Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
1. PENGERTIAN
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001). Cedera kepala adalah suatu
gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan
interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi – descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan factor dan penurunan percepatan, serta
rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan.
Klasifikasi cedera kepala dapat dibedakan berdasarkan penyebab, mekanisme,
berat ringannya GCS, dan morfologi.
a. Berdasarkan penyebab
1. Cedera otak primer yaitu kelainan patologi otak yang timbul segera
akibat langsung dari trauma. Pada cedera primer dapat terjadi: memar otak
dan laserasi.
2. Cedera otak sekunder yaitu kelainan patologi otak disebabkan
kelainan biokimia, metabolisme, fisiologi yang timbul setelah trauma.
b. Berdasarkan mekanisme
1. Cedera tumpul (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian,
perkelahian)
2. Cedera tembus (luka tembak, luka tusuk)
c. Berdasarkan berat ringannya GCS
1. Cedera kepala ringan
GCS 13–15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari
30 menit.
Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral,
hematoma.
2. Cedera kepala sedang
GCS 9–12
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam.
Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3. Cedera kepala berat
GCS 3–8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma
intrakranial.
d. Berdasarkan morfologi
1. Fraktur tulang tengkorak
a) Fraktur atap tengkorak: linier, depresi
b) Fraktur basis cranii
2. Lesi intrakranial
a) Epidural hematoma
b) Subdural hematoma
c) Kontusio / intraserebral hematoma
d) Diffuse injury
Fraktur basis cranii secara anatomis ada perbedaan struktur didaerah basis
cranii dan kalvaria. Pada basis caranii tulangnya lebih tipis dibandingkan daerah
kalvaria. Durameter daerah basis lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria.
Durameter daerah basis lebih melekat erat pada tulang dibandingkan daerah
kalvaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis mengakibatkan robekan
durameter klinis ditandai dengan otorrhea, rhinorrhea, postauricular accymoses
(Battle sign), periorbital eccymoses (Racon eyes), lesi nervus cranialis yang
paling sering N I, NVII dan NVIII. Diagnosa fraktur basis cranii secara klinis
lebih bermakna dibandingkan dengan diagnosa secara radiologis oleh karena foto
basis cranii posisinya “hanging foto”, dimana posisi ini sangat berbahaya terutama
pada cidera kepala disertai dengan cidera vertebra cervikal ataupun pada cidera
kepala dengan gangguan kesadaran yang dapat menyebabkan apnea. Adanya
gambaran fraktur pada foto basis cranii tidak akan merubah penatalaksanaan dari
fraktur basis cranii (Kasan, 2000).
2. ETIOLOGI
a. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan
mobil.
b. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
c. Cedera akibat kekerasan.
3. PATOFISIOLOGI
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan
(aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam,
seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda
tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek
yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan
ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa
kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan
cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada
kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan
batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar
pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi.
Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi
serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi
hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas
kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi
intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (tik). Beberapa
kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia,
hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan
“menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk
menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan
fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan
otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau
hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara
luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan
otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada
seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada
batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak,
atau dua-duanya.
4. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik dari cedera kepala tergantung dari berat ringannya cedera
kepala, antara lain:
a. Perubahan kesadaran adalah merupakan indicator yang paling
sensitive yang dapat dilihat dengan penggunaan GCS ( Glascow Coma
Scale)
b. Peningkatan TIK yang mempunyai trias Klasik seperti : nyeri
kepala karena regangan dura dan pembuluh darah; papil edema yang
disebabkan oleh tekanan dan pembengkakan diskus optikus; muntah
seringkali proyektil.
5. KOMPLIKASI
a. Perdarahan intra cranial
Epidural, subdural, sub arachnoid, intraventrikuler, malformasi faskuler,
fistula karotiko-kavernosa, fistula cairan cerebrospinal, epilepsi, parese saraf
cranial, meningitis atau abses otak, sindrom pasca trauma.
b. Tindakan
Infeksi, perdarahan ulang, edema cerebri, pembengkakan otak.
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. CT Scan: tanpa/dengan kontras untuk mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
b. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
c. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
d. Pemeriksaan Laboratorium
- Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
- Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intrakranial.
7. PENATALAKSANAAN
Pertolongan pertama dari penderita dengan cidera kepala mengikuti standart
yang telah ditetapkan dalam ATLS (Advance Trauma Life Support) meliputi
anamnesa sampai pemeriksaan fisik secara seksama dan stimultan. Pemeriksaan
fisik meliputi Airway, Breathing, Circulasi, Disability. Pada pemeriksaan airway
usahakan jalan nafas stabil, buka mulut, bersihkan muntahkan darah, adanya
benda asing. Perhatikan tulang leher, immobilisasi, cegah gerakan hiperekstensi,
hiperfleksi ataupun rotasi. Semua penderita cidera kepala yang tidak sadar harus
dianggap disertai cidera vertebrae cervikal sampai terbukti tidak disertai cedera
cervical, maka perlu dipasang collar barce. Jika sudah stabil tentukan saturasi
oksigen, minimal saturasinya diatas 90%, jika tidak usahakan untuk dilakukan
intubasi dan support pernafasan. Setelah jalan nafas bebas sedapat mungkin
pernafasannya diperhatikan frekwensinya normal antara 16 – 18 x/menit,
dengarkan suara nafas bersih, jika tidak ada nafas lakukan nafas buatan, kalau bisa
dilakukan monitor terhadap gas darah dan pertahankan PCO 2 antara 28 – 35
mmHg karena jika lebih dari 35 mm Hg akan terjadi vasodilatasi yang berakibat
terjadinya edema serebri. Sedangkan jika kurang dari 20 mm Hg akan
menyebabkan vaso konstriksi yang berakibat terjadinya iskemia. Periksa tekanan
oksigen (O2) 100 mmHg jika kurang beri oksigen masker 8 liter /menit. Pada
pemeriksaan sistem sirkulasi Periksa denyut nadi/jantung, jika (tidak ada) lakukan
resusitasi jantung, Bila shock (tensi < 90 mm Hg nadi >100x per menit dengan
infus cairan RL, cari sumber perdarahan ditempat lain, karena cidera kepala single
pada orang dewasa hampir tidak pernah menimbulkan shock. Terjadinya shock
pada cidera kepala meningkatkan angka kematian 2x. Pada pemeriksaan
disability/kelainan kesadaran pemeriksaan kesadaran memakai glasgow coma
scale. Periksa kedua pupil bentuk dan besarnya serta catat reaksi terhadap cahaya
langsung maupun tidak langsung, Periksa adanya hemiparese/plegi. Periksa
adanya reflek patologis kanan kiri, Jika penderita sadar baik tentukan adanya
gangguan sensoris maupun fungsi misal adanya aphasia. Setelah fungsi vital stabil
(ABC stabil baru dilakukan survey yang lain dengan cara melakukan sekunder
survey/ pemeriksaan tambahan seperti skull foto, foto thorax, foto pelvis, CT Scan
dan pemeriksaan ini sebenarnya dikerjakan secara stimultan dan seksama).
Penanganan pada fraktur basis cranii meliputi mencegah peningkatan
tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah batuk, mengejan, makanan yang
tidak menyebabkan sembelit; menjaga kebersihan sekitar lubang hidung dan
lubang telinga, jika perlu dilakukan tampon steril (Consul ahli THT) pada bloody
otorrhea/otoliquorrhea; pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea/
otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi
yang sehat (Kasan, 2000). Selain itu dapat juga dilakukan oksigenasi adekuat,
pemberian manitol, steroid, posisi head up 450, bedah neuro.
8. PATHWAY
Cidera Kepala TIK - Oedem
- Hematom
Respon Biologi Hypoxemia
Kelainan Metabolisme
Cidera Otak Primer Cidera Otak Sekunder
Kontusio
Laserasi Kerusakan Sel Otak
Intervensi Rasional
Pantau frekuensi, irama, Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi
kedalaman pernapasan. pulmonal atau menandakan lokasi/luasnya
keterlibatan otak.
Pasang jalan napas sesuai Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan
indikasi. menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang
Angkat kepala tempat menyumbat jalan napas.
tidur sesuai aturannya,
posisi miring sesuai
indikasi.
Evaluasi keadaan pupil, Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III)
ukuran, kesamaan antara berguna untuk menentukan apakah batang otak masih
kiri dan kanan, reaksi baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan oleh
terhadap cahaya. keseimbangan antara persarafan simpatis dan
parasimpatis. Respon terhadap cahaya mencerminkan
fungsi yang terkombinasi dari saraf kranial optikus
(II) dan okulomotor (III).
Pantau tanda-tanda vital: Peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh penurunan
TD, nadi, frekuensi nafas, TD diastolik (nadi yang membesar) merupakan tanda
suhu. terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh
penurunan kesadaran. Hipovolemia/hipertensi dapat
mengakibatkan kerusakan/iskhemia cerebral. Demam
dapat mencerminkan kerusakan pada hipotalamus.
Peningkatan kebutuhan metabolisme dan konsumsi
oksigen terjadi (terutama saat demam dan menggigil)
yang selanjutnya menyebabkan peningkatan TIK.
Pantau intake dan out put, Bermanfaat sebagai ndikator dari cairan total tubuh
turgor kulit dan membran yang terintegrasi dengan perfusi jaringan.
mukosa. Iskemia/trauma serebral dapat mengakibatkan
diabetes insipidus. Gangguan ini dapat mengarahkan
pada masalah hipotermia atau pelebaran pembuluh
darah yang akhirnya akan berpengaruh negatif
terhadap tekanan serebral.
Tinggikan kepala pasien Meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga
15-45 derajad sesuai akan mengurangi kongesti dan oedema atau resiko
indikasi/yang dapat terjadinya peningkatan TIK.
ditoleransi.
Batasi pemberian cairan Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan
sesuai indikasi. edema serebral, meminimalkan fluktuasi aliran
vaskuler TD dan TIK.
Berikan obat sesuai Diuretik digunakan pada fase akut untuk menurunkan
indikasi, misal: diuretik, air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK,.
steroid, antikonvulsan, Steroid menurunkan inflamasi, yang selanjutnya
analgetik, sedatif, menurunkan edema jaringan. Antikonvulsan untuk
antipiretik. mengatasi dan mencegah terjadinya aktifitas kejang.
Analgesik untuk menghilangkan nyeri . Sedatif
digunakan untuk mengendalikan kegelisahan, agitasi.
Antipiretik menurunkan atau mengendalikan demam
yang mempunyai pengaruh meningkatkan
metabolisme serebral atau peningkatan kebutuhan
terhadap oksigen.
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik (terputusnya kontinuitas
jaringan,) dan peningkatan TIK.
Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x2jam nyeri klien
berkurang.
Kriteria hasil: klien melaporkan nyeri berkurang, ekspresi wajah dan postur tubuh
rileks, klien dapat mengontrol nyeri dengan bantuan terapi ataupun relaksasi,
tanda vital dalam batas normal TD: S=100-120 D=70-90; N=60-100x/menit;
RR=16-24x/menit.
Intervensi Rasional
Kaji tanda-tanda vital. Dapat digunakan sebagai observasi awal dan dapat
digunakan sebagai tanda dan gejala dari akibat cidera
yang dialami klien
Ajarkan klien teknik distraksi Dapat digunakan untuk membantu mengurangi nyeri
lain untuk mengurangi nyeri. klien
Berikan antibiotik sesuai Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang
indikasi mengalami trauma, kebocoran CSS atau setelah
dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko
terjadinya infeksi nosokomial.
DAFTAR PUSTAKA
Hudak & Gallo. 1996. Keperawatan Kritis: pendekatan holistic. Volume II.
Jakarta: EGC.
Kasan, Umar. 1998. Peran Ilmu Bedah Saraf Dalam Penanganan Cidera Kepala
Pidato Pengukuhan Guru Besar Airlangg. Univ. Press.
Mansjoer, dkk. 2001. Kapita Selekta kedokteran” Edisi 2. Jakarta: Media Aeskulapis
FKUI.
Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong.1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC,
Jakarta.