Anda di halaman 1dari 36

Bagian Anestesiologi Referat

Fakultas Kedokteran Maret 2019


Universitas Halu Oleo

MANAJEMEN NYERI PADA LUKA BAKA

OLEH :

Eddy Rosman
K1A1 12 080

PEMBIMBING :
dr. Andi Hasnah, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2019

1
Manajemen Nyeri pada Luka Bakar
Eddy Rosman, Andi Hasna

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi para dokter.

luka bakar berat menyebabkan morbiditas dan derajat cacat yang relatif tinggi

dibandingkan dengan cedera oleh sebab lain. Di Amerika Serikat, kurang

lebih 250.000 orang mengalami luka bakar setiap tahunnya. dari angka

tersebut 112.000 penderita luka bakar membutuhkan tindakan emergensi, dan

sekitar 210 penderita luka bakar meninggal dunia. Di Indonesia, belum ada

angka pasti mengenai luka bakar, tetapi dengan bertambahnya jumlah

penduduk serta industri, angka luka bakar tersebut semakin meningkat.1

Luka bakar menyebabkan hilangnya integritas kulit dan juga menimbulkan

efek sistemik yang sangat kompleks. Luka bakar biasanya dinyatakan dengan

derajat yang ditentukan oleh kedalaman luka bakar. Beratnya luka bergantung

pada dalam, luas dan letak luka. Selain beratnya luka bakar, umur dan

keadaan kesehatan penderita sebelumnya merupakan faktor yang sangat

mempengaruhi prognosis.1

Nyeri merupakan pengalaman sensorik multi dimensi yang tidak

menyenangkan akibat kerusakan jaringan. Definisi nyeri menurut IASP

(International Association The Study Of Pain), nyeri adalah pengalaman

2
sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan,

baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk

kerusakan tersebut.1

Nyeri merupakan masalah kesehatan yang kompleks, dan merupakan salah

satu alasan utama seseorang datang untuk mencari pertolongan medis. Nyeri

dapat mengenai semua orang, tanpa memandang jenis kelamin, umur, ras,

status sosial, dan pekerjaan. Tipe nyeri yang digunakan secara luas adalah

nosiseptif, inflamasi, neuropatik, dan fungsional. Saat ini mulai jelas

mekanisme neurobiology yang mendasari berbagai tipe nyeri tersebut. Tipe

nyeri yang berbeda memiliki faktor etiologik yang berbeda pula. Saat ini

pendekatan terapi nyeri telah bergeser dari pendekatan terapi yang bersifat

empirik menjadi pendekatan terapi yang didasarkan pada mekanisme.2

Nyeri akibat luka bakar adalah salah satu sensasi nyeri paling menyiksa

yang bisa dialami. Diperkirakan 1 dari 3000 orang menderita luka bakar

setiap tahun di seluruh dunia. Menurut statistik WHO, hampir 11 juta

memerlukan perhatian medis karena tingkat keparahan cedera mereka pada

tahun 2004. Meskipun, Eropa memiliki insiden cedera luka bakar yang lebih

rendah daripada daerah lain di dunia, setiap tahun 0,2–2,9 / 100.000

penduduk menderita luka bakar yang parah. Perbaikan dalam resusitasi,

perawatan luka, dukungan penyakit kritis dan pengendalian infeksi telah

meningkatkan hasil dari luka bakar, dan meningkatkan kelangsungan hidup

secara signifikan. Namun, rasa sakit pada pasien luka bakar, baik dalam

pengaturan akut dan kronis, masih merupakan tantangan klinis utama dan

3
kebutuhan medis yang tidak terpenuhi. Namun, rasa sakit yang tidak dirawat

dengan baik pada luka bakar, dapat menyebabkan penderitaan luar biasa,

kehilangan keterlibatan dalam pengobatan, pengembangan nyeri kronis dan

gangguan stres pascatrauma. Lebih lanjut, kurangnya kontrol nyeri yang tepat

dapat secara signifikan menghambat pemulihan fungsional yang berhasil,

yang dapat menyebabkan berkurangnya integrasi ke dalam masyarakat. Oleh

karena itu, memberikan kontrol nyeri yang tepat setelah luka bakar sangat

penting.3

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Nyeri merupakan pengalaman sensorik multi dimensi yang tidak

menyenangkan akibat kerusakan jaringan. Definisi nyeri menurut IASP

(International Association The Study Of Pain), nyeri adalah pengalaman

sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan,

baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk

kerusakan tersebut.2

B. Anatomi Jaringan, Kulit dan Ujung Saraf

Kulit merupakan organ terbesar tubuh, terdiri dari lapisan sel di

permukaan yang disebut dengan epidermis, dan lapisan jaringan ikat yang

lebih dalam, dikenal sebagai dermis. Kulit berguna untuk:

1. Perlindungan terhadap cedera dan kehilangan cairan, misalnya pada luka

bakar ringan,

2. Pengaturan suhu tubuh melalui kelenjar keringat dan pembuluh darah,

3. Sensasi melalui saraf kulit dan ujung akhirnya yang bersifat sensoris,

misalnya untuk rasa sakit.

Fascia superficialis terdiri dari jaringan ikat jarang dan lemak. Fascia

superficialis (hipodermis) ini terletak antara dermis dan fascia profunda di

bawahnya, dan mengandung kelenjar keringat, pembuluh darah, limfe

(getah bening) dan saraf kulit. Fascia profunda merupakan jaringan ikat

5
padat yang susunannya lebih teratur dan berguna untuk menetapkan struktur

dalam (misalnya otot) pada tempatnya.

Gambar 1. Anatomi Lapisan Kulit

Secara mikroskopis kulit terdiri dari 3 lapisan, yaitu epidermis, dermis dan

lemak subkutan.

1. Epidermis

Epidermis terdiri atas 5 lapisan sel penghasil keratin (keratinosit) yaitu:

a. Stratum basal (stratum germinativum), terdiri atas selapis sel kuboid atau

silindris basofilik yang terletak di atas lamina basalis pada perbatasan

epidermis-dermis,

b. Stratum spinosum, terdiri atas sel-sel kuboid, atau agak gepeng dengan inti

ditengah dan sitoplasma dengan cabang-cabang yang terisi berkas filamen,

c. Stratum granulosum, terdiri atas 3−5 lapis sel poligonal gepeng yang

sitoplasmanya berisikan granul basofilik kasar,

d. Stratum lusidum, tampak lebih jelas pada kulit tebal, lapisan ini bersifat

translusens dan terdiri atas lapisan tipis sel epidermis eosinofilik yang

sangat gepeng,

6
e. Stratum korneum, lapisan ini terdiri atas 15−20 lapis sel gepeng berkeratin

tanpa inti dengan sitoplasma yang dipenuhi skleroprotein filamentosa

birefringen, yakni keratin.

2. Dermis

Dermis terdiri atas 2 lapisan dengan batas yang tidak nyata, stratum papilare

di sebelah luar dan stratum retikular yang lebih dalam.

a. Stratum papilar, terdiri atas jaringan ikat longgar, fibroblas dan sel

jaringan ikat lainnya terdapat di stratum ini seperti sel mast dan makrofag.

Dari lapisan ini, serabut lapisan kolagen khusus menyelip ke dalam lamina

basalis dan meluas ke dalam dermis. Serabut kolagen tersebut mengikat

dermis pada epidermis dan disebut serabut penambat,

b. Stratum retikular, terdiri atas jaringan ikat padat tak teratur (terutama

kolagen tipe I), dan oleh karena itu memiliki lebih banyak serat dan lebih

sedikit sel daripada stratum papilar

Gambar 2. Ujung Saraf Bebas

C. Fisiologi Nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima

rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah

7
ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat

yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor,

secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada

juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya,

nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada

kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral,

karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki

sensasi yang berbeda.

Nosiseptor didistribusikan dalam struktur somatik dan visceral. Struktur

somatik (kulit dan jaringan dalam: otot, tendon, tulang, sendi) merespon

berbagai rangsangan mekanik, kimia, dan termal yang mengarah ke sensasi

yang dirasakan dan terlokalisir dengan baik. Nociceptors somatik dalam

jaringan kurang sensitif terhadap rangsangan berbahaya daripada nosiseptor

kulit, tetapi mudah tersensitisasi oleh peradangan. Nosiseptor spesifik mungkin

ada di otot dan kapsul sendi; berespon terhadap rangsangan mekanis, termal,

dan kimia, hal ini akan menjelaskan kejadia sebagian besar pada cedera

olahraga. Kornea dan pulpa gigi unik karena hampir keseluruhannya

dipersarafi oleh nociceptif A-delta dan C fiber (kornea dan A-delta, A-beta,

dan gigi C-fiber.4

Struktur viseral (organ viseral seperti hati, saluran gastro-intestinal) dapat

terjadi nyeri yang disebabkan oleh iskemia, spasme, atau peradangan otot polos

serta rangsangan mekanik seperti distensi mesenterium. Serabut ini berjalan

dalam saraf simpartis dan parasimpatis, dan nyeri yang diinduksi kurang

8
terlokalisasi. Organ-organ pendengaran umumnya tidak peka dan kebanyakan

mengandung silent nociceptor. Beberapa organ memiliki nosiseptor spesifik,

seperti jantung, paru-paru, testis, dan saluran empedu. Kebanyakan organ lain,

seperti usus, dipersarafi oleh nosiseptor polimodal yang merespon spasme otot

polos, iskemia, dan peradangan. Reseptor-reseptor ini umumnya tidak berespon

terhadap pemotongan, pembakaran, atau penghancuran yang terjadi selama

operasi. Beberapa organ, seperti otak, memiliki nosiseptor dalam jumlah yang

sedikit; namun, meningeal otak memang mengandung nosiseptor. Fenomena

ini menjelaskan kebutuhan akan anestesi dan analgesia yang adekuat hanya

selama awal prosedur bedah saraf untuk diseksi dan paparan jaringan otak.4

1. The Spinal and Medullary Dorsal Horn

a. The Dorsal Horn

Dorsal hornadalah proyeksi rostral dari serabut afferent C dan A-

delta dalam traktus Lissauer (LT) yang memasuki kolumna spinalis,

ascend atau descend satu atau dua pada segmen ini sebelum menembus

gray matter dari dorsal horn tempat terjadinya sinapsis pada neuron

orde kedua. Sinaps merupakan keadaan penting dalam modulasi

informasi nosiseptif dan dipengaruhi oleh berbagai zat excitatory atau

inhibitory. Untuk serabut A-delta neurotransmitter di dorsal horn adalah

glutamat yang bekerja pada reseptor AMPA. Untuk C fiber,

neurotransmiter di dorsal horn adalah glutamat bersama dengan peptida

tertentu seperti substansi P dan reseptor untuk glutamat adalah AMPA

dan N-methyl Daspartate (NMDA). Reseptor NMDA dirangsang oleh

9
depolarisasi secara kontinyu. Stimulasi terus-menerus dari serabut C

menyebabkan eksitasi pada neuron pasca sinaptik di dorsal horn yang

diintensifkan oleh aktivitas NMDA secara bersamaan.

Zat algesik atau penyabab nyeri berupa serotonin, histamin,

prostaglandin, bradikinin, substansi P, substansi K, asam amino

glutamat dan aspartat, calcitonin gene-related peptide, peptida intestinal

vasoaktif, kolesistokin, adenosin trifosfat, dan asetilkolin. Zat analgesik

atau penghambat rasa sakit adalah inhibitor neuromediator dan

termasuk opioid endogen (enkephalins, dynorphins, dan beta-

endorphins), somatostatin, serotonin, norepinefrin, asam gamma-

aminobutyric, dan neurotensin. Analgesik endogen mengaktifkan

opioid, alfa-adrenergik, dan reseptor lain yang menghambat pelepasan

Glu dari nociceptive primer atau mengurangi respon postsynaptic dari

neuron orde kedua.4

Secara histologis, gray matter of the spinal cord dibagi menjadi

sepuluh "laminae"). Dorsal horn dibagi menjadi (I – V), komponen

yang berhubungan dengan sebagian besar dengan input nyeri: Lamina I:

nukleus marginal posterior, Lamina II / III: substansia gelatinosa,

Lamina III / IV / V: nucleus proprius, Lamina VI: nukleus dorsalis.

Lamina VII ada di antara lamina ini dan lebih ventral Laminae VIII

(motor interneurons) dan IX (motor interneurons), dan X mengacu pada

materi abu-abu pada gray matter di sekitar the central canal of the spinal

cord.4

10
Gambar 3. Gray matter medulla spinalis

2. The Ascending System

Sistem ascending yang mentransmisikan impuls nosiseptif dari dorsal

horn ke supraspinal terbentuk dari beberapa sistem, diantaranya:

 Traktus spinotalamikus

 Traktus spinoretikular

 Saluran spinomesencephalic

a. Traktus spinotalamikus

Traktus spinotalamikus (STT) adalah jalur ascending utama untuk

informasi nyeri, suhu, sentuhan, terlokalisir di kuadran anterolateral

dari spinal cord. STT mengatur informasi yang bersifat cepat dan

lambat dari nyeri di daerah yang berbeda dari saluran yang

ditransmisikan secara paralel ke talamus. STT dibagi menjadi STT

lateral (nyeri dan suhu yang cepat dan lambat) dan STT anterior

(sentuhan). STT menuju batang otak tempat akson rangsangan nyeri

yang bersifat cepat berakhir pada nukleus ventroposterior. Sedangkan

untuk rangsangan nyeri yang lambat berakhir pada nukleus intralaminar

11
nonspesifik dari thalamus dan reticular formation pada batang otak, dan

akson ini mengirimkan informasi tentang kualitas (ketidaknyamanan

atau rasa takut cedera lebih lanjut) dari nyeri. Proyeksi terhadap

retikuler terlibat dalam efek rangsangan nyeri yang mengaktifkan

neuron noradrenergik pada lokus coeruleus dan terjadi penuruanan

transmisi nyeri oleh adanya umpan balik negatif. 4

b. The spinoreticular tract (SRT)

Naik ke kedua sisi spinal cord dan mentransmisikan informasi

sensoris dari lamina VII dan VIII ke neuron pada formasi retikuler,

kemudian ke nuklei intralaminar. SRT terlibat dalam gairah, aktifitas

neuron berupa motivasi dan aspek afektif dari nyeri.4

c. Spinomesencephalic Tract

The spinomesencephalic tract (SMT) muncul dari Laminae I dan

V, melalui medula dan pons, STT dan SRT dan berakhir di otak tengah

tectum dan periaqueductal gray, mengintegrasikan sensasi somatik

dengan informasi visual dan pendengaran.4

3. Descending Pathway

Jalur descending modulatory berfungsi untuk menurunkan persepsi

nyeri dan respon effert dengan menginhibisi transmisi nyeri pada dorsal

horn, Periaqueductal gray (PAG), brainstem rostral ventral medulla

(RVM), dan tempat lainnya pada SSP. Korteks serebri, hipotalamus,

thalamus, PGA, nucleus raphe magnus (RVM), dan locus coeruleus (LC),

semua mengirimkan akson descending yang bersinaps, dan modulasi

12
transmisi nyeri, sel noksius terletak pada batang otak dan spinal cord

dorsal horn. Komponen dari sistem descending yang berperan pada

transmisi modulasi nyeri, sistem opioid endogen, noradrenergic

descending system, dan neuron serotonergik.

PAG adalah enkephalinergic brainstem yang bertanggung jawab

untuk menghasilkan morfin dan dan stimulasi untuk produksi anelgesia.

Axon descending dari PAG menuju nuclei pada formasi retikuler dari

medulla, termasuk NRM, dan descend ke dorsal horn tempat terjadinya

sinaps satu sama lain dan menginhibisi wide dynamic rabge (WDR) dan

sistem saraf (NS). Akson terminal dari NRM ke dorsal horn, dan terjadi

pelepasan serotonin dan norepinefrin (NE). Stimulasi RVM mengaktifakn

sistem serotonergik turun ke spinal dorsal horn yang menghasilkan

analgesia. Meskipun serotonin memainkan peran penting dalam nyeri,

beberapa subtipe reseptor ini telah membingungkan perkembangan

analgesik yang bekerja melalui reseptor-reseptor ini. Akson yang turun

dari LC memodulasi transmisi nociceptive di dorsal horn rerutama

melalui pelepasan NE dan aktivasi reseptor postsinaptik alpha 2-

adrenergik. Peran NE dalam jalur ini menjelaskan efek analgesik dari

antidepresan trisiklik dan klonidin. GABAnergic dan enkephalinergic pada

dorsal horn juga memberikan penekanan lokal penularan nyeri.4

Aliran penghambatan dan peningkatan sensitivitas neuron ke

noradrenergik descending dan inhibisi opioid. Tidak seperti indra lainnya,

nyeri memiliki komponen subjektif dan emosional yang penting.

13
Keluarnya impuls descending inhibitory dari korteks frontal, cingulate

gyrus, dan hipotalamus dipengaruhi oleh kondisi psikologis dan emosional

pasien. Kecemasan, stres psikologis, dan depresi dapat mengurangi

penghambatan descending, sehingga menurunkan ambang untuk

sensitisasi sentral dan meningkatkan skor intensitas nyeri.4

Gambar 4. Jalur nyeri asendens dan desendens

Jalur nyeri dimulai dengan aktivasi nosiseptor perifer. Nosiseptor

terdapat di mana saja di dalam tubuh dan menyampaikan sensasi

berbahaya, baik secara eksternal (yaitu kulit, mukosa) atau secara internal

(yaitu, sendi, usus). Nociceptors dapat dipicu oleh stimulus apapun, yang

14
sebagian besar dapat dikategorikan sebagai mekanis, kimia, atau thermal

innature sehingga pengeluaran mediator radang akibat kerusakan

jaringan.4

Mekanisme penjalaran rasa nyeri menuju saraf pusat terdapat beberapa

proses, yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi.

1. Transduksi dan Konduksi

Transduksi mengacu pada proses di mana rangsangan berbahaya,

kimia, termal, atau mekanik, diubah ke dalam aktivitas listrik pada

tingkat nosiseptor. Badan sel nosiseptor ini ditemukan di ganglia akar

dorsal (DRG) dari sumsum tulang belakang. Setelah ambang sensoris

telah tercapai, aktivasi nociceptor memulai depolarisasi Ca2 + atau

potensi generator, yang mendepolarisasi akson distal dan lebih lanjut

memulai arus Na + ke dalam self-propagate. Setelah cedera jaringan,

beberapa mediator seluler mengaktifkan ujung terminal nosiseptor

seperti kalium, ion hidrogen, prostaglandin, dan bradikinin.4

Selain itu, terdapat silent nociceptors yang biasanya tidak aktif,

setelah cedera jaringan dan kemudian dapat merespon ke berbagai

modalitas stimulus. Setelah diaktifkan, nociceptors diam sebelumnya

terus menerus. Ketika nosiseptor menjadi peka, menanggapi rangsangan

berbahaya lebih kuat, yaitu stimulus yang sama sekarang menghasilkan

lebih banyak rasa sakit. Hal ini disebut hiperalgesia. Namun,

rangsangan biasa juga dapat menghasilkan rasa sakit, yang disebut

'‘allodynia”. Lebih penting lagi, reseptor opioid yang terletak di ujung

15
saraf perifer, ketika diaktifkan oleh opioid endogen atau eksogen

(pemberian morfin), menunjukan penghambatan pada jalur aferen.

Morfin yang bekerja pada reseptor opioid (G-protein coupled receptors)

menghasilkan pembukaan yang tidak langsung pada saluran kalium.

Kalium dengan muatan positifnya mengalir keluar dari nosiseptor

meninggalkan bagian dalam neuron yang lebih negatif. Hal itu

meningkatkan muatan negatif intraseluler sehingga terjadi

hiperpolarisasi nosiseptor, sehingga terjadi penurunan aktivitas

nosiseptor.4,5

2. Transmisi

Setelah transduksi, stimulus listrik dihasilkan harus ditransmisikan

ke lapisan superfisial dan lebih dalam pada dorsal horn dari spinal

cord.Seperti dijelaskan di atas, Aδ dan serabut C adalah akson neuron

unipolar yang memiliki proyeksi distal yang dikenal sebagai ujung

nociceptive. Setelah sinapsis di dorsal horn, neuron orde kedua

mengirim sinyal secara kontralateral dan ke atas melalui traktus

spinotalamikus. Sinyal-sinyal dari traktus spinotalamikus menjalar ke

sumsum tulang belakang melalui medula dan sinaps pada neuron di

talamus. Saraf dari talamus kemudian menyampaikan sinyal ke

berbagai area korteks somatosensori, di mana persepsi nyeri terjadi.

Glutamat, asam amino eksitatori yang terlibat dalam transmisi dari

nociceptors utama ke neuron dorsal horn. Terdapat padap berapa

reseptor [amino-3-hydroxyl-5-methyl-4-propionic acid (AMPA),

16
kainate, N-methyl-D- aspartate (NMDA), dan metabotropic aktif.

Berbagai kombinasi reseptor ini ada pada neuron di berbagai lamina

dorsal horn. Sambungan sinaptik antara neuron orde pertama dan sel

dorsal horn di sumsum tulang belakang memiliki plastisitas yang cukup

besar. Untuk alasan ini dorsal horn disebut gerbang, di mana impuls

nyeri dapat "terjaga keamanannya", diubah.4,5,6

3. Modulasi

Modulasi adalah proses yang ketiga dan sangat penting dari

pemrosesan stimulus noksius. Proses ini merupakan perubahan yang

terjadi di sistem saraf dalam menanggapi stimulus noksius dan

memungkinkan stimulus noksius diterima pada dorsal horn medulla

spinalis menjadi selektif terhambat sehingga transmisi sinyal ke pusat

yang lebih tinggi telah dimodifikasi. Sistem modulasi nyeri endogen

yang terdiri dari neuron menengah di dalam lapisan superfisial spinal

cord dan traktus desending dapat menginhibisi transmisi dari signal

nyeri. Opioid endogen dan eksogen dapat bertindak pada terminal

presinaptik dari nociceptor primer melaluireseptor opioid mu dengan

secara tidak langsung memblokir saluran kalsium. Penghambatan

kalsium masuk ke terminal presinaptik serta reflux kalium

(hyperpolarization) menghasilkan penghambatan pelepasan

neurotransmitter nyeri dari serat primer yang utama, maka terjadi

analgesia. Opioid memiliki situs aksi kedua pada tingkat sumsum

tulang belakang. Reseptor opioid pada saraf postsynaptic (neuron orde

17
kedua), ketika diaktifkan oleh opioid, saluran potassium yang secara

tidak langsung membuka mengakibatkan hiperpolarisasi saraf.5

4. Persepsi

Merupakan hasil akhir proses interaksi yang komplek, dimulai dari

proses transduksi, transmisi, dan modulasi sepanjang aktifasi sensorik

yang sampai pada area primer sensorik kortek serebri dan masukan lain

bagian otak yang pada gilirannya mengahsilkan suatu perasaan subjektif

yang dikenal sebagai persepsi nyeri.4

Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang

berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan.

Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu,

reseptor A delta yang merupakan serabut komponen cepat (kecepatan

tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang

akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan dan serabut C yang

merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5-2 m/det)

yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat

tumpul dan sulit dilokalisasi.7,8

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini

meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan

sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif

terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan,

iskemia dan inflamasi. Nyeri dihantarkan dari nosiseptor pada serabur

saraf menuju kornu dorsal medulla spinalis. Sel-sel lapisan marginal pada

18
lamina I dan neuron pada lamina V diaktifkan dan mengirimkan proyeksi

pada area di thalamus. Traktus spinotalamikus merupakan jalur yang

dominan, namun bukan satu-satunya. Disini, neuron-neuron terakhir dalam

rangkaian merangsang akson-akson panjang yang sebagian besar

menyambungkan serabut-serabut dari jaras rasa nyeri cepat, yang bermula-

mula melewati commisura anterior ke sisi berlawanan dari medulla

spinalis, kemudian naik ke otak dalam jaras anterolateral.8

Sel-sel dalam substansia gelatinosa memodulasi baik input

segmental maupun desendens dan melakukan efek inhibisi pada sel

thalamus pada kornu dorsal. Hal ini juga diketahui bahwa ada perbedaan

antara realitas objektif dari stimulus menyakitkan dan subjek yang

menanggapinya. Selama Perang Dunia II, Beecher, seorang ahli anestesi,

dan rekan-rekannya melaksanakan studi sistematis pertama efek

ini. Mereka menemukan bahwa tentara menderita luka parah pertempuran

sering merasakan sedikit atau tidak ada rasa sakit sama sekali. Disosiasi

antara cedera dan rasa sakit juga telah dicatat dalam keadaan lainnya

seperti acara olahraga dan dikaitkan dengan efek dari konteks di mana

cedera terjadi. Adanya pemisahan menyiratkan bahwa ada mekanisme

dalam tubuh yang memodulasi persepsi nyeri. Mekanisme endogen

modulasi nyeri diperkirakan memberikan keuntungan meningkatkan

survival di semua spesies . Tiga mekanisme penting telah jelaskan:

penghambatan segmental, opioid endogen sistem, dan sistem saraf

19
penghambatan turun. Selain itu, strategi mengatasi kognitif dan lainnya

mungkin juga memainkan peran utama dalam persepsi nyeri.7

Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut

kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A

dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi

impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat

mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang

melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan

berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan.

Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat

menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan

menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari

serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut

dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri

dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang

memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen,

seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal

dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan

menghambat pelepasan substansi P. substansi P dilepaskan jauh lebih

lambat, mencapai pemekatan dalam waktu beberapa detik atau bahkan

beberapa menit. Kenyataannya ada dugaan bahwa sensasi nyeri ganda

yang dirasakan seseorang setelah tertusuk jarum dapat menghasilkan

sebagian besar dari kenyataan bahwa transmitter glutamate memberikan

20
sensasi lebih cepat, sedangkan transmitter substansi P memberikan sensasi

lebih lambat.7,8

D. Derajat Luka Bakar

Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tingginya suhu dan lamanya

pajanan suhu tinggi. Selain api yang langsung menjilat tubuh, baju yang ikut

terbakar juga memperdalam luka bakar. Bahan baju yang paling aman adalah

yang terbuat dari bulu domba (woll). Bahan sintesis seperti nilon dan dakron

selain mudah terbakar juga mudah meleleh oleh suhu tinggi lalu menjadi

lengket, sehingga memperberat kedalaman luka bakar.1

Tabel 1. Luka Bakar berdasarkan Kedalaman Luka13

Luka bakar derajat satu hanya mengenai epidermis dan biasanya sembuh

dalam 5-7 hari misalnya tersengat matahari. Luka tampak sebagai eritema

dengan keluhan rasa nyeri atau hipersensitifitas setempat. Luka bakar derajat

dua mencapai kedalaman dermis, tetapi masih ada elemen epitel sehat yang

tersisa. Elemen epitel tersebut, misalnya sel epitel basal, kelenjar sebasea,

21
kelenjar keringat, dan pangkal rambut. Dengan adanya sisa sel epitel ini, luka

dapat sembuh sendiri dalam dua sampai tiga minggu. Gejala yang timbul

adalah nyeri, gelembung, atau bula berisi cairan eksudat yang keluar dari

pembuluh karena permeabilitas dindingnya meninggi. Luka bakar derajat tiga

meliputi seluruh kedalaman kulit dan mungkin subkutis atau organ yang lebih

dalam. Tidak ada elemen epitel hidup yang tersisa yang memungkinkan

penyembuhan dari dasar luka. Oleh karena itu untuk mendapatkan

kesembuhan harus dilakukan cangkok kulit. Kulit tampak pucat abu-abu

gelap atau hitam, dengan permukaan lebih rendah dari jaringan sekeliling

yang masih sehat. Tidak ada bula dan tidak terasa nyeri.1

Beratnya luka bakar biasanya dinyatakan dengan derajat yang ditentukan

oleh kedalaman luka bakar. Walaupun demikian, beratnya luka bergantung

pada dalam, luas dan letak luka. Umur dan keadaan kesehatan penderita

sebelumnya akan sangat mempengaruhi prognosis. Selain dalam dan luasnya

22
luka bakar, prognosis dan penanganan ditentukan oleh letak luka, usia dan

keadaan kesehatan penderita. Perawatan daerah perineum, ketiak, leher dan

tangan sulit, antara lain karena mudah mengalami kontraktur, lanjut daya

kompensasinya lebih rendah, maka bila terbakar digolongkan ke dalam

golongan berat.1

Tabel 2.American Burn Association Burn Injury Severity Grading System13

E. Patofisiologi Nyeri Luka Bakar

Kulit adalah organ terluar tubuh manusia dengan luas 0,025 m2 pada anak

baru lahir sampai 1 m2 pada orang dewasa. Respon inflamasi lokal dan

sistemik terhadap luka bakar sangat kompleks, sehingga baik kerusakan

jaringan terbakar secara lokal dan efek sistemik terjadi pada semua sistem

organ lain yang jauh dari daerah terbakar itu sendiri. Sebagian besar

perubahan lokal dan tentu saja mayoritas perubahan luas disebabkan oleh

mediator inflamasi. Luka bakar yang menginisiasi reaksi inflamasi sistemik

memproduksi racun dan radikal oksigen dan akhirnya menyebabkan

peroksidasi. Jaringan terluka menginisiasi suatu inflammation-induced

23
hyperdynamic, hypermetabolic yang dapat menyebabkan kegagalan organ

progresif yang parah.1

Apabila kulit terbakar atau terpajan suhu tinggi, pembuluh kapiler di

bawahnya, area sekitarnya dan area yang jauh sekali pun akan rusak dan

menyebabkan permeabilitasnya meningkat. Terjadilah kebocoran cairan

intrakapiler ke interstisial sehingga terjadi oedem dan bula yang mengandung

banyak elektrolit. Rusaknya kulit akibat luka bakar akan mengakibatkan

hilangnya fungsi kulit sebagai barier dan penahan penguapan.1

Nyeri pada luka bakar terjadi segera setelah kulit terbakar yang disebabkan

oleh stimulus langsung dan kerusakan pada nosiseptor yang ada di epidermis

dan dermis yang selanjutnya akan memicu terjadinya transmisi stimulus nyeri

melalui serabut saraf A-delta dan serabut saraf C. Melalui kedua saraf

tersebut, stimulus nyeri akan diteruskan menuju kornu posterior medulla

spinalis. Besarnya impuls nyeri ditentukan oleh banyaknya stimulus yang

dibawa dari perifer dan dipengaruhi oleh persepsi nyeri yang dibawa dari

otak.9

Respon inflamasi terjadi dalam beberapa menit setelah terjadinya cedera

dan memicu terjadinya pelepasan berbagai macam bahan kimia iritatif yang

selama beberapa hari kedepan akan terus mensensitisasi dan menstimulasi

nosiseptor yang ada di daerah cedera. Bagian tersebut selanjutnya akan

menjadi nyeri dan sangat sensitif terhadap rangsaangan mekanis dan suhu,

disebut sebagai hiperalgesia primer. Kemudian daerah disekitar bagian yang

24
mengalami cedera juga akan menjadi sensitif terhadap rangsangan mekanis

yang disebut sebagai hiperalgesia sekunder.9

F. Evaluasi Nyeri

Sangat penting untuk melakukan evaluasi secara terus-menerus dan

berkesinambungan terhadap pasien luka bakar khususnya terhadap perasaan

nyeri yang dialami untuk membantu memandu dalam memberikan jenis

tatalaksana analgetik yang tepat dan respon terhadap oobat yang telah

tercapai. Hal-hal yang perlu dievaluasi seperti lokasi nyeri, nyeri membaik

atau memberat, tipe serta intensitas nyeri.9

Intensitas nyeri pada pasien biasanya digambarkan dengan menggunakan

skala numerik (0-10). Semakin tinggi angkanya menunjukkan semakin berat

intensitas nyeri yang dirasakan pasien. Selain menggunakan skala numerik

tersebut, untuk mengevaluasi intensitas nyeri juga dapat dilakukan dengan

menggunakan skala analog visual, skala deskriptif verbal, dan skala wajah

dan warna. Terdapat pula berbagai macam skala yang dikembangkan untuk

menggambarkan intensitas nyeri pada pasien-pasien yang tidak dapat

mengekspresikan perasaan nyeri mereka sendiri, misalnya pada pasien usia

lanjut yang mengalami gangguan fungsi kognitif dengan menggunakan skala

nyeri Abbey dan pada anak-anak dengan menggunakan skor FLACC.

Terdapat empat pola nyeri yang dapat diamati pada pasien luka bakar.9,12

1. Background pain merupakan nyeri yang dirasakan secara terus-menerus

pada saat istirahat maupun perubahan posisi atau gerakan

25
2. Breakthrough pain merupakan nyeri yang intensitas nyerinya memberat

secara episodik dan tiba-tiba

3. Nyeri yang berlangsung selama tindakan perawatan

4. Nyeri yang terjadi pada periode pos operasi

G. Tatalaksana Nyeri pada Luka Bakar

Sebelum memberikan obat-obatan kepada pasien luka bakar, seorang

klinisi terlebih dahulu harus memahami perubahan status farmakokinetik obat

yang terjadi sebagai akibat adanya perubahan proses patofisiologi pada

pasein. Selama 48 jam pertama, terjadi penurunan perfusi darah ke organ

yang akan mengurangi pembersihan obat, tetapi pada fase hipermetabolik

berikutnya (48 jam setelah cedera) terjadi peningkatan pembersihan obat dari

dalam sirkulasi. Adanya variasi kadar protein plasma pada fase akut memicu

terjadinya perubahan pada daya ikat dan fraksi bebas obat. Oleh karena itu

dosis obat akan sangat bervariasi pada masing-masing individu dan dapat

berubah setiap waktu pada individu yang sama.10

1. Analgetik Opioid

Opioid merupakan fondasi utama dalam upaya mengontrol nyeri

pada luka bakar. Opiod sangat efektif dan variasi obatnya yang banyak

tersedia memberikan berbagai jenis pilihan potensi, metode pemberian dan

lamanya kerja. Efek positif dari obat ini adalah dapat memberikan rasa

nyaman melebihi batas undividu untuk merasakan perasaan bebas nyeri.

Morfin telah terbukti berkorelasi positif dengan menurunkan gejala

sindrom stres pasca-trauma. Efek opioid sangat luas dan berkorelasi

26
dengan efek samping yang ditimbulkan seperti depresi pernapasan, gatal,

mual, dan muntah.9,10,11

Dosis obat dapat sangat bervariasi dan bertambah selama proses

pengobatan luka bakar. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan

penyembuhan luka dan modulasi nyeri, tetapi juga berhubungan dengan

berkembangnya status toleransi terhadap opioid atau yang baru-baru ini

dikenal dengan opiate-induced huperalgesia (OIH). Toleransi

didefinisikan sebagai peningkatan dosis opioid tertentu yang diperlukan

untuk mencapai efek analgesik yang sama dan berlaku sama untuk efek

sampingnya. Hal ini lebih sering terjadi setelah penggunaan opioid kerja

pendek, terutama bila diberikan sebagai infus. Mekanisme terjadinya

toleransi ini hingga kini masih belumm jelas tetapi hubungannya dengan

OIH semakin dapat dimengerti. OIH secara klinis ditunjukkan sebagai

sensitivitas rasa nyeri yang meningkat, difus dan meliputi seluruh tubuh

pasien setelah terpapar opiat. Reseptor mu-agonis menginduksi keadaan

hiperalgesia ini melalui perubahan nosiseptif neuroplastik dari neuron

aferen dan medulla spinalis, yang dapat bertahan dalam jangka panjang.10

Sistem reseptor glutamate/NMDA memainkan peran penting dalam

mengurangi perubahan ini. Hal ini sudah dibuktikan dengan penggunaan

ketamin dan gabapentin. Ketamin efektif dalam membalikkan efek

toleransi opiat. Meskipun hubungan antara toleransi opiat dan hiperalgesia

sangat kompleks dan kurang begitu dipahami, tapi diperkirakan bahwa

27
mekanisme yang mendasari terjadinya hiperalgesia juga ikut bertanggung

jawab terhadap keadaan yang memicu terjadiya toleransi opiat.10

Akan sangat bijaksana untuk mengekstrapolasi hasil temuan

tersebut dan sebagai panduan bahwa opioid harus dihindari sebagai modal

terapi untuk mengontrol nyeri akut pada luka bakar. Penggunaan obat-obat

anti nyeri yang lain bersamaan dengan opioid menunjukkan hasil yang

positif. Obat-obat anti inflamasi non-steroid dan parasetamol mengurangi

efek hiperalgesia pada pusat dan ketamin dan gabapentin akan

menurunkan efek toleransi opiat. Selain dengan menggunakan kombinasi

obat, merubah satu jenis obat opiat dengan opiat yang lain pada pasien,

atau yang disebut dengan 'saklar opioid', dapat membantu mengembalikan

efek analgesia pada pasien yang toleran.10

Ketergantungan fisik biasanya terjadi pada pasien yang

menggunakan opioid jangka panjang dan penggunaan opioid pada pasien

ini tidak boleh dihentikan secara tiba-tiba, untuk menghindari terjadinya

gejala penarikan atau withdrawal. Ketergantungan fisik berbeda dengan

kecanduan atau ketergantungan psikologis yang ditandai oleh adanya

perubahan perilaku pada para pecandu.10

Rasa nyeri pada saat istirahat (background pain) pada pasien luka

bakar bersifat sedang dan dapat ditangani dengan opiat potensi sedang

yang konsentrasi plasmanya relatif tetap konstan sepanjang hari. Contoh

yang paling umum adalah: infus intravena opioid, opioid kerja panjang

(metadon) diberikan secara oral, atau pemberian opoid enteral jangka

28
panjang (morfin atau oksikodon pelepasan terkendali). Tramadol dan

opioid juga memberikan efek yang menguntungkan pada nyeri neuropatik.

Tidak ada bukti dalam literatur yang menunjukkan mengenai keunggulan

suatu opioid tertentu pada pengobatan nyeri neuropatik. Remifentanil,

opioid dengan onset kerja dan metabolism plasma yang ultra cepat,

merupakan pilihan obat untuk memberikan efek analgesia selama prosedur

atau tindakan terapi lainnya pada pasien luka bakar dengan cara diberikan

melalui infus kontinu. Selain itu juga dapat digunakan opiat jenis lain

seperti fentanyl atau alfentanyl.9

2. Obat Antiinflmasi, Parasetamol, dan Dipyrone

Obat-obat ini dapat mengurangi jumlah opioid yang dibutuhkan

hingga 20-30%. Obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID) juga dapat

mengurangi dampak buruk dari penggunaan opioid secara signifikan.

Obat-obatan yang paling tepat untuk pasien dengan luka bakaradalah

parasetamol, dipyrone, dan NSAID selective cox-2 inhibitor. Meskipun

obat ini memiliki potensi lemah bila digunakan secara sendiri-sendiri,

tetapi obat-obat ini bertindak secara sinergis dengan opioid. Karena efek

penghambatan agregasi platelet, penggunaan NSAID harus dihindari pada

keadaan di mana risiko perdarahan merupakan masalah serius yang akan

dihadapi (seperti luka bakar yang parah). Penggunaannya juga

membutuhkan perhatian pada pasien dengan penyakit kardiovaskular dan

gastrointestinal.9,10,12

3. Antikonvulsan

29
Gabapentin dan pregabalin sering digunakan untuk mengobati

nyeri neuropatik pada pasien luka bakar. Obat ini mengurangi rasa nyeri

dengan bekerja secara langsung dan tidak langsung pada pusat nyeri.

Secara langsung obat ini mengurangi sensitisasi pusat nyeri dengan cara

mengikat saluran kalsium dan secara tidak langsung bekerja dengan

menghambat reseptor presinaptik N-methyl-D-aspartat (NMDA). Dalam

sebuah penelitian pasien luka bakar, intensitas nyeri dan konsumsi opioid

secara signifikan akan berkurang pada pasien yang menggunakan

gabapentin. Dosis gabapentin yang direkomendasikan pada

penatalaksanaan nyeri neuropatik adalah 300 mg dosis terbagi dengan

titrasi yang jika diperlukan dapat dinaikkan hingga 3600 mg/hari. Untuk

anak-anak dapat dimulai dengan dosis 10mg/kgBB dengan titrasi sebesar

40-50 mg/kgBB. Pregablin merupakan senyawa yang sama dengan

gabapentin dan diberikan sebanyak dua kali sehari.9,10,11

4. Antidepresan

Antidepresan adalah obat yang efektif dan karena itu memiliki

peran penting dalam konsep pengobatan multimodal terhadap rasa sakit

yang terkait dengan luka bakar. Amitriptyline, yang digunakan dalam

dosis rendah, memiliki peran yang cukup signifikan dalam pengelolaan

nyeri neuropatik. Kerjanya adalah dengan mengaktifkan jalur

penghambatan di sumsum tulang belakang. Dosis yang dibutuhkan

biasanya tidak lebih dari 75 mg per hari. Selective serotonin reuptake

inhibitor (SNRTI) juga dapat digunakan dalam kasus intoleransi terhadap

30
efek samping dari trisiklik. Efek analgesik dari antidepresan biasanya

terjadi dalam beberapa hari atau minggu. Tidak ada studi mengenai efek

analgesik dan waktu untuk memulai terapi analgesik pada pasien luka

bakar.9,11

5. Ketamine

Ketamine merupakan antagonis non-kompetitif reseptor NMDA

dan dapat digunakan untuk sedasi sadar selama tindakan mengganti

pakaian pada pasien luka bakar. Obat ini menginduksi keadaan anestesi

disosiatif dengan dosis intravena sebesar 1 mg/kgBB. Keuntungan

penggunaan ketamine adalah obat ini tetap mempertahankan refleks jalan

napas, tekanan darah, dan detak jantung dengan pelepasan norepinefrin

secara langsung. Terjadinya halusinasi yang efek samping yang signifikan,

dapat dilemahkan dengan pemberian bersamaan dengan benzodiazepin

atau propofol. Pada sebuah meta-analisis ketamin pada dosis rendah dan

penggunaan opioid pasca operasi, terdapat pengurangan hingga sepertiga

dalam dosis total opioid yang diberikan. Selain itu, ketamin efektif sebagai

obat penghilang nyeri jika pasien kurang responsif terhadap opioid. 9,11

6. Benzodiazepine

Karena gangguan kecemasan dapat memperburuk keluhan nyeri,

penggunaan obat anti cemas terkait dengan obat analgesik merupakan

tindakan yang sering dilakukan di banyak pusat pelayanan kesehatan.

Ketakutan dan ketegangan dapat menurunkan toleransi terhadap rasa sakit.

Pasien luka bakar yang paling diuntungkan dari penggunaan terapi

31
benzodiazepin adalah pasien-pasien dengan tingkat kecemasan dan rasa

sakit yang tinggi. Ketika dibutuhkan obat dengan onset kerja yang cepat,

midazolam merupakan pilihan yang tepat untuj tujuan tersebut. Lorazepam

lebih cocok daripada diazepam pada kelompok pasien luka bakar karena

sering terjadi penurunan metabolisme hepatik pada pasien ini, yang dapat

memperpanjang metabolism obat dari dalam tubuh.9,11

7. Alpha-2 agonist

Alpha-2 agonist memiliki sifat menarik yang memudahkan

penggunaannya dalam manajemen analgesik pasien luka bakar. Selain

merangsang pengahambatan jalur nyeri descending, obat ini juga memiliki

efek sedatif dan efek antihipertensi. Clonidine dapat digunakan secara

aman dalam pengelolaan analgesik korban luka bakar anak. Pada beberapa

pusat luka bakar, obat tersebut rutin diberikan untuk anak-anak dan orang

dewasa. Dexmedetomidine memiliki durasi kerja yang lebih dari dari

clonidine dan kerjanya lebih selektif terhadap alpha-2 reseptor. Satu studi

melaporkan hasil positif dalam hubungan antara ketamin dan

dexmedetomidine dibandingkan dengan ketamin sendiri atau kombinasi

dengan midazolam dalam menurunkan rasa nyeri selama tindakan

mengganti pakaian pada pasien luka bakar.9,10

H. Tatalaksana Non Farmakologi

Masalah-masalah yang ada pada pasien luka bakar, terutama mengenai

status nyeri pasien, bergabung menjadi satu membentuk sebuah tantangan

baru dalam pengelolaannya yang jauh lebih besar daripada hanya sekedar

32
pemberian terapi farmakologis saja. Penatalaksanaan dengan menggunakan

multidisiplin ilmu dengan psikolog, psikoterapis, fisioterapi dan spesialis

nyeri harus dimulai sejak awal pemulihan pasien luka bakar, untuk

memastikan rencana tatalaksana yang komprehensif.9,10

Hubungan antara persepsi intensitas nyeri dan tingkat kecemasan pasien

berkorelasi secara kuat. Teknik psikologis dapat sangat bermanfaat dalam

mengurangi tingkat kecemasan dan melengkapi pasien dengan pilihan strategi

koping terhadap nyeri selama masa rehabilitasi luka bakar. Terapi ini juga

termasuk terapi relaksasi, distraksi, dan terapi perilaku kognitif (cognitive

behavioural therapy/CBT). CBT telah terbukti efektif pada individu dengan

masalah nyeri yang kompleks dan sulit serta tingkat ketakutan, kecemasan

dan kesusahan dengan derajat sedang.9,10

Hipnosis diartikan sebagai suatu kondisi peubahan kesadaran yang

ditandai dengan peningkatan penerimaan seseorang yang terhipnosis terhadap

saran, kemampuan untuk mengubah persepsi dan sensasi, dan meningkatkan

kapasitas untuk disosiasi. Tekhnik ini telah digunakan dalam manajemen

nyeri pada pasien luka bakar selama berbagai prosedur tatalaksana luka bakar

dan mengendalikan kecemasan pasien. Sebuah studi neurofisiologis

mendukung terapi ini.9,10

Pendekatan lain yang dapat digunakan dengan baik adalah tekhnik virtual

reality atau realitas maya. Terapi initerdiri dari teknologi yang mengisolasi

pasien dari dunia nyata dan membiarkan visinya hanya berhubungan dengan

lingkungan virtual tiga dimensi. Dalam konteks pasien luka bakar, dunia

33
maya ini disebut SnowWorld. Dalam beberapa penelitian, virtual reality yang

digunakan sebagai teknik distraksi selama prosedur terapi efektif dalam

mengurangi intensitas nyeri pada pasien luka bakar.9,10

34
DAFTAR PUSTAKA

1. De Jong, Wim & R. Sjamsuhidajat. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta.
EGC.
2. Meliala L., Rizaldi P. Breakthrought In Management Of Acute Pain. Dexa
Medica. Jurnal Kedokteran dan Farmasi Bagian IP Saraf FK UGM.
Yogyakarta. No. 4, Vol. 20. 2007.
3. Laycock H., et.al. Pheripheral Mechanism Of Burn Injury-Associated Pain.
European Journal of Pharmacology. Elsevier Journal. Section of
Anaesthetics, Pain Medicine and Intensive Care, Department of Surgery and
Cancer, Imperial College London, Chelsea and Westminster Hospital.
United Kingdom. 2013.
4. Vadivelu, N., Urman, RD., dan Hines RL. Essentials Of Pain Management.
Springer. 2011.
5. Vanderah, TW. Pathophysiology Of Pain. Elsevier Saunders. Medical
Clinic of North America. USA. Vol. 91. 2007.
6. Breivik H., et. al. Assessment of Pain. British Journal of Anaesthesia.
Norwegian University. Vol. 1. 2008.
7. Patel NB. Physiology Of Pain. Guide to Pain Management in Low Resource
Setting. Seattle: IASP. 2010.
8. Guyton CA., dan Hall JE. Sensasi Nyeri, Nyeri Kepala dan Sensasi Suhu.
Dalam Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC. 2007.
9. De Castro RJA, Leal PC, Sakata RK. Pain Management in Burn Patients.
Rev Bras Anestesiol. 2013;63(1):149-58.
10. Richardson R, Mustard L. The Management of Pain in the Burns Unit.
Burns. 2009:1-16.
11. Brook P., et.al. Oxford Handbook of Pain Management. New York: Oxford
University Press. 2011.

35
12. Griggs C., et. al. Sedation and Pain Management in Burn Patients. Article
in Press. Department of Surgery, Massachusetts General Hospital, Boston,
USA. 2017.
13. Harbin KR, Norris TE. Anesthetic Management of Patients With Major B
urn Injury. AANA Journal. 2012;80(6):430-9.

36

Anda mungkin juga menyukai