Anda di halaman 1dari 29

HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan presentasi kasus dengan judul


“Low Back Pain”

Disusun oleh:

Sinta Merlinda Yuni

1813020008

Telah dikumpulkan

Hari/Tanggal:
15 Maret 2019

Disahkan oleh:

Dosen Pembimbing,

dr. Gama Sita Setya Pratiwi, Sp. S.

1
HALAMAN

Hal
HALAMAN PENGESAHAN 1
HALAMAN 2
BAB I 3
LAPORAN KASUS 3
A.3
B. 4
C.9
D.9
BAB II 7
TINJAUAN PUSTAKA 8
BAB III 22
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN 22
A.24
B. 27
DAFTAR PUSTAKA 26

2
BAB I
LAPORAN KASUS

A. SUBYEKTIF
1. IDENTITAS PASIEN

Nama Ny. :M

Usia 58 Tahun
:

Jenis Kelamin Perempuan


:

Alamat Suruh, Kedung Ringin, Mboro Kidul.


:
Periksa Poli : 26 Febuari 2019

2. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Sulit menelan dan semakin memberat selama 2 hari ini..
b. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Ny. M datang ke poli saraf RSUD Salatiga tanggal 26 Febuari
2019 untuk kontrol penyakitnya. Pasien datang dengan keluhan sulit
menelan dan memberat sudah 2 hari sebelum datang ke poli saraf.
Dari anamnesis didapatkan keterangan bahwa pasien sudah menderita
penyakit ini dan menjalani pengobatan selama 9 bulan. Keluhan awal
yang dirasakan pasien sekitar 9 bulan yang lalu adalah pasien
mengalami kejang dan hilang kesadaran saat minum air. Kemudian
pasien dirawat di rumah sakit.
Keluhan yang dirasakan pasien sehari-hari adalah kesulitan
untuk bernapas, kaku pada badan dan kesulitan dalam berbicara
(kadang sulit untuk mulai mengucapkan kata). Apabila pasien tidak
minum obat akan merasa sulit bernapas dan tangan-bahu tidak dapat
diangkat sampai keatas dan kesulitan bernapas semakin nyata,
berbicara semakin susah lidah seperti kelu dan makin sulit untuk

3
bernapas. Pasien juga mengeluhkan adanya pandangan mata yang
kabur dan terlihat berbayang. Sebelumnya pasien tidak pernah
menderita keluhan atau penyakit yang sama.

c. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)


Ny. M mengaku tidak memiliki riwayat penyakit darah tinggi
atau hipertensi, namun saat dilakukan anamnesis pasien menyebutkan
mengkonsumsi obat penurun tekanan darah yang diberikan saat
kontrol ke rumah sakit tapi berhenti diminum karena sedang
mengkonsumsi obat yang diberikan untuk penyakitnya saat ini. Dari
anamnesis pasien diketahui tidak pernah menderita penyakit diabetes
mellitus, penyakit jantung dan asam urat yang tinggi. Pasien tidak
memiliki riwayat alergi terhadap obat atau hal tertentu.
d. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
Keluarga pasien tidak ada yang mengeluh sakit serupa.
Riwayat penyakit asma, Hipertensi, DM dan alergi pada keluarga
disangkal.

e. Riwayat Personal Sosial

Aktivitas kesehariannya tergolong ringan, pasien dirumah


beristirahat karena penyakitnya. Pasien sudah tidak berjualan baju lagi
setelah mengalami penyakit yang sekarang. Pasien memiliki asuransi
kesehatan BPJS. Pasien tidak ada riwayat pemakaian obat-obatan
tertentu selain obat untuk penyakitnya, tidak minum alcohol dan tidak
minum minuman keras.

B. OBYEKTIF
1. PEMERIKSAAN FISIK

KesanUmum Baik

Kesadaran Compos Mentis (GCS : E4V5M6)

4
Poli Saraf

Tekanan Darah : 140/80mmhg

Vital Signs / Tanda-Nadi : 90x/menit


Tanda VitalRespirasi : 20x/menit
Suhu :36,70C
SpO2: 100%

Kepala dan Leher

Inspeksi Conjungtiva anemis (+/+), Sklera Ikterik(-/-), deviasi trakea


(-)

Palpasi Pembesaran Limfonodi (-), Trakea teraba di garis tengah.

Thorax

Inspeksi Bentuk dada simetris, tidak terdapat kelainan bentuk

Palpasi Pulmo : Tidak ada ketertinggalan gerak dan vokal


fremitus tidak ada peningkatan maupun
penurunan

Perkusi Sonor

Auskultasi Pulmo : Suara vesikular dasar (SDV) : +/+ (positif di


lapang paru kanan dan kiri)
Suara ronkhi: -/-
Wheezing : -/-
Cor : Suara S1 dan S2 terdengar regular dan tidak
ada bising ataupun suara tambahan jantung

Abdomen

Inspeksi Tidak dilakukan pemeriksaan

Auskultasi Tidak dilakukan pemeriksaan

5
Palpasi Tidak dilakukan pemeriksaan

Perkusi Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas

Inspeksi Edema (-), tidak ada palmar eritema, tidak ada asterixis,
tidak ada tofus

Palpasi Pitting edema (-), akral hangat

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Fisik.

6
2. Status Psikis

- Cara berpikir dan tingkah laku : baik


- Kecerdasan, perasaan, dan ingatan : tidak menunjukan adanya
kelainan psikologis
3. Status Neurologi
- Kesadaran
Kompos mentis, GCS 15 (E4V5M6)
- Pemeriksaan Saraf Kranialis
Pemeriksaan Saraf Kranialis Kanan Kiri
Olfaktorius (I)
▪ Subjektif (+) (+)
Optikus (II)
▪ Daya Penglihatan (Subjektif) (+) (+)
▪ Lapangan pandang (+) (+)
▪ Melihat warna (+) (+)
▪ Funduskopi Tidak Tidak
dilakukan dilakukan
Okulomotorius (III)
▪ Pergerakan mata kearah
superior, medial, inferior, torsi (+) (+)
inferior
▪ Strabismus (-) (-)
▪ Nystagmus (-) (-)
▪ Exoptalmus (-) (-)
▪ Refleks pupil terhadap sinar (+) (+)
▪ Melihat kembar (-) (-)
▪ Pupil besarnya 3 mm 3 mm
Troklearis (IV)
▪ Pergerakan mata (ke bawah- (+) (+)
keluar)
Trigeminus (V)
▪ Membuka mulut (+) (+)
▪ Mengunyah (+) (+)
▪ Menggigit (+) (+)
▪ Pengecapan 2/3 anterior lidah Tidak Tidak
dilakukan dilakukan
Abdusens (VI)
▪ Pergerakan mata ke lateral (+) (+)
Fasialis (VII)
▪ Mengerutkan dahi (+) (+)
▪ Menutup mata (+) (+)
▪ Memperlihatkan gigi (+) (+)
Vestibulokoklearis (VIII)

7
▪ Suara berbisik Tidak Tidak
▪ Tes Arloji dilakukan dilakukan
▪ Tes Rinne
▪ Tes Weber

▪ Tes schwabach
Glossofaringeus (IX)
▪ Suara sengau (-) (-)
Vagus (X)
▪ Bicara (+) (+)
▪ Menelan (+) (+)
Assesorius (XI)
▪ Mengangkat bahu (+) (+)
▪ Memalingkan kepala (+) (+)
Hipoglossus (XII)
▪ Pergerakan lidah (+) (+)
▪ Artikulasi (+) (+)

- Tes Wertenberg : Positif (+)


- Tes Pita Suara : Negatif (-)
- Anggota Gerak Atas
Pemeriksaan Kanan Kiri
Motorik
● Pergerakan (+) (+)
● Kekuatan 5/5/5/5 5/5/5/5
● Tonus N N
Sensibilitas
▪ Taktil (+) (+)

▪ Nyeri (+) (+)


Gerakan Involunteer
▪ Tremor (+) (+)
▪ Tics (-) (-)

Refleks fisiologis
▪ Biseps (++) (++)
▪ Triseps (++) (++)

- Anggota Gerak Bawah


Pemeriksaan Kanan Kiri
Motorik
● Pergerakan (+) (+)
● Kekuatan 5/5/5 5/5/5
● Tonus Normal Normal

8
Sensibilitas
▪ Taktil (raba) (+) (+)
▪ Nyeri (+) (+)
Refleks fisiologis
▪ Patella (++) (++)

- Fungsi alat vegetatif


● Mictio : dalam batas normal
● Defekasi : dalam batas normal

C. ASSESMENT

a. Diagnosis klinis : Ptosis, diplopia, disfagia, fatigue


b. Diagnosis topis : Neuromuscular junction
c. Diagnosis etiologik : Myasthenia gravis
D. PLANNING
- Mestinon 2x60 mg 1-0-1 PO
- Gabapentin 2x150 mg 1-0-1 PO
- Neurodex 1-1-0 PO
- Haldol 0,5
THP 1 1-0-1
Diazepam 0,1

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI

Miastenia gravis adalah penyakit yang menyerang hubungan antara sistem


saraf (nervus) dan sistem otot (muskulus). Penyakit miastenis gravis ditandai
dengan kelemahan dan kelelahan pada beberapa atau seluruh otot, di mana
kelemahan tersebut diperburuk dengan aktivitas terus menerus atau berulang-
ulang. Miastenia gravis adalah penyakit autoimun yang menyerang
neuromuskular juction ditandai oleh suatu kelemahan otot dan cepat lelah akibat
adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AchR) sehingga jumlah AchR di
neuromuskular juction berkurang.2, 5

B. EPIDEMIOLOGI

Prevalensi penderita dengan Miastenia gravis di Amerika Serikat pada


tahun 2004 diperkirakan mencapai 20 per 100.000 penduduk. Prevalensi pasti
mungkin lebih tinggi karena kebanyakan kasus Miastenia gravis tidak
terdiagnosis. Insiden Miastenia gravis mencapai 1 dari 7500 penduduk,
menyerang semua kelompok umur. Penelitian epidemiologi telah menunjukkan
kecenderungan peningkatan prevalensi penyakit Miastenia gravis dan angka
kematian yang meningkat di atas umur 50 tahun. Pada umur 20-30 tahun
Miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada wanita. Sementara itu diatas 60
tahun lebih banyak pada pria (perbandingan ratio wanita dan pria adalah 3:2).1, 5, 6

C. ANATOMI DAN FISIOLOGIS NEUROMUSCULAR JUNCTION

Sebelum memahami tentang Miastenia gravis, pengetahuan tentang


anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting.
Potensial aksi di neuron motorik merambat cepat dari badan sel di dalam SSP ke
otot rangka di sepanjang akson bermielin besar (serat eferen) neuron. Sewaktu
mendekati otot, akson membentuk banyak cabang terminal dan kehilangan
selubung mielinnya. Masing-masing dari terminal akson ini membentuk
persambungan khusus, neuromuscular junction, dengan satu dari banyak sel otot

10
yang membentuk otot secara keseluruhan. Sel otot, disebut juga serat otot,
berbentuk silindris dan panjang. Terminal akson membesar membentuk struktur
mirip tombol, terminal button yang pas masuk ke cekungan dangkal, atau groove ,
di serat otot dibawahnya. Sebagian ilmuwan menyebut neuromuscular junction
sebagai “motor end plate”.1

Pada neuromuscular junction, sel saraf dan sel otot sebenarnya tidak
berkontak satu sama lain. Celah antara kedua struktur ini terlalu besar untuk
memungkinkan transmisi listrik suatu impuls antara keduanya. Karenanya, seperti
di sinaps saraf, terdapat suatu pembawa pesan kimiawi yang mengangkut sinyal
antara ujung saraf dan serat otot. Neurotransmitter ini disebut sebagai asetilkolin
(ACh). 1

Membran Pre Synaptic mengandung asetilkolin (ACh) yang disimpan


dalam bentuk vesikel-vesikel. Jika terjadi potensial aksi, maka Ca+ Voltage Gated
Channel akan teraktivasi. Terbukanya channel ini akan mengakibatkan terjadinya
influx Calcium. Influx ini akan mengaktifkan vesikel-vesikel tersebut untuk
bergerak ke tepi membran. Vesikel ini akan mengalami docking pada tepi
membran. Karena proses docking ini, maka asetilkolin yang terkandung di dalam
vesikel tersebut akan dilepaskan ke dalam celah synaptic. ACh yang dilepaskan
tadi, akan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChR) yang terdapat pada
membran post-synaptic. AChR ini terdapat pada lekukan-lekukan pada membran
post-synaptic. AChR terdiri dari 5 subunit protein, yaitu 2 alpha, dan masing-
masing satu beta, gamma, dan delta. Subunit-subunit ini tersusun membentuk
lingkaran yang siap untuk mengikat ACh. Ikatan antara ACh dan AChR akan
mengakibatkan terbukanya gerbang Natrium pada sel otot, yang segera setelahnya
akan mengakibatkan influx Na+. Influx Na+ ini akan mengakibatkan terjadinya
depolarisasi pada membran post-synaptic. Jika depolarisasi ini mencapai nilai
ambang tertentu (firing level), maka akan terjadi potensial aksi pada sel otot
tersebut. Potensial aksi ini akan dipropagasikan (dirambatkan) ke segala arah
sesuai dengan karakteristik sel eksitabel, dan akhirnya akan mengakibatkan
kontraksi. ACh yang masih tertempel pada AChR kemudian akan dihidrolisis oleh
enzim Asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat dalam jumlah yang cukup

11
banyak pada celah synaptic. ACh akan dipecah menjadi Kolin dan Asam Laktat.
Kolin kemudian akan kembali masuk ke dalam membran pre-synaptic untuk
membentuk ACh lagi. Proses hidrolisis ini dilakukan untuk dapat mencegah
terjadinya potensial aksi terus menerus yang akan mengakibatkan kontraksi terus
menerus.

Gambar 1. Anatomi Neuromuskular Junction3

12
D. PATOFISIOLOGI

Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline


Receptor(AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline(ACh) yang tetap
dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju
membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada
jumlah normal akan mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang
diaktifkan oleh impuls tertentu, inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit
pada pasien. Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses
auto-immun di dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat
memblok AChR dan merusak membran post-synaptic. Etipatogenesis proses
autoimun pada Miastenia gravis tidak sepenuhnya diketahui, walaupun demikian
diduga kelenjar timus turut berperan pada patogenesis Miastenia gravis. Sekitar
75% pasien Miastenia gravis menunjukkan timus yang abnormal, 65% pasien
menunjjukan hiperplasi timus yang menandakan aktifnya respon imun dan 10 %
berhubungan dengan timoma.2, 5, 7

E. GEJALA KLINIS

Penyakit Miastenia gravis ditandai dengan adanya kelemahan dan


kelelahan. Kelemahan otot terjadi seiring dengan penggunaan otot secara
berulang, dan semakin berat dirasakan di akhir hari. Gejala ini akan menghilang
atau membaik dengan istirahat. Kelompok otot-otot yang melemah pada penyakit
miastenis gravis memiliki pola yang khas. Pada awal terjadinya Miastenia gravis,
otot kelopak mata dan gerakan bola mata terserang lebih dahulu. Akibat dari
kelumpuhan otot-otot tersebur, muncul gejala berupa penglihatan ganda (melihat
benda menjadi ada dua atau disebut diplopia) dan turunnya kelopak mata secaara
abnormal (ptosis).

13
Gambar 2. Ptosis Pada Miastenia gravis Generalisata 6

Miastenia gravis dapat menyerang otot-otot wajah, dan menyebabkan


penderita menggeram saat berusaha tersenyum serta penampilan yang seperti
tanpa ekspresi. Penderita juga akan merasakan kelemahan dalam mengunyah dan
menelan makanan sehingga berisiko timbulnya regurgitasi dan aspirasi. Selain itu,
terjadi gejala gangguan dalam berbicara, yang disebabkan kelemahan dari langit-
langit mulut dan lidah. Sebagian besar penderita Miastenia gravis akan mengalami
kelemahan otot di seluruh tubuh, termasuk tangan dan kaki. Kelemahan pada
anggota gerak ini akan dirasakan asimetris . Bila seorang penderita Miastenia
gravis hanya mengalami kelemahan di daerah mata selama 3 tahun, maka
kemungkinan kecil penyakit tersebut akan menyerang seluruh tubuh. Penderita
dengan hanya kelemahan di sekitar mata disebut Miastenia gravis okular.
Penyakit Miastenia gravis dapat menjadi berat dan membahayakan jiwa.
Miastenia gravis yang berat menyerang otot-otot pernafasan sehingga
menimbuilkan gejala sesak nafas. Bila sampai diperlukan bantuan alat pernafasan,
maka penyakit Miastenia gravis tersebut dikenal sebagai krisis Miastenia gravis
atau krisis miastenik. Umumnya krisis miastenik disebabkan karena adanya
infeksi pada penderita Miastenia gravis. 2,4

Secara umum, gambaran klisnis Miastenia yaitu:

a. Kelemahan otot yang progresif pada penderita

14
b. Kelemahan meningkat dengan cepat pada kontraksis otot yang berulang

c. Pemulihan dalam beberapa menit atau kurang dari satu jam, dengan
istirahat

d. Kelemahan biasanya memburuk menjelang malam

e. Otot mata sering terkena pertama ( ptosis , diplopia ) , atau otot faring
lainnya ( disfagia , suara sengau )

f. Kelemahan otot yang berat berbeda pada setiap unit motorik

g. Kadang-kadang , kekuatan otot tiba-tiba memburuk

h. Tidak ada atrofi atau fasikulasi 8, 9

Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), Miastenia


gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kelas I Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup

mata, dan kekuatan otot-otot lain normal.

Kelas II Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya

kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.

Kelas Iia Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. juga

terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.

Kelas Iib Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.

Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih

ringan dibandingkan klas IIa.

Kelas III Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-

otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.

15
Kelas IIIa Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya

secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.

Kelas IIIb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya

secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-

otot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan.

Kelas IV Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam

derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan

dalam berbagai derajat.

Kelas Iva Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau

otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat

ringan.

Kelas Ivb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya

secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot

anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan.

Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.

Kelas V Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik. 6, 9

Untuk menilai tingkat respon terhadap terapi dan prognosis, Osserman


membuat klasifikasi klinis sebagai berikut :

a. Kelompok I Miastenia Okular : hanya menyerang otot-otot okular, disertai


ptosis dan diplopia. Sangat ringan dan tidak ada kasus kematian (15-20 %)

16
b. Kelompok II A : Miastenia umum ringan : progres lambat, biasanya pada
mata , lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernafasan
tidak terkena, respon terhadap terapi obat baik angka kematian rendah (30 %)

c. Kelompok II B : Miastenia umum sedang : progres bertahap dan sering


disertai gejala-gejala okular, lalau berlanjut semakin berat dengan terserangnya
otot-otot rangka dan bulbar. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan
aktivitas pasien terbatas. (25 %)

d. Kelompok III: Miastenia fulminan akut : progres yang cepat dengan


kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya
otot-otot pernafasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6
bulan. Dalam kelompok ini, persentase thymoma paling tinggi. Respon terhadap
obat bururk dan angka kematian tinggi. (15%)

e. Kelompok IV : Miastenia Berat lanjut : timbul paling sedikit 2 tahun


sesudah progress gejala-gejala kelompok I atau II. Respon terhadap obat dan
prognosis buruk. (10 %) 4, 8

F. DIAGNOSIS

Diagnosis Miastenia gravis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan


pemeriksaan fisik yang khas, tes antikolinesterase, EMG, serologi untuk antibodi
AchR dan CT-Scan atau MRI toraks untuk melihat adanya timoma.

1. Anamnesis

Adanya kelemahan/ kelumpuhan otot yang berulang setelah aktivitas dan


membaik setelah istirahat. Tersering menyerang otot-otot mata (dengan
manifestasi: diplopi atau ptosis), dapat disertai kelumpuhan anggota badan
(terutama triceps dan ekstensor jari-jari), kelemahan/kelumpuhan otot-otot yang
dipersarafi oleh nervi cranialis, dpat pula mengenai otot pernafasan yang
menyebabkan penderita bisa sesak.

2. Tes klinik sederhana:

17
a). Tes watenberg/simpson test : memandang objek di atas bidang antara kedua
bola mata > 30 detik, lama-kelamaan akan terjadi ptosis (tes positif).

b). Tes pita suara : penderita disuruh menghitung 1-100, maka suara akan
menghilang secara bertahap (tes positif). 10

3. Uji Tensilon (edrophonium chloride)

Endrofonium merupakan antikolinesterase kerja pendek yang memperpanjang


kerja acetilkolin pada nerumuscular juction dalam beberapa menit. Untuk uji
tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena selama 15 detik, bila dalam
30 detik tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8-9 mg tensilon
secara intravena. Segera setelah tensilon disuntikkan kita harus memperhatikan
otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan adanya
ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh Miastenia gravis, maka ptosis itu
akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan
dengan sangat seksama,karena efektivitas tensilon sangat singkat. Efek
sampingnya dapat menyebabkan bradikardi dan untuk mengatasinya dapat
digunakan atropin.

2, 8, 11, 12

18
Gambar 3. Tes Edrophonium dan EMG pada myasthenia gravis13

4. Uji Prostigmin (neostigmin)

Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara


intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin 0,8 mg). Bila kelemahan itu
benar disebabkan oleh Miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya
ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap. 4,6,10

5. Laboratorium

a. Anti striated muscle (anti-SM) antibody

Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 85% pasien yang menderita
timoma dalam usia kurang dari 40 tahun.Sehingga merupakansalah satu tes yang
penting pada penderita Miastenia gravis. Pada pasien tanpa timoma anti-SM
Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada pasien dengan usia lebih dari 40
tahun. 4, 6

b. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.

Hampir 50% penderita Miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab


negatif (Miastenia gravis seronegatif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-
MuSK Ab.

c. Anti-asetilkolin reseptor antibodi

Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu Miastenia
gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 70%-95% dari penderita
Miastenia gravis generalisata dan 50% - 75 % dari penderita dengan Miastenia
okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif.
Pada pasien timoma tanpa Miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-
AChR antibody. 4, 6

19
6. Elektrodiagnostik

Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi


neuro muscular melalui 2 teknik :

a. Single-fiber Electromyography (SFEMG)


SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa
peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena menggunakan jarum
single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita,
sehingga SFEMG dapat mendeteksi suatu titer (variabilitas pada interval
interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama)
dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat
direkam oleh jarum perekam).

b. Repetitive Nerve Stimulation (RNS). 4,8,1


Pada penderita Miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor
asetilkolin, sehingga pada RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi.

7. Gambaran Radiologi

a. Chest x-ray (foto roentgen thorak)

Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen


thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior
mediastinum.Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan
adanya thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan
untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus Miastenia gravis, terutama
pada penderita dengan usia tua.MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak
digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis
Miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya
dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.4,11,13

G. PENATALAKSANAAN

a. Acetilkolinesterase inhibitor

20
Dapat diberikan piridostigmin bromida (mestinon) 30-120 mg/3-4 jam/oral. Dosis
parenteral 3-6 mg/4-6 jam/ iv tiap hari akan membantu pasien untuk mengunyah,
menelan, dan beberapa aktivitas sehari-hari. Pada malam hari, dapat diberikan
mestinon long-acting 180 mg. Apabila diperlukan, neostigmin bromida
(prostigmine ): 7,5-45 mg/2-6 jam/oral. Dosis parenteral : 0,5-1 mg/4 jam/iv atau
im. Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga
asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan
mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula.
Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada Miastenia gravis
golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh
stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi
berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping
gastro intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi
dengan pemberian propantelin bromida atau atropin. 2, 8, 10,

b. Kortikosteroid
Dapat diberikan prednison dimulai dengan dosis rawal 10-20 mg, dinaikkan
bertahap (5-10 mg/minggu) 1x sehari selang sehari, maksimal 120 mg/6 jam/oral,
kemudian diturunkan sampai dosis minimal efektif. Efek sampingnya dapat
berupa: peningkatan berat badan, hiperglikemia, osteopenia, ulkus gaster dan
duodenum, katarak. 2, 8, 10, 12

c. Azatioprin

Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil


yang baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan
terutama berupa gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia.
Obat ini diberikan dengan dosis 2-3 mg/kg BB/hari/oral selama 8 minggu
pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi
hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali.
Pemberian prednisolon bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan. 2, 12

d. Plasma Exchange (PE)

21
PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek
yang menguntungkan menjadi prioritas.Dasar terapi dengan PE adalah
pemindahan anti-asetilkolin secara efektif.Respon dari terapi ini adalah
menurunnya titer antibodi. Dimana pasien yang mendapat tindakan berupa
hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama serta trakeostomi, dapat
diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE.Terapi ini digunakan pada pasien
yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat
memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani timektomi atau pasien yang
kesulitan menjalani periode pasca operasi. Jumlah dan volume dari penggantian
yang dibutuhkan kadang-kadang berbeda tetapi umumnya 3-4 liter sebanyak 5x
dalam 2 minggu. 4,10,12

e. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)

Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama,


dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. 2, 10, 12

f. Timektomi

Timektomi umumnya dianjurkan pada pasien umur 10-55 tahun dengan


Miastenia gravis generalisata. Walaupun timektomi merupakan terapi standar di
berbagai pusat pengobatan namun keeefektivitasannya belum dapat dipastikan
oleh penelitian prospektif yang terkontrol. Timektomi diindikasi pada terapi awal
pasien dengan keterlibatan ekstremitas bawah dan bulbar. 12, 13

H. DIAGNOSIS BANDING

Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis Miastenia


gravis, antara lain :

Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada
beberapa penyakit selain Miastenia gravis, antara lain :

o Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)

o Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring

22
o Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii

o Paralisis pasca difteri

o Pseudoptosis pada trachoma

Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya suatu
sklerosis multipleks.

Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)

Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan


pada otot anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan kelemahan relatif
pada otot-otot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga
pada detik-detik awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering,
dan sering kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma
pada paru. EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada Miastenia gravis.
Defek pada transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi rendah (2Hz) tetapi
akan terjadi hambatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan
pada Miastenia gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan
pada LEMS terjadi pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak
berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke
membran postdinaptik tidak mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi.2,8,13

I. PROGNOSIS

Pada Miastenia gravis Ocular, dimana kelemahan pada mata menetap lebih
dari 2 tahun, hanya 10-20% yang berkembang menjadi Miastenia gravis
generalisata. Penanganan dengan steroid dan imusupresi masi kontroversial. Pada
Miastenia gravis generalisata, membaik dengan pemberian imunosupresi,
timektomi, dan pemberian obat yang dianjurkan. Grob melaporkan angka
kematian 7 %, membaik 50 % dan tidak ada perubahan 30 %. 12

23
BAB III

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

A. PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis dan juga pemeriksaan fisik yang telah dilakukan
maka dapat didiagnosis secara klinis pasien mengalami MG. Myasthenia gravis
dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi pada otot rangka
dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita akan
merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang
apabila penderita beristirahat. Pada pasien ini dari hasil anamnesis ditemukan
bahwa pasien sudah pernah merasakan kejng dan kehilangan kesadaran tiba-tiba
saat sedang minum air. Setelah itu pasien kemudian dibawa dan dirawat di
rumah sakit dan didiagnosa menderita myasthenia gravis. Pasien juga
mengalami tremor di kedua tangannya. Selain itu pasien mengalami kekakuan
pada kedua tangannya apabila tidak minum obat, kesulitan dalam bernapas dan
sulit untuk memulai bicara karena lidah terasa kelu. Hal ini sesuai dengan teori
MG dimana keluhan biasanya terjadi pada siang atau sore hari pada saat pasien
sudah beraktivitas dan membaik setelah pasien beristirahat. Pada pasien juga
diitemukan ptosis pada saat uji westernberg. Saat sedang melihat benda di
depannya lama-kelamaan palpebra superior pasien akan turun seperti orang
mengantuk. Gejala klinis MG antara lain:

(1) Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang merupakan salah
satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing menjadi keluhan utama
penderita miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra
jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi
pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi
ptosis MG. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan
pada fleksi dan ekstensi kepala;

(2) Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk.


Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot okular, otot wajah, otot

24
leher, hingga ke otot ekstremitas. Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan
dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup.

Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum
molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan berbicara. Paresis
dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita
minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya. Di antara pasien, 75%
awalnya mengeluh gangguan mata, terutama ptosis dan diplopia. Akhirnya, 90%
dari pasien dengan MG mengembangkan gejala-gejala okular. Mungkin
ptosisunilateral atau bilateral, dan akan beralih dari mata ke mata. Okular MG
dikategorikan sebagai kelemahan dan kelelahan yang tersembunyi dan
membahayakan yang dapat terjadi pada satu atau kedua kelopak mata atau otot
bola mata. Jika meliputi kelopak mata yang jatuh biasanya dikenal sebagai
ptosis; yang mengenai otot extraokular maka pasien akan melihat ganda pada
arah otot yang lemah. Hal ini sesuai dengan teori dimana pada MG keluhan yang
paling sering terjadi adalah keluhan pada wajah 95% dari pasien.

Keluhan ptosis juga kadang disertai adanya gangguan otot okular, pada
pasien ini ditemukan gangguan penglihatan berupa diplopia. Kelemahan wajah
dapat terjadi pada MG tanpa keterlibatan otot mata, tetapi biasanya kedua gejala
terjadi bersama-sama. Jika sensasi wajah terganggu, lesi yang mempengaruhi
saraf kranial seperti karsinoma nasofaring harus dicurigai. Dengan adanya
sensasi wajah normal. Namun, terjadinya kedua kelemahan otot mata dan wajah
sangat memperlihatkan gejala MG. Temuan mungkin akan sulit untuk dilihat.
Pada pemeriksaan fisik pasien ini juga ditemukan adanya kelemahan otot-otot
wajah termasuk otot untuk menelan dimana pasien mengeluhkan sulit menelan
makanan dan sulit bicara. Berdasarkan teori, kelemahan otot wajah dan menelan
terjadi pada 60% kasus MG. Gejala yang paling serius dari MG adalah kesulitan
bernafas. Pasien myasthenic dengan insufisiensi pernapasan atau
ketidakmampuan untuk mempertahankan jalan napas paten dikatakan krisis.
Kelumpuhan vokal dapat menghambat jalan napas, tetapi lebih umum saluran
udara terhambat oleh sekresi pasien.

25
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat menyebabkan gagal napas akut,
dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi
cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat
menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya
hipoventilasi.

Pada pasien diberikan asetilkolinesterase inhibitor sebagai tatalaksana


medikamentosa yaitu piridostigmin 3x60 mg (mastinon) hal ini sesuai dengan
teori dimana pemberian antikolinesterase yaitu piridostigmin bekerja pada otot
polos, sistem saraf pusat (SSP), dan kelenjar sekretori, dengan memblok AChE.
Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin
bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara
lambat. Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Menurut
teori, pemberian antikolinesterase inhibitor akan sangat bermanfaat pada MG
golongan IIA dan IIB sedangkan pada pasien MG krisis tatalaksana diberikan
secara IV di ICU. Efek samping yang mungkin terjadi dari pemberian
antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi
pupil, kolik, diare, salivasi berlebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi
bronkial berlebihan. Hal tersebut terjadi pada pasien dimana setelah pemberian
asetilkolinesterase inhibitor keluhan pasien berkurang dan pasien membaik
namun pasien masih mengeluhkan adanya batuk berdahak. Efek samping gastro
intestinal (efek samping muskarinik) dapat berupa kram atau diare. Sedangkan
cara kerja neostigmin adalah menghambat penghancuran ACh oleh AChE,
sehingga memfasilitasi transmisi impuls di NMJ. Ini adalah AChE inhibitor
short-acting yang tersedia dalam bentuk oral (15 mg tablet) dan bentuk yang
sesuai untuk jalur IV, intramuskular (IM), atau subkutan (SC). Waktu paruhnya
45-60 menit. Obat ini sulit diserap dalam saluran gastrointestinal (GI) dan harus
digunakan hanya jika piridostigmin tidak ada. Gabapentin adalah obat yang
termasuk terapi analgesik adjuvant karena dapat mengatasi nyeri terutama
neuralgic pain dengan prinsip kerja menaikkan konsentrasi GABA di sinaps.
Neurodex merupakan vitamin B komplek yang berguna untuk melindungi sel
saraf. Puyer campuran haldol, THP, dan diazepam berfungsi untuk mengatasi
kekakuan dan tremor yang dialami oleh pasien.

26
B. KESIMPULAN
Myasthenia gravis merupakan suatu penyakit autoimun dari neuromuscular
junction (NMJ) yang disebabkan oleh antibodi yang menyerang komponen dari
membran postsinaptik, mengganggu transmisi neuromuskular, dan menyebabkan
kelemahan dan kelelahan otot rangka. Kebanyakan pasien MG mempunyai
keluhan diplopia pada saat onset penyakit mereka. Pasien merasakan penglihatan
kabur yang berfluktuasi. Pasien Myasthenia gravis yang sedang mengalami
kekambuhan apabila mengenai ke otot-otot pernapasan maka dapat mengancam
jiwa.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. In: Taut Neuromuskular. 6


th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012.

2. Setiyohadi B. Miologi. In: Sudoyo AW, Setiyohadi, Bambang, Alwi, idrus,


Simadibrata K.,Marcellus, Setiati, Siti, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: InternaPublishing; 2009.

3. Conti-Fine BM, Milani,Monica ,Kaminski,Henry J. . Myasthenia gravis: past,


present, and future. The Journal of Clinical Investigation
2006;116(Number 11).

4. Ropper AH, Brown, Robert H. ,. Adam And Victor's Principles of Neurology.


In: Myasthenia Gravis And Related Disorders Of The Neuromuscular
Junction 8 th ed. United State of America: McGraw-Hill Medical
Publishing Division; 2005.

5. www.mda.org.nz. Myasthenia Gravis. Muscular Dystrophy association of New


Zealand Inc. 2010.

6. Howard JF. Myasthenia Gravis A Manual for the Health Care Provider.
Myasthenia Gravis Foundation of America 2008.

7. Hughes BW, Casillas, Maria Luisa Moro De , Kaminski, Henry J.,.


Pathophysiology of Myasthenia Gravis. Thieme Medical Publishers
2004;24 Number 1:p21-7.

8. Mumenthaler M, Mattle H. Fundamentals of Neurology. In: Myasthenia Gravis.


Germany: Georg Thieme Verlag; 2006.

9. Christiane Schneider-Gold KVT. Myasthenia Gravis: Pathogenesis and


Immunotherapy. Dtsch Arztebl 2007.

10. Ilmu Penyakit Saraf S. Standar Pelayanan Medik. Makassar: Fakultas


Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2014.

28
11. Wilkinson l, Lenox, Graham. Essential Neurology. In: Peripheral
Neuromuscular Disorders USA: Blackwell Publishing Ltd; 2005.

12. Feldman EL, Grisold W, Russell JW, Zifko UA. Atlas of Neuromuscular
Diseases. In: Myastenia Gravis. Austria: SpringerWienNewYork; 2005.
p. p337-44.

13. Rohkamm R. Color Atlas of Neurology. In: Myopathies. New York: Thieme
Verlag; 2004

29

Anda mungkin juga menyukai