Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tantangan utama yang dihadapi oleh industri nasional saat ini adalah
kecenderungan penurunan daya saing industri di pasar internasional. Penyebabnya
antara lain adalah meningkatnya biaya energi, ekonomi biaya tinggi serta belum
memadainya layanan birokrasi. Selain adanya kelemahan struktural sektor industri
itu sendiri, seperti masih lemahnya keterkaitan antar industri, baik antara industri
hulu dan hilir maupun antara industri besar dengan industri kecil menengah,
belum terbangunnya struktur klaster industri (industrial cluster) yang saling
mendukung, adanya keterbatasan berproduksi barang setengah jadi dan komponen
di dalam negeri, keterbatasan industri berteknologi tinggi, kesenjangan
kemampuan ekonomi antardaerah, serta ketergantungan ekspor pada beberapa
komoditi tertentu.
Pembangunan industri nasional harus dilakukan secara holistik, sinergi dan
terintegrasi dengan pengembangan sektor ekonomi lainnya seperti pertanian,
energi sumber daya mineral, kehutanan, kelautan, pendidikan, riset, perdagangan,
termasuk melakukan koordinasi dengan BKPM dalam menarik minat investasi di
sektor industri. Oleh karenanya dukungan dan partisipasi seluruh pihak terkait
sangat menentukan keberhasilan pembangunan sektor industri nasional.
Pembangunan industri yang sinergi dengan daerah dapat dilakukan melalui
pendekatan Perhitungan LQ (location quotient).
Kompetensi inti adalah sebagai kumpulan keterampilan dan teknologi yang
memungkinkan suatu organisasi dapat menyediakan menfaat tersendiri dari
pelanggannya. Dengan demikian, kompetensi inti merupakan sekumpulan sumber
daya dan kemampuan (asetaset) organisasi yang memiliki keunikan tinggi yang
diperlukan untuk mencapai tujuantujuan organisasi. Keunikan yang dimiliki
organisasi dapat membuat kesulitan bagi pesaing untuk menirunya.
Pengembangan kompetensi inti industri daerah tidak terlepas dari kerangka
pembangunan daerah. Sehingga, tujuan pengembangan kompetensi inti industri
dalam hal ini berupa peningkatan daya saing daerah sejalan dengan tujuan
pembangunan daerah itu sendiri, yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Untuk membangun daya saing daerah diperlukan penciptaan kompetensi inti
industri bagi daerah tersebut. Hal ini diperlukan agar seluruh sumber daya dan
kemampuan yang dimiliki oleh daerah tersebut dapat terfokus pada upaya untuk
menciptakan kompetensi inti industri. Dilihat dari dimensi yang lebih luas, yaitu
suatu daerah (Kabupaten/Kota), pemilihan kompetensi inti industrinya tidak boleh
keluar dari kriteria-kriteria seperti memiliki nilai tambah yang tinggi, memiliki
keunikan daerah, memiliki keterkaitan yang kuat, serta memiliki peluang untuk
menembus pasar internasional. Dengan kata lain, penentuan kompetensi inti
industri suatu daerah haruslah memberikan dampak yang besar dalam
menstimulus perekonomian daerah. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu
dikaji pengembangan kompetensi inti daerah di Kabupaten Subang provinsi Jawa
Barat
Peningkatan daya saing industri telah dilakukan dengan pendekatan
kebijakan kluster industri. Pendekatan kluster industri ini didukung oleh
diperkenalkannya konsep kompetensi inti yang seharusnya unik untuk setiap
daerah.
Masalah Pembangunan industri terkait dengan kebijakan kluster industri
adalah pada praktek kebijakan. Masalah-masalah tersebut dapat diringkas sebagai:
1. Penerapan konsep pembangunan industri dengan sistem kluster
dengan mempertimbangkan kompetensi inti belum dilaksanakan
secara konsisten dan terintegrasi dengan pembangunan ekonomi
daerah.
2. Pemahaman tentang kompetensi inti masih bersifat parsial.
Pertimbangan karakteristik daerah dan penggunaan indikator belum
sepenuhnya tercermin dalam pembangunan dan kebijakan industri di
daerah
3. Penerapan konsep kompetensi inti masih belum banyak digali dari
kondisi daerah. Dalam penerapan konsep masih terdapat penggunaan
konsep kompetensi yang meniru dari daerah lain.
3.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penulisan laporan ini, adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengembangan industri regional di daerah terkait?
2. Bagaimana konsep pembangunan industri di daerah terkait?
3. Bagaimana kontribusi sektor industri terhadap ekonomi daerah terkait?
4. Bagaimana kompetensi inti industri di daerah terkait?
5. Apa saja sektor unggulan dari daerah terkait?
6. Bagaimana pengembangan industri daerah terkait?

3.3 Tujuan dan Manfaat


3.3.1 Tujuan
1. Untuk mengetahui penentuan sektor unggulan kabupaten subang
2. Untuk mengetahui penentuan produk /komoditas unggulan
3. Untuk mengetahui penentuan produk olahan prioritas
4. Untuk mengetahui rantai nilai yang terdapat di Kabupaten Subang
5. Untuk mengetahui analisis pemilihan kompetensi inti

3.3.2 Manfaat
1. Dapat mengetahui penentuan sektor unggulan kabupaten subang
2. Dapat mengetahui penentuan produk/ komoditas unggulan
3. Dapat mengetahui penentuan produk olahan prioritas
4. Dapat mengetahui rantai nilai yang terdapat di Kabupaten Subang
5. Dapat mengetahui analisis pemilihan kompetensi inti
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Konsep dan Analisis Kompetensi Inti Industri


2.1.1 Pemahaman Kompetensi Inti Industri
Pada dasarnya, kompetensi inti dibangun atas dasar produk / komoditas
unggulan, namun tidak semua produk /komoditas unggulan dapat menjadi suatu
kompetensi inti suatu daerah. Dan bisa jadi suatu kompetensi inti daerah, bukan
berasal dari produk unggulan daerah tersebut. Hal ini disebabkan, defenisi dari
kompetensi inti yang lebih luas dan detail ketimbang produk /komoditas
unggulan.
Menurut departemen perindustrian ( 2007: xxvi), kompetensi inti adalah
suatu kumpulan yang terintegrasi dari serangkaian keahlian dan teknologi yang
merupakan akumulasi dari pembelajaran, yang akan bermanfaat bagi
keberhasilan bersaing suatu bisnis. Dalam perspektif ekonomi regional,
kompetensi inti adalah kemampuan suatu daerah untuk menarik investasi dari
luar daerah itu, baik investasi asing maupun investasi dalam negeri serta
memfasilitasi perekonomian yang menghasilkan nilai tambah.
Defenisi ini sebenarnya dikutip dari pendapat Hamel dan Prahalad
(1995). Defenisi ini dan banyak defenisi kompetensi inti lainnya, bersandar pada
aspek integrasi antara keahlian dan teknologi yang dihasilkan dari proses
pembelajaran, yang kemudian membentuk daya saing, yang karakteristiknya
sulit ditiru oleh pesaing atau daerah lainnya.
Defenisi ini juga mirip dengan pendapat dari Tjahajana, dalam artikelnya
tentang : kebijakan pengembangan industri nasional dalam rangka perkuatan
kompetensi inti daerah (dalam departermen perindustrian, 2007:39),
merumuskan kompetensi inti sebagai kumpulan yang terintegrasi dari
serangkaian keahlian dan teknologi yang merupakan akumulasi dari
pembelajaran, yang akan bermanfaat bagi keberhasilan bersaing suatu bisnis.
Kompetensi inti dapat dipandang sebagai suatu hasil dari pembelajaran kolektif,
sebagai penyelarasan arus teknologi, tentang kerja organisasi dan penghantaran
nilai kepada pelanggan, sebagai komunikasi, keterlibatan dan komitmen yang
mendalam terhadap kerja lintas batas organisasi.
Berdasarkan kedua defenisi diatas maka kompetensi inti lahir dari aspek
keahlian dan teknologi yang unik, yang sulit ditiru pesaing dan berakar di suatu
wilayah atau daerah serta laku dan memiliki daya saing berkelanjutan di pasar.
Keahian dan teknologi ini dihasilkan oleh suatu akumulasi pembelajaran dalam
kurun waktu yang relatif lama. Jadi berakar dari masyarakat dan industri yang
ada disuatu daerah atau wilayah. Departemen perindustrian ( 2007:xxvii),
menyatakan pengembangan kompetensi inti daerah didasarkan atas potensi
komoditi unggulan yang dimiliki suatu daerah + sejauh mana industri
pengolahan di daerah tersebut berkembang (seringkali industri yang ada IKM
dan home industri).
Suatu komoditas unggulan atau suatu industri unggulan tidak akan
dikatakan memiliki kompetensi inti jika pengembangannya bersifat tradisional.
Dalam arti bahwa sifat tradisional ini menggunakan teknologi dan keahlian yang
sederhana, sehingga mudah dicontoh oleh pihak lain dalam pengembangannya
serta memiliki nilai tambah yang rendah. Contoh kasus produk kopra di
Sulawesi Utara, sejak dahulu pengolahan buah kelapa sampai menjadi
kopra,dilakukan dengan cara tradisonal, yaitu dengan teknologi sederhana,
pengasapan. Dengan metode ini, kualitas kopra yang dihasilkan masih rendah
karena memiliki kadar air yang masih relatif tinggi dan bahkan mengandung zat-
zat seperti karbondioksida yang melekat dikopra selama proses pengasapan.
Pada kondisi ini, menurut hemat saya, tidak terjadi pembelajaran dalam
pengolahan kopra, padahal pengolahan kopra ini telah dilakukan secara turun
temurun. Sebenarnya, ada teknologi yang lebih baik yang dapat diadopsi oleh
petani kelapa dalam proses pengolahan kopra yaitu penggunaan teknologi kopra
putih yang telah lama diadopsi di Philipina. Pada hal, bentuk rumah
pengasapannya tidak jauh berbeda dengan yang tradisional, hanya mekanisme
pengasapannya yang berbeda. Jika teknologi tradisional menggunakan
pengasapan langsung maka teknologi kopra putih menggunakan pengasapan
tidak langsung (seperti oven, yang gunakan panas). Perbedaan ini justru
menghasilkan harga kopra yang jauh berbeda, kopra putih lebih mahal harganya.
Kondisi ini tidak dapat bisa dijadikan kompetensi inti.
Menurut Tjahajana, dalam artikelnya tentang kebijakan pengembangan
industri nasional dalam rangka perkuatan kompetensi inti daerah
(dalam departermen perindustrian, 2007:39-40), Kompetensi inti mengarah
pada pengembangan produk inti yaitu perwujudan fisik dari satu atau lebih
kompetensi-kompetesi inti. Produk inti (core product) bukanlah produk yang
secara langsung dijual kepada penggunae akhir (end user). Produk inti
digunakan untuk mengembangkan beragam produk akhir. Kompetensi inti
termanifestasi dalam produk inti yang merupakan penghubung antara
kompetensi inti dan produk akhir.
Defenisi dari Tjahajana, menjurus pada konsep diversifikasi produk dan
rantai nilai yang relatif panjang dari suatu komoditas. Semakin panjang rantai
nilai maka semakin mungkin produk tersebut dijadikan kompetensi inti, karena
semakin panjang rantai nilai maka semakin besar value addednya. Namun
defenisi yang lebih luas datang dari Mulyadi dan Monstiska, (2011:8),
kompetensi dari perpektif ekonomi regional, adalah kemampuan suatu daerah
untuk menarik investasi dari luar daerah, baik investasi asing maupun investasi
dalam negeri.
Defenisi dari Mulyadi dan Monstiska, (2011:8), sudah melihat
kompetensi inti dari perspektif ekonomi regional. Defenisi yang lebih lengkap
diutarakan oleh Maulana, dalam artikelnya : Pembangunan daerah dalam
membangun kompetensi inti daerah, dalam Departemen perindustrian (
2007:145-158): mengutip pendapat Hamel dan prahalad, mendefenisikan
kompetensi ini sebagai berikut :
1) Suatu kumpulan kemampuan yang terintegrasi dari serangkaian
sumberdaya dan perangkat pendukungnya sebagai hasil dari proses
akumulasi pembelajaran yang akan bermanfaat bagi keberhasilan
bersaing suatu bisnis. Kemampuan yang berjalan sendiri-sendiri tidak
dapat optimal mendukung kemampuan bersaing.
2) Hasil pembelajaran kolektif, khususnya mengenai bagaimana
mengkoordinasikan kemampuan produksi yang bermacam-macam
dan mengintegrasikan dengan arus teknologi yang berkembang.

3) Penyelarasan arus teknologi, tentang kerja organisasi dan


penghantaran nilai kepada pelanggan. Keutamaan pemberian nilai
kepada pelanggan akan memberikan peningkatan pada kemampuan
bersaing daerah.

4) Komunikasi, keterlibatan dan komitmen yang mendalam terhadap


kerja lintas batas organisasi di suatu daerah. Masing masing
organisasi dan institusi daerah harus terintegrasi satu sama lain dan
secara bersama-sama mengembangkan potensi daerah.

Defenisi-defenisi yang lain tentang kompetensi inti adalah:

1. Maulana, dalam artikelnya : Pembangunan daerah dalam


membangun kompetensi inti daerah, dalam Departemen
perindustrian ( 2007:145-158): mengutip pendapat Barney,
menyatakan bahwa sumber daya dan kapabilitas penting bagi daya
saing apabila bernilai bagi pasar, langka dan sulit ditiru pesaing.
Kompetensi inti juga disarikan menjadi kumpulan keahlian,
pengetahuan dan teknologi yang vital bagi bisnis.

2. Maulana, dalam artikelnya : Pembangunan daerah dalam


membangun kompetensi inti daerah, dalam Departemen
perindustrian ( 2007:145-158): mengutip pendapat Reve,
mendefenisikan kompetensi ini sebagai aset yang memiliki
keunikan tinggi sehingga berbeda dengan asset yang dimiliki
daerah lainnya dan sulit ditiru. Keunggulan daya saing ditentukan
oleh kemampuan yang unik sehingga mampu membentuk
kompetensi inti.
3. Maulana, dalam artikelnya : Pembangunan daerah dalam
membangun kompetensi inti daerah, dalam Departemen
perindustrian ( 2007:145-158): menyatakan bahwa kompetensi inti
merupakan hasil dari “collective learning” dalam organisasi agar
mengkoordinasikan kemampuan produksi yang beragam dan
mengintegrasikan dengan teknologi yang beragam secara optimal.
Ditinjau dari aspek teoritis dan manajerial, maka terdapat tiga
masalah utama yang berhubungan dengan kompetensi inti :

a) Penciptaan kompetensi inti muncul setelah melalui proses


kewirausahaan atau kemampuan inovasi.
b) Upaya upaya yang dilakukan dalam melindungi kompetensi
inti untuk menjaga tetap memiliki keunggulan komparatif.
c) Diperlukan perencanaan yang komprehensip mengenai insentif
terutama dalam menghadapi perilaku masyarakat.

4. Menurut Kotler (1994), ada 3 (tiga) syarat dari kompetensi inti


yaitu :
a) Kompetensi inti harus menjadi sumber utama bagi keunggulan
bersaing sehingga dapat memberikan manfaat bagi pengembangan
ekonomi daerah
b) Kompetensi inti harus sulit ditiru pesaing.
c) Kompetensi inti harus memiliki bidang aplikasi yang luas dan
dapat diterapkan kepada seluruh elemen masyarakat di bidang
pemerintahan, bidang usaha dan bidang lainnya.
5. Menurut Departemen perindustrian ( 2007:vi), pembangunan
industri berbasis kompetensi inti daerah dapat ditempuh dengan
cara memberikan fasilitas kepada daerah sebagai pemicu ( trigger)
dalam bentuk pendirian Unit pelaksana teknis (common facilities
service) yang berfungsi untuk memberikan bantuan layanan teknis
di bidang teknologi produksi dan manajemen bagi IKM di daerah.
6. kompetensi adalah kemampuan yang spesifik dalam suatu bidang
atau jasa tertentu sehingga dapat menjadi indikator penentu
keberhasilan pembangunan disuatu daerah. Tjahajana,
kebijakan pengembangan industri nasional dalam rangka
perkuatan kompetensi inti daerah (dalam departermen
perindustrian, 2007:40).

Defenisi daya saing daerah


Defenisi daya saing, kebanyakan didasari pada konsep produktivitas. Suatu
daerah yang memiliki produktivitas tinggi dapat dikatakan memiliki daya saing
yang tinggi. Dalam konteks produktivitas sebenarnya menggambarkan aspek
efisiensi dan efektivitas. Efisiensi lebih mengarah pada input sedangkan
efektivitas lebih mengarah pada output. Pambudhi, dalam artikelnya : Daya saing
investasi daerah, opini dunia usaha, dalam Departemen perindustrian ( 2007:95):
menyatakan bahwa daya saing (competitiveness) pada umumnya didefenisikan
sebagai seberapa besar pangsa pasar produk suatu negara dalam pasar
dunia. Tetapi defenisi yang lebih tepat mengenai daya saing itu adalah
produktivitas. Daya saing disini meliputi kondisi makroekonomi, politik dan
lingkungan hukum yang mendukung perekonomian yang maju.
Defenisi dari Pambudhi, ini didasari pada konsep penguasaan pasar suatu
negara dalam pasar dunia (daya saing negara). Atau penguasaan pasar suatu
daerah dalam pasar nasional (daya saing daerah). Semakin besar pangsa pasar
yang dikuasai suatu negara atau daerah maka dikatakan semakin tinggi daya saing
negara atau daerah tersebut.
Defenisi lain dari daya saing, melihat dari sisi produktivitas.
Menurut satriagung, dalam artikelnya : kendala dan tantangan membangun daya
saing daerah, dalam Departemen perindustrian ( 2007:111-124), menyatakan
bahwa konsep daya saing menurut porter (1990) adalah produktivitas yang
didefenisikan sebagai nilai output yang dihasilkan oleh tenaga kerja. Sedangkan
menurut World economic forum, daya saing nasional adalah kemampuan
perekonomian nasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
bekelanjutan.
Defenisi dari Satriagung dan World economic forum masih berbau
produktivitas yang lebih menekankan pada aspek output. Baik secara mikro
(produktivitas) maupun secara makro (PDRB). Disamping sisi produk, ada juga
yang melihat daya saing dari sisi pendapatan.
Menurut UK-DTI, yang diterbitkan oleh Departemen perdagangan dan
perindustrian Inggris, daya saing adalah kemampuan suatu daerah dalam
menghasilkan pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka
terhadap persaingan domestik maupun internasional. Menurut Centre for urban
and regional studies (CURDS) Inggris, daya saing daerah adalah kemampuan
sektor bisnis atau perusahaan pada suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan
yang tinggi serta tingkat kekayaan yang lebih merata untuk penduduknya.
Defenisi yang lebih luas dari daya saing adalah melibatkan aspek atau
kontribusinya pada kesejahtraan dan keberlanjutan pertumbuhan. Menurut
satriagung, dalam artikelnya : kendala dan tantangan membangun daya saing
daerah, dalam Departemen perindustrian ( 2007:111-124), jadi daya saing daerah
adalah kemampuan perekonomian daerah dalam mencapai pertumbuhan tingkat
kesejahtraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap terbuka pada persaingan
domestik dan internasional. Beberapa indikator daya saing daerah yang
disebutkan oleh Pusat studi dan pendidikan kebanksentralan Bank Indonesia
adalah :
1) perekonomian daerah
2) keterbukaan
3) sistem keuangan
4) infrastruktur dan sumber daya alam
5) ilmu pengetahuan dan teknologi
6) sumber daya alam
7) kelembagaan
8) governance dan kebijakan pemerintah
9) manajemen dan ekonomi mikro
2.2 Konsep dan Analisis Klaster Industri
2.2.1 Definisi Klaster Industri
Istilah “klaster (cluster)” mempunyai pengertian harfiah sebagai
kumpulan, kelompok, himpunan, atau gabungan obyek tertentu yang memiliki
keserupaan atau atas dasar karakteristik tertentu. Dalam konteks ekonomi/bisnis,
“klaster industri (industrial cluster)” merupakan terminologi yang mempunyai
pengertian khusus tertentu. Walaupun begitu, dalam literatur, istilah “klaster
industri” diartikan dan digunakan secara beragam. Berikut adalah beberapa
contoh definisi klaster industri.

Klaster industri adalah:


 Kumpulan/kelompok bisnis dan industri yang terkait melalui suatu rantai
produk umum, ketergantungan atas keterampilan tenaga kerja yang serupa,
atau penggunaan teknologi yang serupa atau saling komplementer (OECD,
2000);
 Kelompok industri dengan focal/core industry yang saling berhubungan
secara intensif dan membentuk partnership, baik dengan supporting
industry maupun related industry (Deperindag, 2000);
 Konsentrasi geografis dari perusahaan dan industri yang saling
berkompetisi, komplementer, atau saling terkait, yang melakukan bisnis
satu dengan lainnya dan/atau memiliki kebutuhan serupa akan
kemampuan, teknologi dan infrastruktur (Munnich Jr., et al. 1999);
 Aglomerasi dari industri yang bersaing dan berkolaborasi di suatu daerah,
yang berjaringan dalam hubungan vertikal maupun horizontal, melibatkan
keterkaitan pembeli-pemasok umum, dan mengandalkan landasan bersama
atas lembaga-lembaga ekonomi yang terspesialisasi (EDA, 1997);
 Kelompok/kumpulan secara sektoral dan geografis dari perusahaan yang
meningkatkan eksternalitas ekonomi (seperti munculnya pemasok spesialis
bahan baku dan komponen, atau pertumbuhan kelompok keterampilan
spesifik sektor) dan mendorong peningkatan jasa-jasa yang terspesialisasi
dalam bidang teknis, administratif, dan keuangan (Ceglie dan Dini, 1999);
 Hubungan erat yang mengikat perusahaan-perusahaan dan industri tertentu
secara bersama dalam beragam aspek perilaku umum, seperti misalnya
lokasi geografis, sumber-sumber inovasi, pemasok dan faktor produksi
bersama, dan lainnya (Bergman dan Feser, 1999);
 Michael Porter mendefinisikan klaster sebagai sekumpulan perusahaan
dan lembaga-lembaga terkait di bidang tertentu yang berdekatan secara
geografis dan saling terkait karena “kebersamaan (commonalities) dan
komplementaritas” (Porter, 1990);
 Klaster merupakan jaringan produksi dari perusahaan-perusahaan yang
saling bergantungan secara erat (termasuk pemasok yang terspesialisasi),
agen penghasil pengetahuan (perguruan tinggi, lembaga riset, perusahaan
rekayasa), lembaga perantara/bridging institution (broker, konsultan) dan
pelanggan, yang terkait satu dengan lainnya dalam suatu rantai produksi
peningkatan nilai tambah (Roelandt dan den Hertog, 1998);
 Klaster merupakan suatu sistem dari keterkaitan pasar dan non pasar
antara (a system of market and nonmarket links) perusahaan-perusahaan
dan lembaga yang terkonsentrasi secara geografis (Abramson, 1998);
 Klaster merupakan konsentrasi perusahaan dan lembaga yang bersaing,
berkolaborasi dan saling bergantung yang dihubungkan dengan suatu
sistem keterkaitan pasar dan non pasar (UK DTI, 1998b, 2001).

GAMBARAN UMUM DAN KONDISI WILAYAH KAWASAN SUBANG


Rencana pembangunan Kawasan Industri Subang ini dilaksanakan pada lahan
seluas ±1.000 Ha di Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Subang. Berdasarkan
peta RTRW Kabupaten Subang Tahun 2011-2032, diketahui bahwa lokasi
Kawasan Industri Subang
mempunyai 8 keunggulan berupa :
1. Berada didalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kab. Subang
2. Memliki luasan 1000 Ha dengan status legalitas yang clean & clear
3. Mempunyai daya saing lokasi yang kuat
a. Berada dalam jalur distribusi kawasan industri nasional
b. Berada dalam kawasan pengembangan infrastruktur berupa airport,
seaport & jalan Tol
4. Mempunyai aksesibilitas yang paling efisien
5. Mempunyai morfologi yang layak menjadi kawasan industri
6. Mempunyai pasok energi yang kompetitif
7. Mempunyai prospek kenaikan harga tanah yang signifikan
8. Berada di wilayah pengembangan industri terbaik ke-2 di dunia

A. Konsep Green Industry:


1. Aspek konsumsi air dan sumber daya alam lainnya oleh industri.
2. Aspek pengelolaan limbah industri.
3. Aspek manajemen daur air yang ada di kawasan.

B. Konsep Kawasan dengan Konsep Kawasan dengan Cluster Tertutup :


Kawasan perencanaan sebagai sebuah kawasan yang akan memiliki beberapa
insentif khusus di bidang perpajakan, insfrastruktur dan lain -lain yang
memerlukan batas fisik yang jelas agar penerapan insentif tersebut tepat sasaran.
Kok Cluster Tertutup :
Kawasan perencanaan sebagai sebuah kawasan yang akan memiliki beberapa
insentif khusus di bidang perpajakan, insfrastruktur dan lain -lain yang
memerlukan batas fisik yang jelas agar penerapan insentif tersebut tepat sasaran.

Luas Total Lahan 1.000 Hektar untuk kawasan Industri dan Pergudangan sesuai
RTRW wilayah setempat.Total yang sudah dibebaskan 500 hektar PPJB- Girik,
akte pelepasan hak oleh satu Perusahaan, dengan minimal pembelian 5Ha dan
maksimal 100 hektar.Posisi 500 meter dari exit toll Interchange Subang
Harga IDR 225 rb / m2
2.3 Konsep dan Analisis Perwilayahan Industri
2.3.1 Pengertian Perwilayahan Industri
Pengertian Wilayah
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan/aspek fungsional.

Menurut A. J. Hertson
A region is a complex of land, water, air, plant, animal and man regarded
in their special relations as together continuing a definite characteristic
portion of the earth surface
(Wilayah adalah komplek tanah, air, udara,tumbuhan, hewan dan manusia
dengan hubungan khusus sebagai kebersamaan yang kelangsungannya
mempunyai karakter khusus dari permukaan bumi).

Menurut Taylor
A region may be defined as a unit are of the earth's surface distinguishable
from amor area by the exhibition of some unifying characteristic of
property (Wilayah dapat didefinisikan sebagai bagian dari permukaan
bumi yang berbeda dan ditunjukkan oleh sifat-sifat yang berbeda dan
ditunjukkan oleh sifat-sifat yang berbeda dari lainnya).

Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa wilayah


adalah bagian atau daerah di permukaan bumi yang dibatasi oleh
kenampakan tertentu yang bersifat khas dan membedakan wilayah tersebut
dari wilayah lainnya. Misalnya, wilayah hutan berbeda dengan wilayah
pertanian, wilayah kota berbeda dengan wilayah perdesaan.

Pembagian Wilayah
1. Wilayah Formal (Formal Region)

Wilayah formal adalah suatu wilayah yang dicirikan berdasarkan


keseragaman atau homogenitas tertentu. Oleh karena itu, wilayah formal
sering pula disebut wilayah seragam (uniform region). Homogenitas dari
wilayah formal dapat ditinjau berdasarkan kriteria fisik atau alam ataupun
kriteria sosial budaya.

Wilayah formal berdasarkan kriteria fisik didasarkan pada kesamaan


topografi, jenis batuan, iklim, dan vegetasi. Misalnya, wilayah pegunungan
kapur (karst), wilayah beriklim dingin, dan wilayah vegetasi mangrove.
Adapun wilayah formal berdasarkan kriteria sosial budaya, seperti wilayah
suku Asmat, wilayah industri tekstil, wilayah Kesultanan Yogyakarta, dan
wilayah pertanian sawah basah.

2. Wilayah Fungsional (Nodal Region)

Wilayah fungsional adalah wilayah yang dicirikan oleh adanya kegiatan


yang saling berhubungan antara beberapa pusat kegiatan secara
fungsional. Misalnya, Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi
(Jabodetabek) yang secara fisik memiliki kondisi yang berbeda
(heterogen) namun secara fungsional saling berhubungan dalam
memenuhi Kebutuhan hidup penduduk di setiap wilayah.
Hubungan antar pusat kegiatan pada umumnya dicirikan dengan adanya
arus transportasi dan komunikasi yang pada akhirnya menunjang
pertumbuhan dan perkembangan dari setiap wilayah tersebut.

Penggolongan wilayah secara garis besar terdiri dari lima bagian, yaitu
sebagai berikut.

1. Natural Region (Wilayah Alamiah atau Fisik) adalah penggolongan


wilayah yang didasarkan kepada ketampakan yang sebagian besar
didominasi oleh objek-objek yang bersifat alami, seperti penggolongan
wilayah pertanian dan kehutanan.

2. Single Feature Region (Wilayah Ketampakan Tunggal) adalah


penggolongan wilayah berdasarkan pada satu ketampakan, seperti
penggolongan wilayah berdasarkan vegetasi, hewan, atau iklim saja.

3. Generic Region (Wilayah Berdasarkan Jenisnya) adalah


penggolongan wilayah yang didasarkan kepada ketampakan jenis atau
tema tertentu, seperti di wilayah hutan hujan tropis (tropical rain forest),
yang ditonjolkan hanyalah salah satu jenis flora tertentu di hutan tersebut,
seperti flora anggrek.

4. Spesifik Region (Wilayah Spesifik atau Khusus) adalah


penggolongan wilayah secara spesifik yang dicirikan dengan kondisi
geografis yang khas dalam hubungannya dengan letak, adat istiadat,
budaya, dan kependudukan secara umum, seperti wilayah Asia tenggara,
Eropa timur, dan Asia Barat Daya.

5. Factor Analysis Region (Wilayah Analisis Faktor) adalah


penggolongan
wilayah berdasarkan metoda statistik-deskriptif atau dengan metoda
statistik-analitik. Penentuan wilayah berdasarkan analisis faktor terutama
bertujuan untuk hal-hal yang bersifat produktif, seperti penentuan wilayah
yang cocok untuk tanaman jagung dan kentang.

Pengertian Perwilayahan

Pewilayahan (regionalisasi)
Pewilayahan yang dalam geografi disebut juga regionalisasi merupakan
suatu upaya mengelompokkan atau mengklasifikasikan unsur-unsur yang
sama. Mengingat lokasi-lokasi di muka bumi jumlahnya tak terbatas, maka
kamu harus menyusun dan mengelompokkan serangkaian lokasi yang
mempunyai sifat-sifat yang sama menurut kriteria tertentu. Sehingga
informasi dapat diperoleh secara efisien dan efektif.

Regionalisasi suatu fenomena atau gejala di muka bumi memberikan


berbagai manfaat. Beberapa manfaat tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Membantu memisahkan sesuatu yang berguna dari yang kurang
berguna.
2. Mengurutkan keanekaragaman permukaan bumi.
3. Menyederhanakan informasi dari suatu gejala atau fenomena di
permukaan yang sangat beragam.
4. Memantau perubahan-perubahan yang terjadi baik gejala alam maupun
manusia.

Regionalisasi membutuhkan tahapan yang lama, karena itu harus


dilaksanakan kajian atau penelitian mendalam yang melibatkan beberapa
ahli seperti ahli geografi, perencanaan pembangunan, sosiologi, dan
ahliahli lain yang sesuai dengan tujuan regionalisasi. Informasi atau data-
data yang harus dikumpulkan juga harus lengkap dan akurat. Persoalan
yang paling menjadi masalah adalah keberadaan data yang sulit diperoleh
dan kalaupun ada data yang diperoleh masih kurang akurat, sehingga
petugas yang melakukan pendataan harus teliti dan sungguh-sungguh.

Anda mungkin juga menyukai