tersebut menjadi tidak dapat melakukan self purification dengan baik
karena pencemaran yang telah melampui ambang batas kemampuan perairan
tersebut dimana organisme di dalamnya yang seharusnya melakukan self
purification telah mati. Pada perairan sungai Jalan Srikana ini memiliki suhu
yang tergolong cukup tinggi sehingga organisme di dalamnya tidak dapat
hidup dengan baik. Suhu air sebaiknya sama dengan suhu udara (25˚C),
KESIMPULAN
Lokasi B: 50 NTU
c. pH
Lokasi A: 6,30
Lokasi B: 6,51
d. DO
Lokasi A: 6,33 mg/L
Lokasi B: 6,51 mg/L
Hal ini menunjukkan indikator bahwa kualitas air sungai di Jalan Srikana
mengalami pencemaran, dimana secara fisik konsentrasi kekeruhan berada jauh
diatas ambang air jernih atau kualitas penggolongan air sungai di Jalan Srikana
sudah tidak berada pada golongan B. Pencemaran paling besar diakibatkan dari
limbah rumah tangga (deterjen dan sisa makanan seperti lemak) oleh penduduk
sekitar.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008. SNI 6989.57:2008 Air dan air Limbah – Bagian 57: Metoda
pengambilan contoh air permukaan. Standar Nasional Indonesia,
Jakarta.
Achmad, Rukaesih. 2004. Kimia Lingkungan. Yogyakarta : Andi.
Effendi, Hefni. 2003. Telaah Kualitas Air. Yogyakarta : Kanisius.
Hariyanto, Sucipto dkk. 2008. Teori dan Praktik Ekologi. Surabaya: Airlangga
University Press.
Irianto, Eko W, dan Badruddin Machbub. 2004. Pengaruh Multiparameter
Kualitas Air terhadap Parameter Indikator Oksigen Terlarut dan Daya
Hantar Listrik (Studi Kasus Citarum Hulu). Puslitbang Air, Bandung.
Joko, Tri. 2010. Unit Produksi dalam Sistem Penyediaan Air Minum.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Putudewa.2000.Prinsip-Prinsip Ekologi.dalam http://free.vism.org/V12/Sponsor-
Pendamping/Praweda/Biologi.htm. Diakses tanggal 30 September
2010.
Soegianto, Agoes. 2005. Ilmu Lingkungan Sarana Menuju Masyarakat
Berkelanjutan. Surabaya: Airlangga University Press.
Sofyan, Agus. 2009. Direktorat Jendral Pengelolaan Lahan Dan Air
Departemen Pertanian. Jakarta: Direktorat Pengelolaan Air.
Suprapto, Ato 2003. Pemanfaatan Air dan Sumber Air untuk Pertanian dalam
Kondisi Keterbatasan Air dan Lingkungan,
makalah disampaikan pada Seminar Hari Air Sedunia tanggal 21 Maret
2003 di Jakarta.
Sutapa, Ignasius D.A. 2000. Uji Korelasi Pengaruh Limbah Tapioka Terhadap
Kualitas Air Sumur. Jurnal Studi Pembangunan, Kemasyarakatan &
Lingkungan. Vol. 2, No. 1/Feb.
Takeda, Kensaku.2006. Hidrologi untuk Pengairan. Jakarta: PT Pradnya
Pramita.
Warlina, Lina. 2004. Pencemaran Air : Sumber Dampak dan Penanggulangannya.
Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Tabel E. Maximum Dissolved Oxygen Concentration Saturation Table