Disusun oleh:
1813020008
Telah dikumpulkan
Hari/Tanggal:
15 Maret 2019
Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,
1
HALAMAN
Hal
HALAMAN PENGESAHAN 1
HALAMAN 2
BAB I 3
LAPORAN KASUS 3
A.3
B. 4
C.9
D.9
BAB II 7
TINJAUAN PUSTAKA 8
BAB III 22
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN 22
A.24
B. 27
DAFTAR PUSTAKA 26
2
BAB I
LAPORAN KASUS
A. SUBYEKTIF
1. IDENTITAS PASIEN
Nama Ny. :M
Usia 58 Tahun
:
2. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Sulit menelan dan semakin memberat selama 2 hari ini..
b. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Ny. M datang ke poli saraf RSUD Salatiga tanggal 26 Febuari
2019 untuk kontrol penyakitnya. Pasien datang dengan keluhan sulit
menelan dan memberat sudah 2 hari sebelum datang ke poli saraf.
Dari anamnesis didapatkan keterangan bahwa pasien sudah menderita
penyakit ini dan menjalani pengobatan selama 9 bulan. Keluhan awal
yang dirasakan pasien sekitar 9 bulan yang lalu adalah pasien
mengalami kejang dan hilang kesadaran saat minum air. Kemudian
pasien dirawat di rumah sakit.
Keluhan yang dirasakan pasien sehari-hari adalah kesulitan
untuk bernapas, kaku pada badan dan kesulitan dalam berbicara
(kadang sulit untuk mulai mengucapkan kata). Apabila pasien tidak
minum obat akan merasa sulit bernapas dan tangan-bahu tidak dapat
diangkat sampai keatas dan kesulitan bernapas semakin nyata,
berbicara semakin susah lidah seperti kelu dan makin sulit untuk
3
bernapas. Pasien juga mengeluhkan adanya pandangan mata yang
kabur dan terlihat berbayang. Sebelumnya pasien tidak pernah
menderita keluhan atau penyakit yang sama.
B. OBYEKTIF
1. PEMERIKSAAN FISIK
KesanUmum Baik
4
Poli Saraf
Thorax
Perkusi Sonor
Abdomen
5
Palpasi Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas
Inspeksi Edema (-), tidak ada palmar eritema, tidak ada asterixis,
tidak ada tofus
6
2. Status Psikis
7
▪ Suara berbisik Tidak Tidak
▪ Tes Arloji dilakukan dilakukan
▪ Tes Rinne
▪ Tes Weber
▪ Tes schwabach
Glossofaringeus (IX)
▪ Suara sengau (-) (-)
Vagus (X)
▪ Bicara (+) (+)
▪ Menelan (+) (+)
Assesorius (XI)
▪ Mengangkat bahu (+) (+)
▪ Memalingkan kepala (+) (+)
Hipoglossus (XII)
▪ Pergerakan lidah (+) (+)
▪ Artikulasi (+) (+)
Refleks fisiologis
▪ Biseps (++) (++)
▪ Triseps (++) (++)
8
Sensibilitas
▪ Taktil (raba) (+) (+)
▪ Nyeri (+) (+)
Refleks fisiologis
▪ Patella (++) (++)
C. ASSESMENT
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
B. EPIDEMIOLOGI
10
yang membentuk otot secara keseluruhan. Sel otot, disebut juga serat otot,
berbentuk silindris dan panjang. Terminal akson membesar membentuk struktur
mirip tombol, terminal button yang pas masuk ke cekungan dangkal, atau groove ,
di serat otot dibawahnya. Sebagian ilmuwan menyebut neuromuscular junction
sebagai “motor end plate”.1
Pada neuromuscular junction, sel saraf dan sel otot sebenarnya tidak
berkontak satu sama lain. Celah antara kedua struktur ini terlalu besar untuk
memungkinkan transmisi listrik suatu impuls antara keduanya. Karenanya, seperti
di sinaps saraf, terdapat suatu pembawa pesan kimiawi yang mengangkut sinyal
antara ujung saraf dan serat otot. Neurotransmitter ini disebut sebagai asetilkolin
(ACh). 1
11
banyak pada celah synaptic. ACh akan dipecah menjadi Kolin dan Asam Laktat.
Kolin kemudian akan kembali masuk ke dalam membran pre-synaptic untuk
membentuk ACh lagi. Proses hidrolisis ini dilakukan untuk dapat mencegah
terjadinya potensial aksi terus menerus yang akan mengakibatkan kontraksi terus
menerus.
12
D. PATOFISIOLOGI
E. GEJALA KLINIS
13
Gambar 2. Ptosis Pada Miastenia gravis Generalisata 6
14
b. Kelemahan meningkat dengan cepat pada kontraksis otot yang berulang
c. Pemulihan dalam beberapa menit atau kurang dari satu jam, dengan
istirahat
e. Otot mata sering terkena pertama ( ptosis , diplopia ) , atau otot faring
lainnya ( disfagia , suara sengau )
Kelas II Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya
Kelas Iia Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. juga
Kelas III Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-
15
Kelas IIIa Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya
Kelas Iva Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau
ringan.
16
b. Kelompok II A : Miastenia umum ringan : progres lambat, biasanya pada
mata , lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernafasan
tidak terkena, respon terhadap terapi obat baik angka kematian rendah (30 %)
F. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
17
a). Tes watenberg/simpson test : memandang objek di atas bidang antara kedua
bola mata > 30 detik, lama-kelamaan akan terjadi ptosis (tes positif).
b). Tes pita suara : penderita disuruh menghitung 1-100, maka suara akan
menghilang secara bertahap (tes positif). 10
2, 8, 11, 12
18
Gambar 3. Tes Edrophonium dan EMG pada myasthenia gravis13
5. Laboratorium
Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 85% pasien yang menderita
timoma dalam usia kurang dari 40 tahun.Sehingga merupakansalah satu tes yang
penting pada penderita Miastenia gravis. Pada pasien tanpa timoma anti-SM
Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada pasien dengan usia lebih dari 40
tahun. 4, 6
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu Miastenia
gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 70%-95% dari penderita
Miastenia gravis generalisata dan 50% - 75 % dari penderita dengan Miastenia
okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif.
Pada pasien timoma tanpa Miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-
AChR antibody. 4, 6
19
6. Elektrodiagnostik
7. Gambaran Radiologi
G. PENATALAKSANAAN
a. Acetilkolinesterase inhibitor
20
Dapat diberikan piridostigmin bromida (mestinon) 30-120 mg/3-4 jam/oral. Dosis
parenteral 3-6 mg/4-6 jam/ iv tiap hari akan membantu pasien untuk mengunyah,
menelan, dan beberapa aktivitas sehari-hari. Pada malam hari, dapat diberikan
mestinon long-acting 180 mg. Apabila diperlukan, neostigmin bromida
(prostigmine ): 7,5-45 mg/2-6 jam/oral. Dosis parenteral : 0,5-1 mg/4 jam/iv atau
im. Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga
asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan
mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula.
Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada Miastenia gravis
golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh
stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi
berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping
gastro intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi
dengan pemberian propantelin bromida atau atropin. 2, 8, 10,
b. Kortikosteroid
Dapat diberikan prednison dimulai dengan dosis rawal 10-20 mg, dinaikkan
bertahap (5-10 mg/minggu) 1x sehari selang sehari, maksimal 120 mg/6 jam/oral,
kemudian diturunkan sampai dosis minimal efektif. Efek sampingnya dapat
berupa: peningkatan berat badan, hiperglikemia, osteopenia, ulkus gaster dan
duodenum, katarak. 2, 8, 10, 12
c. Azatioprin
21
PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek
yang menguntungkan menjadi prioritas.Dasar terapi dengan PE adalah
pemindahan anti-asetilkolin secara efektif.Respon dari terapi ini adalah
menurunnya titer antibodi. Dimana pasien yang mendapat tindakan berupa
hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama serta trakeostomi, dapat
diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE.Terapi ini digunakan pada pasien
yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat
memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani timektomi atau pasien yang
kesulitan menjalani periode pasca operasi. Jumlah dan volume dari penggantian
yang dibutuhkan kadang-kadang berbeda tetapi umumnya 3-4 liter sebanyak 5x
dalam 2 minggu. 4,10,12
f. Timektomi
H. DIAGNOSIS BANDING
Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada
beberapa penyakit selain Miastenia gravis, antara lain :
22
o Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii
Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya suatu
sklerosis multipleks.
I. PROGNOSIS
Pada Miastenia gravis Ocular, dimana kelemahan pada mata menetap lebih
dari 2 tahun, hanya 10-20% yang berkembang menjadi Miastenia gravis
generalisata. Penanganan dengan steroid dan imusupresi masi kontroversial. Pada
Miastenia gravis generalisata, membaik dengan pemberian imunosupresi,
timektomi, dan pemberian obat yang dianjurkan. Grob melaporkan angka
kematian 7 %, membaik 50 % dan tidak ada perubahan 30 %. 12
23
BAB III
A. PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis dan juga pemeriksaan fisik yang telah dilakukan
maka dapat didiagnosis secara klinis pasien mengalami MG. Myasthenia gravis
dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi pada otot rangka
dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita akan
merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang
apabila penderita beristirahat. Pada pasien ini dari hasil anamnesis ditemukan
bahwa pasien sudah pernah merasakan kejng dan kehilangan kesadaran tiba-tiba
saat sedang minum air. Setelah itu pasien kemudian dibawa dan dirawat di
rumah sakit dan didiagnosa menderita myasthenia gravis. Pasien juga
mengalami tremor di kedua tangannya. Selain itu pasien mengalami kekakuan
pada kedua tangannya apabila tidak minum obat, kesulitan dalam bernapas dan
sulit untuk memulai bicara karena lidah terasa kelu. Hal ini sesuai dengan teori
MG dimana keluhan biasanya terjadi pada siang atau sore hari pada saat pasien
sudah beraktivitas dan membaik setelah pasien beristirahat. Pada pasien juga
diitemukan ptosis pada saat uji westernberg. Saat sedang melihat benda di
depannya lama-kelamaan palpebra superior pasien akan turun seperti orang
mengantuk. Gejala klinis MG antara lain:
(1) Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang merupakan salah
satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing menjadi keluhan utama
penderita miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra
jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi
pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi
ptosis MG. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan
pada fleksi dan ekstensi kepala;
24
leher, hingga ke otot ekstremitas. Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan
dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup.
Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum
molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan berbicara. Paresis
dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita
minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya. Di antara pasien, 75%
awalnya mengeluh gangguan mata, terutama ptosis dan diplopia. Akhirnya, 90%
dari pasien dengan MG mengembangkan gejala-gejala okular. Mungkin
ptosisunilateral atau bilateral, dan akan beralih dari mata ke mata. Okular MG
dikategorikan sebagai kelemahan dan kelelahan yang tersembunyi dan
membahayakan yang dapat terjadi pada satu atau kedua kelopak mata atau otot
bola mata. Jika meliputi kelopak mata yang jatuh biasanya dikenal sebagai
ptosis; yang mengenai otot extraokular maka pasien akan melihat ganda pada
arah otot yang lemah. Hal ini sesuai dengan teori dimana pada MG keluhan yang
paling sering terjadi adalah keluhan pada wajah 95% dari pasien.
Keluhan ptosis juga kadang disertai adanya gangguan otot okular, pada
pasien ini ditemukan gangguan penglihatan berupa diplopia. Kelemahan wajah
dapat terjadi pada MG tanpa keterlibatan otot mata, tetapi biasanya kedua gejala
terjadi bersama-sama. Jika sensasi wajah terganggu, lesi yang mempengaruhi
saraf kranial seperti karsinoma nasofaring harus dicurigai. Dengan adanya
sensasi wajah normal. Namun, terjadinya kedua kelemahan otot mata dan wajah
sangat memperlihatkan gejala MG. Temuan mungkin akan sulit untuk dilihat.
Pada pemeriksaan fisik pasien ini juga ditemukan adanya kelemahan otot-otot
wajah termasuk otot untuk menelan dimana pasien mengeluhkan sulit menelan
makanan dan sulit bicara. Berdasarkan teori, kelemahan otot wajah dan menelan
terjadi pada 60% kasus MG. Gejala yang paling serius dari MG adalah kesulitan
bernafas. Pasien myasthenic dengan insufisiensi pernapasan atau
ketidakmampuan untuk mempertahankan jalan napas paten dikatakan krisis.
Kelumpuhan vokal dapat menghambat jalan napas, tetapi lebih umum saluran
udara terhambat oleh sekresi pasien.
25
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat menyebabkan gagal napas akut,
dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi
cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat
menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya
hipoventilasi.
26
B. KESIMPULAN
Myasthenia gravis merupakan suatu penyakit autoimun dari neuromuscular
junction (NMJ) yang disebabkan oleh antibodi yang menyerang komponen dari
membran postsinaptik, mengganggu transmisi neuromuskular, dan menyebabkan
kelemahan dan kelelahan otot rangka. Kebanyakan pasien MG mempunyai
keluhan diplopia pada saat onset penyakit mereka. Pasien merasakan penglihatan
kabur yang berfluktuasi. Pasien Myasthenia gravis yang sedang mengalami
kekambuhan apabila mengenai ke otot-otot pernapasan maka dapat mengancam
jiwa.
27
DAFTAR PUSTAKA
6. Howard JF. Myasthenia Gravis A Manual for the Health Care Provider.
Myasthenia Gravis Foundation of America 2008.
28
11. Wilkinson l, Lenox, Graham. Essential Neurology. In: Peripheral
Neuromuscular Disorders USA: Blackwell Publishing Ltd; 2005.
12. Feldman EL, Grisold W, Russell JW, Zifko UA. Atlas of Neuromuscular
Diseases. In: Myastenia Gravis. Austria: SpringerWienNewYork; 2005.
p. p337-44.
13. Rohkamm R. Color Atlas of Neurology. In: Myopathies. New York: Thieme
Verlag; 2004
29